Referat TB Paru

49
REFERAT TUBERCULOSIS PARU Disusun Oleh : 1. Taufik Rahman J500090032 2. Adhitya Gilang Tintyarza J500070027 3. Nadira Fasha Agfrianti J500090103 Pembimbing: dr. Krisbianto Sp.P KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU 1

description

ghdgusujty

Transcript of Referat TB Paru

Page 1: Referat TB Paru

REFERAT

TUBERCULOSIS PARU

Disusun Oleh :

1. Taufik Rahman J500090032

2. Adhitya Gilang Tintyarza J500070027

3. Nadira Fasha Agfrianti J500090103

Pembimbing: dr. Krisbianto Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU

RSUD DR HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2014

1

Page 2: Referat TB Paru

2

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

TUBERCULOSIS PARU

Yang diajukan oleh :

1. Taufik Rahman J500090032

2. Adhitya Gilang Tintyarza J500070027

3. Nadira Fasha Agfrianti J500090103

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta,

Mengetahui :

dr. Krisbianto Sp.P (........................................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU

RSUD DR HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2014

Page 3: Referat TB Paru

3

DAFTAR ISI

DAFTARISI ………………………………………………………………….. i

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………….… 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI ……………………………………………….……….... 6

2.2. KUMAN TUBERCULOSIS………………………………………. 6

2.3. CARA PENULARAN ………………………………………..…… 7

2.4. RESIKO PENULARAN ……………………………..….………… 8

2.5. PATOGENESIS …………………………………………………… 8

2.6. DIAGNOSIS……………………………………..……..………….. 9

2.7. KOMPLIKASI…………………………………………….….…… 16

2.8. TIPE PENDERITA ……………………………………..………… 17

2.9. PENGOBATAN ……………………………………………...…… 19

2.10. PROGNOSIS ……………………………………………..……… 13

BAB III. KESIMPULAN …………………………………………….………… 29

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..………… 32

Page 4: Referat TB Paru

4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama

kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian

(mortalitas) (Aditama & Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga

penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun

1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB

diseluruh dunia (Depkes RI, 2006).

Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di

dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000

kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di

Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi

pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).

Strategi penanganan TB berdasarkanWorld Health Organization (WHO)

tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases

(IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Short-

course(DOTS)secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga

berlaku di Indonesia.Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan

selama 6-9 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan

dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua

kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang umum dipergunakan sebagai obat anti

Page 5: Referat TB Paru

5

tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),

Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul

antara lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan

sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga

gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa

nekrosis jaringan hati. Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah

INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan

kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan,

akibat pemakaian INH dan/ Rifampisin(Depkes RI, 2006; Arsyad, 1996;

Sudoyo, 2007).

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,

etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, danpenatalaksanaan TB

paru.

Page 6: Referat TB Paru

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis.Sebagian besar kuman Mycobacterium

tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh

lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh

pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi

hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity).

Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan

kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif (Daniel, 1999).

Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang

diserang kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru

dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang

menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan

tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),

kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat

kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).

2.2 Kuman tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran

sekitar 0,4 x 3 µm (Brooks,et al 2004).

Page 7: Referat TB Paru

7

(Daniel, 1999)Gambar 2.1

Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam

Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat

dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri

ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah

yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam

(BTA) (Daniel, 1999).

Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit

intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah

aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit

tuberkulosis.Selain itu bakteri ini tidak tahan dengan paparan sinar matahari

langsung. (Bahar, 2007).

2.3 Cara penularan

Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+).

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat

Page 8: Referat TB Paru

8

menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman

tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,

sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke

bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).

2.4 Risiko penularan

Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =

ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada

daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya

diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang

terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang

terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).

2.5 Patogenesis tuberkulosis

2.5.1 Infeksi primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman

tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat

melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke

alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis

berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang

mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke

kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu

terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin

Page 9: Referat TB Paru

9

dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung

kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).

Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman

menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya

tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya

dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis.

Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit,

membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).

2.5.2 Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau

tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun

akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari

tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan

terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).

2.6 Diagnosis tuberkulosis

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan

dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

radiologis.

2.6.1 Diagnosis klinis

Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau

tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah

batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala

Page 10: Referat TB Paru

10

tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa

nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa

kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

dandemam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam

(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik

pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus

dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Bila TB mengenai

pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat

tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi

memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam

penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan

didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji

tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).

2.6.3 Pemeriksaan radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis

untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih

memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier

yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB

umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau

daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih

Page 11: Referat TB Paru

11

menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-

bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah

diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas

yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan

densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan

penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu

bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus

yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang

sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan

sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun

atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).

Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto

rontgen dada di bawah ini :

(Bahar, 2007)Gambar 2.2

Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada

Page 12: Referat TB Paru

12

2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis

a. Sputum

Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga

pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif

(Depkes RI, 2006).

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih

lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1).

Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung

TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.

Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas

(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak

ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan

dahak SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita

tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan

pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.

a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA

negatif rontgen positif

b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),

sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :

Page 13: Referat TB Paru

13

Tersangka Penderita

TB(suspek

Hasil BTA+ + ++ + -

Hasil BTA+ - -

Hasil BTA- - -

Periksa Rontgen Dada

Beri Antibiotik Spektrum Luas

Hasil Mendukung TB Hasil Tidak Mendukung TB Tidak Ada

PerbaikanAda Perbaikan

Ulangi Periksa Dahak SPS

Hasil BTA+ + + + + -

Hasil BTA- - -

Periksa Rontgen Dada

Hasil Mendukung TB Hasil

Rontgen Negatif

Bukan TBC,

Penyakit Lain

TB BTA Negatif Rontgen Positif

Penderita Tuberkulosis BTA Positif

Gambar 2.3Alur Diagnosis TB paru

Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu

(SPS)

Page 14: Referat TB Paru

14

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria

pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah

pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan

BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya

positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1

sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan

sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara

mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif

(Bahar, 2007).

b. Darah

Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang

sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit

masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila

penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah

limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi.Hasil

pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran

normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah

menurun (Depkes RI, 2006).

c. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan

diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes

tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau

Page 15: Referat TB Paru

15

pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosisatau Mycobacterium

patogen lainnya (Depkes RI, 2006).

Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin

P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini

adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan,

akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat

limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen

tuberkulin. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di

bawah ini (Bahar, 2007):

(Bahar, 2007)Gambar 2.4

Penyuntikan Tes Tuberkulin

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,

2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no

sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9

mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi

humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif =

golongan low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d).

Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini

peran antibodi seluler paling menonjol.

Page 16: Referat TB Paru

16

Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux

yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni

pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif

palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi,

penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan

panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas

menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua,

malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV

positif, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).

2.7 Komplikasi tuberkulosis

Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,

empiema, laringitis. Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan

obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis,

karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB milier dan

kavitas TB) (Bahar, 2007).

2.8 Tipe penderita tuberkulosis

Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya, yaitu :

a. Kasus baru

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

Page 17: Referat TB Paru

17

b. Kambuh (relaps)

Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian

kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan (transfer in)

Pindahan (transfer in)adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di

suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.

Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB.

09).

d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)

Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang

sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,

kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali

dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

e. Gagal

Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA

negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.

f. Kasus kronis

Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.

Page 18: Referat TB Paru

18

g. Tuberkulosismultiple drug resistance

Tuberkulosis multiple drug resistance adalah tuberkulosisyang

menunjukkan resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT

lainnya (Depkes RI, 2006).

2.9 Pengobatan Tuberkulosis Paru

2.9.1 Prinsip pengobatan

Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas

bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang

tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat

membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya

kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat

tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan

didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas

sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.

Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan

Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk

mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid

mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin

menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin, 2007).

2.9.2 Kemoterapi TB

Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan

sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu

Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol

Page 19: Referat TB Paru

19

(E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program

pengobatan TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly observed

Treatment Short-course(DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO,

strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan

pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar :

Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang

basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus

bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda

dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R

merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah,

sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan penyakit

membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya,

perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi basil yang

persisten (Bahar & Amin, 2007).

Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu

18-24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS

pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT,

dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama 6-9 bulan, supaya semua

kuman dapat dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan

tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari

dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua

jenis OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut

diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular

Page 20: Referat TB Paru

20

dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA

positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat

dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan

obat.Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi

dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh

kuman persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan

(Bahar & Amin, 2007; Depkes RI, 2006).

2.9.3Obat Anti Tuberkulosis(OAT)

Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat

lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke

penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan

resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,

Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup

Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,

Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini

dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat

tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,

Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007).

Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah

ini:

Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OATJenis OAT Sifat KeteranganIsoniazid

(H)Bakterisid

terkuatObat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerjanya adalah menghambat

Page 21: Referat TB Paru

21

cell-wall biosynthesis pathwayRifampisin

(R)bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-

dormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya adalah menghambat polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis

Pirazinamid (Z)

bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.

Streptomisin (S)

bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular.

Etambutol (E)

bakteriostatik -

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).

2.9.4Regimen pengobatan (metode DOTS)

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar

dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah

menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang

berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan

kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen

pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut

definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar &

Amin, 2007) :

Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori PengobatanKategori

pengobatan TB

Pasien TBPaduan pengobatan TB

alternatifFase awal

(setiap hari / 3 x seminggu)

Fase lanjutan

I Kasus baru TB paru dahak positif; kasus baru TB paru dahak negatif

2 EHRZ 4 HR

Page 22: Referat TB Paru

22

dengan kelainan luas di paru; kasus baru TB ekstra-pulmonal berat

2 EHRZ 4 H3 R3

II Kambuh, dahak positif; pengobatan gagal; pengobatan setelah terputus

2 SHRZE + 1 HRZE

2 SHRZE + 1 HRZE

5 H3R3E3

5 HRE

III Kasus baru TB paru dahak negatif (selain dari kategoriI); kasus baru TB ekstra-pulmonal yang tidak berat

2 HRZ atau 2H3R3Z3

2 HRZ atau 2H3R3Z3

4HR

4H3R3

IV Kasus kronis (dahak masih positif setelah menjalankan pengobatan ulang)

TIDAK DIPERGUNAKAN(merujuk ke penuntun WHO

guna pemakaian obat lini kedua yang diawasi pada pusat-pusat

spesialis)(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program

penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):

Kategori I : 2HRZE/4HR

Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE setiap hari selama

2 bulan obat H, R, Z, E. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan

diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR

atau 4 H3 R3Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif

diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah

negatif atau tidak.

Page 23: Referat TB Paru

23

Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H,

Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.

Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.

Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4

obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih

positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum

untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu

5H3R3E3atau 5 HRE.

Kategori III : 2HRZ/ 4H3R3

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan

dengan fase lanjutan 4HR atau 4H3R3.

Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup

Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda,

sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup

diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan

TB resistensi ganda (MDR-TB).

Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).

Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan

kategori II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan

pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA

positif (Depkes RI, 2006).

Page 24: Referat TB Paru

24

2.9.5 Dosis obat

Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara

harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar &

Amin, 2007):

Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di IndonesiaJenis Dosis

Isoniazid (H) harian : 5mg/kg BB intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu

Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z) harian : 25mg/kg BB intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S) harian = intermiten : 15 mg/kgBB usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari usia > 60 th : 0,50 gr/hari

Etambutol (E) harian : 15mg/kg BB intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

2.9.6 Kombinasi obat

Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian

obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB

untuk menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan

pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai.

Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT

kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat

dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan

berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1

Page 25: Referat TB Paru

25

masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan

dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3

Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hariRHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3x seminggu selama 16 mingguRH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT (Depkes RI, 2006)

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3Berat badan

Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275)

+ S

Tahap Lanjutan3x semingguRH (150/150) + E (400)

Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg

Streptomisin inj2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2

tab Etambutol38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg

Streptomisin inj3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3

tab Etambutol55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4

tab Etambutol> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5

tab Etambutol(Depkes RI, 2006)

Tabel 2.6 Dosis OAT untuk SisipanBerat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE (150/75/400/275)30 – 37 kg 2 tablet 4KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

(Depkes RI, 2006)

2.9.7 Efek samping pengobatan

Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang

mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin

OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek

Page 26: Referat TB Paru

26

samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan

dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin

2007).

Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap

pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OATJenis Obat Ringan Berat

Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, nyeri otot dan gangguan kesadaran. Kelainan yang lain menyerupai defisiensi piridoksin (pellagra) dan kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal.

Hepatitis, ikhterus

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan kulit, sindrom flu, sindrom perut.

Hepatitis, sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas, kadang disertai dengan kolaps atau renjatan (syok), purpura, anemia hemolitik yang akut, gagal ginjal

Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : demam, mual dan kemerahan

Hepatitis, nyeri sendi, serangan arthritis gout

Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : demam, sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit

Kerusakan saraf VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran

Etambutol (E) Gangguan penglihatan berupa berkurangnya

Buta warna untuk warna merah dan hijau

Page 27: Referat TB Paru

27

ketajaman penglihatan (Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan

pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):

a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol

b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin

c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,

darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan

Pirazinamid)

2.10 Hasil pengobatan tuberkulosis

World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil

pengobatan penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :

a. Sembuh: bila pasientuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif

2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir

pengobatannya.

b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai

jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya

1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir

pengobatan.

c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan

seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada

akhir pengobatan.

Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA

terkhir masih positif.

Page 28: Referat TB Paru

28

Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-

2 dari pengobatan.

d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari

2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.

e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa

melihat sebab kematiannya.

2.11 Evaluasi pengobatan

Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode

yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :

a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2

minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai

akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-

keluhan pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu

makan bertambah, berat badan meningkat dll.

b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA

mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan

sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA

langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan

resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif

setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang

mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,

sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut.

Page 29: Referat TB Paru

29

Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka

pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.

c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada

akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti

timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya

tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat

keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya.

Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan

bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali

(Bayupurnama, 2007).

Page 30: Referat TB Paru

BAB 3

KESIMPULAN

1. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian

besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.

2. Tuberkulosis paru disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium

tuberculosis.

3. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri

menyebar ke udara dalam bentuk droplet.

4. Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan

mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di

sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masing-

masing individu.

5. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

6. Gejala klinis utama TB paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama

3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk

darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,

berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam

walaupun tanpa kegiatan dandemam/meriang lebih dari sebulan

7. Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,

laringitis. Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan

nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru,

dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB)

8. Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus

baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kroinis dan tuberkulosis

resistensi ganda.

9. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan

dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk

kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat

dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)

yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan

Etambutol (E)

30

Page 31: Referat TB Paru

31

10. Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap,

gagal, putus berobat, dan meninggal.

11. Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan

radiologis.

Page 32: Referat TB Paru

32

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.

Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419

Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru

yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia

Kedokteran No. 110, 199615.

Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.

Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-

1000.

Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.

Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick &

Adelbergh’s: Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa:

Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.

Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.

Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi

13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit,

Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta:

EGC.

Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

Page 33: Referat TB Paru

33

Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta :

penerbit Buku Kedokteran EGC.

World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for

National programmes. Geneva : 3-15

World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses

pada 23 Maret 2010 pukul 14:39 WIB

<http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/

article/55/000100150017/2>