REFERAT-syok Anafilaktik Fariz

download REFERAT-syok Anafilaktik Fariz

of 23

description

syok anafitaktik

Transcript of REFERAT-syok Anafilaktik Fariz

BAB IPENDAHULUAN

Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah pula menimbulkan reaksi obat yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek samping.

Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru disamping penyakit dasarnya ,tetapi kadang membawa maut juga. Reaksi anafilaktik merupakan salah satu contoh efek samping yang potensial berbahaya

Secara umum anafilaksis didefinisikan sebagai rekasi hipersensitivitas sistemik yang serius dan mengancam jiwa. Anafilaksis mempunyai onset yang cepat dan memberikan gejala yang mengancam jiwa pada jalan napas (edema faring atau laring ),system pernapasan (bronkospsme dengan takipneu) dan atau pada sirkulasi (hipotensi dan takikardi). Pada beberapa kasus terdapat juga manisfestasi pada kulit dan mukosa.

Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh allergen atau factor pencetus. Gejala ini dapat timbul melalui reaksi allergen dan antibody disebut reaksi anafilaktik ataupun yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi anafilaktoid. Reaksi alergi karena makanan ,racun serangga, dan obat obatan dan lateks biasanya di perantarai oleh Imunoglobulin-E (IgE). Beberapa obat obatan juga bisa menimbulkan gejala tanpa di perantarai reaksi imunologik. Selain itu anafilaksis dapat dikategorikan menjadi idiopatik apabila terdapat gejala klinik yang khas ,namun penyebabnya tidak diketahui. Akan tetapi karena baik gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka berbagai macam reaksi tersebut di sebut sebagai anafilaksis.

Angka kejadian anafilaksis diseluruh dunia tidak sepenuhnya diketahui, hal ini dikarenakan under-recognition dari pasien dan paramedic serta under diagnosis daritenaga medis professional. Menurut the American college of allergy,asthma and immunology epidemiology of anaphylaxis, insiden terjadinya anafilaksis didunia berkisar antara 30 950 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya. Ditingkat pelayanan dasar , anafilaksis sering diartikan sebagai penyebab kematian yang tidak diketahui. Kematian oleh karena anafilaksis sering tidak terdiagnosis dikarenakan tidak adanya riwayat yang detail dari saksi mata, investigasi kematian yang kurang lengkap , temuan patologi pada pemeriksaan post-mortem yang sedikit dan kurangnya pemeriksaan laboratorium yang spesifik.

Anafilaksis merupakan reaksi sistemik sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau hamper serentak. Gejala yang timbul dpat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai pada gagal gagal napas atau syok anafilaktik. Salah satu manifestasi klinis dri anafilaksis yang potensial mematikan adalah timbulnya syok anafilaktik berupa hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat, anafilaksis memang jarang terjadi, namun bila terjadi umumnya tiba-tiba, tidak terduga, dan potenil berbahaya. Oleh akrena itu kewaspadaan dan kesiapan menghadapi terjadinya anafilaksis sangat diperlukan. Referat ini akan membaha beberapa definisi yang berkaitan dengan anafilaksis , syok anafilaktik,diagnosis, terapi dan pencegahan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yangberarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).

Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat yang diperantarai oleh IgE (Hipersensitivitas tipe 1) yang mengancam jiwa dan menimbulkan gejala sistemik / generalisata. Reaksi ini ditandai dengan gangguan pada airway, breathing dan circulation yang mengancam jiwa dan berkembang dengan cepat. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan kolaps sirkulasi darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat yang dapat menyebabkan kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.1,6Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas generalista atau sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri dibagi menjadi tiga, alergi, non alergi, dan idiopatik. Anafilaksis alergi terjadi bila diperantarai suatu mekanisme imunologi, diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi atau pseudo alergi (atau anafilaktoid ) diperantarai penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik, yaitu anafilaksis yang tidak diketahui penyebabnya.4,5B. Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat.3,4

Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.1,2C. Faktor Predisposisi dan Etiologi

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1, asam folat, agen kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibody monoclonal, selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.

Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedure intravena. Kasus berkurang setelah dipakainya media kontras yang hyperosmolar.selain itu imunoterapi dan uji kulit (terutama intradermal) juga dapat berpotensi menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal tube, sarung tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.2,5,6Table 2.1. : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara lain: Atopi Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor risiko untuk reaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga. Cara dan waktu pemberianBerpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu. Asma

Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.Gambar 2.1. gejala yang ditimbulkan anafilaktik

D. Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala. 1,4,5,6Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen. 1,4,5,6

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.Gambar 2.2. : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.

Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita. 1,4,5,6Gambar 2.3. : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Tabel 2.2. Kadar dan Grade Histamin

Histamine (ng/ml)Biological Activities

0-1Tidak ada reaksi

1-2Meningkatkan sekresi asam lambung

3-5Takikardi, reaksi pada kulit (urtikaria,dll)

6-8Turunnya tekanan arteri

9-12Spasme bronkus

>100Cardiac arrest

Tabel 2.3. Derajat dan Tanda Klinis akibat meningkatnya kadar histamin

DerajatTanda Klinis

ITanda kutaneus-mukus : eritema, urtikaria dengan atau tanpa angioderma.

IITanda multiviseral moderat : tanda kutaneus-mukus hipotensi takikardi dispneu gangguan gastrointestinal.

IIITanda mono/multiviseral yang mengancam jiwa : kolaps kardiovaskular, takikardi atau bradikardi cardiac disrythmia bronkospasme tanda muco-kutaneus gangguan gastrointestinal.

IVCardiac arrest

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan allergen,serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.6,8

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. 1. Ringan

a.) Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.b.) Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin- bersin, mata berair.

c.) Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. 12. Sedang

a.) Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.b.) Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal. c.) Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. 5 3. Berat/parah

a.) Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala- gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke arah bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.b.) Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible. 4

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.8,9Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah parumenurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.8,9

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel. 8,10Tabel 2.4. : Manifestasi Klinik Reaksi AnafilaksisOrgan SystemsSigns and Symptoms

CardiovascularHypotension, tachycardia, arrhytmias

PulmonaryBronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary edema, laryngeal edema, hypoxia

DermatogicalUrticaria, facial edema, pruritus

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assaytest ), namun memerlukan biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.1,3,6G. Diagnosis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma andImmunology telah membuat suatu kriteria. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).5,7

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah- uvula); Respiratory compromise (misalnya sesaknafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).5,7

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut : 1.) Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala seperti di bawah ini, yaitu : Pasien terlihat baik atau tidak baik Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih lambat dari onset. Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral. Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending.2.) Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem : Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup. Suara Hoarse. Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami obstruksi.

Breathing Problems :

Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas. Wheezing. Pasien menjadi merasa lelah. Kebingungan karena hipoksia. Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign. Respiratory arrest.

Circulation problem Tanda syok, pucat, berkeringat.

Peningkatan frekuensi nadi (takikardi). Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps. Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran. Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah walaupun individu dengan normal arteri kononer. Cardiac arrest.3.) Perubahan Kulit dan/atau Mukosa Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi anafilaksis.Mukosa dan Kulit Dapat berlangsung halus atau secara dramatis. Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya.

Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah. Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan. Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan.H. Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampakpingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infarkmiokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.2,6

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.5,7I. Penatalaksanaan

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. 11,13o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan tripleairway manuver yaitu ekstensikepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. 12,13o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit. 11,12o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. 11,12,13Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan. Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam. 12,13Tabel 2.5. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Kortikosteroid Berperan sebagai penghambat mitosis sel prekursor IgE dan juga menghambat pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada fase lambat. Kortikosteroid digunakan untuk mengatasi spasme bronkus yang tidak dapat diatasi dengan adrenalin dan mencegah terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Dosis yang dapat diberikan adalah 7-10 mg/kg i.v prednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6 jam atau dengan deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat diberikan secara i.v dengan dosis 100-200 mg dalam interval 24 jam dan selanjutnya diturunkan secara bertahap. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 200 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 0,2 mg/kg BB. 11,12,13Dosis hidrokortison diberikan sesuai dengan usia yaitu:

> 12 tahun dan dewasa : 200 mg IM atau IV perlahan

> 6 12 tahun: 100 mg IM atau IV perlahan

> 6 bulan 6 tahun : 50 mg IM atau IV perlahan

< 6 bulan : 25 mg IM atau IV perlahan.13Antihistamindiberikan sebagai penghambat pengaruh histamine terhadap sel target. Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang atau bila terjadi edema angioneurotik dan urtikaria. Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1mg/kg tiap 4-6 jam.Dosis klorpenamin tergantung dengan usia, yaitu:

> 12 tahun dan dewasa : 10 mg IM atau IV perlahan

> 6 12 tahun: 5 mg IM atau IV perlahan

> 6 bulan 6 tahun : 2,5 mg IM atau IV perlahan

< 6 bulan : 250 g/kgbb IM atau IV perlahan. 13

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4- 7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan atau tekanan sistolok belum mencapai 90mmHg, dapat diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrose 5%.11,12,13Terapi Cairan

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.11,13

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 13 Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.11,12Gambar 2.5. Algoritma Resusitasi Syok Anafilaksis

Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.4,6J. Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti - blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.1,3,7,8BAB IIIKESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat- obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.DAFTAR PUSTAKA1. Aru , Bambang , dan Idrus, Alwi.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI2. Simon,Estelle. 2011. World Allergy Organization Guidelines for the Assesment and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal . 3. Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008; Chapter 88, hal 1948-1963.2. 4. Anonim. Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009].Available from: URL: www.emedicine.com.4.5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-14455.6. Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009]. Available from: URL: www.duniakedokteran.cq.bz.7.7. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhails Clinical Anesthesiology. 5th edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.8. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle Hospitals, Western Australia; 20068.9. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376.9.10. Anonim. Penggunaan Adrenalin dalam Pengobatan Anafilaksis. 2009 [cited: 20 Maret2009]. Available from: www.farmakoterapi-info.htm.11. Accessed at April11. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.12. Putra TR, Herman H. Reaksi Anafilaksis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Dalam. SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 1994. hal 77-80.12.13. Anonim. Syok dan Penanggulangannya. 2009 [cited: 20 Maret 2009]. Available from:URL: www.shineupyourlife.com14