REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

31

Click here to load reader

description

referat penatalaksanaan ascites pada sirosis hepatis

Transcript of REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

Page 1: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

REFERAT

TATALAKSANA ASCITES PADA SIROSIS HATI

Pembimbing:

dr. Toton Suryotono, Sp. PD.

Oleh:

Amalia Prima Sundari

2010730008

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD CIANJUR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015

Page 2: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis hati adalah penyebab paling sering dari ascites , dan 50 % dari pasien sirosis akan

berkembang dan timbul ascites dalam jangka waktu 10 tahun. Patogenesis ascites sangat

kompleks. Perkembangan penyakit hingga timbul ascites adalah hasil dari beberapa faktor,

termasuk vasodilatasi arteri yang merusak aliran darah ginjal, tingginya tekanan kapiler

sinusoidal sekunder hipertensi portal dan vasodilatasi splanknik dari aktivasi neurohormonal

terutama melalui oksida nitrat.

Hal tersebut menyebabkan penurunan efektifitas volume darah arteri dengan aktivasi

arteri dan reseptor volume cardiopulmonal , dan aktivasi homeostatis vasokonstriktor dan sistem

penahan natrium ( yaitu , sistem saraf simpatik dan sistem angiotensin - aldosteron renin- ) .

Retensi natrium di ginjal menyebabkan keluarnya volume cairan ekstraseluler dan terjadinya

pembentukan asites dan edema. Terjadinya ascites dikaitkan dengan prognosis yang buruk dan

gangguan kualitas hidup pada pasien dengan sirosis. Dengan demikian, pasien dengan ascites

umumnya harus dipertimbangkan mendapat rujukan untuk transplantasi hati . Ada alasan yang

jelas untuk pengelolaan ascites pada pasien dengan sirosis , sebagai pengobatan yang sukses

dapat memperbaiki hasil akhir dan gejala.

Pengobatan asites yang efektif pada sirosis melibatkan mengoreksi satu atau lebih dari

proses patofisiologi yang menyebabkan ascites. Singkatnya, sirosis dan hipertensi portal

2

Page 3: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

menyebabkan vasodilatasi di sirkulasi sistemik dan splanchnic, tapi vasokonstriksi dalam

sirkulasi ginjal. Bersama dengan perubahan dalam ginjal auto-regulasi, pengurangan massa sel

hati fungsional, dan pengembangan kardiomiopati sirosis , proses ini menghasilkan peningkatan

bertahap dalam natrium ginjal dan retensi air. Kehadiran hipertensi portal kemudian melokalisasi

kelebihan cairan dalam rongga peritoneal sebagai ascites. Pengelolaan ascites membutuhkan

pendekatan bertahap, dimulai dengan diet pembatasan sodium dan terapi diuretik , diikuti oleh

pengobatan lini kedua setelah set asites refrakter .

Dengan makin beratnya sirosis dan semakin banyak garam dan air yang diretensi, air

akhirnya akan mengumpul dalam rongga abdomen antara dinding perut dan organ dalam perut.

Penimbunan cairan ini disebut asites yang berakibat pembesaran perut, keluhan rasa tak enak

dalam perut dan peningkatan berat badan. Bila asites sedemikian besar dapat menimbulkan

keluhan nyeri akibat distensi abdomen, dan keluhan bernafas karena keterbatasan gerakan

diafragma, semua hal ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien sirosis hepatis.

Dengan penatalaksanaan asites yang tepat, yaitu dengan bed rest total, membatasi asupan

garam dan air, pemberian obat-obatan diuretik yang tepat dan terapi parasintesis, dapat

mengurangi aistes dan memberikan rasa nyaman pada pasien sirosis hepatis. Oleh karena itu

referat ini dibuat untuk memberikan informasi mengenai bagaimana penatalaksanaan asites pada

pasien sirosis hepatis.

3

Page 4: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

ASITES

Definisi

Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirongga peritoneum. Asites dapat

disebabkan oleh banyak penyakit

Asites Tanpa Komplikasi

Asites yang tidak terinfeksi dan yang tidak terkait dengan pengembangan sindrom

hepatorenal. Asites dapat dinilai sebagai berikut:

Grade 1 (mild), asites hanya terdeteksi oleh USG pemeriksaan.

Grade 2 (moderate), ascites yang menyebabkan distensi perut simetris moderat.

Grade 3 (large), ascites ditandai distensi abdomen.

Asites Refrakter

Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau yang kambuh lebih awal (yaitu, setelah

terapi paracentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi medis. Asites ini termasuk dua

subkelompok yang berbeda.

Diuretic resistant ascites -- asites refrakter terhadap retriksi diet sodium dan

4

Page 5: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

pengobatan diuretik intensif (spironolakton 400 mg / hari dan frusemid 160 mg / hari

selama setidaknya satu minggu, dan diet retriksi garam kurang dari 90 mmol / hari

(5,2 g garam) / hari).

Diuretic intractable ascites -- asites refrakter terhadap terapi karena perkembangan

komplikasi yang diinduksi diuretik yang menghalangi penggunaan diuretik dosis

efektif.

Tabel.1 Definisi dan kriteria diagnostik asites refrakter pada sirosis

Patofisiologi

Akumulasi cairan asites dalam rongga peritoneum menggambarkan ketidakseimbangan

pengeluaran air dan garam. Saat ini penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun ada

5

Page 6: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

beberapa teori yang telah dikemukakan untuk menjelaskan mekanisme terbentuknya asites,

yaitu:

- Hipotesis underfilling

Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena sekuestrasi cairan yang tidak memadai

pada pembuluh darah splanknik akibat peningkatan tekanan portal dan penurunan

Effective Arterial Blood Volume (EABV). Hal tersebut mengakibatkan aktivasi sistem

renin-angiotensin-aldosteron dan sistem persarafan simpatis sehingga terjadi retensi air

dan garam.

- Hipotesis Overflow

Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena ketidakmampuan ginjal dalam

mengatasi retensi garam dan air, yang berakibat tidak adanya penurunan volume. Dasar

teori ini adalah kondisi hipervolemia intravaskular yang umum dijumpai pada pasien

dengan sirosis hati.

- Hipotesis vasodilatasi arteri perifer

Hipotesis ini adalah hipotesis terbaru yang merupakan gabungan dari kedua hipotesis

sebelumnya. Hipertensi portal menyebabkan vasodilatasi arteri perifer, dan berakibat

penurunan EABV. Sesuai dengan perjalanan alami penyakit, terdapat peningkatan

eksitasi neurohumoral, dan pening katan retensi natrium oleh ginjal sehingga volume

plasma meningkat.

6

Page 7: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

Urutan kejadian antara hipertensi portal dan retensi natrium ginjal belum jelas. Hipertensi

portal juga menyebabkan peningkatan kadar nitrat oksida Nitrat oksida merupakan mediator

kimia yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan perifer. Kadar NO pada

arteri hepatika pasien asites lebih besar daripada pasien tanpa asites. Peningkatan kadar epinefrin

dan norepinefrin, dan hipoalbuminemia juga berkontribusi dalam pembentukan asites.

Hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi

ekstravasasi cairan plasma ke rongga peritoneum. Dengan demikian, asites jarang terjadi pada

pasien sirosis tanpa hipertensi portal dan hipoalbuminemia.

7

Page 8: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

8

Page 9: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

Diagnosis

Tahap awal untuk menegakkan diagnosis asites adalah dengan melakukan anamnesis

mengenai perjalanan penyakit. Saat melakukan anamnesis sebaiknya dokter mencari tahu faktor

risiko yang dapat menyebabkan gangguan pada hati, seperti: riwayat kolestasis, jaundice,

hepatitis kronik, riwayat transfusi atau suntikan, atau riwayat keluarga dengan penyakit hati.

Selain itu, biasanya perlu ditanyakan apakah terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan.

Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada awal

pemeriksaan fisik, perlu dibedakan apakah pembesaran perut yang terjadi karena asites, atau

penyebab lain seperti: kegemukan, obstruksi usus, atau adanya massa di abdomen. Flank

dullness yang biasanya terdapat pada 90% pasien dengan asites merupakan tes yang paling

sensitif, sedangkan shifting dullness lebih spesifik tetapi kurang sensitif.

Tes lain yang bisa dilakukan untuk mengetahui asites, contohnya pada anak adalah

melalui pemeriksaan puddle sign. Puddle sign ini bisa digunakan untuk mengetahui asites pada

jumlah yang masih sedikit (+120 ml). Untuk melakukan pemeriksaan ini posisi pasien harus

bertumpu pada siku dan lutut selama pemeriksan. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh dan

seksama dapat memberi arahan mengenai penyebab asites. Tanda-tanda dari penyakit hati kronis

adalah eritema palmaris, spider naevi, jaundice. Splenomegali dan pembesaran venakolateral

merupakan indikasi telah terjadi peningkatan tahanan vena porta. Asites yang disebabkan oleh

9

Page 10: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

gagal jantung kronis, memberikan tambahan temuan pemeriksaan fisik berupa peningkatan

tahanan vena jugularis. Pembesaran KGB m mengacu pada limfoma atau TBC.

Paracentesis abdomen

Abdominal parasentesis umum dikerjakan pada pasien dengan asites yang belum

diketahui penyebabnya, dan pada pasien dengan penambahan jumlah asites yang sangat

cepat,perburukan klinis, disertai demam dan nyeri perut. Pemeriksaan ini berguna untuk

mendeteksi terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP).1

Cairan asites kemudian dikirim untuk mengetahui jumlah sel, albumin, kultur asites,

protein total, gram stain dan sitologi. Pemeriksaan cairan asites meliputi:

- Inspeksi. Sebagian besar cairan asites berwarna transparan dan kekuningan. Warna

cairan akan berubah menjadi merah muda jika terdapat sel darah Merah >10 000/µl, dan

menjadi merah jika SDM >20 000/µl. Cairan asites yang berwarna merah akibat trauma

akan bersifat heterogen dan akan membeku, tetapi jika penyebabnya non trauma akan

bersifat homogen dan tidak membeku. Cairan asites yang keruh menunjukan adanya

infeksi.9

- Hitung jumlah sel. Cairan asites yang normal biasanya mengandung PMN

>250/mm3 ,bisa diperkirakan kemungkinan terjadinya SBP. Selain peningkatan PMN,

diagnosa SBP ditegakkan bila jumlah leukosit >500 sel/mm3 dan konsentrasi protein

50.000/mm3 ), dan 30%nya disebabkan oleh karsinoma hepatoseluler.

10

Page 11: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

- SAAG. Dahulu asites dikategorikan menjadi eksudat dan transudat. Eksudat jika

konsentrasi protein >25 g/l, dan transudat jika konsentrasi protein < 25g/l. Tujuan

pembagian ini adalah untuk mencari penyebab asites, misalnya asites pada kasus

keganasan bersifat eksudat, sedangkan pada sirosis bersifat transudat Saat ini

pembagian tersebut sudah digantikan oleh pemeriksan Serum Ascites Albumin

Gradient (SAAG). SAAG ini mengklasifikasikan asites menjadi hipertensi portal

(SAAG >1,1 g/dl) dan non-hipertensi portal (SAAG < 1,1 Cara penghitungan SAAG

adalah dengan menghitung jumlah albumin cairan asites dikurangi jumlah albumin

serum. Hal tersebut erat hubungannya dengan tekanan vena porta. Pemeriksaan ini

97% akurat untuk membedakan asites dengan atau tanpa hipertensi portal.1,7,9

Beberapa penyebab asites berdasarkan pembagian menurut nilai SAAG dapat dilihat

pada table 2.

11

Page 12: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

Komplikasi pungsi asites terjadi pada sampai 1% dari pasien (hematoma

abdomen) tapi jarang serius ataumengancam nyawa. Komplikasi lebih serius seperti

haemoperitoneum atau perforasi usus jarang terjadi (<1/1000 prosedur). Paracentesis

tidak kontraindikasi pada pasien dengan profil koagulasi yang abnormal. Sebagian besar

pasien dengan asites karena sirosis memiliki perpanjangan waktu protrombin dan

beberapa tingkat trombositopenia. Tidak ada data yang mendukung penggunaan fresh

frozen plasma sebelum paracentesis meskipun jika trombositopenia hebat (< 40.000)

paling dokter akan memberikan trombosit untuk mengurangi risiko perdarahan.

PENATALAKSANAAN

Bed rest

Istirahat pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak dikaitkan dengan

aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik, pengurangan di tingkat filtrasi

glomerulus dan ekskresi natrium, serta respon menurun terhadap diuretic. Efek ini bahkan

lebih mencolok dalam hubungan dengan latihan fisik moderat. Data ini sangat menyarankan

bahwa pasien harus diobati dengan diuretik saat istirahat. Namun, belum ada studi klinis yang

menunjukkan keberhasilan peningkatan diuresis dengan istirahat atau durasi penurunan rawat

inap. Tirah baring dapat menyebabkan atrofi otot, dan komplikasi lainnya, serta

memperpanjang lama tinggal di rumah sakit, tirah baring umumnya tidak direkomendasikan

untuk manajemen pasien dengan asites tanpa komplikasi.

12

Page 13: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

Pembatasan Asupan Garam

Retriksi diet garam saja dapat membuat balans natrium negatif pada 10% pasien.6,7

Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan diuretik lebih rendah, resolusi asites lebih

cepat, dan masa rawat di RS lebih pendek. Di masa lalu, makanan garam sering dibatasi

sampai 22 atau 50 mmol / hari, diet ini dapat menyebabkan malnutrisi protein dan hasil yang

serupa, dan tidak lagi dianjurkan.

Diet garam harus dibatasi, 88 mmol/hari (2000 mg). Dengan target ekskresi sodium 78

mmol/hari (hanya 10 mmol/hari yang diserap tubuh). Pada laki-laki dengan sirosis, eksksresi

creatinin serum harus terbuang >15mg/KgBB/hari. Dan wanita harus mengekskresi creatinin

serum sebanyak 10mg/KgBB/hari. Jumlah natrium non urin ekskresi kurang dari 10 mmol per

hari pada pasien demam dengan sirosis tanpa diare. Salah satu tujuan dari pengobatan adalah

untuk meningkatkan ekskresi natrium sehingga melebihi 78 mmol per hari ( 88 asupan mmol per

hari - 10 mmol ekskresi nonurinary per hari ).

Bimbingan ahli diet dan informasi leaflet akan membantu dalam mendidik pasien dan

kerabat tentang retrriksi garam. Obat tertentu, terutama dalam bentuk tablet effervescent,

memiliki kandungan natrium yang tinggi. Antibiotik intravena umumnya mengandung 2,1-3,6

mmol natrium per gram dengan pengecualian siprofloksasin yang berisi 30 mmol natrium dalam

200 ml (400 mg) untuk infus intravena. Meskipun secara umum lebih baik untuk

13

Page 14: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

menghindari infus cairan yang mengandung garam pada pasien dengan asites, ada peluang,

seperti berkembang menjadi sindroma hepatorenal atau gangguan ginjal dengan hiponatremia

berat, jika sesuai dan diindikasikan untuk memberikan ekspansi volume dengan kristaloid

atau koloid. Untuk pasien sindrom hepatorenal, International Ascites club merekomendasikan

infus garam normal.6,7

DiuretikRegimen diuretik yang biasa digunakan terdiri dari dosisi tunggal spironolactone oral

dan furosemide, dosis inisial dimulai dengan 100 mg sebelumnya dan 40 mg yang selanjutnya.

Sebelumnya, dosis tunggal spironolactone itu dianjurkan, tapi hiperkalemia dan waktu paruh

obat yang panjang mengakibatkan penggunaannya sebagai agen tunggal hanya pada pasien

dengan overload cairan minimal.

Dosis tunggal furosemide telah di uji coba dalam percobaan terkontrol secara acak

kurang efektif daripada spironolactone. Bioavailabilitas furosemide oral pada pasien dengan

sirosis, bersama-sama dengan pengurangan pada laju filtrasi glomerulus terkait dengan

furosemide intravena, mendukung penggunaan oral furosemid. Diuresis lebih lambat pada

kelompok spironolactone tunggal dengan kebutuhan yang lebih rendah untuk penyesuaian dosis,

sehingga pendekatan ini mungkin berguna untuk pasien rawat jalan. Namun percobaan lain

secara acak menunjukkan bahwa terapi kombinasi awal mempersingkat waktu untuk mobilisasi

ascites yang tingkat keparahannya sedang.

14

Page 15: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

Spironolactone

Spironolactone merupakan antagonis aldosteron, bekerja terutama pada tubulus distal

untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium. Spironolactone adalah obat

pilihan di awal pengobatan asites karena sirosis. Dosis harian inisial 100 mg bisa

ditingkatkan sampai 400 mg untuk mencapai natriuresis adekuat. Berjalan lambat 3-5 hari

antara awal pengobatan spironolactone dan terjadinya efek. studi kontrol natriuretik telah

menemukan bahwa spironolactone mencapai natriuresis lebih baik dan diuresis dari loop

diuretic seperti furosemide. Efek samping paling sering spironolakton pada sirosis adalah yang

berkaitan dengan ativitas antiandrogenik nya, seperti penurunan libido, impotensi, dan

ginekomastia pada pria dan ketidakteraturan menstruasi pada wanita (meskipun sebagian

besar wanita dengan asites tidak menstruasi saja). Ginekomastia dapat secara signifikan

berkurang ketika canrenoate kalium hidrofilik derivatif digunakan, tetapi ini tidak tersedia di

Inggris. Tamoxifen pada dosis 20 mg dua kali sehari telah terbukti berguna dalam pengelolaan

gynaecomastia. Hiperkalemia merupakan komplikasi signifikan yang sering membatasi

penggunaan spironolactone dalam pengobatan asites.1,6,7

Furosemid

Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis dan diuresis pada

subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai tambahan untuk pengobatan

spironolactone karena keberhasilan rendah bila digunakan sendirian pada sirosis. Dosis awal

15

Page 16: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

frusemid adalah 40 mg/hari dan umumnya meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis tidak

melebihi 160 mg/hari. Tinggi dosis frusemid berhubungan dengan gangguan elektrolit berat dan

alkalosis metabolik, dan harus digunakan hati- hati. Furosemid dan spironolactone bekerja

simultan meningkatkan efek natriuretik.1,2,3,6,7

Diuretik lain

Amiloride bekerja pada tubulus distal dan menginduksi diuresis pada 80% pasien

dengan dosis 15-30 mg/hari. Hal ini kurang efektif dibandingkan dengan spironolakton atau

kalium canrenoate. Bumetanide mirip dengan frusemid dalam kerja dan efikasi.6 Secara umum,

pendekatan '' stepped care'' yang digunakan dalam pengelolaan ascites dimulai dengan diet

pembatasan garam sederhana, bersama dengan meningkatnya dosis spironolactone. Furosemid

hanya ditambahkan bila 400 mg spironolakton sendiri telah terbukti inefektif. Pada pasien

dengan edema berat tidak perlu untuk memperlambat laju harian penurunan berat badan.

Sekali edema telah diselesaikan tetapi asites berlanjut, maka tingkat penurunan berat badan

tidak melebihi 0,5 kg/hari. Selama diuresis dikaitkan dengan deplesi volume intravaskular (25%)

yang mengarah ke ginjal, hati penurunan ensefalopati (26%), dan hiponatremia (28% . Sekitar

10% pasien dengan sirosis dan asites memiliki asites refrakter. Pada pasien yang gagal

merespons pengobatan, riwayat diet dan obat-hati harus diperoleh. Penting untuk memastikan

bahwa mereka tidak memakan obat yang kaya akan natrium, atau obat yang menghambat garam

dan ekskresi air seperti obat-obatan anti- inflamasi non-steroid. Kepatuhan retriksi natrium

16

Page 17: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

makanan harus dipantau dengan pengukuran ekskresi natrium urin. Jika natrium urin

melebihi asupan sodium yang direkomendasikan, dan pasien tidak menanggapi pengobatan,

maka dapat diasumsikan bahwa pasien non-compliant.6

Terapi paracentesis

Paracentesis terapi serial efektif dalam mengendalikan ascites. Biasanya jumlah

paracentesis dilakukan untuk meminimalkan jumlah paracenteses. Percobaan terkontrol

menunjukkan keamanan pendekatan ini sekarang telah diterbitkan. Bahkan pada pasien tanpa

ekskresi natrium urin , paracenteses dilakukan kira-kira setiap 2 minggu. Diuretik biasanya telah

dihentikan setelah pasien dianggap resisten terhadap diuretik. Guideline Eropa

merekomendasikan menghentikan diuretik jika natrium urin < 30 mmol / hari selama diuretik

terapi. Frekuensi paracentesis tergantung pada kesadaran pasien terhadap kepatuhan diet, lima

liter telah dianggap sebagai paracentesis dengan volume yang besar.

Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen inisial oleh paracentesis

ulangan dengan volume besar. Beberapa studi klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa

besar Volume paracentesis dengan penggantian koloid cepat, aman, dan effective. Penelitian

pertama menunjukkan bahwa seri volume besar paracentesis (4 – 6 L/hari) dengan infus albumin

(8 g/liter asites yang hilang) lebih efektif dan berhubungan dengan komplikasi lebih sedikit dan

durasi rawat inap yang lebih singkat dibandingkan dengan terapi diuretik. Penelitian ini diikuti

oleh penelitian lain yang mengevaluasi efikasi, keamanan, kecepatan paracentesis, perubahan

17

Page 18: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

hemodinamik setelah paracentesis, dan kebutuhan terapi penggantian koloid. Paracentesis total

umumnya lebih aman dari paracentesis berulang, jika ekspansi volume diberikan pasca-

paracentesis. Jika ekspansi volume pasca-paracentesis gagal memberikan volume ekspansi dapat

menyebabkan gangguan sirkulasi, gangguan fungsi ginjal dan elektrolit. 1,6,7

Setelah paracentesis, mayoritas asites berulang (93%) jika terapi diuretik tidak dilakukan

kembali, tapi berulang pada hanya 18% pasien yang diobati dengan spironolactone. Memakai

kembali diuretik setelah paracentesis (biasanya dalam 1-2 hari) tampaknya tidak meningkatkan

risiko disfungsi sirkulasi postparacentesis.6

Prognosis

Perkembangan asites dikaitkan dengan mortalitas 50% dalam waktu dua tahun diagnosis.

Asites refrakter setelah terapi medis, 50% meninggal dalam waktu enam bulan. Meskipun

memperbaiki manajemen dan kualitas cairan, pasien hidup sambil menunggu transplantasi hati.

Perawatan seperti terapi paracentesis dan TIPS tidak memperbaiki masa bertahan hidup

jangka panjang tanpa transplantasi untuk pasien. paling karena itu, ketika setiap pasien dengan

sirosis berkembang menjadi asites, kesesuaian untuk transplantasi hati harus dipertimbangkan.

Perhatian harus diberikan untuk fungsi ginjal pada pasien dengan asites pra-transplantasi,

disfungsi ginjal menyebabkan morbiditas lebih besar dan pemulihan tertunda setelah

transplantasi hati dan berhubungan dengan tinggal lama di ICU dan rumah sakit.

18

Page 19: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

19

Page 20: REFERAT Tatalaksana Ascites Pada Sirosis

REFERENSI

1. Europian Association for Study of the Liver. EASL clinical practise guidelines on

the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal

syndrom in cirrhosis. Journal of Hepatology 2010 vol. 53 j 397–417.

2. American Association for Study of the Liver. AASL clinical practice guidelines

Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: Update 2012. Hal. 64–

67.

3. Godong, Brigitta. 2013. Patofisiologi dan Diagnosis Asites pada Anak . Jakarta.

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). J Indon Med

Assoc. 2013;63:32-6.

4. Gines MD, Pere, Andres Cardenas. The management of ascites and cirrhosis

and hyponatremia in cirrhosis. Seminar in liver disease 2008;28;1.43-54.

5. Hirlan. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Asites. Ed.4 jilid 1. Jakarta: Penerbit

FKUI. Hal 447-448.

6. Madan, Kaushal, Ashish Mehta. Management of renal failure and ascites in

patient with cirrhosis. International Journal of Hepatology 2011;790232, 1-7.

7. Wong, Florence. Advance in clinical practice: Management of ascites in

cirrhosis. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2012;27:11–20.

20