Referat Sponndilitis TB
-
Upload
fitrirahmasofi -
Category
Documents
-
view
260 -
download
3
description
Transcript of Referat Sponndilitis TB
REFERAT
SPONDILITIS TB
Pembimbing :dr. Maula Nurrudin Gaharu, Sp.S
Oleh :ALYDA HANUM AULIA
07120100101
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanKepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto
1
A. Latar Belakang
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan
nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang
lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit
ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan
kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil
tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.1
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5
tahun. Namun saat ini golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena
dibandingkan anak-anak. Terapi konservatif yang diberikan pada pasien
tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun
pada kasus – kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi
yang harus dilakukandengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani
tindakan operatif.
B. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk
masih menjadi merupakan masalah utama. Menurut penelitian WHO 2005, Asia
Tenggara merupakan Negara dengan kasus TB baru terbesar.2 Pada 2egara-negara
yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara
dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika
dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran,
tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical
Research Council TB and Chest Diseases Unit).
2
Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai
negara dengan populasi penderita TB terbanyak. Diperkirakan jumlah pasien TB
di Indonesia sekitar 5,7% dari total jumlah pasien TB dunia, dengan setiap tahun
ada 450.000 kasus baru dan 65.000 kematian. Penemuan kasus TB apusan dahak
basil tahan asam (BTA) positif sejumlah 19.797 pada tahun 2011.2
Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan
pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit
ini. Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai
dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian
besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini
mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi
tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong.
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan
sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi
dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban
(weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar lebih sering
terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang
belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang
(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-
tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area
torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian
atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan
dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area
servikal dan sakral.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan
penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi
paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak.
Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada
tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan
keadaan ini.
3
C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri berbentuk basil, bersifat acid-
fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut
juga sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)). Bakteri yang paling sering menjadi
penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya,
seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika
Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak
ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting
karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang tidak dapat
diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik
Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam
media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan
karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk
membedakannnya dengan spesies lain.
D. Patogenesis
Patogenesis penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri
menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi
immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan
bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta
polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan
4
merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa
antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif.
Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host
akan menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai
progresi yang cepat dimana demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat
terjadi dalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein dalam cairan
serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapat
diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkan
perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkan
meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi.
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena suatu penyebaran
hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui
jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar
tulang belakang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem
pulmoner dan genitourinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang
belakang berasal dari fokus primer di paru-paru, sementara pada orang dewasa
penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran
basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai
darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra
diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s
yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang
terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini
diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20%
kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
E. Transmisi
Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan
akan menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus
primer (fokus Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan
menyebabkan terjadinya limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan
dari fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut sebagai
kompleks primer. Jika sistem imun penderita tidak cukup kompeten infeksi akan
5
menyebar secara hematogen/ limfogen dan bersarang di seluruh tubuh mulai dari
otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, hingga
endometrial.3,4
Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yang cukup lama
dan intensif dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang
yang kesehatan fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif
setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa
inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai
menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila
terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yang lembab, gelap, dan
pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama beberapa jam. Dalam
tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun.
Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa
tergantung dari:
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga
masa pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai
kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi
dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa,
yang berasal dari penyebaran secara hematogen. Setelah usia 1 tahun dan
sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit tuberkulosa
milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa
seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi
primer di paru merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas
seperti pada orang dewasa dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di
Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14 tahun.
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah
penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah
penyebaran penyakit di paru-paru. Angka kejadian pada pria terus meningkat
pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun dengan cepat
setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat kembali pada wanita
6
setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-
50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan
resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya
tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau
immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan
pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya
malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau
Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.
F. Patofisiologi
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari
vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi
ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior,
melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah
ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus
intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan
7
oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang
jauh melalui abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas
mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan
tulang menjadi avaskular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama
di regio torakal. Discus intervertebralis, yang kaya akan vaskularisasi, relative
mudah terkena infeksi tuberkulosa dari vertebra yang berdekatan. Pada anak
diskus bisa menjadi lokasi primer imfeksi.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke
dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya
corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus,
sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga
akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang
menjadi nekrosis.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian
tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan
berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi
intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul
deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung
dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah
timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini
sudah meluas. Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura
dorsal yang normal; di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal
lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke
posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal,
kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena
sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. Dengan adanya
peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk
menimbulkan bentuk deformitas.
Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, lesi
vertebra torakal terlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB, diikuti dengan
vertebra lumbal, dan yang terakhir vertebra servikal. Jika pada dewasa spondilitis
TB banyak terjadi pada vertebra torakal bagian bawah dan lumbal bagian atas,
8
khususnya torakal 12 dan lumbal 1, pada anak-anak spondilitis TB lebih banyak
terjadi pada vertebra torakal bagian atas.5,6,7
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya
fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan
fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra
yang kolaps.
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus.
Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan
perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui
korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas
(disebut juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari
akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini
sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel
basil. Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah
hingga kemudian membentuk traktus sinus/fistel dkulit hingga dibawah
ligamentum inguinal atau region gluteal. 8,9 Di regio torakal, ligamentum
longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai
gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit dibawah level
vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke
dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai
‘sarang burung’. Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior
di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke
lateral menuju bagian tepi leher.
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi
vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau “skipping
lesion”. Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen
melalui pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens
spondilitis TB non-contius dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.10
9
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dan
deformitas kifotik sering terjadi pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa pada
regio torakal, namun lebih jarang apabila lesi terdapat pada regio lumbal.11
Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain : 1) Arteri Adamkiewicz
yang merupakan arteri utama yang memperdarahi medula spinalis segmen
torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri.
Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan paraplegia. 2) Diameter
relative antara medula spinalis dengan vertebralisnya. Pada vertebra lumbalis,
foramen vertebra lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi
dari bagian anterior.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks
dapat terjadi akibat beberapa proses, yaitu :
Deformitas tulang (kifosis)
Penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral
Subluksasio sendi faset patologis
Jaringan granulasi
Epidural granuloma, intradural granuloma
Vaskulitis, thrombosis arteri/vena spinalis
Kolaps vertebra
Abses epidural
Invasi duramater secara langsung
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia
yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara
akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan
peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang
dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien
berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi
berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini. Pott’s paraplegia terjadi pada 4 –
38 persen penderita.12 Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia
menjadi1:
10
Early onset paresis
Terjadi akut, kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga
tipe:
Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan
dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak
permanen).
Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat
permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang. Penyebab
timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :
a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis,
adanya abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena
subluksasi atau dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan
menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang
bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan
withdrawal reflex.
b. Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis
tuberkulosa. Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat
dengan spasme otot involunter dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini
buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya kerusakan korda spinalis.
Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris
dan paraplegia.
Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah
dapat membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma
11
epidural, fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya
tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior,
reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah
yang mensuplai corda spinalis).
Penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh Hodgson menjadi :
I. Penyebab ekstrinsik :
a. Pada penyakit yang aktif
1. abses (cairan atau perkijuan)
2. jaringan granulasi
3. sekuester tulang dan diskus
4. subluksasi patologis
5. dislokasi vertebra
b. Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
1. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
2. fibrosis duramater
II. Penyebab intrinsik :
Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan
meningen dan corda spinalis.
III. Penyebab yang jarang :
a. Trombosis corda spinalis yang infektif
b. Spinal tumor syndrome
G. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1) Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni
yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya
terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada daerah
sentral vertebra.
12
2) Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan
yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
3) Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang
tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada
saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging anterior)
akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
4) Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis
yang terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis
spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil
sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di daerah ini.
Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat
kerusakan paraplegia yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas
atau berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan
saraf sensoris.
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
iii. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak atau aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia
atau anestesia.
13
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan
gangguan defekasi dan miksi. TBC paraplegia atau Pott
paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung
dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses
paravertebral atau kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada
penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena
tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan
granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan
angulasi dan gangguan vaskuler vertebra
5) Stadium deformitas residua
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan
vertebra yang massif di depan (Savant, 2007).
H. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan
pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis
diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini
sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain
sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi
14
kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di
regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di
atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped
karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini
diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui
abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena
adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak
dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal
dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis
spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina,
prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi
intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen
posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
I. Diagnosis
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan
berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu
diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa
sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Anamnesa
Gambaran penyakit sistemik berupa penurunan berat badan, keringat
malam, demam subfebrile yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan
malam hari, lesu dan kehilangan nafsu makan.
15
Riwayat TB paru berupa batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus dapat disertai pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang yang terinfeksi
merupakan salah satu gejala awal yang timbul. Infeksi yang mengenai tulang
servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke
tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan
intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri
menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat.
Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku. Pola
jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek,
karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
Infeksi yang melibatkan area servikal jarang terjadi, namun manifestasinya
lebih berbahaya. Gejala yang sering timbul berupa pasien tidak dapat menoleh
akibat kaku leher. Yang dirasakan Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris
sehingga menyebabkan timbulnya torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan
rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan
di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea
ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan (disfagia),
stridor, dan suara serak akibat gangguan nervus Laringeus. Jika nervus Frenikus
terkena dapat timbul sesak nafas (disebut juga Millar asthma) Jika menekan abses
ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan tetraplegia atau tetraparesis.
Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi
kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara
tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses,
maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan
tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini
berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan paralisis atau paraplegi.
16
Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot
psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
Kompresi medula spinalis yang mengakibatkan munculnya defisit
neurologi terjadi pada kurang lebih 12-50% kasus dimana menandkan bahwa
penyakit telah lanjut, meski masih bisa ditangani. Defisit neurologis yang
mungkin antara lain : gangguan fungsi motoric (plegi, paresis), gangguan fungsi
sensorik (hipestesia, parastesia), gangguan fungsi autonom, nyeri radikular
dan/atau sindrom kauda equina.
Kelumpuhan yang terjadi berupa kelumpuhan tipe UMN (Upper Motor
Neuron), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru
setelahnya akan timbul spastisitas dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan
LMN dapat terjadi jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Insidensi
paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal
dan servikal. Atrofi bilateral akan timbul jika kelumpuhan sudah terjadi dalam
waktu lama. Gejala motorik biasanya lebih dulu muncul karena patologi terjadi
dari anterior, sesuai dengan posisi motorneuron di kornu anterior medula spinalis,
kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik
bisa lebih dulu muncul.
Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi. Kifosis biasanya terjadi jika pathogenesis TB sudah berjalan 3 –
4 bulan.
b. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan
dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat
paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
17
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara
ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
c. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena.
d. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus
spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
e. Bila diawali dengan TB paru, pada auskultasi toraks dapat terdengar
rhonki.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologis
Pemeriksaan radiologi hingga saar ini merupakan pemeriksaan yang
paling menunjang untuk diagnosis dini spondylitis TB karena dapat
memvisualisasi langsung kelainan fisik pada tulang vertebra. Terdapat beberapa
pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan seperti Sinar-X, CT-scan, dan MRI.
Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak
antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra,
18
sekuestrasi, serta massa paravertebral.13 Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps
ke arah anterior sehingga menyerupai akordion (concertina)., sehingga disebut
juga concertina collapse.14
1. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya
dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik
pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan
ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus.
Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.15
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat
terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat
mencitrakan cold abscess dengan baik.16 Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat
menilai angulasi kifotik.
2. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi
badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis
spinalis . CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula
spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI.15 Pemeriksaan ini meliputi
penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu
19
dilanjutkan dengan CT scan.16 Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat
juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas
kerusakan jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan
pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.
3. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi
badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses
paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi
spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang
meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi non contiguous.
Selain itu MRI dapat membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan
yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Sehingga
membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau
operatif serta menilai respon terapi dengan mengevaluasi perbaikan jaringan.
Peningkatan sinyal-T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan
radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi
dengan gejala klinis.
20
Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis
Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang
belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara perkutan dan
dipandu dengan CT-scan atau fluoroskopi.14,17 Spesimen kemudian dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan histologis, kultur dan pewarnaan BTA, gram,
jamur dan tumor. Kultur BTA positif pada 60-89% kasus.14
Studi histologi jaringan penting untuk memastikan diagnosis jika kultur
negative, pewarnaan BTA negatif, sekaligus menyingkirkan diagnosis banding
lainnya. Temuan histologi pada infeksi TB jaringan adalah akumulasi sel epiteloid
(granuloma epiteloid), sel datia langhans dan nekrosis kaseosa.15 Sel epiteloid
adalah sel mononuklear yang memfagositosis basil tuberculosis dengan sisa – sisa
lemak kuman pada sitoplasmanya.8 Granuloma epiteloid dapat ditemukan pada 89
21
% spesimen yang merupakan gambaran khas histologi infeksi TB. Superinfeksi
kuman piogenik telah dilaporkan pada beberapa kasus.
Kultur umumnya memerlukan waktu yang relatif lama, yaitu 2 minggu.
Kultur sebaiknya diikuti dengan uji resistensi OAT.8 Spesimen yang baik untuk
dijadikan kultur adalah organ – organ dalam, tulang, pus, cairan synovial, atau
jaringan synovial. Media yang dapat digunakan adalah media berbasis telur,
seperti media Lowenstein-Jensen dan media berbasis cairan seperti Becton-
Dickinson dan BACTECTM. Pajanan pasien dengan fluorokuinolon sebelumnya
akan memperlambat pertumbuhan kultur hingga 2 minggu.
Laboratorium
PCR
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi
DNA kuman tuberculosis. Sangat akurat dan cepat (24 jam), namun
memerlukan biaya yang cukup mahal.
Hematologi
Complete Blood Count
Laju endap darah (LED) biasanya meningkat namun tidak spesifik
menunjukan proses infeksi granulomatosa. Peningkatan LED biasanya
mencapai 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
CRP meningkat bila ditemukan adanya formasi abses18
Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD)
Uji Mantoux positif pada sebagian besar pasien (84-95%)19 namun
hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh Mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan
diameter ³ 10 mm di sekitar tempat suntikan, 48-72 jam setelah
suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus dengan
tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi
atau disertai penyakit lain)
22
Apusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-
streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada
kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang
cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TB. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara
serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
J. Diagnosa Banding
Hal yang perlu digaris bawahi pada spondilitis TB adalah nyeri
punggung nonspesifik, deformitas kifotik, kompresi medula spinalis. Sehingga
beberapa penyakit dapat menjadi diagnosa banding dari penyakit ini. Antara lain :
1. Spondilitis Piogenik
Merupakan salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang seruoa dengan
spondylitis TB dan tidaklah mudah untuk membedakan keduanya tanpa
pemeriksaan penunjang yang adekut. Spondylitis piogenik umumnya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, Srtreptococcus dan Penumococcus.20 Secara
epidemiologi, spondylitis piogenik lebih sering menyerang usia 30-50 tahun.
Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang
hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering
terlibat, dibandingkan spondilitis TB yang lebih sering menyerang vertebra
torakolumbal lebih dari 1 vertebra.21 Pada spondilitis piogenik peningkatan CRP
lebih bermakna dibandingkan LED, meskipun dapat normal dalam beberapa
kasus.
Dengan MRI dapat ditemukan beberapa perbedaan rinci yang mengarahkan pada
infeksi TB, yaitu :
- sinyal abnormal paraspinal berbatas tegas
- dinding abses tipis dan halus
23
- adanya abses paraspinal dan intraoseus
- penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra
- keterlibatan vertebra torakal
- lesi multiple
Selain MRI, untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan kultur dan pewarnaan
gram spesimen tulang yang diambil melalui biopsi perkutan/terbuka. Tidakan ini
merupakan tindakan invasif.12
2. Tumor Metastatik Spinal
Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi
berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap
dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang
lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
K. Tatalaksana
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:
Tirah baring (bed rest).
Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
Medikamentosa (konservatif) dan pembedahan yang berjalan secara
bersamaan.
Terapi medikamentosa lebih diutamakan, dimana pasien spondilitis TB
dapat berobat rawat jalan kecualijika diperlukan tindakan bedah. Tujuan
pengobatan adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah dan mengobati
defisit neurologis, serta memperbaiki kifosis. Ketika deformitas kifosis sudah
timbul, terapi pembedahan leih efektif.
Terapi OAT selama 9 bulan memberikan angka remisi yang baik,
dibandingan OAT selama 6 bulan. Klasifikasi GATA untuk menentukan tindakan
yang sesuai untuk pasien22 :
24
Medikamentosa
Spondilitis TB dapay diobati secara sempurna hanya dengan OAT jika destruksi
tulang dan deformitas masih minimal. WHO menyarankan kemoterapi diberikan
setidaknya 6 bulan, sedangkan British Medical Research Council menyarankan
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6-9 bulan.
Pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defisit
neurologis disarankan kemoterapi selama 9-12 bulan.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
- Kategori I untuk kasus baru TB paru dengan TB ekstraparu, BTA (+/-)
atau rontgen (+).
a. Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300
mg, dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60
kali).
25
b. Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali
seminggu selama 4 bulan (54 kali).
Pilihan lain : 2RHZE fase inisial, dilanjutkan 6HE fase lanjutan
- Kategori II untuk kasus gagal pengobatan, relaps, drop out, dengan BTA
(+) :
a. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin
450 mg, Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari.
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat
lainnya selama 3 bulan (90 kali).
b. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol
1250 mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Obat lini kedua hanya diberikan pada kasus resisten obat. Obat lini kedua :
levofloksasin, etionamid, kanamisin, amikasin, sikloserin, dan klaritomisin.
MDR-TB didefinisikan sebagai basil TB yang resisten terhadap isoniazid
dan rifampisin. Regimen MDR-TB harus disesuaikan dengan hasil kultur abses.
Rekomendasi terbaru untuk penanganan MDR-TB yaitu dengan kombinasi 5 obat
diberikan selama 18-24 bulan :
- Salah satu OAT lini pertama yang diketahui sensitif melalui hasil kultur
resistensi
- OAT injeksi periode minimal selama 6 bulan
- Kuinolon
- Sikloserin atau Etionamid
- Antibiotik (amoksisilin)
TB pada bayi dan anak setidaknya harus ditatalaksana selama 12 bulan. Berikut
tabel dosis rekomendasi OAT pada anak dan dewasa :
26
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri
dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra. Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 3-4 minggu, nyeri
atau defisit neurologis masih belum menunjukan perbaikan setelah pemberian
OAT yang sesuai.
Terapi operatif
Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita
diberikan obat tuberkulostatik.
Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara
terbuka, debrideman, dan bone graft.
Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI
ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam
beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa,
paraplegia, dan kifosis.
Cold absces : Cold abscess yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat
terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar
dilakukan drainase bedah.
27
Lesi tuberkulosa :
Debrideman fokal.
Kosto-transveresektomi
Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Kifosis
Pengobatan dengan kemoterapi.
Laminektomi.
Kosto-transveresektomi.
Operasi radikal.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis
bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif
berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007).
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,
Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and
Management. London : Springer-Verlag, 1997 : 378-87.
2. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current difficulties in the
diagnosis and management of spinal tuberculosis Postgrad Med J 2006; 82: 46-
51.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.Grafika. Jakarta. 2006. hal. 5
4. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr.
Ciptomangunkusumo. 2002.567
5. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran
No. 137, 2002 29.
6. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray and Nadel’s Textbook
of Resporatory Medicine. 4th ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005.
7. Wilson J, MacDonald. Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003. hal. 468
8. Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of Spine. Journal of
Craniovertebral Junction and Spine 2010, 1: 14
9. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr.
Ciptomangunkusumo. 2002.10
10. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and
management. Eur Spine J (2009) 18:1096–1101.11
11. Karraeminogullari O, Aydinli U, Ozerdemoglu R, Ozturk C. Tuberculosis of
the Lumbar Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy
and Surgery. Orthopedics. January 2007. Vol. 30. No.1
12. Infectious and noninfectious inflammatory disease affecting the spine. Dalam:
Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine and Spinal Cord.
Oxford University Press Inc. 2000.c. 9 h.325 – 335.
29
13. Teo EL, Peh WC. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004.
Vol 45(9); 439.
14. Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbell’s
Operative Orthopaedics. edisi ke-11. 2008. vol. 2, hal. 2237
15. Moesbar N. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah Kedokteran
Nusantara. Sept 2006.Vol.39. No.3
16. El- Fiky AM. Surgical management of tuberculous spondilitis in adults. Review
in 20 cases. Pan Arab J Otrh Traum. Vol (2)/ No. (2) – 195 – 201.
17. Alwali ANA. Spinal brace in tuberculosis of the spine. Neurosciences 2003;
Vol. 8 (1): 17-22.
18. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran
No. 137, 2002 29.
19. Hidalgo JA. Pott Disease. [Online]. 2008 Aug 29 [cited 2009 Aug 27];[17
screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic
20. Harada Y, T Osamu, Matsunaga N. Magnetic Resonance Imaging
Charasteristics of Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical
Imaging 32 (2008) 303–309.
21. Ahn JS, Lee JK. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and
Pyogenic Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2, pp
75~79, 2007.
22. Parthasarathy R, et al. A comparison between ambulant treatment and radical
surgery - ten-year report. J Bone and Joint Surg 1999; 81B: 464-71.
30