Referat Tenggelam Yg Bener
Embed Size (px)
description
Transcript of Referat Tenggelam Yg Bener

P a g e | 1
BAB I
Pendahuluan
Definisi mati merupakan berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ vital
(paru-paru, jantung, dan otak) sebagai satu kesatuan yang utuh yang ditandai dengan
berhentinya konsumsi oksigen. Kematian dapat terjadi dengan berbagai cara, seperti luka
tusuk, luka tembak, terbakar, terjerat, tenggelam, masih banyak cara kematian yang mungkin
terjadi. Lebih lanjut akan di bahas mengenai kematian dengan cara tenggelam.
Kematian karena tenggelam terjadi akibat asfiksia. Asfiksia meruppakan suatu
keadaan yang ditandai dengan gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan
oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida atau
keadaan hiperkapnea.
Tenggelam dapat di bagi menjadi dua berdasarkan kondisi paru yaitu typical dan
atypical, sedangkan typical ini sendiri di bedakan menjadi dry drowning, Immersion
Syndrome, sub emersion of the unconscious, dan Delayed death.

P a g e | 2
BAB II
Tenggelam
2.1 Definisi Terbenam atau Tenggelam
Kematian karena tenggelam atau terbenam adalah salah satu bentuk dari mati lemas/
asfiksia, dimana asfiksia tersebut dapat disebabkan karena korban terbenam seluruhnya
atau sebagian terbenam di dalam benda cair. (1,2)
Peyidikan pada kasus-kasus tersebut perlu dilakukan dengan baik oleh karena selain
kasusnya banyak ditemukan namun perlu juga dilakukan penentuan apakah kasus
terbenam itu kasus kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan. Penyidikan ditujukan
terutama untuk mendapat kejelasan apakah korban masih hidup sewaktu terbenam atau
sudah menjadi mayat sewaktu dibenamkan.(1,2)
2.2 Klasifikasi Tenggelam
2.2.1 Klasifikasi tenggelam berdasarkan kondisi paru adalah: (2,3)
1. Typical drowning (wet drowning)
Pada typical drowning ditandai dengan adanya hambatan pada saluran nafas
dan paru karena adanya cairan yang masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini
cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban tenggelam. Pada kasus
wet drowning ada tiga penyebab kematian yang terjadi, yaitu akibat asfiksia,
fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air tawar, dan edema paru pada kasus
tenggelam air asin. Tanda yang ditemukan pada typical drowning berupa busa
halus pada saluran nafas, emphysema aquosum (emphysema hydroaerique),
adanya benda asing di saluran nafas, paru atau lambung, pendarahan di liang
telinga, perdarahan konjungtiva, dan kongesti pembuluh darah vena.
2. Atypical drowning

P a g e | 3
Pada atypical drowning ditandai dengan sedikitnya atau bahkan tidak adanya
cairan dalam saluran nafas. Karena tidak khasnya tanda otopsi pada korban
atypical drowning maka untuk menegakkan diagnosis kematian selain tetap
melakukan pemeriksaan luar juga dilakukan penelusuran keadaan korban sebelum
meninggal dan riwayat penyakit dahulu.
Atypical drowning dibedakan menjadi : (4)
a. Dry drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernafasan, akibat
spasme laring. Dry drowning dapat terjadi secara klinis atau karena panyakit atau
kecelakaan atau karena cedera berulang seperti pada olahraga selancar.
Mekanisme yang dapat menyebabkan dry drowning antara lain:
Paralisis otot
Luka tusuk pada torso yang mempengaruhi kemampuan diafragma untuk
melakukan gerakan respirasi
Perubahan pada jaringan yang mengabsorbsi oksigen
Spasme laring yang persisten pada saat terbenam air
Menghirup udara selain oksigen yang tidak membunuh secara langsung seperti
helium
Kelebihan cairan dalam tubuh yang menyebabkan penurunan kadar sodium
dalam darah yang kemudian menyebabkan edema otak.
Menurut teori adalah bahwa ketika sedikit air memasuki laring atau trakea, tiba
tiba terjadi spasme laring yang dipicu oleh vagal refleks, lendir tebal, busa dan buih
dapat terbentuk, menghasilkan plug fisik pada saat ini. Dengan demikian, air tidak
pernah memasuki paru-paru. Volume darah sirkulasi meningkat pada daerah paru
akibat penarikan semua darah dari abdomen, kepala dan ekstremitas yang
ditimbulkan oleh tekanan negative yang meningkat pada paru. Terjadi pula
perubahan vascular pada daerah paru. Pembuluh darah yang membawa daerah yang
kaya oksigen menjadi sangat sempit dan hanya cukup satu sel darah merah yang
dapat melewati pembuluh darah tersebut. Dinding pembuluh darah juga menjadi tipis

P a g e | 4
yang memungkinkan oksigen masuk ke dalam darah dan karbondioksida dikeluarkan
dari darah. Pada kasus dry drowning tidak terjadi pertukaran gas karena tidak adanya
oksigen dalam paru. Sedangkan tekanan negatif yang muncul menyebabkan
tertariknya cairan dari pembuluh darah ke dalam paru sehingga menyebabkan edema
paru dan pasien tenggelam karena cairan tubuhnya sendiri.
Pada saat yang sama, system simpatik merespon kondisi spasme pada laring.
Sistem ini menyebabkan vasokontriksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah yang akhirnya memperburuk proses edema paru yang sudah ada.
b. Immersion syndrome (vagal inhibition)
Terjadi dengan tiba-tiba pada korban tenggelam di air yang sangat dingin (<200
C atau 680 F) akibat reflek vagal yang menginduksi disaritmia yang menyebabkan
asistol dan fibrilasi ventrikel sehingga menyebabkan kematian. Umumnya korban
berusia muda dan mengkonsumsi alcohol. Refleks ini dapat juga timbul pada korban
yang masuk ke air dengan kaki terlebih dulu yang menyebabkan air masuk ke
hidung, atau teknik menyelam yang salah dengan masuk air dalam posisi horizontal
sehingga menekan perut. Tidak akan ditemukan tanda-tanda khas dari tenggelam
diagnosis ditegakkan dengan menelusuri riwayat korban sebelum meninggal.
c. Sub emersion of the unconscious
Bisa terjadi pada korban yang memanng menderita epilepsy atau menderita
penyakit jantung khususnya hipertensi atau peminum yang mengalami trauma kepala
saat masuk ke air atau dapat pula pecahnya aneurisma serebral dan muncul cerebral
hemorrhage yang terjadi tiba-tiba.
d. Delayed death (near drowning and secondary drowning)
Pada jenis ini, korban yang sudah ditolong dari dalam air tampak sadar dan bisa
bernafas sendiri tetapi secara tiba-tiba kondisinya memburuk. Pada kondisinya
memburuk. Pada kasus ini terjadi perubahan kimia dan biologi paru yang
menyebabkan kematian terjadi lebih dari 24 jam setelah tenggelam di dalam air.

P a g e | 5
Kematian terjadi karena kombinasi pengaruh edema paru dan gangguan elektrolit
(asidosis metabolic)
2.2.2 Perbedaan tenggelam di air tawar dan air asin (2)
1. Tenggelam di air tawar
Sejumlah besar air masuk ke dalam saluran pernafasan hingga ke paru-paru,
mengakibatkan perpindahan air secara cepat melalui dinding alveoli karena tekanan
osmotic yang besar dari plasma darah yang hipertonis. Kemudian diabsorbsi ke
dalam sirkulasi dalam waktu yang sangat singkat dan menyebabkan peningkatan
volume darah hingga 30% dalam menit pertama. Akibatnya sangat besar dan
menyebabkan gagal jantung akut karena jantung tidak dapat berkompensasi dengan
cepat terhadap volume darah yang sangat besar (untuk meningkatkan cardiac output
dengan cukup). Akibat hipotonisitas plasma darah yang mengalami dilusi, terjadi
rupture sel darah merah (hemolisis) , pengeluaran kalium ke dalam plasma
(menyebabkan anoksia miokardium yang hebat). Mekanisme dasar kematian yang
berlangsung vepat diakibatkan oleh serangan jantung yang sering kali berlangsung
dalam 2-3 menit.
2. Tenggelam di air asin
Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada darahm sehingga air
akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstisial paru yang akan
menimbulkan edema pulmoner, hemokonsentrasi , hipovolemi. Hemokonsentrasi
akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah
jantung. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.
2.3 Mekanisme Tenggelam (5)
Terendam dalam medium cair mengakibatkan kematian dengan berbagai
mekanisme. Kebanyakan kematian individual terjadi akibat dari terhirupnya cairan
(typical (khas) atau `wet` drowning / tenggelam basah), menghasilkan gangguan
pernapasan dan selanjutnya hipoksia serebri. Sebagian, diperkirakan sekitar 15-20%,
tidak menghirup cairan (atypical (tidak khas) atau `dry drowning`/ tenggelam kering).

P a g e | 6
Kemungkinan lain, kematian dapat tertunda, setelah episode near-drowning / hampir
tenggelam; kematian biasanya terjadi akibat ensefalopati hipoksia atau perubahan-
perubahan sekunder dalam paru-paru. Pada beberapa kasus, khususnya dimana keadaan
terapung dipertahankan secara buatan, kematian terjadi akibat hipotermia.
Ketika seseorang terbenam di bawah permukaan air, reaksi awal yang dilakukan
ialah mempertahankan nafasnya. Hal ini berlanjut hingga tercapainya batas kesanggupan,
dimana orang itu harus kembali menarik nafas kembali. Batas kesanggupan tubuh ini
ditentukan oleh kombinasi tingginya konsentrasi Karbondioksida dan konsentrasi rendah
Oksigen di mana oksigen dalam tubuh banyak digunakan dalam sel. Menurut Pearn, batas
ini tercapai ketika kadar PC02 berada diatas 55 mm Hg atau merupakan ambang hypoxia,
dan ketika kadar Pa02 di bawah 100 mmHg ketika PC02 cukup tinggi. (1)
Ketika mencapai batas kesanggupan ini, korban terpaksa harus menghirup
sejumlah besar volume air. Sejumlah air juga sebagian tertelan dan bisa ditemukan di
dalam lambung. Selama pernapasan dalam air ini, korban bisa juga mengalami muntah
dan selanjutnya terjadi aspirasi terhadap isi lambung. Pernapasan yang terengah-engah di
dalam air ini akan terus berlanjut hingga beberapa menit, sampai akhirnya respirasi
terhenti. Hipoksia serebral akan semakin buruk hingga tahap irreversibel dan terjadilah
kematian. Faktor-faktor yang juga menentukan sejauh mana anoksia serebral menjadi
irreversibel adalah umur korban dan suhu di dalam air. Misalnya pada air yang cukup
hangat, waktu yang diperlukan sekitar 3 hingga 10 menit. Tenggelamnya anak-anak pada
air dengan suhu dingin yang cukup ekstrim selama 66 menit masih bisa tertolong melalui
resusitasi dengan sistem syaraf/neurologik tetap utuh. Juga, berapa pun interval waktu
hingga terjadi anoksia, penurunan kesadaran selalu terjadi dalam waktu 3 menit setelah
tenggelam. (1)
Akan tetapi jika korban terlebih dahulu melakukan hiperventilasi saat terendam ke
dalam air. Hiperventilasi dapat menyebabkan penurunan kadar CO2 yang signifikan.
Kemudian hipoksia serebral karena rendahnya P02 dalam darah, bersamaan dengan
penurunan hingga hilangnya kesadaran, dapat terjadi sebelum batas kesanggupan
(breaking point) tercapai. (1)
Terdapat sejumlah perubahan-perubahan akibat hal tersebut pada paru-paru.
Refleks vasokonstriksi mengakibatkan hipertensi pulmonal, dan bronkokonstriksi dengan
akibat meningkatnya tahanan jalan nafas, keduanya terjadi. Fungsi paru menurun dengan

P a g e | 7
drastis akibat surfaktan mengalami denaturasi; hal ini, bersama-sama dengan kehilangan
cepat jaringan paru yang tersedia untuk pernapasan normal, menghasilkan rasio
ventilasi/perfusi yang secara mencolok tampak abnormal. Pada tingkat selular terdapat
gangguan luas dari lapisan endotelial vaskular dan sel-sel epitel bronkial/alveolar. (5)
Air yang diaspirasi dengan cepat melewati septum alveolar dan dinding kapiler
dan meninggalkan paru-paru dalam bentuk darah yang kini telah diencerkan. Air laut
secara osmotik bersifat hipertonik, 3-4 kali lebih kuat dari plasma (sekitar 3.5% garam
terlarut); cairan, karenanya, ditarik keluar dari darah kedalam ruang-ruang alveolar.
Perubahan yang diakibatkaan pada tegangan permukaan di paru mengakibatkan
ketidakstabilan alveoli dan berbagai derajat kolaps. Cairan alveoli yang bocor ini
tertimbun dalam ruangan-ruangan udara dan penimbunan cairan sekunder tersebut dalam
paru-tenggelam sekunder-dapat mengakibatkan kematian. Derajat edema dapat
ditingkatkan oleh faktor-faktor tambahan lebih jauh seperti sifat kimia dari medium
cairan yang diinhalasi, adanya muntahan atau infeksi yang teraspirasi. (5)
Terdapat perubahan-perubahan patofisiologi sistemik lebih lanjut yang
berhubungan dengan inhalasi cairan. Terdapat bukti percobaan yang dimana terdapat
perubahan-perubahan yang bermakna terhadap perubahan volume darah, osmolaritas,
kekentalan dan kadar elektrolit plasma yang terjadi. Perubahan-perubahan tersebut secara
umum tidak dijumpai pada keadaan klinis atau sedikit bermakna secara klinis. Tentu saja,
berlainan dengan yang terjadi pada cairan yang dihirup pada insiden near-drowning,
pasien dapat mengalami hipovolemik yang bermakna sebagai akibat kehilangan cairan
kedalam paru-paru dan jaringan sistemik. (5)
Sebagaimana yang sudah diindikasikan, sekitar 15-20% kematian akibat
tenggelam merupakan `dry` drowning (tenggelam kering) dimana tidak terdapat inhalasi
dalam daripada cairan. Hipoxia merupakan masalah utama yang sering diakibatkan, tetapi
dengan adanya spasme glottis yaitu jika sejumlah kecil volume air yang memasuki laring
atau trakea, ketika itu pula tiba-tiba terjadi spasme laring akibat pengaruh reflex vagal.
Mukosa yang kental, berbusa, dan berbuih dapat dihasilkan, hingga menciptakan suatu
‘perangkap fisik’ yang menyumbat jalan napas. ‘Spasme laring’ tidak dapat ditemukan
pada saat otopsi karena pada kematian telah terjadi relaksasi otot-otot laring. Dalam
situasi yang lain, terjadi peningkatan cepat tekanan alveoli - arterial, yang terjadi pada
saat air teraspirasi sehingga menyebabkan hypoxia progresif. (1)

P a g e | 8
Beberapa faktor secara terpisah dapat memudahkan kematian dengan mekanisme ini: (1)
Intoksikasi alkohol (mungkin akibat penekanan aktifitas kortikal yang mempengaruhi
akitivitas simpatis dan parasimpatis yang tidak terkekang)
Adanya penyakit alamiah yang mendasari seperti atherosklerosis koroner.
Terendam dalam cairan dengan terkejut, secara tidak terduga
Takut atau telah melakukan aktifitas fisik yang penuh semangat sebelumnya
(meningkatkan katekolamin yang beredar, bersama dengan timbunan oksigen, dapat
memudahkan terjadinya aritmia jantung)
2.4 Pemeriksaan Post Mortem
1. Pemeriksaan Luar
Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau merah gelap. Pada
pembusukan lanjut tampak gelembung-gelembung pembusukan, terutama bagian atas
tubuh, dan skrotum serta penis pada pria dab labia mayora pada wanita, kulit telapak
tangan dan kaki mengelupas. Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina) , sering
dijumpai; keadaan ini terjadi selama interval antara kematian somatik dan seluler, atau
merupakan perubahan post mortal karena terjadinya rigor mortis. Cutis anserina tidak
mempunyai nilai sebagai kriteria diagnostik. (2)
Busa halus putih yang berbentuk jamur (mushroom-like mass) tampak pada
mulut atau hidung atau keduanya. Terbentuknya busa halus tersebut adalah masuknya
cairan ke dalam saluran pernapasan merangsang terbentuknya mukus, substansi ini ketika
bercampur dengan air dan surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena adanya
upaya pernapasan yang hebat. Pembusukan akan merusak busa tersebut dan terbentuknya
pseudofoam yang berwarna kemerahan yang berasal dari darah dan gas pembusukan. (2)
Perdarahan berbintik (petechial haemorrhages), dapat ditemukan pada kedua
kelopak mata, terutama kelopak mata bagian bawah. Pada pria denitalianya dapat
membesar, ereksi atau semi-ereksi. Namun yang paling sering dijumpai adalah semi-
ereksi. Pada lidah dapat ditemukan memar atau bekas gigitan, yang merupakan tanda
bahwa korban berusaha untuk hidup, atau tanda sedang terjadi epilepsi, sebagai akibat
dari masuknya korban ke dalam air. (2)

P a g e | 9
Cadaveric spasme, biasanya jarang dijumpai, dan dapat diartikan bahwa
berusaha untuk tidak tenggelam, sebagaimana sering didapatkannya dahan, batu atau
rumput yang tergenggam, adanya cadaveric spasme menunjukkan bahwa korban masih
dalam keadaan hidup pada saat terbenam. (2)
Luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bagian depan dapat terjadi
akibat persentuhan korban dengan dasar sungai, atau terkena benda-benda di skeitarnya;
luka-luka tersebut seringkali mengeluarkan “darah”, sehingga tidak jarang memberi kesan
korban dianiaya sebelum ditenggelamkan. (2)
Pada kasus bunuh diri dimana korban dari tempat yang tinggi terjun ke sungai,
kematian dapat terjadi akibat benturan yang keras sehingga menyebabkan kerusakan pada
kepala atau patahnya tulang leher. Bila korban yang tenggelam adalah bayi, maka dapat
dipastikan bahwa kasusnya merupakan kasus pembunuhan. Bila seorang dewasa
ditemukan mati dalam empang yang dangkal, maka harus dipikirkan kemungkinan
adanya unsur tindak pidana, misalnya setelah diberi racun korban dilempar ke tempat
tersebut dengan maksud mengacaukan penyidikan. (2)
2. Pemeriksaan Dalam
Diagnosis kematian akibat tenggelam kadang-kadang sulit ditegakkan, bila
tidak di temukan tanda yang khas baik pada pemeriksaan luar atau dalam. Pada mayat
yang ditemukan terbenam dalam air, perlu diingat bahwa mungkin korban telah meninggal
sebelum masuk ke dalam air. (2)
Sebelum kita melakukan pemeriksaan dalam pada korban tenggelam, kita
perlu memperhatikan apakah mayat tersebut sudah dalam keadaan pembusukan lanjut atau
belum. Apabila mayat telah mengalami pembusukan lanjut, maka pemeriksaaan dan
pengambilan kesimpulan akan menjadi lebih sulit.(2)
Pada pemeriksaan dalam ditemukan tanda-tanda seperti : (6)
a. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air) dalam saluran
pernapasan (trakea dan percabangannya).
b. Paru-paru membesar seperti balon, lebih berat, sampai menutupi kandung
jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Keadaan ini terutama terjadi
pada kasus tenggelam di laut.

P a g e | 10
c. Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit di antara septum inter alveolar.
Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan yang disebut bercak paltauf
akibat robeknya penyekat alveoli (polsin), petekie subpleural dan bula
emfisema jarang terdapat dan bukan merupakan tanda khas tenggelam tetapi
mungkin disebabkan oleh usaha respirasi.
d. Dapat juga di temukan paru-paru yang biasa karena cairan tidak masuk ke
dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah melalui proses
imbibisi, ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air tawar.
e. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan.
f. Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan sebagainya yang
mungkin pula terdapat dalam usus halus.
3. Pemeriksaan diatome (4)
Alga (ganggang) bersel satu dengan dinding terdiri dari silikat (SiO2) yang
tahan panas dan asam kuat. Diatom ini dapat dijumpai dalam air tawar, air laut, air
sungai, air sumur dan udara.
Diatoms biasanya ditemukan di dalam air seperti kolam, danau, sungai, kanal
dan lain lain, akan tetapi konsentrasinya dapat tinggi atau rendah di dalam air
tertentu, tergantung pada musim. Berdasarkan karakteristik lain yaitu kedalaman air
tidak didapatkan bukti adanya pertumbuhan diatom di bawah 100m.
Pemeriksaan diatome dilakukan pada jaringan paru yang masih segar, bila
mayat telah membusuk , pemeriksaan diatom dilakukan dari ginjal, otot skelet atau
sumsum tulang paha.
Tes dilakukan untuk menentukan adanya diatome pada jaringan tubuh. Jika
pada otak, hati atau sumsum tulang ditemukan diatome maka hal ini dapat dijadikan
bukti kuat terjadinya peristiwa tenggelam. Pada mayat yang sudah membusuk, dimana
kelainan-kelainan yang dapat memberi petunjuk tenggelam sulit ditemukan maka tes
ini akan sangat bermanfaat.
Pada korban mati tenggelam diatome akan masuk ke dalam saluran
pernapasan dan saluran pencernaan, karena ukurannya yang sangat kecil, ia di
absorpsi dan mengikuti aliran darah pada waktu korban masih hidup. Diatome ini

P a g e | 11
dapat sampai ke hati, paru, otak, ginjal dan sumsum tulang. Bila diatome positif
berarti korban masih hidup sewaktu tenggelam.
Pada saat tenggelam berlangsung, diatom masuk ke rongga paru-paru
seseorang yang terbuka ketika air terisap, dan air yang masuk menekan rongga paru-
paru dan memecahkan alveoli. Melalui alveoli yang pecah diatoms dapat masuk ke
jantung, hati, ginjal, sumsum tulang dan otak. Pada diameter dan ketebalan alveoli
paru-paru diketahui sangat kecil akan tetapi tidak mustahil semua diatom-diatom
dapat masuk ke dalam organ dan rongga paru-paru dimana dapat menembus melalui
jaringan kapiler ini disebut “ Drowning Associated Diatoms” (DAD). (4)
Sebelum hasil diagnosa kematian dengan korban tenggelam haruslah
diketahui morfologi dan morphometric suatu diatom dari korban tenggelam sebab
penetrasi suatu diatom di kapiler paru-paru tergantung atas kepadatan dan ukuran
diatom tersebut.
Saat ini penggunaan analisa diatome cenderung digunakan pada sistem yang
tertutup seperti sumsum tulang femur atau kapsul ginjal dari tubuh yang belum
membusuk. sebaiknya diatom yang ditemukan harusnya cocok dari sumsum tulang
dan tempat dimana tenggelam, ini merupakan bukti yang kuat yang dapat mendukung
dan dapat menyimpulkan seseorang tenggelam pada saat masih hidup atau tidak..
Cara pemeriksaan diatome adalah (4)
i. Ambil jaringan paru sebanyak 150-200 gram, bersihkan lalu masuk ke dalam
tabung Erlenmeyer, masukkan H2SO4 pekat sampai menutup seluruh jaringan
paru dan biarkan selama 24 jam sehingga seluruh jaringan paru hancur dan
seperti bubur hitam,
ii. Panaskan dengan api yang kecil sampai mendidih sehingga semuanya benar-
benar hancur
iii. Tuangkan ke dalamnya beberapa tetes HNO3 pekat, sampai warnanya kuning
jernih
iv. Cairan disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000rpm

P a g e | 12
v. Sedimennya dicuci dengan akuades kemudian disentrifuge lagi. Sedimennya
dilihat dibawah mikroskop. Periksalah kerangka diatome yang berupa sel-sel
yang cerah dengan dinding bergaris-garis bentuk bulat, panjang, dan lain-lain. (6,7)
Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan cukup banyak,
4-5/LPB atau 10-20 per satu sediaan; atau pada sumsum tulang cukup ditemukan
hanya satu.(6)
Asterionella sp. Cymatopleura sp.
Coscinodiscus sp.

P a g e | 13
Triceratium sp. Bellerochea sp.
Melosira sp. (Auxospores) Amphiprova sp
Achnanthes sp. Amphipleura sp.
Anomoeneis sp.

P a g e | 14
Biddulphia sp. Cyclotella sp.
Surirella sp.
Penyokong berupa teknik yang menekankan pada penunjukkan terdapatnya
sejumlah diatom dalam jumlah yang bermakna yang diperoleh dari tubuh yang
diangkat dari air dapat menegaskan: (7,8)
Bahwa kematian merupakan akibat dari tenggelam.
Bahwa seseorang masih hidup saat air masuk.
Tempat tenggelam dengan membandingkan spesies diatom dalam air
dan dalam tubuh.
1. Pemeriksaan getah paru.
Permukaan paru disiram dengan air bersih, iris bagian perifer, ambil sedikit
cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek tutup dengan kaca
penutup dan lihat dengan mikriskop. Selain diatom dapat pula terlihat ganggang atau
tumbuhan jenis lainnya.6
Pemeriksaan getah paru yang diperiksa adalah getah paru subpleural dengan
syarat paru-paru belum mengalami pembusukan, yang dicari adalah benda asing yang
berasal dari air setempat, misalkan :pasir, lumpur, telur cacing, tanaman air.9

P a g e | 15
Beberapa kemungkinan kesimpulan dari pemeriksaan getah paru : (8)
o Getah paru (+), tidak ditemukan sebab kematian lain, kemungkin korban mati
tenggelam.
o Getah paru (+), ditemukan sebab kematian lain , Mungkin meninggal karena
tenggelam, mungkin karena sebab lain
o Getah paruh (-), mungkin meninggal dalam air jernih, mungkin karena vagal
reflek & spasme larynx, mungkin dimasukkan ke dalam air setelah korban
meninggal dunia.
2. Gettler chloride (pemeriksaan darah jantung)
Sejumlah tes telah dikembangkan dalam beberapa tahun untuk menentukan
korban tenggelam. Yang paling terkenal ialah tes Gettler chloride, dimana darah
dianalisa dari sisi kanan dan kiri jantung. Jika level chloride kurang pada sisi kanan
daripada sisi kiri, korban disangka telah tenggelam dalam air garam. Jika lebih tinggi
pada sisi kanan jantung daripada sisi kiri, maka diperkirakan korban tenggelam dalam
air tawar. Tes juga dilakukan untuk elemen lain pada darah, seperti membandingkan
grafitasi spesifik darah pada kanan dan kiri atrium. Semua tes yang telah disebut di
atas tidak pasti dan tidak mendukung dalam menyimpulkan tenggelam.6
Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat menyokong diagnosis,
walaupun secara tersendiri kurang bermakna.6
Tes ini untuk mengetahui ada tidakanya hemodilusi atau hemokonsentrasi
pada masng-masing sisi dari jantung, dengan cara memeriksa gaya berat spesifik dan
kadar elektrolit antara lain kadar sodium atau chlorida dari serum masing-masing sisi.
Tes ini baru dianggap reliabel jika dilakukan dalam waktu 24 jam setelah kematian.9

P a g e | 16
DAFTAR PUSTAKA
1. Dimaio V, Dimaio D. Death by drowning in Forensic Pathology. Second edition. CRC
press LLC. 2001.
2. Mun’im A. Tenggelam. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Binarupa Aksara.
Jakarta. 1997.
3. Smith S. Mati terbenam/tenggelam. Bagaimana Dokter Mengetahui Sebab Kematian.
Medical Group.
4. Singh R, Kumar M, ell. Drowning Associated Diatoms. Department of Forensic Science.
Punjabi University. [cited 2008 Mar 5] available from : http://www.icmft.org
5. Krishan Vij,2011,Textbook of Forensic Medicine and Toxicology : Principles and
practice,5/e
6. Budiyanto A, Widiatmika W, Sudiono S, Winardi T, Mun’in A, et al, 1997, Ilmu
kedokteran Forensik, FKUI, Jakarta
7. RAO D, Dr. Dinesh Rao’s Forensic Pathology, Drowning,
http://www.forensicpathologyonline.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=101&Itemid=125
8. Apuranto, H. Asphyxia. 2010.
www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Forensik/ASPHYXIA.pdf
9. Wilianto W. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam. Cited 24 Desember
2013. Available from : http://journal.unair.ac.id/filerPDF/5%20DIATOM%20_fiish_.pdf
10. Chada V. Kematiaan akibat asfiksia. Ilmu Forensik dan Toksikologi. Widya Medika.
Jakarta. 1995.

P a g e | 17
11. Dahlan S,2000, Ilmu kedokteran forensic: pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Badan penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.