Referat Stemi Af Eri

65
REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL BAB I PENDAHULUAN Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu fase akut dari angina pektoris tidak stabil (APTS) yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (vulnerable). Laju mortalitas awal (30 hari) mencapai 30 % dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien tiba di rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam dua dekade terakhir, sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA. Risiko serangan semakin tinggi dengan bertambahnya usia, pria mempunyai risiko lebih tinggi dari pada wanita, tapi perbedaan ini makin lama semakin mengecil dengan meningkatnyan umur. Frekuensi SKA juga akan meningkat bila terdapat faktor- faktor predisposisi aterosklerosis. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya keadaan ini antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemi, merokok, diet kurang olah raga, stress, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Faktor pencetus lainnya aktivitas fisik berat, stres, emosi, segera setelah makan, atau penyakit medis dan bedah. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD KOTA SEMARANG Page 1

description

test

Transcript of Referat Stemi Af Eri

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu fase akut dari angina pektoris tidak stabil

(APTS) yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa

gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis

akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (vulnerable). Laju mortalitas awal (30

hari) mencapai 30 % dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien tiba di

rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam dua dekade terakhir,

sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun

pertama setelah IMA.

Risiko serangan semakin tinggi dengan bertambahnya usia, pria mempunyai risiko

lebih tinggi dari pada wanita, tapi perbedaan ini makin lama semakin mengecil dengan

meningkatnyan umur. Frekuensi SKA juga akan meningkat bila terdapat faktor-faktor

predisposisi aterosklerosis. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya keadaan ini antara lain

hipertensi, diabetes melitus, dislipidemi, merokok, diet kurang olah raga, stress, serta

riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Faktor pencetus lainnya aktivitas fisik berat,

stres, emosi, segera setelah makan, atau penyakit medis dan bedah.

Dengan pengobatan farmakologis, berbagai penelitian menunjukkan bahwa dalam 1

tahun pertama, variasi persentase penderita APTS yang mengalami IMA berkisar antara 6-

60% dengan tingkat kematian 1-40%. Penelitian Heng dkk melaporkan bahwa selama

perawatan di rumah sakit terdapat 26% penderita APTS dengan angina berulang mengalami

IMA. Sedangkan tanpa angina berulang hanya 10%. Demikian juga Julian melaporkan dalam

1 tahun, 8% penderita APTS mengalami IMA dengan tingkat kematian 12%. Juga dilaporkan

kejadian IMA pada fase perawatan dari rumah sakit adalah 6,25% dengan tingkat kematian

2,08% sedangkan pada fase pemeriksaan tindak lanjut 20,45% dengan tingkat kematian 0%.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 1

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari : 1. Angina pektoris tidak stabil

(Unstable Angina Pectoris / UAP), 2. IMA tanpa elevasi ST (non ST elevation myocardial

infarction / NSTEMI), 3. IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction / STEMI).

Salah satu komplikasi SKA adalah aritmia berupa fibrilasi atrial (AF). AF dilaporkan

telah memperberat kejadian AMI pada 6-21% pasien rawat inap. Secara klinis, timbulnya AF

penting karena laju ventrikel yang cepat dan ireguler selama aritmia dapat menyebabkan

gangguan lebih lanjut sirkulasi koroner dan fungsi ventrikel disamping konsekuensi aktivasi

neurohormonal.

Beratnya komplikasi AF berupa thrombosis dan emboli serebral menyebabkan

perlunya penanganan segera untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 2

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

BAB II

AMI DENGAN ELEVASI ST

(ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION / STEMI)

II.1. Definisi

STEMI adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu, aliran

darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik

yang sudah ada sebelumnya/menetap.

II.2. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah

oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika

trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini

dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 3

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur

atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi

trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian

histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous

cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik

terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan

respons terhadap terapi trombolitik.

Pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu

aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2

(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan

konfirmasi reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor

mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut

(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah

molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara stimultan,

menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.

Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang

kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)

kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan

fibrin.

Pada kondisi yang jarang, STEMI juga dapat disebabkan oleh oklusi arteri koroner

yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan

berbagai penyakit inflamasi sistemik.

II.3. Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara

cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri

dada yang berasal dari jantung, perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau

bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-

faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stres serta

riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 4

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Pada hampir setengah kasus terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti

aktivitas fisik berat, stres, emosi atau penyakit medis dan bedah. Walaupun STEMI dapat

terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan terutama pada pagi hari

dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Bila pasien ditanya secara cermat, mereka sering

mengatakan bahwa waktu sebelum serangan bervariasi dari hari pertama hingga 2 minggu.

II.1.4. Gejala klinis

Kebanyakan pasien dengan IMA mencari pengobatan karena rasa sakit di dada.

Namun demikian, gambaran klinis bisa bervariasi dari pasien yang datang untuk melakukan

pemeriksaan rutin, sampai pasien yang merasa nyeri di daerah substernal yang hebat dan

secara cepat berkembang menjadi syok dan edema pulmonal, dan ada pula pasien yang

baru saja tampak sehat lalu tiba-tiba meninggal.

Serangan infark miokard biasanya akut, dengan rasa sakit seperti angina, tetapi tidak

seperti angina yang biasa, di sini terdapat penekanan yang luar biasa pada dada atau

perasaan akan datangnya kematian. Bila pasien sebelumnya pernah mendapat serangan

angina, maka ia tahu bahwa sesuatu yang berbeda dari serangan angina sebelumnya sedang

berlangsung. Kebalikan dari angina yang biasa, IMA terjadi sewaktu pasien dalam keadaan

istirahat, sering pada jam-jam awal setelah bangun tidur di pagi hari. Nitrogliserin tidak

mengurangi rasa sakit yang lama-lama bisa berkurang/menghilang dan bisa pula bertahan

berjam-jam bahkan sampai berhari-hari.

Terdapat laporan adanya infark miokard tanpa disertai rasa sakit. Namun bila pasien

ditanya secara cermat, mereka biasanya menerangkan adanya gangguan pencernaan atau

rasa benjol di dada yang samar-samar yang hanya sedikit menimbulkan rasa tidak enak.

Sesekali pasien akan mengalami rasa napas yang pendek (seperti orang kelelahan) dan

bukannya tekanan pada substernal. Sesekali bisa pula terjadi cekungan atau singultus akibat

iritasi diafragma oleh infark dinding inferior. Pasien biasanya tetap sadar , tetapi gelisah,

cemas atu bingung.

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada

angina adalah sebagai berikut :

Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 5

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Sifat nyeri : diffuse, rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,

nyeri tumpul, rasa diperas, dan dipelintir.

Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,

punggung atau interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.

Faktor pencetus : latihan fisik, stres, emosi, udara dingin dan sesudah makan.

Gejala yang menyertai : mual, muntah sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan

lemas.

Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering

dijumpai pada diabetes melitus dan pada usia lanjut.

II.5. Pemeriksaan fisik

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas

pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak

keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai

manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan atau hipotensi) dan hampir

setengah pasien infark inferior menunjukkkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan

atau hipotensi).

Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan

intensitas pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Nadi biasanya cepat, kecuali

bila ada blok AV yang komplit atau inkomplit. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late

sistolik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katub mitral dan

pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu

pertama pasca STEMI.

II.6. Pemeriksaan penunjang

Elektrokardiogram

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada

atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit

sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 6

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat

mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan

EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap ada gejala dan terdapat

kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12

sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi

segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk

mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi

menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q,

sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q.

Tabel 1. Perubahan EKG setelah infark miokard akut

Waktu setelah IMA Perubahan EKG

Sampai beberapa jam Dapat normal atau perubahan tidak khas

Jam Pembentukan gelombang Q, elevasi

segmen ST

Jam sampai hari Inversi gelombang T, elevasi segmen ST

berkurang

Hari sampai minggu Inversi gelombang T, segmen ST isoeletrik

Minggu sampai bulan Gelombang Q menetap

Tahun 10% kasus dapat kembali normal

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 7

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 8

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Posterior infarction

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien

STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.

Biomarker kerusakan jantung

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan Cardiac specific

Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda

optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakkan otot skeletal, karena pada keadaan ini

juga akan diikuti dengan peningkatan CKMB. Troponin T/I mempunyai sensitivitas dan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 9

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

spesifisitas tinggi sebagai petanda kerusakan sel miokard dan prognosis. Pada pasien dengan

elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung

pada pemeriksaan biomarker.

Bila peningkatan nilai enzim di atas, 2 kali nilai batas atas normal, menunjukkan ada

nekrosis jantung (infark miokard).

CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada miokard infark dan mencapai puncak

dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis

dan kardioversi elektrik meningkatkan CKMB.

cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada

infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat

dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. (Nilai normal troponin

ialah 0,1--0,2 mg/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 mg/dl.

Mioglobin : dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8

jam.

Creatinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan

mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

Lactic Dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,

mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

SGOT/AST (Aspartat Amino Transferase) : SGOT ditemukan di jantung, hati, otot,

rangka, ginjal dan otak. SGOT meningkat pada bendungan hati akibat gagal jantung.

Pada IMA, SGOT meningkat setelah 8-12 jam, mencapai puncak setelah 36-48 jam

dan kembali normal setelah 2-4 hari.

Leukosit : reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis

polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan

menetap selam 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.

Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi jauh lebih bermanfaat daripada

ekokardiografi M-mode, karena :

Orientasi ruangnya lebih luas sehingga kepekaan lebih tinggi.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 10

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Pada IMA dapat tampak kontraksi asinergi di daerah yang rusak dan penebalan

sistolik dinding jantung yang menurun.

Dapat ditemukan daerah dan luas IMA yang terkena.

Dapat mendeteksi penyulit-penyulit seperti aneurisma ventrikel, trombus, ruptur m.

papillaris atau korda tendinea, ruptur septum, tamponade jantung akibat ruptur

jantung, pseudoaneurisma jantung.

Berguna untuk menilai faal jantung secara umum dan membantu menetapkan

adanya infark ventrikel kanan.

Radioisotop

Technetium 99m pyrophosphate positive imaging (hot spot scan) berguna pada 24-

48 jam pasca infark sampai kira-kira 10-14 hari. Radionuklid ini diambil dan terikat

pada daerah-daerah nekrotik dan tidak pada daerah normal sehingga pada IMA

transmural akan tampak sebagai hot spot.

Thallium 201 perfusion scanning sebaliknya memberi gambaran cold spot pada

daerah-daerah yang tidak cukup mendapat perfusi darah.

Gated blood pool scanning akan membantu analisis pergerakan dinding jantung dan

faal jantung.

Radiologi

Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu menegakkan diagnosis IMA dengan

elevasi ST. Namun demikian akan berguna bila ditemukan adanya bendungan paru (gagal

jantung) atau kardiomegali.

II.7. Diagnosis

Diagnosis IMA dengan elevasi ST/STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri

dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sadapan

prekordial yang berdampingan atau ≥1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim

jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan

memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat

prinsip utama penatalaksanaan IMA adalah time is muscle.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 11

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Kriteria diagnostik :

Nyeri dada khas atau tipikal (substernal > 30menit, menjalar, tidak hilang saat

istirahat).

EKG khas infark : gelombang Q patologis, elevasi ST, inversi gelombang T.

Peningkatan serum enzim lebih dari 2 kali nilai normal (peningkatan kadar LDH,

CPK, CKMB, SGOT dan Troponin T).

Menurut kriteria WHO (1983), diagnosis IMA dapat ditegakkan bila memenuhi 2 dari

3 kriteria di atas.

Diagnosis yang terlambat atau salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan

konsekuensi yang berat.

II. 8. Diagnosis banding

♦ Angina pektoris tidak stabil (Unstable Angina Pectoris)

Elektrokardiografi tanpa serangan nyeri dada biasanya normal saja. EKG pada waktu

serangan didapati segmen ST elevasi tanpa disertai gelombang Q patologis dan tanpa

disertai peningkatan enzim.

♦ Diseksi aorta akut

Nyeri dada disini umumnya amat hebat, dapat menjalar ke perut dan punggung.

Nadi perifer dapat asimetris dan dapat ditemukan bising diastolik dini di parasternal kiri.

Pada foto rontgen dada tampak pelebaran mediastinum.

♦ Perikarditis akut

Nyeri dada yang lebih berat pada saat inspirasi

♦ Kelainan intra abdominal (kolik kolelitiasis, kolelitiasis akut, pankreatitis akut)

Rasa sakitnya adalah diffus dan bersifat mencekam, mencekik, mencengkeram atau

membor. Paling nyata didaerah subternal, dari mana ia menyebar kedua lengan,

kerongkongan atau dagu, atau abdomen sebelah atas.

♦ Kelainan lokal dinding dada

Nyeri umumnya setempat, bertambah dengan tekanan atau perubahan posisi.

♦ Kelainan saluran cerna bagian atas (hernia diafragmatika)

Nyeri berkaitan dengan makanan dan cenderung timbul pada waktu tidur. Kadang-

kadang ditemukan EKG non-spesifik.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 12

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

♦ Kompresi saraf (terutama C-8)

Nyeri terdapat pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut.

II.9. Komplikasi

► Disfungsi ventrikuler

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran serta

dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut

remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara

klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri

mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark antara lain; slippage

serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik.

Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark. Pembesaran ruang jantung

secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi pasca

infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata,

lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis yang buruk. Progresivitas dilatasi dan

konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain.

Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor

ACE harus diberikan.

► Gangguan hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah

sakit akibat STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan

tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.

Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan

S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.

► Gangguan irama dan konduksi

a. Aritmia

Insiden aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,

gangguan elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard. Karena

aritmia lazim ditemukan pada fase akut IMA, hal ini dapat pula dipandang sebagai bagian

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 13

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

perjalanan penyakit IMA. Aritmia perlu diobati bila menyebabkan gangguan

hemodinamik, meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dengan akibat mudahnya

perluasan infark, atau bila merupakan predisposisi untuk terjadinya aritmia yang lebih

gawat seperti takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel atau asistol. Karena prevalensi aritmia

terutama paling sering pada 24 jam pertama sesudah serangan dan banyak berkurang

pada hari-hari berikutnya, jelaslah bahwa hari-hari pertama IMA merupakan masa-masa

terpenting.

b. Sinus bradikardia

Umumnya disebabkan oleh vagotonia dan sering menyertai IMA inferior atau

posterior. Bradikardia sinus simtomatik, sinus pauses >3 detik atau bradikardia dengan

frekuensi jantung <40 kali/menit disertai hipotensi dan tanda gangguan hemodinamik

sistemik. Bila hal ini menyebabkan keluhan, hipotensi, gagal jantung, atau bila disertai

peingkatan iritabilitas ventrikel, diberi pengobatan dengan sulfas atropin IV 0,5 - 1 mg tiap

3 – 5 menit untuk mencapai frekuensi jantung 60 kali tiap menit. Bila atropin gagal perlu

dipikirkan pemasangan alat pacu jantung. Isoprenalin (dosis 1 – 2 mg / menit) dapat

dicoba sebelum pemasangan pacu jantung, tetapi harus diingat bahwa obat ini

mempunyai ambang keamanan yang sempit dan cenderung menyebabkan takiaritmia dan

perluasan infark.

c. Gangguan hantaran arterioventrikuler

Blok AV derajat 1 umumnya ditemukan pada IMA inferior dan tidak perlu diobati.

Blok AV derajat 2 juga umumnya menyertai IMA inferior dan biasanya merupakan blok AV

Mobitz tipe 1 Wenckebach. Pengobatan hanya diperlukan bila irama ventrikel lambat dan

atau iritabilitas ventrikel meningkat atau bila disertai gagal jantung atau syok. Blok AV

derajat 2 tipe 2 jarang dan umumnya menyertai IMA anterior. Blok AV jenis ini biasanya

cenderung memburuk menjadi blok AV total. Respon terhadap atropin sering buruk dan

secepatnya perlu dipasang pacu jantung. Blok AV derajat 3 (blok total) pada IMA inferior

umumnya didahului blok AV derajat 2 dan bermanifestasi sebagai irama nodal dengan

kompeks QRS normal dan frekuensi 50–60 kali permenit. Blok AV ini disebabkan karena

nekrosis jaringan konduksi yang sering menyertai IMA yang luas. Mortalitas disini tinggi

walau dipasang pacu jantung.

d. Sinus takikardia

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 14

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Ditemukan pada 1/3 kasus IMA dan umumnya sekunder akibat peningkatan tonus

saraf simpatis, gagal jantung, nyeri dada, perikarditis, dll. Pengobatan ditujukan pada

kelainan dasar. Sering berhasil dengan pemberan obat sedatif atau analgetik. Takikardia

sinus yang menetap akan meningkatakan kebutuhan oksigen miokard dan menyebabkan

perluasan infark.

e. Kontraksi prematur ventrikel

Hal ini praktis ditemukan pada semua pasien IMA. Indikasi pemberian pengobatan

adalah bila kontraksi prematur ventrikel sering ditemukan (> 6 kali / menit), multiform,

timbul berpasangan atau berturut-turut atau fenomen R diatas T. Obat pilihan yaitu

lidokain 1–2 mg / kgBB IV perlahan-lahan. Dapat diulang setelah 3-10 menit sampai

maksimal 300 mg. dosis pemeliharaan 2-4 mg / menit.

► Infark ventrikel kanan

Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior menunjukkan sekurang-

kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas

primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabakan tanda

gagal ventrikel kanan yang berat (peningkatan tekanan vena jugularis, tanda Kussmaul’s,

hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sandapan V4R, sering

dijumpai dalam 24 jam pertama pasien infark vntrikel kanan.

Pada pengobatan gagal jantung, diberikan furosemid dosis 20-40 mg dan diulang

tergantung keperluan. Pemberian venodilator seperti nitrogliserin topikal atau isosorbid

dinitrat sublingual atau peroral akan mengurangi bendungan paru dan sesak nafas. Obat

lain yang diberikan adalah dopamin (3-15 mg / kgBB / menit) dan dobutamin (2,5-10 mg /

kgBB / menit). Obat-obatan ini merupakan obat yang poten dan kardioselektif.

► Ekstrasistol ventrikel

Depolarisasi premature ventrikel sporadis yang tidak sering terjadi pada hampir

semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi.

► Syok kardiogenik

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 15

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90%

terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik

mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

Gambaran klinis penderita ini adalah hipotensi disertai keringat dingin, gelisah dan

keadaan memburuk terus hingga tekanan darah tidak terukur.

► Tromboembolisme

Trombus mural dapat ditemukan di ventrikel kiri pada tempat IMA dan kadang-

kadang terjadi dalam 24 jam. Bila diketahu terdapat trombus mural, antikoagulan (heparin

yang disusul dengan preparat koumarin) perlu diberikan.

► Aneurisma ventrikel

Dapat timbul setelah terjadi IMA transmural. Penonjolan paradoksal dinding depan

jantung kiri pada sistolik dapat diraba pada masa dini IMA anterior luas. Tetapi umumnya

hanya temporer. Umumnya diperlukan waktu beberapa bulan sebelum suatu aneurisma

terbentuk. Secara radiologis dapat ditemukan penonjolan batas jantung dan pada EKG

tampak elevasi segmen ST yang menetap. Risiko aneurisma ventrikel adalah curah jantung

yang menurun, trombus mural dengan emboli dan aritmia ventrikel. Aneurismektomi dan

operasi lintas koroner diperlukan bila ditemukan gagal jantung, angina atau aritmia

refrakter.

► Perikarditis

Sering ditemukan dan ditandai dengan nyeri dada yang lebih berat saat inspirasi dan

tidur terlentang. Bunyi gesek perikardial dapat didengar tapi sering hanya sementara.

Pengobatan dengan aspirin atau kadang-kadang indometasin umumnya cukup. Pada

kasus-kasus berat dapat diberi steroid.

II.10. Komplikasi mekanik

● Regurgitasi mitral akut

Relatif lebih ringan dan bersifat sementara, disebabkan oleh disfungsi otot papilaris.

Secara klinis ditandai oleh bising pansistolik di apeks. Ruptur otot papilaris dan atau korda

tendinea lebih jarang dan sering menyebabkan gagal jantung akut dan penurunan tekanan

darah. Diagnosis pasti dapat dibuat dengan ekokardiograafi dan lebih jauh dengan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 16

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

penyadapan jantung. Pengobatan cepat (diuretik dan vasodilator) diperlukan. Operasi

penggantian katub mitral kadang-kadang perlu dilakukan, teapi bila mungkin setelah

kondisi hemodinamik agak lebih stabil, 4-6 minggu setelah serangan IMA.

● Ruptur septum ventrikel dan dinding ventrikel

Ruptur ventrikel menyebabkan tamponade, renjatan, dan klinis dapat diketahui

dengan adanya disosiasi elektromekanis (masih ada aktivitas elektris tanpa ditemui

aktivitas mekanis). Operasi segera sering terlambat. Ruptur septum interventrikuler

mengakibatkan pintas kiri ke kanan dengan hipotensi, bendungan paru, dan tanda lain

gagal jantung kiri dan kanan. Pengobatan pertama pada regurgitasi mitral akut. Operasi

bila mungkin ditunda sampai 6 minggu untuk memberi kesempatan tepi daerah rupture

mengalami fibrosis dan operasi lebih dini sering memberi hasil yang relatif lebih baik.

II.11. Penatalaksanaan

Tatalaksana IMA dengan elevasi ST (STEMI) saat ini mengacu pada data-data dari

evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang

ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline) yaitu dari ACC/AHA tahun

2004 dan ESC tahun 2003. Namun demikian masih perlu disesuaikan dengan kondisi sarana

atau fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di

bidang kardiologi intervensi).

Tujuan utama tatalaksana IMA pertama adalah : 1. diagnosis cepat, 2. menghilangkan nyeri

dada dan cemas, 3. penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, 4.

pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, 5. pemberian obat penunjang, 6.

mencegah dan mengobati sedini mungkin komplikasi (30-40%) yang serius.

A. Tatalaksana awal

● Tatalaksana pra rumah sakit

Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan adanya

fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi pada 24 jam pertama onset

gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama

tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain;

1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis,

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 17

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

2. Segera memanggil tim medis gawat darurat yang dapat melakukan tindakan

resusitasi,

3. Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf

medis dokter dan perawat yang terlatih,

4. Melakukan terapi reperfusi.

Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan

selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada

sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Ini bisa ditanggulangi dengan

cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai

pentingnya tatalaksana dini.

Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di

ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan

kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di

Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital belum bisa dilakukan.

● Tatalaksana di IGD

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup; mengurangi atau menghilangkan nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, mengklasifikasi pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

B. Tatalaksana umum● Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri

<90%. Langkah ini berguna untuk menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai

dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/menit secara kanul hidung. Pada

semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan selama 6 jam pertama.

● Nitrogliserin (NTG)

Nitroglserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan

dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada.

NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload

dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang

terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 18

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

diberikan NTG IV (intravena). NTG IV juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi

atau edema paru.

Kontraindikasi pemakaian nitrat : 1). Pasien dengan tekanan darah sistolik <90

mmHg, 2). Pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada

EKG, JVP meninkat, paru bersih dan hipotensi), 3). Pasien yang menggunakan

phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu

efek hipotensi nitrat.

Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada

tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10

ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100

mmHg.

● Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada

Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan

dengan aktivasi simptis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban

jantung.

- Morfin, merupakan analgesik pilihan untuk tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Dosis 2-

4 mg iv dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek

samping yang perlu diwaspadai:

a. depresi napas,

b. konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis sehingga terjadi pooling

vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri, efek hemodinamik ini

dapat diatasi dengan elevasi tungkai serta penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%,

c. efekvagotonik menyebabkan hipotensi/bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,

terutama pasien dengan infark posterior, efek ini dapat diatasi dengan pemberian

atropin 0,5 mg IV.

- Aspirin, merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif

pada spektrum sindrom koroner akut. Aspirin bukkal dosis 160-325 mg di IGD,

selanjutnya diberikan secara oral dosis 75-162 mg.

- Beta bloker IV; nitrat, metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan

syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 19

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

<0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. 15 menit setelah dosi IV

terakhir dilanjutkan denagn metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48

jam, dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

● Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa

didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif mengembalikan perfusi pada

STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif dari

fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome

klinis jangka pendek dan janga panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI

primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien 75 tahun), risiko

perdarahan meningkat atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika

bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis.

Kekurangannya, PCI lebih mahal dan tidak semua RS tersedia.

Indikasi PCI:

Acute STEMI

Non- ST- elevation acute coronary syndrome (NSTE-ACS)

Stable angina

Angina equivalent (dispnea, aritmia, atau pusing/sinkop)

Pasien dengan bukti objektif iskemia miokard sedang – berat tanpa gejala atau

dengan gejala ringan

Kontraindikasi PCI:

Stenosis left main coronary artery

Arteri atau vena berkaliber kecil

PCI Penyelamatan

PCI Penyelamatan didefinisikan sebagai PCI yang dilakukan pada arteri koroner

yang tetap tersumbat meski terapi fibrinolitik telah dilakukan. Identifikasi dengan cara

yang non-invasif terhadap gagal nya fibrinolisis masih menjadi hal yang menantang.

Tetapi, resolusi segmen ST 50% pada lead dengan peningkatan ST segmen yang paling

tinggi dalam 60-90 menit setelah dimulainya terapi fibrinolitik, semakin dipakai sebagai

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 20

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

batas. PCI penyelamatan tampak layak dan relative aman. Pada studi acak pada 427

pasien, peningkatan harapan hidup 6 bulan setelah kegagalan fibrinolitik, PCI

penyelamatan secara signifikan lebih tinggi daripada pemberian agen fibrinolitik yang

diulang ataupun terapi konservatif. Metaanalisis terbaru, termasuk REACT, menunjukkan

PCI penyelamatan berhubungan dengan penurunan gagal jantung dan infrak ulangan

secara signifikan serta mortalitas juga, jika dibandingkan dengan terapi konservatif.

Namun sebagai gantinya, terdapat peningkatan risiko stroke dan komplikasi perdarahan.

PCI penyelamatan harus dipertimbangkan ketika terdapat bukti kegagalan terapi

fibrinolitik berdasarkan gejala klinis, resolusi segmen ST (50 %) yang tidak berlangsung,

jika terdapat bukti klinis dan EKG terdapat infark yang luas, dan jika prosedur dapat

dilakukan dalam waktu yang tepat ( sampai 12 jam dari onset gejala).

● Terapi reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat

disfungsi dan dilatasi ventrikel serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI

berkembang menjadi pump failure (komplikasi mekanik) atau takiaritmia ventrikuler

yang maligna.

● Reperfusi farmakologis

Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit

sejak masuk RS. Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.

Obat fibrinolitik : tissue plaminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK),

dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara emicu konversi plasminogen

menjadi plasmin yang selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok

yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin spesifik seperti streptokinase.

Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit)

digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial

infacrtion (TIMI) grading system:

- Grade 0 : oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark .

- Grade 1 : penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tanpa perfusi

vascular distal.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 21

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

- Grade 2 : perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan

aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.

- Grade 3 : perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri

koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi

luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas

jangka pendek dan jangka panjang.

● Obat fibrinolitik

- Streptokinase (SK)

Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan SK, tidak

boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Keuntungannya ialah

harga murah dan insiden perdarahan intracranial rendah. Manfaat pertama

diperlihatkan pada GISSI-1 trial.

- Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)

GUSTO (Global Use Strategis to Open Occlude Coronary Arteries)-1 trial

menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat

tPA dibandingkan SK. Kerugiannya ialah harga lebih mahal dari SK dan risiko pedarahan

intrakranial sedikit lebih tinggi.

- Reteplase (Retavase)

INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan tPA pada GUSTO

III trial, dengan dosis bolus (intravena) lebih mudah karena waktu paruh lebih panjang.

- Tenekteplase (TNKase)

Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifitas fibrin dan resistensi tinggi

terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 10B

menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang

sama dibandingkan tPA.

Tabel 2. Obat fibrinolitik mutakhir dalam pengobatan STEMI

Streptokinase Alteplase

(rt-PA)

Reteplase

(r-PA)

Tenecteplase

(TNK-PA)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 22

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

T ½ (menit) 15-25 4-8 11-14 17-20

Alergenik Ya Tidak Tidak Tidak

Spesifik fibrin - + + ++

Resisten PAI-1 - - - +

Bolus Tidak Tidak Dobel Satu

Dosis 1,5 juta unit

lebih dari 30-

60 menit

15 mg bolus,

dilanjutkan

dengan 0,75

mg/kg (maks

50 mg) lebih

dari 30 menit,

dilanjutkan

0,5 mg/kg

(maks 35 mg)

lebih dari 1

jam

10 U

bolus, dua

kali

interval 30

menit

Berdasarkan BB:

< 60 kg 30 mg

60-60kg 35 mg

70-79kg 40 mg

80-89kg 45 mg

> 90 kg 50 mg

Dikutip dari 2

Indikasi terapi fibrinolitik :

a. Klas I

1. Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI

dengan onset gejala <12 jam dan elevasi ST >0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2

sadapan prekordial atau sekurang-kurangnya 2 sadapan ekstremitas.

2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dibeikan pada pasien STEMI

dengan onset gejala <12 jam dan diduga baru.

b. Klas II a

1. Jika tidak terdapat kontra indikasi, dipertimbangakn pemberian fibrinolitik pada

pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12 sadapan konsisten

dengan infark miokard posterior.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 23

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

2. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik

pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam sampai 24 jam yang

mengalami gejala iskemi yng terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-

kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2

sadapan ekstremitas.

Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan

elevasi ST >50% dalam 90 menit pemberian trombolitik.

Kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI

a. Kontraindikasi absolut

- Riwayat perdarahan intraserebral

- Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)

- Terdapat neoplasma intakranial ganas (primer atau metastasis)

- Strok iskemik dalam 3 bulan, kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam

- Curiga diseksi aorta

- Perdarahan aktif atau diatesis berdarah (kecuali menstruasi)

- Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

b. Kontraindikasi relatif

- Riwayat hipertensi kronik berat, tidak terkontrol

- Hipertensi berat tidak terkontrol saat masuk ( TDS > 180 mmHg atau TDD > 110

mmHg

- Riwayat strok iskemik sebelumnya lebih dari 3 bulan, demensia, atau diketahui ada

patologi intrakranial yang tidak termasuk kontra indikasi.

- Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10 menit) atau operasi besar (<3

minggu)

- Perdarahan internal baru (dalam 2-4 minggu)

- Pungsi vaskular yang tidak terkompresi

- Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan > 5 hari sebelumnya atau reaksi

alergi sebelumnya terhadap obat ini.

- Kehamilan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 24

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

- Ulkus peptikum aktif

- Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko perdarahan.

Antitrombotik

Penggunaan antiplatelet dan antitrombotik pada fase awal STEMI didasarkan pada

bukti klinis bahwa thrombosis berperan besar terhadap pathogenesis kejadian ini.

Tujuan utama terapi antitrombotik adalah untuk mempertahankan patensi arteri terkait-

infark, dalam hubungannya dengan reperfusi. Tujuan lain adalah mengurangi

kemungkinan terjadinya thrombosis.

Aspirin merupakan antiplatelet standar pada kasus STEMI. Terapi tambahan dengan

clopidogrel, yang merupakan inhibitor reseptor P2Y12 ADP sehingga aktivasi dan agregasi

platelet terhambat, menurunkan angka mortalitas dan morbiditas (reinfarksi dan

stroke). Inhibitor reseptor glycoprotein IIb/ IIIa (abciximab, eptifibatide, tirofiban) juga

bermanfaat dalam mencegah komplikasi thrombotic pada pasien yang menjalani PCI.

Antitrombin yang biasa digunakan adalah unfractioned heparin (UFH). Penggunaan

UFH bersama dengan aspirin dan streptokinase terbukti menurunkan angka mortalitas.

Pemberian UFH intravena bersama dengan aspirin dan agen fibrinolitik spesifik-fibrin

(tPA, rPA, TNK) membantu mempertahankan patensi arteri terkait-infark. Dosis yang

direkomendasikan adalah bolus inisial 60 U/kg (maksimum 4000 U) diikuti infuse inisial

12 U/kg per jam (maksimum 1000 U/jam).

Terapi alternative untuk antikoagulasi adalah preparat low-molecular-weight-

therapy (LMWH). Pada pasien dengan infark anterior, disfungsi LV berat, riwayat

emboli, bukti thrombus mural pada echocardiography, atau fibrilasi atrial harus

menerima dosis terapeutik penuh antitrombin (LMWH atau UFH) selama hospitalisasi,

diikuti terapi warfarin selama 3 minggu.

β- Adrenoceptor Blocker

Pemberian β-blocker pada fase awal STEMI memperbaiki hubungan kebutuhan-

suplai O2 miokard, mengurangi ukuran infark, dan menurunkan insidens aritmia

ventricular. Kontraindikasi terapi β- blocker pada pasien dengan gagal jantung, gangguan

berat fungsi LV, heart block, hipotensi ortostatik, dan riwayat asma.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 25

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

ACE Inhibitor

Penggunaan ACE inhibitor terbukti menurunkan angka mortalitas pada STEMI. Efek

ini paling terlihat pada pasien tua, atau dengan infark anterior dan penurunan fungsi LV.

Efek jangka pendek ACE inhibitor tampak pada pasien STEMI dengan keadaan

hemodinamik stabil.

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

ARB diberikan pada pasien STEMI yang intoleran terhadap ACE inhibitor dan pada

pasien dengan tanda gagal jantung.

Agen Lain

Penggunaan nitroglycerin intravena (inisiasi 5- 10 μg/min, maintenance hingga >200

μg/min) dalam 24 -48 jam pertama onset STEMI memperbaiki efek iskemia dan

remodeling ventrikel.

Penggunaan inhibitor faktor Xa fondaparinux terbukti menurunkan angka reinfarksi. 8

Operasi Pintas Arteri Koroner (Coronary Artery Bypass Surgery)

Operasi pintas koroner merupakan terapi konsisten untuk pasien aterosklerosis

koroner secara angiografi, dimulai oleh Sones, Favaloro, dkk. pada tahun 1967. Konsep

dasar di balik operasi pintas adalah bahwa tanda dan gejala klinis penyakit arteri koroner

terkait dengan lesi stenosis koroner yang dapat diidentifikasi oleh angiografi, dan jika lesi

tersebut dilewati, maka tanda dan gejala klinis mereka menjadi berkurang. Pengalaman

menunjukkan bahwa konsep benar.

Operasi pintas efektif mengurangi gejala angina, dan uji acak awal menunjukkan

bahwa hal itu akan memperpanjang harapan hidup dari pasien dengan penyakit arteri

koroner berat (CAD). Seiring dengan pertumbuhan operasi pintas, berkembanglah

endoluminal, atau intervensi koroner perkutan (PCI) atau endoluminal. Farmakologi

pengobatan untuk CAD juga telah berkembang pesat, khususnya dalam dekade terakhir.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 26

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Indikasi CABG:

Untuk prognosis

Untuk pasien yang memiliki peningkatan harapan hidup dengan operasi pintas,

bahkan tanpa adanya gejala yang parah termasuk mereka dengan stenosis arteri

koroner kiri sebesar 50 % atau dengan keterlibatan pembuluh darah yang multipel

dengan lesi pada arteri koroner LAD dan dengan fungsi ventrikel kiri yang abnormal.

Selain itu, pasien yang pernah menjalani operasi pintas, yang memiliki banyak

miokardium yang berisiko, harus menjalani operasi ulang bahkan jika tanpa adanya

gejala yang parah. Situasi ini adalah indikasi anatomi untuk operasi. Semakin buruk

gejala pada pasien dan semakin buruk fungsi ventrikel kiri, maka semakin tinggi

manfaat operasi ini. Pencitraan yang modern memungkinkan identifikasi pasien

dengan fungsi ventrikel kiri yang abnormal dan jumlah miokardium yang masih

sehat, satu hal yang tampaknya meningkatkan keuntungan yang besar dari operasi

ini.

Untuk pasien non-diabetik dengan penyakit arteri multiple, lesi proksimal

arteri koroner LAD, dan fungsi ventrikel yang normal, revaskularisasi harus

dipertimbangkan bahkan jika tanpa gejala yang berat. Pada pasien kelompok ini,

setelah diikuti beberapa lama, kandidat yang baik untuk PCI memperlihatkan angka

harapan hidup yang sama dibandigkan dengan operasi; keuntungan dan kerugian

dari kedua strategi revaskularisasi harus didiskusikan dengan pasien. Pada pasien

dengan diabetes dan penyakit arteri multiple, data dari berbagai sumber

memperlihatkan peningkatan mortalitas yang berkaitan dengan PCI; oleh karena itu

operasi merupakan pilihan utama revaskularisasi pada pasien ini.

Untuk menghilangkan gejala

Pasien tanpa penyakit arteri koroner yang mengancam nyawa, namun dengan gejala

angina, biasanya mendapatkan perbaikan gejala yang signifikan dan persisten

setelah operasi. Sebelum menyarankan operasi untuk menhilangkan gejala, daerah

iskemia yang disuplai oleh pembuluh darah cangkok harus di perlihatkan. Pilihan

untuk strategi revaskularisasi biasanya berdasarkan anatomi pembuluh koroner,

kemungkinan revaskularisasi sempurna dengan PCI, status diabetes, dan pilihan

pasien.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 27

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Kontraindikasi CABG

Gagal jantung (NYHA kelas IV)

Disfungsi ventrikel kiri yang berat (LVEF ≤ 20%)

Tekanan diastolik ventrikel kiri > 25 mmHg

Usia > 70 tahun

Penyakit vaskuler perifer yang signifikan

C. Tatalaksana di Rumah Sakit ( ICCU )

● Aktivitas

Pasien harus istirahat total dalam 12 jam pertama.

● Diet

Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus

puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup

lemak < 30% kalori total dan kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Menu harus diperkaya

dengan makanan yang kaya serat, kalium magnesium dan rendah natrium.

● Bowels

Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan rasa

nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Penggunaan kursi komod dianjurkan di samping

tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti

dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari)

● Sedasi

Sedasi diperlukan selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas

dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg atau lorazepam 0,5-2 mg

diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.

II.12. Rehabilitasi

Tujuan rehabilitasi setelah infark miokard akut pada umumnya adalah untuk

mencapai kembalinya keadaan fisik, mental, dan sosial secara optimal. Rehabilitasi dini

dengan memperhatikan syarat-syarat di bawah pengawasan medis tidak berbahaya, malah

banyak keuntungannya, yaitu :

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 28

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

1. Mengurangi risiko infark miokard berulang, komplikasi infark miokard akut dengan

pencegahan sekunder.

2. Mengurangi beban ekonomi pada pasien dan keluarganya dengan mengurangi jumlah

perawatan di rumah sakit.

3. Bekerja kembali dengan perasaan aman.

4. Memperbaiki gaya hidup (quality of life) setelah infark miokard akut.

Pembagian fase rehabilitasi :

1. Fase IA di intensive cardiac care unit (ICCU) dengan mobilisasi pada hari ke-2. Sebagai

pedoman untuk pemantauan mobilisasi di ICCU yang diperhatikan adalah denyut

jantung tidak boleh > 120 kali / menit, tidak ada nyeri dada, tidak sesak nafas, tidak

lelah sekali, tidak timbul aritmia, tidak ada depresi segmen ST pada EKG pemantauan,

dan tekanan sistolik tidak menurun lebih dari 15 mmHg.

2. Fase IB di ruangan intermediate zone, pada akhir minggu ke-2, dilaksanakan naik tangga

dengan telemetri, lalu dipulangkan.

Tujuan program aktivitas fisik adalah untuk meneruskan usaha menghindari efek negatif

secara fisiologis dan psikologis akibat istirahat baring, dan menambah fungsi

kardiovaskular sampai pasien dapat mencapai tarif melakukan self care dan pekerjaan

rumah tangga yang ringan jika pasien kemudian dikeluarkan dari rumah sakit.

3. Fase II (convalescence phase), di rumah, pada akhir minggu ketiga dilakukan low

intensity exercise test, pada akhir minggu ke-6 atau ke-8 pasien sudah dapat bekerja

kembali.

4. Fase III (rehabilitation maintanance) melalui klub jantung yang sudah ada.

Yaitu fase rehabilitasi dengan melakukan indoor dan outdoor exercise melalui berbagai

klub jantung yang sudah ada.

Rehabilitasi sudah dimulai sejak pasien dirawat di ruang perawatan intensif

dilanjutkan di ruangan perawatan biasa kemudian diikuti rehabilitasi diluar rumah sakit.

Rehabilitasi setelah perawatan di rumah sakit yang dilaksanakan dalam kelompok untuk

pasien pasca infark memberikan hasil yang baik dalam memperbaiki kemampuan fisik dan

meningkatkan kepatuhan pasien mengikuti program pengobatan. Pengelolaan faktor risiko

seperti menghentikan kebiasaan merokok, pengobatan terhadap hipertensi, hiperlipidemia

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 29

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

dan diabetes melitus sangat dianjurkan. Diperlukan juga konseling untuk program diet , olah

raga teratur dan penyesuaian gaya hidup bagi pasien pasca infark.

II.13. Prognosis

Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan prognosis pasca IMA :

Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana; S3 gallop, kongesti

paru dan syok kardiogenik.

Tabel 3. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

Klas Definisi Mortalitas (%)

I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6

II + S3 dan atau ronki basah 17

III Edema paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

Dikutip dari 2

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan

pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).

Tabel 4. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut

Klas Indeks Kardiak (L/min/m2) PCWP (mmHg) Mortalitas (%)

I > 2,2 < 18 3

II > 2,2 > 18 9

III < 2,2 < 18 23

IV < 2,2 > 18 51

Dikutip dari 2,3

TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan

anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat

terapi trombolitik.

Tabel 5. Risk Score untuk Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST (STEMI)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 30

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Faktor Risiko ( Bobot )

Skor

Risiko/Mortalitas

30 hari (%)

Usia 65-74 tahun ( 2 poin ) 0 (0,8)

Usia > 75 tahun ( 3 poin ) 1 (1,6)

Diabetes melitus/hipertensi atau angina ( 1 poin ) 2 (2,2)

Tekanan darah sistolik < 100 mmHg ( 3 poin ) 3 (4,4)

Frekuensi jantung > 100 mmHg ( 2 poin ) 4 (7,3)

Klasifikasi Killip II-IV ( 2 poin ) 5 (12,4)

Berat < 67 kg ( 1 poin ) 6 (16,1)

Elevasi ST anterior atau LBBB ( 1 poin ) 7 (23,4)

Waktu ke reperfusi > 4 jam ( 1 poin ) 8 ( 26,8)

Skor risiko = total poin ( 0-14 poin ) >8 (35,9)

Dikutip dari 2

BAB III

FIBRILASI ATRIUM

III.1 Definisi

Fibrilasi atrium (atrial fibrillation = AF) merupakan gangguan irama jantung yang

paling sering terjadi. AF ditandai dengan aktivasi atrial yang tak terorganisir, cepat, dan

irregular. Respons ventrikel juga irregular. Pada pasien yang tidak diterapi, detak ventrikel

berkisar antara 120 – 160 x/menit, bahkan dapat mencapai >200 x/menit. Pada kasus lain,

karena peningkatan tonus vagal atau konduksi intrinsic AV node, respons ventrikel berkisar

<100 x/menit.

AF penting secara klinis karena berhubungan dengan hilangnya kontraktilitas atrial,

respons cepat ventrikel yang tak sesuai, dan hilangnya kemampuan pengosongan atrial yang

menyebabkan pembentukan clot dan tromboemboli.9 Dikarenakan komplikasi yang sangat

serius terhadap terjadinya thrombosis dan emboli serebral, maka fibrilasi atrium semakin

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 31

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

banyak dipelajari untuk mengetahui secara detail mekanisme yang mendasarinya sehingga

dapat diberikan pencegahan dan pengobatan yang tepat.

Fibrilasi atrium dikenal sebagai suatu takiaritmia supraventrikular yang ditandai oleh

adanya aktivasi tidak terkoordinasi atrium yang akan mengakibatkan perburukan pada

fungsi mekanis atrium. Pada EKG, fibrilasi digambarkan dengan berubahnya gelombang P

menjadi gelombang osilasi cepat atau fibrilasi dengan berbagai derajat, ukuran, bentuk, dan

waktu, berhubungan dengan suatu respons ventrikel yang irregular dan cepat pada sistem

konduksi AV yang utuh.

AF juga dapat memberatkan ACS, terlebih STEMI akut. AF dilaporkan telah

memperberat kejadian AMI pada 6-21% pasien rawat inap. Faktor presipitasi yang

memungkinkan adalah iskemia atau infark atrium, infark ventrikel kanan, inflamasi

perikardia, hipoksemia atau hipokalemia akut dan gangguan hemodinamik akibat disfungsi

ventrikel kiri serta katekolamin.

III.2. Klasifikasi Fibrilasi Atrium

Berdasarkan episode terhentinya gelombang fibrilasi atrium :

First detected episode : AF pertama kali terjadi

Recurrent AF : terjadi 2 atau lebih episode AF

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 32

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Paroxysmal AF : episode AF yang self- terminating, terjadi <7 hari (biasanya <24 jam)

Persistent AF : episode AF yang berlangsung >7 hari dan membutuhkan terapi

medikamentosa atau kardioversi untuk mengembalikannya ke irama normal

Permanent AF : episode AF tidak berhenti dengan kardioversi.

Berdasarkan etiologi :

Structural AF : terdapat penyakit jantung atau sistemik yang mendasari AF

Lone AF : tidak ditemukan penyakit yang mendasari terjadinya AF.

Berdasarkan bentuk gelombang P :

Coarse AF

Fine AF

III.3. Etiologi

Sebagian besar pasien AF memiliki hipertensi (biasanya dengan LVH) atau bentuk lain

gangguan stuktur jantung. Penyakit abnormalitas jantung lainnya yang berhubungan dengan

AF adalah penyakit jantung iskemik (IHD), kelainan katup mitral, kardiomiopati hipertrofi

dan kardiomiopati dilatasi. Penyebab lain yang lebih jarang adalah kardiomiopati restriktif

(amyloidosis, perikarditis konstriktif, dan tumor kardiak).

Penyebab AF dapat berupa keadaan temporer seperti intake alcohol berlebihan

(holiday heart), bedah terbuka jantung atau toraks, infark miokard, perikarditis, miokarditis,

dan emboli pulmonal. Penyebab yang paling dapat diterapi adalah hipertiroidisme.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 33

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

III..4. Patogenesis Fibrilasi Atrium

Ditemukan bahwa lapisan muscular vena pulmonalis dapat menjadi fokus ektopik AF.

Daerah ini dalam lingkungan yang normal memiliki aktifitas listrik yang sinkron namun pada

regangan akut dan aktivitas impuls yang cepat dapat menyebabkan timbulnya slow

afterdepolarization dan triggering activity. Gelombang ini akan dijalarkan ke dalam miokard

atrium dan menyebabkan inisiasi lingkaran- lingkaran gelombang reentry yang pendek

(wavelets of reentry) dan multiple sehingga menghasilkan gelombang P yang banyak dalam

berbagai ukuran dengan amplitude yang rendah (microreentrant tachycardias).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 34

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

B. Triggered activity due to early afterdepolarizations (EADs) during phase 3 of the action potential due to alteration of plateau currents, or

delayed afterdepolarizations (DADs) during phase 4 of the action potential due to intracellular calcium accumulation.

C. Reentry with basic requirements of two pathways that have heterogeneous electrophysiologic properties which allows conduction to

block in one pathway and to propagate slowly in the other, allowing for sufficient delay so that the blocked site has time for recovery to

allow for reentry or circus movement tachycardia. Shown is typical schema for reentry in the AV node.

Setelah AF timbul secara kontinu maka akan terjadi remodeling listrik (electrical

remodeling) yang selanjutnya dapat menyebabkan AF permanen. Perubahan ini pada

awalnya reversible dan dapat dikonversi menjadi irama sinus namun akan menjadi

permanen seiring terjadinya perubahan struktur bila AF berlangsung lama.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 35

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

III..5. Diagnosis

Seringkali AF tidak menimbulkan gejala pada penderitanya (asimptomatik). Pada

pasien lain, gejala AF yang sering dirasakan berupa palpitasi, detak nadi irregular, mudah

lelah, intoleransi aktivitas, pusing berat, bahkan sinkop.

Pada anamnesa, perlu diketahui tipe dan tingkat keparahan AF, onset terjadinya,

faktor pencetus, frekuensi dan durasi episode AF. Perlu pula diketahui kemungkinan

penyebab AF, seperti riwayat hipertiroidisme, intake alcohol berlebihan, penyakit structural

jantung, dan faktor komorbid lainnya.

Sebagai pemeriksaan penunjang, pemeriksaan EKG merupakan standar baku sebagai

alat diagnostic. AF paroksismal dapat dideteksi menggunakan ambulatory monitoring atau

holter monitoring. Pada pemeriksaan foto thoraks, echocardiography mutlak diperlukan

untuk menyingkirkan penyakit sekunder. Pemeriksaan fungsi tiroid diperlukan untuk

menegakkan ada tidaknya kelainan tiroid atau hipertiroidisme.

III.6 Hubungan AMI dengan AF

Schmitt dkk. mendapatkan beberapa faktor prediktor kuat dalam penelitiannya

mengenai kejadian AF pada AMI, antara lain proses penuaan, Killip kelas IV, laju jantung saat

masuk rumah sakit, AF yang sudah ada sebelumnya, hipertrofi ventrikel kiri. Mereka juga

melaporkan bahwa adanya AF selama AMI meningkatkan risiko re-infarksi, syok kardiogenik,

gagal jantung, dan asistol. Adanya AF onset baru selamanya AMI meningkatkan risiko

mortalitas saat rawat inap, 30 hari, 1 tahun dan 3 tahun, sedangkan AF yang sudah ada

sebelumnya tidak menimbulkan peningkatan risiko. Peningkatan risiko meliputi kematian

jantung mendadak dan tidak mendadak (sudden and non-sudden cardiac death).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 36

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

III.7 Penatalaksanaan

Pencegahan AF pada pasien AMI

Reperfusi awal dan antikoagulan merupakan inti terapi pasien AMI, yang dapat

menurunkan ≥ 50% risiko berkembangnya AF dan proteksi terhadap risiko tromboemboli.

Terapi lainnya adalah penggunaan β bloker, ACEI, dan AT II inhibitor. Mekanisme

pencegahan AF oleh masing-masing obat tergantung kapasitas untuk membatasi perubahan

substrat yang dihasilkan oleh iskemia arteri penyebab, dan efek langsung terhadap substrat

aritmia.

Kontrol laju ventrikel merupakan cara alternatif untuk restorasi irama sinus, namun

penggunaan β-bloker, digoxin, dan antagonis kalsium harus mempertimbangkan efek

inotropik negatif dan peningkatan konsumsi oksigen. Pemilihan antara kontrol irama vs

kontrol laju pada pasien AF dengan AMI belum diteliti namun restorasi awal irama sinus

mungkin memilki manfaat.

Sebagai tambahan kardioversi elektrik, yang biasanya dilakukan dalam kondisi

gangguan hemodinamik dengan sebab AF, dapat digunakan amiodarone. Obat ini biasa

dipilih diantara agen antiaritmia lain karena efek inotropik negatif yang terbatas.Tidak ada

data yang mendukung perbandingan efektivitas amiodaron dan plasebo dalam restorasi

irama sinus dalam fase awal AMI, dan peran agen anti-aritmia lain pada pasien AF.

Perlunya mengidentifkasi risiko berkembangnya AF selamanya AMI. Pasien dengan

risiko tinggi memungkinkan penggunaan anti aritmia profilaktik. Proteksi dari risiko

tromboemboli pada pasien AF dapat menggunakan unfractionate heparin, dan antikoagulan

oral dengan tambahan klopidogrel. Namun, diperlukan data lainnya untuk menentukan

perlunya antikoagulan oral jangka panjang, seperti fungsi ventrikel kiri yang baik, satu kali

AF singkat saat rawat inap, dan skor CHADS2 yang rendah.

Terapi Farmakologis AF

Pada pasien dengan AF paroksismal yang singkat, tujuan strategi pengobatan

dipusatkan pada kontrol aritmia (rhythm control). Namun, pada pasien dengan AF persisten

terkadang kita dihadapkan pada dilemma apakah mencoba mengembalikan ke irama sinus

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 37

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

(rhythm control) atau hanya mengembalikan ventricular rate (rate control). Uji klinik akhir-

akhir ini (AFFIRM trial, PIAF trial) menunjukkan bahwa kedua cara ini tidak ada yang

superior. Obat yang biasa digunakan untuk tujuan rhythm control adalah obat anti aritmia

golongan I seperti quinidine, disopiramide, dan propafenon. Amiodarone dapat diberikan

sebagai terapi rhythm control (anti aritmia golongan III). Untuk tujuan rate control, dapat

diberikan obat- obatan yang bekerja pada nodus AV seperti digitalis, verapamil, dan β-

blocker. Amiodarone juga dapat bekerja sebagai rate controller.

Terapi Farmakologis AF pada pasien AMI

Laju ventrikel yang tinggi yang berhubungan dengan AF dapat memperberat

gangguan hemodinamik pada pasien AMI dengan meningkatkan kebutuhan oksigen. Oleh

karena itu, kontrol laju yang adekuat merupakkan terapi pertama yang paling penting.

Terapi yang dapat diberikan antara lain β bloker, oral maupun IV. Pada pasien AMI dengan

kerusakan miokardial yang berat, efek inotropoik negatif β bloker dan antagonis kalsium

dapat memperberat gangguan fungsi pompa. Maka, pada pasien ini, kontrol laju dapat

diperoleh dengan pemberian digoxin iv dengan / tanpa amiodarone iv. Amiodarone efektif

dan dapat ditoleransi pasien dengan aritmia ventikuler yang mengancam jiwa. Amiodarone

tampaknya tidak memperberat gangguan fungsi ventrikel kiri.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 38

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Pencegahan Komplikasi Tromboemboli

Tujuan utama terapi AF adalah untuk mencegah tromboemboli. Telah diketahui

bahwa aspirin lebih efektif daripada aspirin untuk mencegah komplikasi ini. Walaupun

begitu, karena adanya risiko perdarahan dengan terapi warfarin, penggunaan obat ini

sebaiknya dibatasi pada mereka dengan risiko tromboemboli yang lebih besar daripada

risiko perdarahannya. Oleh karena itu, penting dilakukan stratifikasi pasien yang akan

mendapat terapi warfarin. Skema klinis sederhana yang biasa digunakan adalah CHADS2

(cardiac failure, hypertension, age, diabetes, stroke) score.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 39

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Tanpa melihat pola dan strategi pengobatan AF yang digunakan, pasien harus

mendapatkan antikoagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli. Pasien yang

kontraindikasi terhadap warfarin dapat diberikan antiplatelet.

Terapi Non Farmakologis

Kardioversi

Kardioversi eksternal dengan menggunakan DC shock direkomendasikan untuk

pasien dengan gangguan hemodinamik berat, iskemia berat, atau jika kontrol laju tidak bisa

diperoleh secara farmakologi. Meskipun angka keberhasilan tinggi, terdapat pula angka

kemungkinan rekurensi AF yang tinggi, terlebih pada pasien yang memerlukan terapi

katekolamin unruk bantuan sirkulasi.

Kardioversi eksternal dengan menggunakan DC shock dapat dilakukan pada setiap

penderita AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder, penyakit penyerta juga

harus dikoreksi terlebih dahulu. Jika AF terjadi lebih dari 48 jam maka harus diberikan

antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3 minggu setelah kardioversi

untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli. Target antikoagulan adalah bila

pemeriksaan INR menunjukkan 2 sampai 3. Konversi dapat dilakukan tanpa pemberian

antikoagulan bila sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat thrombus dengan

transesophageal echocardiography (TEE).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 40

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Pemasangan Pacu Jantung

The North American Society of Pacing and Electrophysiology (NASPE) and The British

Pacing and Electrophysiology Group (BPEG) telah menetapkan kode lima huruf pacemaker

untuk menggambarkan mode dasar dan fungsi. Huruf pertama mewakili ruang yang dipacu:

A untuk atrium, V untuk ventrikel, dan D untuk atrium dan ventrikel. Huruf kedua merujuk

pada ruang di mana penginderaan terjadi: kode sama dengan huruf pertama. Posisi ketiga

menjelaskan respon terhadap kejadian penginderaan: I untuk inhibisi, T untuk memicu, dan

D untuk inhibisi dan memicu. Pacemaker dapat menghambat (I) pacing output atau dapat

memicu pacing output (T) setelah kejadian penginderaan. Pada pacemaker DDD, kejadian

penginderaan atrium menghambat atrial pacing channel dan memicu ventricular pacing

setelah penundaan AV yang terprogram. Posisi keempat merujuk kepada programmability

perangkat: R untuk pacing responsif laju; huruf C (berkomunikasi), P (sederhana diprogram),

dan M (multiprogrammable) sudah tidak dipakai karena semua perangkat saat ini

sepenuhnya diprogram. Posisi kelima mengacu pada fungsi antitakikardia; dengan evolusi

defibrillator implant, posisi ini jarang digunakan. Dengan evolusi biventricular pacemaker,

kode alat pacu saat ini dalam praktek perlu direvisi.

Dikutip dari 18

Beberapa tahun belakangan ini dibuat pacemaker khusus untuk AF paroksismal.

Penelitian menunjukkan dual chamber pacemaker terbukti dapat mencegah masalah AF

dibandingkan pemasangan single chamber pacemaker.

Pacemaker DDD merasakan dan memacu di kedua atrium dan ventrikel, dan

berespon terhadap penginderaan melibatkan inhibisi dan memicu output. Pacemaker DDD

menggunakan banyak waktu siklus, dan sangat penting untuk memahami interval berikut.

Siklus pacemaker paling modern berbasis ventrikel (dengan beberapa modifikasi).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 41

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

Ablasi

Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE procedure) dan transkateter.

Ablasi transkateter difokuskan pada vena- vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF.

Ablasi nodus AV dilakukan pada penderita AF permanen sekaligus pemasangan permanent

pacemaker.

Ablasi kateter untuk fibrilasi atrial dapat diindikasikan untuk pasien fibrilasi atrial

dengan gejala yang mempengaruhi kualitas hidup dan tidak berespon secara adekuat

terhadap terapi farmakologis, pasien dengan lone AF, pasien dengan kelainan struktur

jantung minimal, pasien dengan fibrilasi atrial persisten lebih dari 4 tahun.

Ablasi kateter merupakan bentuk terapi lini pertama pada pasien fibrilasi atrial yang

simtomatik dengan usia > 35 tahun, disfungsi nodus sinus yang memerlukan pacemaker,

yang kontraindikasi terhadap terapi farmakologis.

Kontraindikasi pelaksanaan ablasi kateter untuk fibrilasi atrial adalah hipertensi,

obstructive sleep apnea, remodelling struktua atrium, faktor inflamasi dan faktor genetik

(familial atrial fibrillation).

Komplikasi ablasi kateter meliputi tamponade jantung, stenosis vena pulmonalis,

tromboemboli serebral dan fistula atrioesofageal.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 42

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

BAB IV

Kesimpulan

Berbagai bukti menunjukkan AF pada pasien AMI mempengaruhi prognosis, baik

pasien saat rawat inap, maupun jangka panjang. Terlebih lagi pada kasus CHF dan gangguan

fungsi ventrikel kiri, angka kematian tampak lebih tinggi jika juga ditemukan AF. AF

memperberat AMI tidak hanya karena meningkatkkan risiko stroke saat rawat inap, namun

juga setelah pulang dari RS.

Onset AF pada selama AMI menunjukkan tanda peringatan yang memerlukan

intervensi secepatnya. Bentuk intervensi mempengaruhi hasil akhir jangka pendek dan

mungkin dpaat berimplikasi pada hasil akhir jangka panjang, pemilihan untuk terapi terbaik

dan interpretasi efek-efeknya seringkali terbatas pada ketidakmampuan membedakan

berbagai variasi dan kurangnya data evidence-based medicine.

DAFTAR PUSTAKAKepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 43

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

1. Harun, S. Infark Miokard Akut. Dalam: Noer, Sjaifoellah, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid I, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1996. 1098-1108.

2. Alwi I. Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Kolopaking SM, Setiati S, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi

IV. Jakarta: Pusat Penerbit FKUI, 2006. 1630 – 40.

3. Djohan TBA. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. Available at:

http://library.usu.ac.id/modoles.php?

op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=1262

4. Wajid A. Konsep baru Penanganan Sindrom Koroner Akut.

Available at: http://www.tempo.co.id/medika/arsip/022003/pus-3.htm

5. Kumar. Myocardial Infarction. In Pathologic Basis of Disease. 7th Edition. Saunders.

Philadephia. 1999.

6. Djohan, Anwar TB. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner.

Available at: http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri8.pdf

7. Infarct Myocard Acute.

Available at : http://www.geocities.com/situsgratis3in1/artikel-kesehatan5.html.

8. Antman, A. M., Braunwald, E. Acute Myocardial Infarction. In: Braunwald, Fauci,

Kasper, Hauser, Longo, Jameson, eds. Harrison’s Principless of Internal Medicine. 15th

ed. Volume 1. McGraw-Hill. USA. 2001. 1386- 99.

9. Marchlinski F. Atrial Fibrillation. In : In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo,

Jameson, Eds. Harrison’s Principless of Internal Medicine. 17th ed. Volume 2. McGraw-

Hill. USA. 2008. 1427-31.

10. Fuster V, Walsh RA. Atrial Fibrillation, Atrial Flutter, and Atrial Tachycardia. In : Fuster V,

Walsh RA, O'Rourke RA, Poole-Wilson P, eds. Hurst’s the Heart. 12th ed. McGraw-Hill.

USA. 2008.

11. Morady F, Zipes DP. Atrial Fibrillation : Clinical Features, Mechanisms, and Management.

In : Bonow RO, Mann DL, Pipes DP, Libby P. Braunwald’s Heart Disease : A Textbook of

Cardiovascular Medicine. 9th ed. Volume 1. Elsevier : USA. 2012.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 44

REFERAT “STEMI DENGAN KOMPLIKASI FIBRILASI ATRIAL” By: Eriana Sari

12. Cappato, Riccardo. Atrial Fibrillation Complicating Acute Myocardial Infarction: How

Should It be Interpreted and How Should It be Treated and Prevented? European Heart

Journal (2009) 30, 1035–1037doi:10.1093/eurheartj/ehp154

13. Schmitt, et al. Atrial Fibrillation in Acute Myocardial Infarction: A Systematic Review of

The Incidence, Clinical Features And Prognostic Implications. European Heart Journal

(2009) 30, 1038–1045 doi:10.1093/eurheartj/ehn579

14. Fuster V, Walsh RA. Coronary Bypass Surgery. In : Fuster V, Walsh RA, O'Rourke RA,

Poole-Wilson P, eds. Hurst’s the Heart. 12th ed. McGraw-Hill. USA. 2008.

15. Acker, Michael A. and Mariell Jessup. A Surgical Management of Heart Failure. In :

Bonow RO, Mann DL, Pipes DP, Libby P. Braunwald’s Heart Disease : A Textbook of

Cardiovascular Medicine. 9th ed. Volume 1. Elsevier : USA. 2012.

16. European Society of Cardiology. Guidelines for The Management of Atrial Fibrillation.

European Heart Journal (2010) 31, 2369–2429 doi:10.1093/eurheartj/ehq278

17. Fuster V, Walsh RA. Diagnosis and Management of Heart Failure. In : Fuster V, Walsh RA,

O'Rourke RA, Poole-Wilson P, eds. Hurst’s the Heart. 12thed. McGraw-Hill. USA. 2008.

18. Fuster V, Walsh RA. Bradyarrhythmias and Pacemakers. In : Fuster V, Walsh RA,

O'Rourke RA, Poole-Wilson P, eds. Hurst’s the Heart. 12thed. McGraw-Hill. USA. 2008.

19. Stouffer III, George A. Percutaneous Coronary Intervention. Medscape. 2012. Available

at: http://emedicine.medscape.com/article/161446-overview#aw2aab6b2b2.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD KOTA SEMARANG Page 45