Referat Super Edit
-
Upload
gintar-isnu-wardoyo -
Category
Documents
-
view
107 -
download
14
description
Transcript of Referat Super Edit
REFERAT
REHABILITASI MEDIK
FRAKTUR HUMERI 1/3 DISTAL
Pembimbing:dr. K. Kusumawati , Sp.RM
dr. Siswarni, Sp.RM
Disusun Oleh:
Seindy Arya Kusuma T. J500070018
Devita Permatasari J500070026
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rehabilitasi medis didefinisikan sebagai perkembangan seseorang untuk
mencapai potensi fisik, psikologis, sosial, vokasional, avokasional, dan
edukasional tertinggi sejalan dengan gangguan anatomik atau fisiologiknya
serta keterbatasan lingkungan (Sjamsuhidajat, 2005). Seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi saat ini,
diharapkan dapat mewujudkan pembangunan kesehatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat
bagi penduduk agar terwujud kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya
pelayanan kesehatan masyarakat berangsur-angsur berkembang sehingga
mencakup upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif),
upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif), yang
bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan
peran serta masyarakat (Garison, 1996).
Fraktur humeri adalah suatu peristiwa terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa yang
terjadi pada os humerus (Appley & Solomon, 1995; Mansjoer et al., 2000;
Sjamsuhidajat, 2005).
Fraktur humerus distal jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya
sekitar 2% untuk semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari
seluruh kejadian fraktur humerus. Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat
terjadi karena trauma langsung atau trauma tidak langsung. Trauma langsung
contohnya adalah apabila terjatuh atau terpeleset dengan posisi siku tangan
menopang tubuh atau bisa juga karena siku tangan terbentur atau dipukul
benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila jatuh dalam posisi tangan
menopang tubuh namun posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa
terjadi pada orang dewasa usia pertengahan atau wanita usia tua. (Egol et al,
2010)
3
Patah dari batang humerus relatif jarang dan biasanya bukan merupakan
masalah terapi yang besar. Pada fraktur humerus kontraksi otot, seperti otot
biceps, korakobrakialis, dan triceps, akan mempengaruhi posisi fragmen
patah tulang yang mengakibatkan fraktur mengalami angulasi maupun rotasi.
Pada umumnya pengobatan patah tulang batang humerus ditangani secara
tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi, pemendekan, serta
rotasi fragmen patahan tulang. Pengobatan non bedah kadang tidak
memuaskan pasien karena pasien harus dirawat lama atau memakai gips
sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Sehingga dilakukan operasi dan
pemasangan fiksasi intern (Sjamsuhidajat, 2005).
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang akan timbul akibat trauma
tersebut baik pre operasi maupun post operasi maka diperlukan kerjasama
yang melibatkan berbagai rehabilitasi medis antara lain dokter, fisioterapi,
okupasi terapi, yang secara bersama-sama bertugas memperbaiki, menjaga
dan memulihkan organ-organ yang terkena (Khazzam, 2009).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Os Humeri
Os humeri termasuk jenis tulang panjang (os longum) yang terdiri atas 3
bagian:
a. Epiphysis proximalis
1.) Caput humeri:
yaitu bulatan besar yang bersendi dengan cavitas glenoidalis
scapulae.
2.) Collum anatomicum.
Yaitu bagian yang menyempit ke arah lateral caput.
3.) Tuberculum majus (lateral)
bagian ini akan dilekati oleh 3 otot berturut-turut dari proximal
ke distal, yaitu m. Supraspinatus, m. Infraspinatus dan m. Teres
minor
4.) tuberculum minus
bagian ini dilekati oleh m. Subscapularis
5.) sulcus intertubercularis
yaitu suatu alur yang memanjang ke arah distal antara kedua
tuberculi. Berjalan melalui alur tersebut adalah tendo caput
longum m. Biceps brachii.
6.) Crista tuberculi majoris
yaitu crista yang merupakan lanjutan dari tuberculum majus ke
arah distal, dilekati oleh m. Pectoralis major.
(Faiz & Moffat, 2002; Indratni, 2007)
7.) Crista tuberculi minoris
yaitu crista yang merupakan lanjutan dari tuberculum minus ke
arah distal, dilekati oleh m. Lattisimus dorsi dan m. Teres major.
5
Dengan demikian kedua cristae tersebut membatasi sulcus
intertubercularis.
b. Diaphysis
Pada daerah ini terdapat:
1.) Collum chirurgicum
yaitu batas yang menyempit antara epiphysis proximalis dan
diaphysis (corpus humeri).
2.) tuberositas deltoidea
Yaitu tonjolan-tonjolan kasar pada pertengahan lebih ke lateral
yang dilekati oleh m. Deltoideus
3.) Sulcus nervi radialis (sulcus spiralis)
yaitu suatu alur yang jalannya seperti spiral pada bagian
belakang dari tuberositas deltoidea atau pada dataran belakang
corpus humeri.
Corpus pada bagian distal makin berubah dari bentuk
silindris ke bentuk segitiga, sehingga pada tempat tersebut dapat
kita jumpai 3 tepi yaitu margo medial, lateral dan volar.
c. Epiphysis distalis
Merupakan bagian yang gepeng dan kasar, pada ujungnya
terdapat 2 dataran sendi, yaitu:
1.) Capitulum humeri (lateral)
Bagian ini akan bersendi dengan fossa capituli radii membentuk
articulation humeroradialis. Bagian proximal dari capitubulum
humeri terdapat cekungan yang disebut fossa coronoidea,
sedangkan di sebelah lateralnya disebut fossa radialis (Faiz &
Moffat, 2002; Indratni, 2007).
2.) Trochlea humeri (distal)
Bagian ini akan bersendi dengan incisura semilunaris os ulnae
membentuk articulation humeroulnaris. Sebelah proximal dari
trochlea humeri terdapat cekungan dalam yang disebut fossa
olecrani, kadang sampai tembus sehingga terjadi lubang yang
6
disebut foramen supratrochleare.
Epiphysis distalis pada tepi medial dan tepi lateral menonjol kuat
yang disebut epicondylus medialis dan epicondylus lateralis.
Sulcus nervi ulnaris adalah alur yang bermula dari dataran dorsal
epiphysis distalis os humerus yang berjalan melewati epicondylus
medialis di bagian distal. Sulcus ini dilalui oleh nervus ulnaris (Faiz
& Moffat, 2002; Indratni, 2007).
Gambar 1. Os Humeri tampak anterior
7
Gambar 2. Os Humeri tampak posterior
B. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Appley & Solomon, 1995; Mansjoer
et al., 2000; Sjamsuhidajat, 2005). Adapun fraktur humeri adalah fraktur yang
terjadi pada os humerus.
C. Klasifikasi Fraktur Distal Humeri
Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar 2%
untuk semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian
fraktur humerus.
Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat terjadi karena trauma langsung
atau trauma tidak langsung. Trauma langsung contohnya adalah apabila terjatuh
atau terpeleset dengan posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena
siku tangan terbentur atau dipukul benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila
8
jatuh dalam posisi tangan menopang tubuh namun posisi siku dalam posisi tetap
lurus. Hal ini biasa terjadi pada orang dewasa usia pertengahan atau wanita usia
tua.
1. Suprakondiler Fraktur
Fraktur suprakondilus merupakan salah satu jenis fraktur yang
mengenai daerah siku, dan sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur
suprakondilus adalah fraktur yang mengenai humerus bagian distal di atas
kedua kondilus. Pada fraktur jenis ini dapat dibedakan menjadi fraktur
supracondilus extension type (pergeseran posterior) dan flexion type
(pergeseran anterior)
.Pada Dewasa
Fraktur suprakondilus extension type
Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada tangan
yang terekstensi. Humerus patah tepat di atas condilus. Fragmen distal
terdesak ke belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi)
terpuntir ke dalam.
Fraktur suprakondilus flexion type
Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung
pada sendi siku pada distal humeri.
a. Pada Anak
Angka kejadiannya pada anak sekitar 55% sampai 75% dari semua fraktur
siku. Insidensi puncaknya adalah pada anak berusia 5-8 tahun. 98% dari
fraktur suprakondiler pada anak adalah fraktur suprakondiler tipe ekstensi.
Gejala klinisnya adalah bengkak, nyeri pada daerah siku pada saat
digerakkan.
2. Transkondiler Fraktur
Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik.
3. Interkondiler Fraktur
Pada dewasa, jenis fraktur ini adalah tipe paling sering diantara tipe fraktur
humerus distal yang lain.
4. Kondiler Fraktur
9
a. Pada Dewasa
Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan fraktur kondilus
lateral.
b. Pada Anak
Lateral Condyler Physeal Fractures
Pada anak, kejadian fraktur jenis ini adalah sebanyak 17% dari
seluruh fraktur distal humerus. Usia puncaknya adalah pada saat anak
berusia 6 tahun.
Medial Condyler Physeal Fractures
Fraktur jenis ini biasanya terjadi pada umur 8 sampai 14 tahun.
. (Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, 2010)
D. Etiologi Fraktur
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.
Trauma dapat bersifat:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif
dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur.
Tekanan pada tulang dapat berupa:
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik sebagian
10
tulang
(Rasjad, 2007)
E. Patofisiologi Fraktur
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Appley & Solomon, 1995). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang (Carpnito, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma
di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang
yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar
dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black et al., 1993)
Faktor yang menyebabkan fraktur ekstremitas adalah
1. Umum
a.
b.
c.
Osteoporosis
Osteogenesis imperfekta
Osteitis deformans
2. Metabolik
a.
b.
c.
d.
Defisiensi vitamin C (skorbut )
Defisiensi vitamin D ( rakhitis )
Hiperparatiroidisme
Osteomalasia
3. Inflamasi
a.
b.
Osteomielitis
Artritis rheumatoid
4. Iskemik
a. Nekrosis avaskuler
5. Neoplastik
11
a.
b.
Tumor primer pada tulang
Karsinoma metastastik
6. Neuromuskuler
a.
b.
c.
Cedera medulla spinalis
Penyakit sel kornu anterior
Miopati
(Garrison, 2001).
F. Gambaran Klinik
1. Look
a.
b.
c.
d.
e.
Deformitas
Terdiri dari penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi dan
pemendekan.
Functio Laesa (hilangnya fungsi)
Perbandingan panjang tulang kanan dan kiri
Edema
Hematoma
2. Feel
Terdapat nyeri tekan setempat
3. Move
a.
b.
c.
d.
Krepitasi
Terasa bila fraktur digerakkan. Pemeriksaan ini sebaiknya tidak
dilakukan karena menambah trauma.
Nyeri bila digerakkan, baik pada gerak aktif maupun pasif.
Keterbatasan Range of Motion (ROM)
Penurunan kekuatan otot
(Apley & Solomon, 1995; Mansjoer et al., 2000)
G. Diagnostik
12
1. X-Ray
Merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan dalam mendiagnosa
suatu fraktur (Apley & Solomon, 1995). Pada foto polos AP dan lateral atau
dua proyeksi yang saling tegak lurus tampak gambaran garis diskontinuitas
tulang (bisa berupa garis fraktur yang lusen) pada struktur tulang normal,
utuh, padat, tidak tampak porotik, periosteum tampak licin. Pada sekitar
fraktur dapat dijumpai soft tissue swelling (Malueka, 2008).
2. CT-Scan (Computed Tomography-Scan)
Meskipun tidak secara rutin diperlukan, computed tomography adalah
tambahan yang berguna selain x-rays di beberapa keadaan. Hal ini
memungkinkan visualisasi dari patah tulang terutama di daerah yang sulit
untuk ditangkap dengan x-ray karena struktur tulang atasnya (misalnya,
vertebrae cervicalis). Computed tomography membantu dalam menentukan
tingkat gangguan artikular permukaan dalam patah tulang sendi dan patah
tulang patologis untuk menilai kerusakan tulang dan massa jaringan lunak.
3. MRI (magnetic resonance imaging
Meskipun tidak secara rutin diperlukan, MRI menawarkan keuntungan,
memberikan tomografi yang sangat baik, kontras jaringan lunak, dan
resolusi spasial menggunakan teknologi radiasi non-invasif dan nonionisasi.
MRI membantu dalam mengevaluasi fraktur patologis dan
mendiagnosis osteonekrosis dan osteomielitis, yang keduanya merupakan
false positif fraktur.
4. Bone Scan
Pasien dengan fraktur patologis memerlukan scan tulang untuk
mengevaluasi penyakit tulang metastatik dan metabolik, yang melibatkan
daerah lain dari area fraktur.
5. Tes Darah
Patah tulang dapat mengakibatkan perdarahan besar ke dalam jaringan
lunak. Uji klinis yang paling banyak digunakan untuk mengevaluasi
kehilangan darah dari fraktur adalah dengan pengukuran hematokrit
13
(Anonim, 2000).
H. Komplikasi Fraktur Humerus
1. Tulang
a.
b.
c.
d.
Delayed Union
Kecepatan Union pada fraktura berhubungan erat dengan suplai darah
setempat. Pada tempat dengan suplai darah yang banyak jarang
menimbulkan masalah pada terbentuknya union. Di tempat dengan
suplai darah yang terganggu, maka union yang normal akan lambat
terjadi dan harus dipertahankan immobilisasi yang sempurna sampai
terdapat tanda-tanda union secara klinik dan radiologik (Aston &
Hughes, 1983). Dapat terjadi pada fraktur melintang, terutama bila
terlalu banyak digunakan traksi atau bila pasien belum melatih fleksor
dan ekstensor siku secara aktif (Apley & Solomon, 1995).
Non-Union
Dikatakan non-union bila secara radiologik terdapat celah yang nyata
di antara ujung-ujung tulang, disertai sklerosis fragmen tersebut (Aston
& Hughes, 1983).
Mal-Union
Suatu fraktura bisa bersatu dalam posisi yang jelek, baik karena ujung
tulang tumpang tindih yang menyebabkan pemendekan tulang atau
karena ujung tulang menyatu dalam bentuk deformitas anguler atau
karena menyatu dalam posisi terpuntir pada bidang longitudinal.
Avascular necrosis
2. Sendi
a.
b.
Adhesi
Sudeck’s atrophy
Bermula dari Refleks Distrofi Simpatetik (RSD). RSD adalah sindrom
nyeri, hiperestesia, gangguan vasomotor dan perubahan distrofik pada
kulit dan tulang dari ekstremitas yang terkena. RSD yang terjadi
setelah trauma jaringan lunak dengan temuan atrofi tulang yang
14
c.
predominan, dirujuk sebagai atrofi tulang sudek (Garrison, 2001) atau
Osteodistrofi Sudeck (Aston & Hughes, 1983).
Stiffness
3. Otot dan tendo
a.
b.
c.
Post traumatic tendinitis
Muscle wasting
Myositis ossificans
4. Nervus
a.
b.
c.
Neuropraxia
Axonotmesis
Neurotmesis
5. Artery
a. Gangguan suplai arteri.
I. Penatalaksanaan
I. Terapi Konservatif
a. Proteksi saja
Misalnya mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan kedudukan
baik.
b. Immobilisasi saja tanpa reposisi
Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan
kedudukan baik.
c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Misalnya fraktur supracondylair, fraktur colles, fraktur smith. Reposisi dapat
dengan anestesi umum atau anestesi lokal dengan menyuntikkan obat anestesi dalam
hematoma fraktur. Fragmen distal dikembalikan pada kedudukan semula terhadap
fragmen proksimal dan dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam gips.
Misalnya fraktur distal radius, immobilisasi dalam pronasi penuh dan fleksi
pergelangan.
d. Traksi
15
Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau
dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit (traksi
Hamilton Russel/traksi Bryant). Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5
kg, untuk anak-anak waktu dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai
traksi definitif, bilamana tidak maka diteruskan dengan immobilisasi gips. Untuk
orang dewasa traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction.
II. Terapi Operatif
a. Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan bimbingan radiologis
1. Reposisi tertutup-Fiksasi eksterna
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intraoperatif maka
dipasang alat fiksasi eksterna.
2. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna
Misalnya : reposisi fraktur tertutup supra condylair pada anak diikuti dengan
pemasangan paralel pins. Reposisi tertutup fraktur collumum pada anak
diikuti pinning dan immobilisasi gips.
Cara ini sekarang terus dikembangkan menjadi “close nailing” pada fraktur
femur dan tibia, yaitu pemasangan fiksasi interna intra meduller (pen) tanpa
membuka frakturnya.
b. Terapi operatif dengan membuka frakturnya :
1. Reposisi terbuka dan fiksasi interna ORIF (Open Reduction and Internal
Fixation)
Keuntungan cara ini adalah :
Reposisi anatomis.
Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi,
misalnya:
- Fraktur talus.
- Fraktur collum femur.
Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya :
- Fraktur avulsi.
16
- Fraktur dislokasi.
Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya :
- Fraktur Monteggia.
- Fraktur Galeazzi.
- Fraktur antebrachii.
- Fraktur pergelangan kaki.
Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan
operasi, misalnya : fraktur femur.
2. Excisional Arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi, misalnya :
- Fraktur caput radii pada orang dewasa.
- Fraktur collum femur yang dilakukan operasi Girdlestone.
3. Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis
Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore atau
yang lainnya.
Sesuai tujuan pengobatan fraktur yaitu untuk mengembalikan fungsi maka sejak awal
sudah harus diperhatikan latihan-latihan untuk mencegah disuse atropi otot dan
kekakuan sendi, disertai mobilisasi dini. Pada anak jarang dilakukan operasi karena
proses penyembuhannya yang cepat dan nyaris tanpa komplikasi yang berarti.
III. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan
segera.
Tindakan sudah harus dimulai dari fase pra-rumah sakit :
- Pembidaian
- Menghentikan perdarahan dengan perban tekan
- Menghentikan perdarahan besar dengan klem
Tiba di UGD rumah sakit harus segera diperiksa menyeluruh oleh karena 40%
dari fraktur terbuka merupakan polytrauma. Tindakan life-saving harus selalu
didahulukan dalam kerangka kerja terpadu (team work).
Yang dapat dilakukan di Rumah Sakit atau Unit Gawat Darurat yaitu:
1. Obati sebagai suatu kegawatan
17
2. Evaluasi awal dan diagnosis kelainan yang mungkin akan menjadi penyebab
kematian
3. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah
operasi
4. Segera lakukan debridement dan irigasi yang baik
5. Ulangi debridemen 24-72 jam berikutnya
6. Stabilisasi fraktur
7. Biarkan luka terbuka antara 5-7 hari
8. Lakukan bone graft autogenous secepatnya
9. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena
IV. Penatalaksanaan Fraktur Tertutup
Salah satu prinsip penatalaksanaan fraktur adalah untuk meminimalisir
pergerakan di daerah fraktur/cedera tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan
yaitu:
- Rekognisi, yaitu memperkirakan atau memastikan daerah yang dicurigai
adanya fraktur
- Reduksi, berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya ( ujung ujungnya saling berhubungan ) dengan manipulasi dan
traksi manual
- Immobilisasi, tau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar
sampai terjadi penyatuan
- Rehabilitasi, bertujuan untuk mengembalikan kondisi tulang yang patah
ke keadaan normal dan tanpa menggagu proses fiksasi
(Hoppenfeld and Vasantha Murthy. 2000)
BAB III
Rehabilitasi Medik
Terapi yang digunakan pada kasus fraktur dapat berupa terapi latihan maupun
18
terapi dengan modalitas. Terapi dengan modalitas yang sering digunakan yaitu traksi,
yang dapat mereposisi kembali tulang yang fraktus, sekaligus juga dapat mengurangi
nyeri yang timbul di daerah fraktur.
Prinsip-prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1. Reduksi
Adalah restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat
diterima.
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan posisi anatomis normal. Sasarannya adalah untuk
memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi anatomik normalnya.
Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka.
Metode reduksi :
a. Reduksi tertutup (Manipulasi atau close reduction)
Pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan “Manipulasi dan Traksi manual”.
b. Reduksi terbuka (Open Reduction)
Reduksi bedah pada fraktur dengan penglihatan langsung
diindikasikan: (a) bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan
mengendalikan fragmen atau karena terdapat jaringan lunak diantara
fragmen-fragmen tersebut, (b) bla terdapat fragmen artikular besar yang
perlu ditempatkan secara tepat, (c) bila terdapat fraktur traksi yang
fragmennya terpisah. Biasanya reduksi terbuka merupakan langkah
pertama untuk fiksasi internal (open reduction, internal fixation /
ORIF). Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, palt, paku
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahan kan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
c. Traksi,
Dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
19
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi (Apley &
Solomon, 1995).
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang
fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
1.) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
2.) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
2. Imobilisasi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya
sampai terjadi penyembuhan.
Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat
“eksternal” (bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi,
balutan) dan alat-alat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll)
(Apley & Solomon, 1995).
3. Terapi Rehabilitasi pada fraktur
Problematika Rehabilitasi medik yang sering muncul pada pasca
operasi fraktur humeri sepertiga distal meliputi impairment, functional
limitation dan disability.
a. Impairment
Problematika yang muncul adalah (1) adanya edema pada lengan atas
terjadi karena suatu reaksi radang atau respon tubuh terhadap cidera
jaringan, (2) adanya nyeri gerak akibat luka sayatan operasi yang
menyebabkan ujung -ujung saraf sensoris teriritasi dan karena adanya
20
oedem pada daerah sekitar fraktur, (3) penurunan luas gerak sendi
karena adanya nyeri dan oedem pada daerah sekitar fraktur,(4) adanya
penurunan kekuatan otot karna nyeri.
b. Functional limitation
Terdapat keterbatasan aktifitas fungsional terutama aktifitas yang
menggunakan tangan.
c. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan
yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya yaitu kesulitan
dalam melakukan aktivitasnya.
Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang
pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif
untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan
kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi,
keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner & Colby, 1996).
a. Latihan fisiologis otot
Mengikuti imobilisasi, otot disekitar bagian yang fraktur akan
kehilangan volume, panjang dan kekuatannya. Perlu penentuan program
latihan yang aman untuk mengembalikan panjang dan fisiologis otot
dan mencegah komplikasi sekunder yang biasanya mengikuti.
b. Mobilisasi sendi
Kekakuan sendi sering terjadi dan menjadi masalah utama ketika
anggota gerak badan tidak digerakkan dalam beberapa minggu. Fokus
rehabilitasi adalah melatih dengan teknik dimana dapat menambah dan
mengembalikan lingkup gerak sendi yang terpengaruh ketika fraktur
sudah sembuh.
Bila di gips, mobilisasi sendi mulai diberikan secara hati-hati pada
minggu kedua. Sedangkan bila dengan internal fixasi, bisa diberikan
sedini mungkin.
c. Massage
Pelepasan keketatan otot dan trigger points yang terjadi pada otot
21
yang mengikuti pembidaian dan penge-gips-an akan mengurangi nyeri
dan mengembalikan panjang otot.
d. Pemanasan dan Terapi listrik
Sangat umum terjadi kekakuan jaringan lunak bila imobilisasi lama.
Pemanasan dan terapi listrik menunjukkan manfaat tambahan bagi
terapi manual dan terapi latihan dalam mengurangi nyeri dan
mengembalikan panjang otot.
Waktu Konservatif Operatif
1 minggu -gerak aktif jari-jari dan
pergelangan tangan secara
penuh untuk mencegah
bengkak
-tidak boleh latihan LGS dan
penguatan sendi siku dan
bahu.
Gerak pasif sendi siku dan
bahu dalam batas nyeri
masih bisa ditolerir
2 minggu -Gerak pasif pasif sendi siku
dan bahu dalam batas nyeri
bisa ditolerir.
-tidak boleh latihan
penguatan.
-latihan LGS sendi siku dan
bahu
-latihan pendulum sendi
bahu
-tidak boleh ada beban.
4-6
minggu
-lat. Peningkatan LGS sendi
siku dan bahu.
-latihan penguatan(isometrik
dan isotonik)
-latihan beban ringan
-gunakan tangan untuk
aktivitas sehari-hari.
-lat. Peningkatan LGS sendi
siku dan bahu.
-latihan penguatan ringan
(isometrik dan isotonik)
-latihan beban ringan
8-12
Minggu
-Full Weight Bearing
( push up)
-lat. Peningkatan LGS sendi
Aktifitas penuh
22
siku dan bahu.
-latihan penguatan dengan
beban ditingkatkan.
Sedangkan terapi latihan dapat berupa:
1) Range of Motion (ROM)
Gerakan sebuah sendi dengan jangkauan parsial atau penuh yang
bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan jangkauan gerak sendi.
1. ROM penuh (full ROM)
ROM penuh artinya ROM yang sesuai dengan dasar anatomi
dari sendi itu sendiri.
2. ROM fungsional
ROM fungsional adalah gerakan sendi yang diperlukan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari atau kegiatan pasien yang
spesifik. Contohnya: ROM lutut dari ekstensi penuh (00) sampai
fleksi 900 merupakan ROM yang tidak penuh, tetapi ROM ini
fungsional untuk duduk.
3. ROM aktif
Pasien disuruh melakukan gerakan sendi secar parsial atau
penuh tanpa bantuan orang lain. Tujuannya untuk memelihara
ROM dan kekuatan minimal akibat kurang aktifitas dan
menstimulasi sistemkardiopulmoner, Sasarannya otot dengan
kekuatan poor sampai dengan good (2 sampai dengan 4).
4. ROM aktif assistive
Pada latihan ini pasien disuruh kontraksikan ototnya untuk
menggerakkan sendi, dan ahli terapi membantu pasien dalam
melakukannya.
5. ROM pasif
Latihan ini dengan menggerakkan sendi tanpa kontraksi otot
pasien. Seluruh gerakan dilakukan oleh dokter atau terapis.
Tujuannya memelihara mobilitas sendi ketika kontrol dari otot-
23
otot volunter/ sendi hilang atau pasien tidak sadar/ tidak ada
respon. Sasarannya otot dengan kekuatan zerro-trace (0-1).
2) Terapi latihan merupakan salah satu modalitas terapi yang
pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun
pasif untuk perbaikan dan pemeliharaan kekuatan katahanan, dan
kemampuan vaskular, mobilitas, fleksibilitas, stabilitas, rileksasi,
koordinasi, keseimbangan, dan kemampuan fungsional.
1. Static contraction
Static contraction merupakan suatu terapi latihan dengan cara
mengkontraksikan otot tanpa disertai perubahan panjang otot
maipin pergerakan sendi. Tujuan kontraksi isometris ini adalah
pumping action pembuluh darah balik, yaitu terjadinya
peningkatan perifer resistance of blood vessel. Dengan adanya
hambatan pada perifer maka akan didapatkan peningkatan
tekanan darah dan secara otomatis caridiac output akan
meningkat sehingga mekanisme metabolisme menjadi landar
dan udem menjadi menurun, dan akhirnya nyeri berkurang.
2. Relaxed passive exercise
Gerakan murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai
gerakan dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk
melatih otot secara pasif, oleh karena itu gerakan berasal
dariluar atau terapis sehingga dengan gerak Relaxed passive
exercise ini diharapkan otot menjadi rileks dan menyebabkan
efek penguranangan atau penurunan nyeri akibat insisi serta
mencegah terjadinya keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas
otot.
3. Hold Relax
Hold Relax merupakan teknik latihan yang menggunakan
kontraksi otot secara isometrik kelompok antagonis yang diikuti
rileksasi otot tersebut.
4. Aktive exercise
24
Aktif exercise merupakan gerakan yang dilakukan ikeh adany
kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan,
gerakan yang dilakukan melawan grafitasi penuh.
3) Latihan kekuatan (strengthening exercise)
Syarat melakukan latihan ini adalah (1) kekuatan otot di atas fair
(50%) dam (2) beban di atas 35% dari kemampuan otot
1. Isometric exercise
Pada latihan ini panjang otot tidak bertambah, terjadi kontraksi
otot tanpa pergerakan sendi. Kontraksi optimal enam detik, 1
kali perhari. Bertujuan untuk meningkatkan penguatan oto
ketika ada kontraksi lain seperti fraktur yang tidak stabil atau
adanya nyeri.
2. Isotonic exercise
Merupakan latihan dinamis menggunakan beban statis, tetapi
kesepakatan gerak otot tidak dikontrol. Kontraksi bersamaan
dengan gerak sendi. Latihan ini sering digunakan untuk
meningkatkan kekuatan otot pada tahap pertengahan dan tahap
akhir dari rehabilitasi medik.
3. Isokinetic exercise
Pada latihan ini kecepatan gerak sendi konstan beban dinamin
tetapi kecepatan gerak tetap. Latihan ini digunakan pada
rehabilitasi tahap akhir.
e. Okupasi Terapi
Tujuan OT adalah membantu seseorang menjadi mandiri dalam
beraktifitas baik dengan alat bantu ataupun tanpa alat bantu terutama
untuk aktivitas kesehariannya (makan, minum, mandi, berpakaian, dan
lainnya).
Jenis-jenis aktifitas yang dilakukan dalan terapi okupasi:
1.) Aktifitas sehari-hari
25
Okupasi terapis melatih aktifitas-aktifitas sehari-hari seperti memakai /
melepas / mengancingkan baju, transfer dari kursi roda ke toilet / kursi /
tempat tidur, makan, minum, mandi, berhias, menggosok gigi,
membersihkan setelah BAB / BAK.
2.) Aktifitas rumah tangga
Okupasi terapis melatih untuk dapat melakukan kegiatan rumah tangga
seperti mencuci, menyetrika baju, memasak, dsb dengan memaksimalkan
kemampuannya.
3.) Aktifitas di waktu luang
Aktifitas ini lebih dikenal dengan Program Box system. Selain berfungsi
untuk mengisi waktu luang, juga berfungsi untuk menstimulasi fungsi
kognitif serta meningkatkan fungsi motorik halus.
Permasalahan Rehabilitasi Medik
Masalah Rehabilitasi pada Fraktur Humerus
a. Nyeri
b. Bengkak
c. Keterbatasan gerak
d. Gangguan fungsional dalam ADL (Activity Daily Living)
e. Pada tahap lanjut dapat terjadi disuse atrofi pada lengan yang
cedera
Edukasi
Dalam hal ini pasien diberi pengertian tentang kondisinya dan harus
berusaha mencegah cedera ulang atau komplikasi lebih lanjut dengan cara
aktifitas sesuai kondisi yang telah diajarkan oleh terapis. Di samping itu juga
peran keluarga sangatlah penting untuk membantu dan mengawasi segala
aktifitas pasien di lingkungan masyarakatnya.
26
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1.
2.
Fraktur Humeri adalah terputusnya kontinuitas tulang humerus dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur pada humerus dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu karena
trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau kelemahan abnormal
27
3.
4.
pada tulang.
Problematika fisioterapi yang sering muncul pada pasca operasi fraktur
humeri sepertiga tengah meliputi impairment, functional limitation dan
disability.
Penanganan rehabilitasi medik seperti fisioterapi harus segera dilakukan
sehingga komplikasi yang sifatnya menetap dapat dicegah. Penanganan
fisioterapi berupa meningkatkan kekuatan otot, menambah lingkup
gerak sendi dengan modalitas terapi berupa latihan. Dimulai dari
gerakan isometric, dilanjutkan gerakan isotonic secara bertahap berupa
ROM exercise, dan latihan gerak fungsional berupa latihan duduk,
latihan berdiri, dan latihan berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Fracture- Diagnosis . http://www.painanddisability.com/Surgery/Fractures/Diagnosis.html. (22 Oktober 2011)
Aston, M., Hughes, S. 1983. Kapita Selekta Traumatologik dan Ortopedik (Aston’s Short Textbook of Orthopedics and Traumatology). EGC: Jakarta.
28
Appley A. G., Solomon L. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley, Edisi Ketujuh. Jakarta: Widya Medika.
Black, J.M. et al. 1993. Luckman and Sorensen's Medical Nursing: A Nursing Process Approach. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Borsa P.A., Lephart S.M., Kocher M., Lephart S.P. 1994. “Functional assessment and rehabilitation of shoulder proprioception”. Journal of Sports Rehabilitation. 1994; 3: 84-105
Carpenito L.J. 1995. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC.
Davies G.J., Dickoff-Hoffman S. 1993. “Neuromuscular testing and rehabilitation of the shoulder complex”. J Orthop Sports Phys Ther ;18(2):449-458.
Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614
Faiz O., Moffat D. 2002. At a Glance Anatomi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Garrison S. J. 2001. Dasar-dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta:
Hipokrates.
Hodgson S.A., Mawson S.J., Stanley D. 2003. “Rehabilitation after two-part
fractures of the neck of the humerus”. J Bone Joint Surg [Br]. 2003;85-
B:419-22.
Hoppenfeld, Stanley and Vasantha Murthy. 2000. Treatment and Rehabilitation of
Fractures. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
Khazzam, Michael. Tassone, Channing. Liu, C, Xue. Lyon, Roger. Freeto, Brian. Schwab, Jeffery. Thometz , John. 2009. “Use of Flexible Intramedullary Nail Fixation in Treating Femur Fractures in Children”. The American Journal of Orthopedics. http://www.amjorthopedics.com/pdfs/038030049e.pdf
Kisner C., Colby L.A. 1996. Therapeutic Exercise: Foundations and Techniques, 3rd Edition. Philadelphia: F. A. Davis Company.
Malueka R.G. 2008. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press
Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid II. Jakarta: Medika Aesculapius FKUI
29
Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2007, Bab. 14; Trauma.
Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Thomson A.M. 1991. Tidy’s Physiotherapy, 12th ed. United Kingdom:
Butterworth Heinemann.
30