REFERAT THT Bismilllah

38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi. Infeksi pada tonsil merupakan masalah yang cukup sering dalam populasi penduduk. Keluhan yang ditimbulkan berupa nyeri menelan, demam, obstruksi jalan napas dan otitis media merupakan alasan penderita berobat. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996 prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru. 1 1

Transcript of REFERAT THT Bismilllah

Page 1: REFERAT THT Bismilllah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya

merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari

tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT.

Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga

disebut tonsilitis kronis hipertrofi.

Infeksi pada tonsil merupakan masalah yang cukup sering dalam populasi

penduduk. Keluhan yang ditimbulkan berupa nyeri menelan, demam, obstruksi

jalan napas dan otitis media merupakan alasan penderita berobat. Berdasarkan

data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-

1996 prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah

nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009

sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada

periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah

kunjungan baru.1

Tonsil adalah jaringan limfoid yang mengandung limfosit B, limfosit T

dan sel plasma. Sentrum germinativum tonsil menghasilkan berbagai macam

imunoglobulin meliputi Ig G, Ig M, Ig A, Ig D dan Ig E.2 Ig A sekretori (s-IgA

merupakan imunoglobulin terbanyak dalam saliva, yang dapat mencegah

penetrasi antigen melalui mukosa rongga mulut. Tonsilektomi sudah sejak

lama merupakan kontroversi di berbagai kalangan, baik awam maupun

profesi.2

Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai

gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif

sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA

merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi

saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan

1

Page 2: REFERAT THT Bismilllah

oksigen secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara

epidemiologi merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering

tidak terdiagnosis.2

Meskipun tonsilitis kronis masih merupakan alasan paling umum untuk

operasi tonsilektomi, namun, kriteria histopatologi untuk infeksi ini belum

diteliti dengan baik. Semua penyelidikan yang terbatas pada pusat, folikel

limfoid germinal dan kriptus, daripada menyelidiki perubahan di daerah tonsil

termasuk epitel permukaan.2

Untuk pertama kalinya Susan McClory et al (2012), para peneliti telah

menemukan bahwa tonsil melakukan kerja yang tidak diduga sebelumnya,

yaitu sumber penting dari sel-sel imun yang dikenal sebagai T-sel yang

sebelumnya diyakini bahwa sel T berasal dari Timus. Susan McClory et al

(2012) menganalisis jaringan tonsil diperoleh dari anak-anak yang menjalani

tonsilektomi rutin di Rumah Sakit Anak Nationwide di OSU.3

Hingga saat ini, manfaat respon imun tonsil pada kejadian tonsilitis

kronis masih belum jelas. Dengan demikian, tindakan tonsilektomi masih

belum sepenuhnya jelas dalam hal ini, sehingga perlu kajian lebih lanjut.3, 4.

Selama beberapa generasi, tonsilektomi adalah sedikit dari ritus perjalanan

untuk anak-anak di AS. Pada puncak popularitas di sekitar tahun 1960, sebuah

tonsilektomi dilakukan setiap 30 detik di negara ini, terhitung lebih dari satu

juta operasi per tahun. 3

Tindakan ATE (adenotonsilektomi) juga sering dilakukan oleh spesialis

THT di Indonesia. Data selama tahun 2002 di RSUD dr. Moewardi Surakarta

telah dilakukan tindakan ATE dan Tonsilektomi (TE) sebanyak 220 di antara

501 tindakan atau operasi THT yang lain. Lebih dari 65% penderita yang

dilakukan tindakan ATE atau TE berumur antara 2 sampai 15 tahun. Tindakan

ATE dilakukan atas dasar indikasi klinis dan kasus demi kasus (Bicknell,

1994). Selama ini indikasi tindakan ATE berdasar atas hasil pemeriksaan klinis.

Dengan demikian dasar pertimbangan dilakukan ATE masih bersifat subjektif.

Gejala obstruksi menghilang setelah dilakukan tindakan ATE.2

2

Page 3: REFERAT THT Bismilllah

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penulisan ini adalah :

Bagaimanakah respon imun tonsil pada kejadian tonsilitis kronis?

C. Tujuan Penulisan

Penulis berharap dapat menjelaskan tinjauan secara umum tentang respon

imun tonsil pada kejadian tonsilitis kronis

3

Page 4: REFERAT THT Bismilllah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Tonsil

Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang

letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Pada

tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler

dan kapsul jaringan ikat serta kripte di dalamnya. 1,5 Berdasarkan lokasinya,

tonsil dibagi menjadi sebagai berikut :

1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.

2. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus

glossopalatinus dan arcus glossopharingicus. 

3. Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.

4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium

tubaauditiva.

5. Plaques dari peyer, terletak pada ileum

Dari kelima macam tonsil tersebut, Tonsilla lingualis, Tonsilla palatina,

Tonsilla pharingica, dan Tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada

pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama

cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui

udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertrofi

fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada umur

5 tahun dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.Jaringan limfoid pada

cincin waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu sebagai daya

pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar

(makan,minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun. Fungsi ini didukung secara

anatomis dimana didaerah faring terjadi tikungan jalannya material yang

melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar, sehingga terjadi turbulensi

khususnya udara pernafasan. Dengan demikian kesempatan kontak berbagai agen

yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan penyusun cincin

waldeyer itu semakin besar.5

4

Page 5: REFERAT THT Bismilllah

Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting

dari cincin waldeyer. Tonsil palatina adalah masa jaringan limfoid yang terletak di

dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh m. palatoglosus (di

anterior) dan m. palatofaringeus (di posterior). Adapun struktur yang terdapat

disekitar tonsila palatina adalah:

Anterior : arcus palatoglossus 

Posterior : arcus palatopharyngeus

Superior : palatum mole

Inferior : 1/3 posterior lidah

Medial : ruang orofaring

Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior

oleh jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di

belakang dan lateral tonsila.

Gambar 1. Anatomi Tonsil

5

Page 6: REFERAT THT Bismilllah

Gambar 2. Histologi Tonsil

Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil

mempunyai 10 -30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak

mengisi seluruh fosa tonsilaris,daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai

fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsilterikat longgar pada muskulus

konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kalimakan.

Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang

berlebih tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan

insufisiensi velofaring atau obstruksihidung walau jarang ditemukan. Arah

perkembangan tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering

menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.

Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu 

1) Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf

dan limfa.

2) Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.

3) Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam

berbagaistadium

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,

0,1-0,2 % dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi

limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-

57%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel

6

Page 7: REFERAT THT Bismilllah

M (sel membrane), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen precenting cells)

yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga

terjadi sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit

T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik

sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang

sudah disensitisasi. 5

B. Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan salah satu bagian dari sistem kekebalan, yang

berpartisipasi dalam rekognisi dan penolakan dari material asing dan

organisme.6

Tonsil terletak pada jalan masuk respiratorik dan pencernaan dimana

mereka terus menerus diserang antigen, tidak seperti kelenjar limfe

umumnya, dimana menerima antigen melalui aliran darah. Pada dasar dari

kripte tonsiler ada microphore cell (sel M) dengan sistem tubulovesicular

untuk transport antigen. Selain itu, ada mikropor yang ditemukan di dinding

kripte, yang masih belum diketahui apakah fisiologis atau pathologis.6

Berdasarkan analogi dengan peristiwa yang terjadi pada MALT (The

mucosal associated lymphoid tissues), dimana MALT mempunyai fungsi

utama adalah menghasilkan dan penyebaran dari sel B yang telah disensitisasi

antigen yang membutuhkan sinyal kedua untuk differensiasi terminal menjadi

sel plasma yang menghasilkan antibodi pada berbagai jaringan sekretorik. 6,7

Demikian pula, tonsil mungkin berfungsi dengan cara yang sama. Di dalam

tonsil, antigen dibawa pada sel yang memproses antigen, yang merupakan sel

yang serupa dengan makrofag, yang mempresentasiken ke sel T helper dan

sel B. Hal ini akan menjadi konstituen utama dari pusat germinal yang ada di

tonsil (gambar 3 dan 4).

7

Page 8: REFERAT THT Bismilllah

Gambar 3 Tonsil manusia memperlihatkan MALT. Sejumlah pusat

germinal yang sering ditemukan pada jaringan limfoid tonsil.

Gambar 4. Folikel limfoid sekunder menunjukkan pusat germinal

yang mengandung proliferasi sel B

Pada kondisi yang tepat sel B tersebut yang memiliki reseptor, seperti

antibodi, dapat mengkombinasi dengan determinan antigen yang akan

mengalami stimulasi untuk membelah diri. Mereka kemudian migrasi melalui

limfa dan darah, menjalani differensiasi lebih lanjut untuk differensiasi, untuk

mengkolonisasi berbagai struktur sekretori, seperti usus, saluran pernafasan,

kelenjar saliva, dan payudara.6

Mayoritas dari limfosit MALT mensekresikan imunoglobulin A (IgA),

berbentuk dimer, dengan dua molekul yang digabungkan dengan rantai J,

juga disekresikan oleh sel plasma. IgA dimer melewati sel epitelial untuk

8

Page 9: REFERAT THT Bismilllah

mencapai permukaan mukosa, selama proses ini kemudian diselubungi

dengan sekretorik piece yang melindungi molekul dari tercerna enzim

(gambar 3). IgA berkombinasi dengan pathogen atau molekul lain, untuk

mencegah perlekatan, dan absorbsi atau membuatnya tidak berdampak,

sehingga dapat diserap, kemudian ditransport sebagai kompleks imun atau

melawan sistem retikulo-endothelial.6,7

Gambar 5. Transport dari IgA melewati epitel mukosa. Dimer IgA

disekresikan oleh sel plasma yang terikat pada reseptor membran dan

permukaan internal dari sel epithel. Mereka diendositosis dan ditransport

melewati sel menuju permukaan luminal dimana vesikel bergabung dengan

membran plasma, melepaskan IgA dimer dan komponen sekretorik berasal

dari pembelahan reseptor. Hal ini mungkin melindungi imunoglobulin dari

digesti enzimatik.

Sekresi Imunoglobulin tonsilar berbeda dari pola MALT biasa. Sel

yang memproduksi imunoglobulin G pada tonsila palatina dan nasoparingeal

dengan imunosit IgA menunjukkan sekitar 30-35%. Tidak seperti adenoid

dimana tidak ada produk tonsilar dari bagian sekretorik, jadi IgG dan IgA

keluar menuju sekresi faringeal dengan merembes diantara sel epithel,

dimana meningkat ketika terjadi inflamasi.

Tonsil mengandung 109 sel limfoid, dimana 50% nya adalah sel T.

Banyak darinya terlibat dalam meregulasi respon antibodi, yang akan

9

Page 10: REFERAT THT Bismilllah

berperan sebagai promotor (T helper) atau supresor (T supresor). Sel T lain

bertanggung jawab sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat untuk

organisme yang lebih besar, seperti jamur. Tipe lain dapat membunuh sel

yang terinfeksi virus. Rekognisi pada kedua kasus dengan reseptor antigen sel

T, yang sama dengan tempat kombinasi antigen dari antibodi. Sitokin seperti

interferon gamma, dihasilkan oleh sel T tonsiler. NK sel juga terlihat di

sistem imun, dan dapat membunuh sel yang terinfeksi virus dan sel tumor,

namun metode dari pengenalan sel tersebut masih belum diketahui.6,7

C. Peran Tonsil dalam Tubuh Manusia

1. Perkembangan limfosit T (sel T ekstratimik) selain Timus

Perkembangan dari sel T sehat bergantung pada timus fungsional.

Namun, potensi dari jaringan imfoid ekstratimik manusia untuk

meningkatkan perkembangan sel T masih sedikit diketahui namun

diperkirakan penting dalam kejadian fungsi timus yang buruk atau defisit

kongenital. Laporan sebelumnya mengenai perkembangan sel T

ekstratimik pada manusia bergantung pada identifikasi sel yang

mengekspresikan gen dengan lokus rearrangement TCR pada intestinal

atau sumsung tulang.3

Tonsil manusia dan nodus limfatikus dihuni oleh sel CD34+.

Namun, kompartemen CD34+ pada jaringan limfoid sekunder telah

dijelaskan dalam kemampuannya dalam berkontribusi pada perkembangan

sel NK. Secara spesifik, telah dijelaskan dalam dua tahap maturasi dari sel

NK intermediate, yang dapat dibedakan dengan ekspresi CD117. Sel pro-

NK tahap 1 djelaskan sebagai CD34+CD117–, sementara sel

pre-NK tahap 2 dijelaskan sebagai CD34+CD117+. Tiap populasi CD34+

memiliki potensial diferensiasi menjadi sel T, DCs (sel dendrit), dan sel

NK. Namun, definisi minimal di tahap 1 dan 2 tidak mempertimbangkan

heterogenisitas fenotip dari tiap populasi. Apakah prekursor NK tahap 1

10

Page 11: REFERAT THT Bismilllah

atau 2 mengandung subpopulasi yang jelas, tiap-tiapnya memberikan jalur

hematopoetic yang masih belum diketahui.3

Suatu penelitian telah membuktikan untuk peran tonsil manusia

dalam program perkembangan sel T ekstratimik yang mengidentifikasi 5

intermedian sel T di dalam tonsil, tiap-tiapnya dengan potensi

perkembangan sel T, juga fenotipe yang mirip dengan populasi di timus.

Selain itu, kami menemukan jika sel TdT+ ditemukan dijarinan fibrosa di

tonsil mengekspresikan CD34 atau marker sel pre-T CD1a, menunjukkan

jika regio anatomi dari tonsil berkontribusi pada tahap awal perkembangan

sel T ekstratimik. Akhirnya, diketahui jika CD34+/- CD1a+CD11c– sel

tonsilar dan timus memiliki protensi perkembangan menjadi sel T dan

NK.3

Suatu penelitian juga telah mengidentifikasi 5 subset limfosit yang

berperan penting dalam tonsil manusia, yaitu sel: (a)

CD34+CD38dimLin–, (b) CD34+CD38brightLin–, (c)

CD34+CD1a+CD11c–, (d) CD34– CD1a+CD3–CD11c–, dan (e) CD34–

CD1a+CD3+CD11c–. Sel Tonsil CD34+CD38dimLin– dan

CD34+CD38brightLin– memiliki banyak fenotipik dari sel yang sama

yang kami identifikasi didalam timus dan memiliki potensiasi diferensiasi

untuk berkembang menjadi sel T dan NK. Menariknya, sel

CD34+CD1a+CD11C– yang diidentifikasi di tonsil menunjukkan fenotipe

yang identik dengan prekursor sel T CD34+CD1a+ timus dan

menunjukkan konsisten dengan kemampuan berkembang menjadi sel T.

Sama, sel CD34–CD1a+CD11c– dari tonsil mirip dengan sel CD34–

CD1a+ timus, sehingga dapat membelah menjadi 2 populasi berdasarkan

ekspresi CD3, yang mengekspresikan CD4 dan CD8, sehingga dapat

berpotensi dalam perkembangan sel T ekstratimik.3

Namun demikian faktanya, dalam studi oleh McClory et al (2012)

telah menunjukkan jika sel CD34+/–CD1a+CD11c– dari timus dan tonsil

tidak digunakan untuk jalur sel T namun memiliki potensial differensiasi

untuk menjadi sel NK. Pada penelitian sebelumnya telah diidentifikasi

11

Page 12: REFERAT THT Bismilllah

peran dari jaringan limfoid usus tikus pada perkembangan sel T, baru

sedikit penelitian yang meneliti tentang diferensiasi sel T ekstra timik yang

susah untuk diinterpretasikan. Telah diketahui jika progenitor

hematopoetic dengan kemampuan differensiasi sel T terletak di dalam

sumsum tulang dan di placenta. Selain itu, sel tonsiler TdT+ dari etiologi

yang tidak jelas dan sel pre-T didalam sumsum tulang dan usus neonatal

telah dapat diidentifikasi. Namun, deskripsi lengkap dari differensiasi sel T

pada jaringan manusia ekstratimik masih belum dijelaskan. Penelitian

tersebut, menunjukkan jika perkembangan sel T terjadi di tonsil manusia,

dan penelitian lebih lanjut harus membahas proporsi dari sel tonsilar CD3+

didalam tonsil dibandingkan dengan dari timus. Masih diperdebatkan

dimana prekursor timus dan tonsil berasal dari derivat sumsum tulang

yaitu sel progenitor CD34+CD38dimCD45RA+ asal dari sel NK dan T di

jaringan. Namun, dari 5 populasi yang kami identifikasi, kami menemukan

perbedaan substansial ketika membandingkan CD34+CD38dimLin– dan

CD34+CD38brightLin– dari tonsil dan timus. Lebih spesifik lagi sel

CD34+CD38dimLin– mengekspreskan antigen sel T CD2, CD7, dan CD5,

dan sel tonsiler CD34+CD38dimLin–tidak mengekspresikannya. Oleh

karena itu, sangat mungkin jika populasi tersebut menunjukkan progenitor

yang jelas yang prekursor indepedent antara timus dan tonsil.

Alternatifnya, sangat mungkin jika timus dan tonsil memiliki prekursor

progenitor sel CD34+CD38dim namun fenotipe ketika sel tersebut masuk

dapat berubah karena lingkungan mikro pada timus atau tonsil seperti yang

terlihat pada tikus. Tentu saja, penelitian terbaru menunjukkan jika sel

benih CD34+CD45RA+CD10+CD7– terdapat di timus setelah lahir, dan

prekursor CD34+CD45RA+CD10+CD7+ belum dapat diidentifikasi pada

sumsum tulang postnatal atau darah perifer.Oleh karena itu, mungkin jika

kedua jaringan mendapatkan benih sel ini dari

CD34+CD38dimCD10+CD7– yang bersirkulasi dan sel ini dapat berperan

menjadi intermediate sel T di tiap jaringan. 3

12

Page 13: REFERAT THT Bismilllah

2. Natullar Killerr Cell pada Tonsil dalam Menghambat Transformasi

Epstein Barr Virus (EBV)

EBV membentuk infeksi persisten pada seluruh orang dewasa. Hal

yang menarik, sel NK dapat mencegah transformasi sel B oleh EBV

melalui sekresi dari sitokin antiviral IFN-c, dan sel NK dari tonsil dan

nodus limfatikus menghasilkan sitokin ini 5 kali lipat dibandingkan dari

pembuluh darah perifer. Data ini menunjukkan spesialisasi sel NK dari

tonsil, lokasi masuknya EBV dimukosa, dapat ditimulasi secara efisien

oleh sel dendritik yang teraktivasi EBV, dan membatasi transformasi sel B

diinduksi EBV hingga kontrol imun spesifik oleh komponen lain dari

sisem imun ditegakkan.9

Virus EBV adalah virus herpes-c limfotropik yang menginfeksi

lebih dari 90% populasi dewasa. Tanda khas dari virus ini adalah

kemampuannya yang onkogenik. Kemampuan mentransformasinya dapat

diperlihatkan secara in vitro dan in vivo di kedua grup yang

imunokompeten dan sering pada individu yang imunosupresan.

Selanjutnya, EBV menyebabkan tumor seperti penyaki limfoproliferatif

post transplantasi dan limfoma imunoblastik, sedangkan Ca nasofaring,

penyakit Hodgkin dan limfoma burkitt adalah malignansi yang paling

sering dihubungkan dengan malignansi pada individu imunokompeten.9

Sel NK dapat terlibat dalam fase awal respon imun spesifik

terhadap EBV. Sel NK merupakan limfosit innate yang berperan penting

dalam mengontrol infeksi dan pengawasan imun terhadap tumor.

Khususnya, setelah infeksi virus mereka diperkirakan menghambat beban

virus hingga sel T spesifik virus dapat mengeliminasi infeksi atau

mengontrol titer viral dalam jumlah yang rendah. 9

Telah diketahui, sel NK menghasilkan sitokin seperti IFN-c,

berproliferasi dan meningkatkan sitotoksisitasnya setelah aktivasi dari DC

myeloid dan plasmasitoid. Selanjutnya, DC mengaktivasi sel NK sesaat

13

Page 14: REFERAT THT Bismilllah

setelah infeksi dalam rangka menghambat replikasi patogen hingga sistem

imun adaptif menghasilkan kontrol imun jangka panjang. 9

Sel NK secara signifikan menghambat transformasi sel B oleh

EBV. Sel NK tonsiler lebih efisien dalam menghambat transformasi sel B

yang diinduksi EBV secara in vitro dibandingkan dari sel NK perifer dan

mensekresikan IFN-c dalam jumlah besar, yang terbukti cukup untuk

membatasi transformasi sel B oleh EBV yang disebabkan sekresi IFN-c

oleh sel NK teraktivasi sel DC, yang mengalami maturasi ketika terpapar

EBV, yang juga dapat menimbulkan sekresi oleh sel NK untuk

melindungi terhadap transformasi. Hal yang berlawanan pada hipotesis

jika sel NK mengontrol patogen melalui sitotoksisitas spontan yang

merupakan ide penamaan subset limfosit innate ini, menunjukkan jika

respon sel NK membutuhkan aktivasi oleh DC dan dimediasi oleh sitokin.

Data memberikan bukti untuk fungsi efektor antiviral langsung oleh sel

NK pada jaringan limfoid sekunder, yang menghambat infeksi EBV

hingga sistem imun adaptif secara efisien mengontrolnya. 9

D. Imunologi Tonsilitis Kronik dengan Hipertrofi atau tanpa Hipertrofi

Patologi inflamasi kronik pada tonsil umumnya sering ditemukan pada

anak-anak usia dekade pertama (3-10 tahun) , tetapi juga pada dewasa, yang

dimungkinkan terkait disfungsi lokal struktur epitelial. Hipertrofi tonsil

terjadi dengan folikular hiperplasia dan hipertrofi. Ada defisiensi sel-sel

proliferasi dalam menanggapi rangsangan mitogenik pada tonsilitis rekuren

dengan hipertrofi (RTTH). Folikel baru mungkin dibentuk dengan Sel B

karena berkurangnya sel-sel aktif proliferasi. Tonsil memiliki lokasi strategis

di pintu masuk dari aerodigestive saluran atas untuk kekebalan tubuh

terhadap patogen ingesti dan inhalasi. Perlindungan imun di daerah ini

tergantung pada kedua mekanisme pertahanan innate nonspesifik dan reaksi

imun spesifik adaptif. Tonsil memiliki kejadian untuk respons imun humoral

dan diperantarai sel. 10

14

Page 15: REFERAT THT Bismilllah

Infeksi dan hipertrofi adalah bagian dari reaksi imunologi dari tonsil

palatina dan tonsil faringeal. Tonsil palatina terkait dengan maturasi sel-B dan

diferensiasi berhubungan dengan aktivasi sel-T lokal. Banyak penelitian

menunjukkan peradangan dengan / tanpa hipertrofi dari adenoid dan tonsil

disebabkan oleh hipofungsi imunitas lokal atau sistemik. Namun, penyebab

hipertrofi tonsil dan efek dari tonsilitis rekuren pada komposisi sel-sel imun

masih kurang dimengerti.10,11

Semua kategori tonsil mengandung 4 kompartemen limfoid berikut:

epitelium kripte retikuler, area extrafollicular, zona folikel limfoid, dan

sentral folikular germinal. Karakteristik pusat germinal muncul dalam T-sel

yang tergantung respon sel-B. Folikel limfoid terutama mencakup resirkulasi

sel B. Epitelium kripte retikuler mengandung makrofag dan sel dendrit dalam

transpor antigen- antigen ke area sel T extrafollicular dan ke folikel sel B.

Adanya peningkatan jumlah sel B, sel T helper, dan sel T supressor

dilaporkan pada hipertrofi tonsil. Infiltrat padat dari sel dendritik S-100 yang

dilaporkan dalam mayoritas hiperplasti, sementara lebih sedikit ditemukan di

tonsil nonhiperplastik.10,11

Tonsil palatina dan jaringan adenoid merupakan tempat pertama virus

dan bakteri menginduksi aktivasi sel B-dan sel T dan menghasilkan jenis

tertentu reaksi imun terpolarisasi. Respon imun dibagi menjadi 2 jenis: (1)

respon imun humoral, yang tergantung pada sel B, sel plasma, dan antibodi,

dan (2) respon imun seluler, yang tergantung pada sel T dan sitokin. Tonsil

dan jaringan adenoid terkait sel T dan sel B dan memiliki prasyarat selular

untuk uptake antigen, proses, presentasi, dan kerjasama sel T dan sel B,

pematangan, dan diferensiasi. Tonsilitis muncul untuk dapat meningkatkan

baik respon primer dan sekunder sel T.10

Dalam studi Alatas et Baba, 2008 menunjukkan bahwa pembesaran

tonsil terjadi oleh hiperplasia folikel pada pasien dengan tonsil rekuren (RT).

Dalam proses ini, peningkatan jumlah folikel, meningkatkan kepadatan sel S-

100+ pada permukaan epitel, dan penurunan cyclin D1-mengekspresikan

15

Page 16: REFERAT THT Bismilllah

kepadatan sel di permukaan epitel secara statistik signifikan. Selain itu,

adalah peningkatan susunan papiler, kepadatan sel S-100+, dan kepadatan sel

CD20+ pada kripte epitelium dan penurunan kepadatan sel CD20+ di

permukaan epitelium, area extrafollikular, dan folikel, kepadatan sel

CD45RO+ di area extrafollicular sentral, dan siklin D1-mengekspresikan

densitas sel dalam folikel di RTTH bila dibandingkan dengan RT.

Menariknya, peningkatan atau penurunan cyclin D1-mengekspresikan

densitas sel adalah paralel dengan kenaikan atau penurunan dari sel CD20+

dalam mengekspresikan cyclin D1.10

Rosenmann et al menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam salah satu T-dan B-subset sel pada jaringan tonsil antara pasien dengan

hipertrofi tonsil idiopatik RT dan RTTH. Tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam subset sel T-dan B- antara RT dan kelompok RTTH;

Namun, berbeda dari studi mereka, yang meneliti perbedaan jumlah sel

CD20+ dalam kompartemen limfoid berbeda mencolok antara RT dan RTTH

kelompok, meskipun secara statistik tidak signifikan perbedaan. Sel dendritik

limfoid memainkan peran penting untuk presentasi antigen dalam respon

imun primer dan diyakini penting dalam respon sehat normal dari sistem

imun mukosa. Sel dendritik berfungsi untuk menangkap dan proses antigen

dan mempresentasikan ke limfosit B dan T. Ditemukan S-100 sel dendritik+

di permukaan epitel dan epitel crypt di tonsil, dan distribusi sel dendritik pada

dewasa tidak berbeda dibandingkan dengan anak-anak. Densitas infiltrat

dendritik S-100+ ditemukan di sebagian besar tonsil hiperplastik, sedangkan

pada tonsil nonhiperplastik ditemukan sedikit. Perbedaan distribusi, jumlah,

dan fenotif sel dendritik di permukaan dan epitelium kripte di tonsil baik

normal dan sakit yang diamati. Selama penyakit, sel dendritik menurun pada

permukaan epitel dan meningkat pada epitel kripte dan area extrafolikular.

Rasio sel dendritik di permukaan untuk crypt epitel adalah 1:1 untuk tonsil

normal tetapi turun sampai 1:3 untuk penyakit tonsil.10

Dalam penelitian Alatas dan Baba ditemukan bahwa kepadatan sel

dendritik S-100+ di permukaan dan kripte epitelium yang tinggi pada

16

Page 17: REFERAT THT Bismilllah

tonsilitis kronis. Kelompok kontrol memiliki densitas sel tinggi S-100+ pada

epitel permukaan, namun tidak ada S-100+ sel epitel kripte epitelium. Jumlah

sel-sel S-100+ di permukaan epitel pada kelompok RT secara signifikan lebih

rendah daripada kelompok RTTH. Rasio S-100+ dendritik sel di permukaan

epitel crypt adalah 0.5:1 pada kelompok RT, 1:0.8 dalam kelompok RTTH,

1:0.5 dalam kelompok AV, dan 01:00 pada kelompok kontrol. Epitel tonsil

palatina manusia terdiri dari 2 berbeda kompartemen: permukaan epitel dan

epitel crypt. Epitel tonsil ditandai sebagai lymphoepithelium. Integritas epitel

cryptal penting untuk fungsi imunologi tonsil palatina sebagai organ

pertahanan terhadap infections. 10Crypt epitel mungkin memiliki hambatan

epitel yang berbeda dari permukaan epitel. Juga, tingkat fungsi penghalang

dari epitel berbeda antara adenoid dan tonsil palatina. Selanjutnya,

peningkatan unsur limfoid adalah dilaporkan dalam hipertrofi tonsil: ada

peningkatan jumlah sel B, T helper sel, dan sel T penekan bila dibandingkan

dengan kontrol.10,11

Menariknya, densitas sel S-100+ rendah dan densitas sel CD20+

tinggi di epitel permukaan dan densitas sel CD20+ rendah dan densitas sel S-

100+ relatif tinggi di kripte epitelium pada kelompok RT. Dan

bagaimanapun, densitas sel S-100+ pada kripte dan epitel permukaan lebih

rendah dibandingkan kelompok RTTH. Temuan ini menunjukkan bahwa

fungsi barier limfoid epitelium berbeda antara pasien dengan RT, dan

RTTH.10

Analisis histologis komponen epitelial pada 44% kasus menunjukkan

adanya sebuah hiperparakeratosis di dasar kriptus dalam peradangan kronis

tonsil. Pada studi Alatas& Baba,2008 menunjukkan keratin di tonsil dijumpai

pada semua grup dan didemonstrasikan pada 66.7% kasus. 10,11

Alatas dan Baba menyatakan bahwa hipertrofi di RT dan Adenoid

Vegetation terjadi karena hiperplasia dan hipertrofi folikel. Koch dan

Brodsky menduga bahwa disfungsi limfosit lokal mungkin sebagai penyebab

tonsil rekuren dengan hiperplasia. Reaksi inflamasi lokal persisten di

adenotonsillitis dapat menyebabkan perubahan histomorphological dan

17

Page 18: REFERAT THT Bismilllah

defisiensi fungsional dalam pertahanan barriers. Pada studi Alatas dan Baba ,

mereka menginvestigasi entitas proliferasi sel aktif oleh kehadiran ekspresi

sel cyclin D1. Siklus sel terdiri atas 4 fase mayor yaitu gap 1(G1), DNA

sintesis (S), gap 2 (G2), dan mitosis.10

Gambar 6. Cyclin D1-mengespresikan sel secara Imunohistokimiawi pada

permukaan epitel pada pasien tonsilitis kronis.

Defisiensi sel CD20+ (atau sel B) dan proliferasi sel-sel aktif di tonsil

dapat menjadi penyebab utama dalam etiologi dan patogenesis hipertrofi

tonsil. Alatas dan Baba juga menambahkan adanya peningkatan stimulus

antigen pada anak-anak dengan RTTH dan mengontrol karena peningkatan

densitas sel S-100+ di epitel permukaan. Pada anak-anak, infeksi kronis

membahayakan atau mungkin berlangsung terus-menerus dapat dibombardir

dengan tidak diketahui banyak antigen asing dalam saluran napas atas yang

berbeda dari tonilitis kronis.10

Anders Ebenfelt mengungkapkan bahwa proses inflamasi

membutuhkan tempat di luar permukaan sel epitel. Ini terjadi dalam sekresi

dengan hampir tidak ada kontak langsung antara bakteri dan permukaan epitel

18

Page 19: REFERAT THT Bismilllah

dan tidak ada penetrasi bakteri dalam sel. Kedua tonsilitis dan hipertrofi tonsil

berhubungan dengan ditandai tingginya populasi sel imunologi aktif di tonsil

dibandingkan dengan kontrol. 10 Tampak bahwa profil bakteri tinggi di tonsil

menyebabkan tonsilitis dan menyebabkan hipertrofi tonsil tanpa gejala klinis

tonsilitis. Tonsil sangat rentan terhadap infeksi meskipun mereka dianggap

pelindung fungsi. Pada pemeriksaan, tampak ktipte epitel dengan

immunostaining cytokeratin pada kelompok tonsilitis dan kelompok pasien

hipertrofi tonsil.10,11

Bukti hasil pengamatan terakhir menunjukkan yaitu beban bakteri

yang meningkat dari tonsil dalam beberapa subjek penyebab tonsilitis dan

hipertrofi tonsil pada orang lain dan juga bahwa tonsil memiliki fungsi

imunologi khusus menunjukkan kerentanan bahwa untuk tonsilitis mungkin

ditentukan oleh sebuah imunologi 10,11

19

Page 20: REFERAT THT Bismilllah

BAB III

PEMBAHASAN

Secara histologis, tonsil yang mengalami inflamasi kronis sedikit

berbeda dengan yang normal, dimana masih sedikit diketahui, ada penurunan

sel limfosit teraktivasi dan sel yang mengandung imunoglobulin, yang dapat

secara primer, atau disebabkan karena infeksi. Tonsilitis terjadi ketika

organisme berkembang pada tonsil. Infeksi tersebut sering polimikrobial.

Adapun kecenderungan faktor predisposisi, meliputi kegagalan sistem imun

dan virulensi dari organisme itu sendiri. Bakteri dan infeksi viral itu sendiri

juga berkontribusi dalam inflamasi tonsilar. Infeksi kronik dengan virus

Epstten-Barr juga menurunkan resistensi host oleh organisme dengan

menstimulasi produksi sel T supresor.

Pada kejadian hipertrofi tonsil terjadi oleh hiperplasia dan hipertrofi

folikel. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran cyclin D1-sel pada pasien

dengan RTTH mengalami penurunan pada epitel permukaan dan folikel

tonsil. Menariknya, pada penelitian Alatas et Baba (2008), pada pasien

dengan RTTH, penambahan atau pengurangan jumlah cyclin sel D1-

mengekspresikan densitas sel dalam folikel itu paralel dengan kenaikan atau

penurunan dalam jumlah sel CD20+ dalam cyclin D1-mengekspresikan area

tanpa folikel. Mungkin ada 2 berbeda jawaban: (1) sel cyclin D1- siap untuk

mitosis, dan jumlah mereka menurun konsumsi selama folikular dan

hipertrofi peningkatan jumlah folikel. (2) Mungkin ada kekurangan

proliferasi sel-sel aktif di tonsil, dan kebutuhan peningkatan sel imun

mungkin dipasok dari tempat lain. Dari segi imunitas, hipertrofi folikel dan

pembentukan folikel baru terjadi pada RTTH. Dalam prosesnya, jumlah sel

CD20+ dan cyclin D1-sel menurun pada epitel permukaan pada pasien

tonsilitis rekuren dengan hipertrofi. Juga penurunan jumlah 50% sel cyclin

D1 dalam folikel dalam kelompok RTTH bila dibandingkan dengan

20

Page 21: REFERAT THT Bismilllah

kelompok tonsilitis rekuren, tetapi penurunan tersebut dalam jumlah sel

CD20+ kurang menonjol dari penurunan jumlah sel cyclin D1 dalam folikel.

Penurunan jumlah proliferasi sel aktif tidak paralel dengan penurunan jumlah

sel CD20+ dalam folikel pada kelompok tonsilitis rekuren dengan hipertrofi.

Dugaan pendapat, sel CD20+ (atau sel B) mungkin dipasok dari tempat lain

untuk formasi folikel baru karena terjadi penurunan proliferasi sel aktif pada

respon sel B terhadap stimulus mitogenik pada tonsilitis rekuren dengan

hipertrofi sehingga menyebabkan folikular hiperplasia.

Dalam hal tentang peran tonsil manusia dalam perkembangan sel T

ekstratimik di dalam tonsil, keduanya sama-sama berpotensi dalam

perkembangan sel T, karena fenotipe yang mirip dengan populasi di timus.

Dan menariknya adalah bahwa ada kemungkinan jika asal prekursor sel T

tonsil mengalami “kebocoran” timus dimana dapat diasumsikan jika sel

kemudian memasuki tonsil dengan pola acak di daerah interfolikular dekat

dengan sel T matur. Namun, agregasi yang konsisten dari prekursor sel T

dekat dengan regio fibrosa dari tonsil menunjukkan jika ruang ini

memberikan fungsi anatomis yang mendukung prekursol sel T ekstratimik

mengalami penempatan dan atau maturasi. Hipotesis ini didukung oleh

identifikasi Notch ligands, yang dibutuhkan untuk differensiasi sempurna sel

T, didalam regio yang sama dari tonsil manusia. 3Kapsul dari tonsil

berinvaginasi ke dalam kripte, dimana membentuk area dengan permukaan

luasi yang penting untuk paparan antigen asing.

Oleh sebab itu, proses respon imun penting yang terjadi pada tonsil

inilah yang dapat menjadi dasar pertimbangan untuk para dokter sebelum

tonsilektomi. Namun, tonsilektomi tidak akan sepenuhnya menghilang.

Dalam beberapa kasus, tindakan tersebut mutlak diperlukan.

Indikasi dari tonsilektomi umumnya meliputi infeksi kronik seperti

tonsilitis kronik atau obstruksi jalan nafas atas kronik yang bersamaan dengan

hipertrofi tonsil. Diagnosis dari tonsilitis kronis sangat penting dan efek dari

tonsilektomi pada integritas imunologis pasien masih diperdebatkan. Pada

keadaan ini, khususnya pada kasus kronik atau rekuren, tonsilektomi adalah

21

Page 22: REFERAT THT Bismilllah

pendekatan yang paling umum, namun masih kontroversial. Masih belum

jelas apakah manfaatnya melebihi kerugiannya, seperti eliminasi banyaknya

sel imunokompeten yang sering menimbulkan turunnya IgA serum. Selain

itu, perlu dipertimbangkan jika tonsila palatina yang besar bukan merupakan

indikasi tonsilektomi, karena tonsil anak normalnya lebih besar dibandingkan

dewasa dan akan mengalami involusi ketika remaja

Hal penting untuk menjadi kepentingan klinis dan ilmiah selanjutnya

pada penulisan ini, dalam hal respon imunologis tonsil pada tonsilitis kronis

adalah meliputi peran dari sel T tonsiler pada perkembangan penyakit

manusia masih belum diketahui. Mengenai sel T dapat berkembang

ekstratimus pada jaringan meningkatkan kemungkinan jika tonsil dapat

mendukung pembentukan dari limfosit T autoreaktif atau juga berkontribusi

pada perubahan malignansi. Selain itu, peran dari sel T ekstratimik pada

tonsil selama inflamasi juga dapat dipelajari lebih lanjut.

22

Page 23: REFERAT THT Bismilllah

BAB IV

KESIMPULAN

Tonsil memiliki peran imunologis penting dalam tubuh manusia.

Sehubungan dengan penemuan terbaru pada studi penilitian 2012 yaitu peran

tonsil manusia dalam perkembangan sel T ekstratimik selain timus, keduanya

sama-sama berpotensi dalam perkembangan sel T, karena fenotipe yang mirip

dengan populasi di timus.

Penyebab utama dalam etiologi dan patogenesis hipertrofi tonsilitis

rekuren yaitu defisiensi sel CD20+ (atau sel B) dan proliferasi sel-sel aktif dalam

respon terhadap stimulasi mitogenik di tonsil. Pembentukan folikel baru

dimungkinkan oleh adanya suplai sel B dari tempat lain karena defisiensi dari

proliferasi sel aktif.

Indikasi dari tonsilektomi mutlak dilakukan atas dasar indikasi jelas,

umumnya penting dilakukan untuk infeksi kronik seperti tonsilitis kronik dengan

hipertrofi atau obstruksi jalan nafas atas kronik yang bersamaan dengan hipertrofi

tonsil.

23

Page 24: REFERAT THT Bismilllah

DAFTAR PUSTAKA

1. Sakka, I et al. Kadar imunoglobulin A sekretori pada penderita tonsilitis kronik sebelum dan setelah tonsilektomi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas hasanuddin Makassar – Indonesia.2010. laporan kasus.pp.1-7

2. Muharjo. Pengaruh Adenotonsilektomi pada Anak Adenotonsilitis Kronis Obstruktif terhadap Imunitas.SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS).2002. hal1-5

3. McClory, S. Evidence for a stepwise program of extrathymic T cell development within the human tonsil. The Journal of Clinical. Volume 122 Number 4 April 2012. Pp.1403-14. http://www.jci.org/articles/view/46125

4. Skevas, et al. Measuring Quality of Life in Adult Patients with Chronic Tonsillitis. Department of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, University of Heidelberg, GermanyThe Open Otorhinolaryngology Journal, 2010, 4, 34-46 1874-4281/.

5. Bista M, Amatya RCM, and Basnet P. Tonsillar microbial flora: A comparison of infected and noninfected tonsils. Kathmandu University Medical Journal.2006. Vol. 4, No. 1, Issue 13, 18-21. http://www.kumj.com.np/issue/13/18-21.pdf

6. Scadding,G.K. 2008. Immunology of the tonsil; a Review Journal of the Royal Society of Medicine Volume 83 February 1990http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1292508/pdf/jrsocmed001

39-0057.pdf

7. Bernstein et al. Immunobiology of The Tonsils and Adenoids in Mucosal Immunology. Third editon. Elsevier.pp1552-6

8. Mal, RK., Oluwasanmi, A.F and Mitchard J.R. Tonsillar Crypts and Bacterial Invasion of Tonsils: A Pilot Study. The Open Otorhinolaryngology Journal, 2010, 4,83-86. http://www.benthamscience.com/open/tootorj/articles/V004/83TOOTORJ.pdf

24

Page 25: REFERAT THT Bismilllah

9. Strowig,T. Tonsilar NK Cells Restrict B Cell Transformation by the Epstein-Barr Virus via IFN-c. February 2008 | Volume 4 | Issue 2 | e27

10. Necat Alatas, MD; Fusun Baba, MD. Proliferating Active Cells, Lymphocyte Subsets, and Dendritic Cells in Recurrent Tonsillitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2008;134(5):477-483

11. Ugraş, S & Kutluhan, A. Chronic Tonsilitis can be Diagnosed with Histopathologic Findings. Eur J Gen Med 2008;5 (2):95-103.

 

25