Referat SLE Pada Anak, M Diko Prakoso Revisi

download Referat SLE Pada Anak, M Diko Prakoso Revisi

of 35

description

referat sle

Transcript of Referat SLE Pada Anak, M Diko Prakoso Revisi

REFERAT

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

PEMBIMBING:

dr. Daniel Effendi, Sp.A

Disusun Oleh:

Muhammad Diko Prakoso030.08.146 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 4 NOVEMBER 2013 11 JANUARI 2014

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2013KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. karena atas berkah dan kasih sayang-Nya maka tugas pembuatan referat yang berjudul Systemic Lupus Erythematosus ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas wajib yang harus dikerjakan dalam rangka kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak, periode 4 November 2013 11 Januari 2014.

Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Daniel Effendi, SpA atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan dalam membimbing dan mengarahkan saya sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih periode 4 November 2013 11 Januari 2014 atas kebersamaan yang indah dan kerjasama yang terjalin selama ini. Tidak lupa juga kepada kedua orangtua dan keluarga atas dukungan moril dan materil yang telah diberikan terus menerus.

Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan referat ini. Besar harapan saya, agar kiranya penyajian referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Jakarta, Desember 2013Penulis

DAFTAR ISI1. Kata Pengantar .................................................................................................... i

2. Daftar Isi ............................................................................................................. ii

3. BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................ 1

4. BAB II : PEMBAHASAN

A. Definisi .................................................................................................... 3

B. Etiologi .................................................................................................... 3

C. Epidemiologi ........................................................................................... 5

D. Patogenesis .............................................................................................. 5

E. Manifestasi Klinis ................................................................................... 9

F. Bentuk-Bentuk Lupus

F. 1. Nefritis Lupus ................................................................................ 13

F. 2. Lupus Diskoid ............................................................................... 19

F. 3. Sistem Saraf Pusat ......................................................................... 19

F. 4. Arthritis Lupus .............................................................................. 20

F. 5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis) ......................................... 20

F. 6. Fenomena Raynaud ....................................................................... 21

F. 7. Gangguan Darah ............................................................................ 21

G. Lupus Neonatus ...................................................................................... 21

H. Penatalaksanaan ...................................................................................... 22

H. 1. Kortikosteroid ............................................................................... 23

H. 2. Hidroklorokuin .............................................................................. 25

H. 3. Asam Asetilsalisilat dan Obat-Obat AINS .................................... 25

H. 4. Obat-Obatan Imunosupresif ........................................................... 25

H. 5. Plasmapharesis ............................................................................... 26

H. 6. Splenektomi ................................................................................... 26

H. 7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca .............................. 26

I. Memonitor Perajalanan Penyakit .............................................................. 26

I. 1. Proteksi Terhadap Matahari ............................................................ 27

I. 2. Imunisasi ......................................................................................... 27

I. 3. Diet dan Olahraga ........................................................................... 28

J. Prognosis ................................................................................................... 28

5. BAB III : KESIMPULAN ................................................................................... 30

6. Daftar Pustaka ...................................................................................................... 31BAB I

PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit multiorgan yang berdasarkan kelainan imunologik. Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit, ginjal, otak, hati, dan lesi dasar pada pada organ tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan kompleks antigen-antibodi. SLE ditandai dengan pembentukan bermacam-macam antibodi yang ditujukan terhadap komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya hanya satu organ yang terkena selama beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke beberapa organ lain.1

SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa anak dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada keterlibatan organ penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit berat serta ada keterlibatan beberapa organ.2

Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus, dapat muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot, lelah, dan kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendukung maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah daripada pada orang dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.2

Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya tidak dapat diprediksi. Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia membutuhkan dukungan keluarganya dan penanganan multidisiplin ilmu dalam menjalani kehidupan dengan penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa literatur mengatakan bahwa SLE tidak ada obatnya, namun hasil pengobatan jangka panjang pada anak dengan SLE dapat memberi hasil yang baik apabila ditangani oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya masing-masing.2

Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan SLE. Diantaranya keparahan penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pasien tersebut. Hal terpenting dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya, pengobatan dan efek-efek sampingnya, serta hasil pengobatan yang mungkin terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan kepada pasien dan keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannya dalam mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam mengambil keputusan.3BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah lupus eritematosus sistemik dapat diartikan secara bahasa sebagai gigitan serigala, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah (masquerader, The Great Imitators). 2,4,5B. ETIOLOGI

Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya.4

Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang ditemukan pada SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun, hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini belum dapat dipastikan. Beberapa fakta telah ditemukan tetapi belum merupakan suatu hipotesis yang mencakup semuanya. Agaknya etiologi SLE merupakan multifaktor.1

Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1,6,7

1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta:

- SLE ditemukan pada 70% kembar identik

- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat

- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat

2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:

- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca pubertas

- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE. Bila pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik. Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah jelek.3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut: hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal), fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat-obat tersebut dihentikan4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus. Tetapi ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.C. EPIDEMIOLOGI

Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja.

SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam hal etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia. 2,3,4D. PATOGENESIS 1,8

SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).

Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.

Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan interaktif.

Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.

Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen.

Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.

Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.

Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.

Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.

Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.E. MANIFESTASI KLINIS

Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam, fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. 2,6

Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki. 2,4,7

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat menyebabkan parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE. 7

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia. Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaud sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan krioglobulin. 2,4

Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis dengan suspect infeksi virus sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal: Crohn disease, atau vaskulitis sistemik). 2Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5Keadaan umumMudah lelahDemam dan malaise

Penurunan berat badan

Limfadenopati

KulitRuam kupu-kupu dengan fotosensitifitasAlopesia

Lesi diskoid

Lesi pada kukuLupus tumidus

Lupus kutaneus subakut

Purpura vaskulitis

MuskuloskeletalArthritis / arthralgia non-erosifTenosinovitis

Miopati

Nekrosis avaskular

Sistem PencernaanUlserasi oral dan nasalAnoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difus

Dismotilitas esofagus

Kolitis

Hepato-splenomegali

Pankreatitis

Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi

KardiovaskulerFenomena RaynaudPerikarditis

Lesi valvular

Lesi vaskulitik

Trombophlebitis

Kelainan konduksi jantung

Miokarditis

Endokarditis Libman-SacksAccelerated coronary artery disease

Gangren perifer

Sistem PernapasanPleuritis, efusi pleuraSubklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)

Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis

Perdarahan

Paru menyusut (disfungsi diafragma)

Pneumotoraks

Sistem PersarafanMigrainDepresi / cemas

Psikosis organik

Kejang

Neuropati saraf pusat dan saraf tepi

Khorea

Kelainan serebrovaskular

Sistem PenglihatanRetinopati, cotton wool spotsPapiloedema

GinjalGlomerulonefritisHipertensi

Gagal ginjal

HematologiAnemia hemolitik dengan Coombs positifTrombositopenia

Sindrom antifosfolipid

EndokrinHipo / hipertiroidism

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat. Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis. American College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.

Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2Ruam malar (butterfly rash)

Ruam diskoid-lupus

FotosensitifUlkus pada oral atau nasal

Arthritis non-erosif

Nefritis

Proteinuria >0,5 g/hari

Silinder selularEnsefalopati

Kejang

Psikosis

Pleuritis atau perikarditis

Kelainan hematologi

Anemia hemolitik

Leukopenia

Limfopenia

Trombositopenia

Pemeriksaan imunoserologis positif

Antibodi terhadap dsDNA

Antibodi terhadap Smith nuclear antigen

Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:

Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin

Lupus antikoagulan

Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan

Tes antinuklear antibodi (ANA) positif

Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi penyakit, diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%. F. BENTUK-BENTUK LUPUSF. 1. Nefritis Lupus

Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan ginjal pada suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal dan diperiksa dengan mikroskop imunofloresensi akan ditemukan kelainan pada hampir semua kasus meskipun pada pemeriksaan urinalisisnya belum ada kelainan (silent NL). 5,8

Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan patologi anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis, atau hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu sindrom nefrotik, glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif, atau hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif. 1Diagnosis 1

Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya SLE pada pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah direvisi pada tahun 1997 seperti yang telah disampaikan diatas.

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan laboratorium pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+), peninggian LED, penurunan kadar komplemen C3, C4, dan komplemen total (CH50), peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya antibodi terhadap DNA double-stranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria, proteinuria, dan macam-macam silinder, antara lain: torak, sel darah merah, dan sel darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan dapat mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu >40 mg/jam/m2. Pemeriksaan darah tepi juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau leukopenia, dengan atau tanpa trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu diperiksa uji coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun. NL dengan anemia dilaporkan mempunyai prognosis yang kurang baik dan umumnya progresif.

Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan serologi terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien nefritis lupus ataupun lupus eritematosus sistemik pada umumnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium pada NL / SLE11. Urinalisis

2. Darah tepi, termasuk LED

3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu

4. Pemeriksaan fungsi ginjal

darah ureum dan kreatinin

klirens ureumdan kreatinin5. Kimia darah

- albumin, globulin, kolesterol

6. Pemeriksaan khusus

sel LE

komplemen darah (C3, C4, CH50)

C-reaktif protein (CRP)

Antibodi anti ds-DNA

Uji coombs

Uji serologi sifilis

Serum imunoglobulin, terutama IgG

krioglobulin7. Biopsi ginjal

Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin (anti fosfolipid).Gambaran Patologi Anatomi (PA)1

Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO.

Tabel 3. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO1Tipe INormal

a. Normal pada semua pemeriksaan

b. Normal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, tetapi ditemukan deposit pada pemeriksaan mikroskop imun

Tipe IIGlomerulonefritis mesangial

a. Pelebaran daerah mesangium dengan/tanpa hiperselular ringan

b. Hiperselular sedangTipe IIIGlomerulonefritis proliferatif fokal segmental

a. Dengan lesi nekrosis aktif

b. Dengan lesi sklerosis aktif

c. Dengan lesi sklerosis

Tipe IVGlomerulonefritis proliferatif difus

a. Tanpa lesi segmental

b. Dengan lesi nekrosis aktif

c. Dengan lesi sklerosis aktif

d. Dengan lesi sklerosis

Tipe VGlomerulonefritis membranosa

a. Murni

b. Disertai gambaran tipe II (a atau b)

Tipe VIGlomerulonefritis sklerosis kronik

Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata lain pada pasien SLE dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain yaiu hipertensi, peningkatan kadar ureum/kreatinin darah. Klasifikasi histopatologi ginjal diperlukan untuk: 1. Memastikan diagnosis NL, 2. Menetapkan klasifikasi pasien NL, 3. Menetapkan jenis pengobatan, 4. Menetapkan prognosis, 5. Menilai keberhasilan pengobatan (dengan biopsi ulang).Tipe I Glomerulus normal

Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks dan sel mesangial pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM di mesangium. Juga pada mikroskop elektron dapat ditemukan deposit elektron dense di mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6% NL.Tipe II Glomerulonefritis mesangeal

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks dan sel mesangial yang jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imuofluoresensi dan elektron kelainan yang ditemukan sama dengan tipe I. Tipe I ditemukan pada 20% NL.

Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel mesangial dan endotel yang bersifat fokal dan segmental. Selain itu pada beberapa tempat (fokal) dapat terlihat nekrosis fibrinoid, infiltrasi sel neutrofil, dan penebalan membran basal. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgM dan IgA di daerah mesangial dan beberapa dinding kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, terlihat deposit electron dense pada daerah mesangial dan di beberapa tempat subendotel dan subepitel. Tipe III ditemukan pada 23% NL.

Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus mesangial dan endotel pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus dijumpai proliferasi sel epitel glomerulus dan pembentukan kresen fibroepitelial yang dapat mencapai lebih dari 50%. Juga dapat terlihat nekrosis fibrinoid disertai infiltrasi sel neutrofil di glomerulus. Membran basal glomerulus menebal dan menunjukkan gambaran lesi wire loop eosinofilik. Hal ini disebabkan adanya deposit subendotel yang besar dan difus. Kadang-kadang dapat terlihat arteritis pada arteri dan trombosis pada kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop imunofloresensi akan terlihat gambaran deposit granular di mesangium dan sepanjang dinding kapiler terdiri atas IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgA dan IgM.

Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium dan daerah subendotel, kadang juga subepitel. Tipe IV dijumpai pada 40% pasien NL.

Tipe V Glomerulonefritis membranosa

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada nefropati membranosa idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan ditemukan penebalan membran basal. Pada pewarnaan perak dapat dijumpai gambaran sisir (spike). Pada pemeriksaan imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, disepanjang dinding kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, ditemukan deposit elektron dense di daerah subepitel kapiler glomerulus dan kadang-kadang di daerah mesangial dan subendotel. Tipe V ditemukan pada kurang dari 10%.

Tipe VI Glomerulosklerosis

Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL yang bersifat ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran penambahan matriks mesangial, sklerosis glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular, dan fibrosis interstisial. Tipe VI ditemukan pada 0,7%.

Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus lainnya antara lain sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi perubahan morfologi glomerulus dari tipe yang ringan menjadi yang berat atau sebaliknya. Perubahan dari bentuk ringan tipe II dapat menjadi tipe IV bila tidak diobati, sedangkan dengan terapi tipe IV proliferatif difus dapat berubah menjadi tipe II mesangial atau tipe V membranosa yang lebih ringan.

Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun SLE karena dapat dipakai dalam diagnosis banding dengan penyakut reumatoid lain dan membedakan NL dengan granulopati idiopatik. Pada lupus ditemukan deposit granuler pada pertemuan daerah dermis dan epidermis. Deposit tersebut dengan teknik imunofluoresensi terdiri atas IgG, C3, properdin dan antibodi DNA. Ada laporan terdapat korelasi antara beratnya gambaran histolologi ginjal dan gambaran deposit di kulit, tetapi ini belu dapat dikonfirmasi peneliti lain.

Korelasi antara gambaran patologi anatomi dan klinis1

Pada umumnya, terdapat kerelasi yang kuat antara gambaran PA dan klinis. Pasien dengan gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan mesangeal (tipe II) menunjukkan presentasi klinis yang ringan yaitu urinalisis normal atau minimal dan fungsi ginjal yang normal. Gambaran PA proliferatif difus (tipe IV) biasanya menunjukkan gambaran PA glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik dengan hipertensi dan gagal ginjal. Bila tipe IV ini disertai kresen yang > 50% akan disertai gagal ginjal progresif (glomerulonefritis progresif cepat). Pasien dengan gambaran PA tipe V GN membranosa menunjukkan gambaran klinis sindrom nefrotik yang bersifat menahun, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal yang perlahan-lahan (progresif lambat). Tipe V glomerulosklerosis merupakan stadium lanjut NL yang diakhiri dengan gagal ginjal terminal.

F. 2. Lupus Diskoid

Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan banyak muncul pada kulit yang sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya pada pasien dewasa. Lesi diskoid sering menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat kambuh kembali jika pasien terpapar sinar ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan menjadi SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada penelitian yang menyebutkan lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak, namun presentasi lupus diskoid pada anak yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE. 3,8F. 3. Sistem Saraf Pusat

Gejala SSP muncul pada 20 30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan dapat melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti manifestasi penyakit lain, keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama penyakit pada 75-85% pasien yang akan berkembang menjadi penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 60% pasien SLE dewasa dengan kelainan SSP. Resiko pada wanita delapan kali lebih besar daripada pria, dan resiko tertinggi ada pada wanita kulit hitam. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk menyingkirkan ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Disarankan untuk mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri.

Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi kognitif. Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan dengan adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan. 3,8F. 4. Arthritis Lupus

Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan pasien tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan radiologi pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. 3F. 5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)

Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri pleura adalah nyeri dada yang tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Atau dapat pula muncul sebagai perikarditis, dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik. 7,8F. 6. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.8F. 7. Gangguan Darah

Terdapat salah satu diantara kelainan darahini: 1) Anemia hemolitik dengan retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat.8G. LUPUS NEONATUS 6,9

Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin pada ibu dengan SLE. Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam, trombositopenia atau blokade jantung kongenital, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya Sindrom lupus neonatus dianggap disebabkan oleh faktor-faktor maternal pada janin, tetapi patogenesis yang tepat belum pasti.

Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :

1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu.

2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita.

Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravena atau plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil.7H. PENATALAKSANAAN

Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstra-renal ringan, tidak diperluka terapi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau obat anti inflamasi non steroid. 1

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.

Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.2,3H. 1. Kortikosteroid

Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan pada anak, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 1,2

Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan penyakit anak biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada pertengahan, dosis diturunkan namun tetap dilanjutkan. 2

Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1

Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang.8 Pada beberapa anak, pota tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 4.Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 2Efek sampingRekomendasi

Peningkatan nafsu makan dan berat badan, moon faceDiet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi bila perlu

AcneKrim anti-acne topikal

Gangguan moodDiskusikan dengan anak dan angota keluarga yang lain bahwa terkadang perubahan mood ini sulit untuk dikontrol.

Pertumbuhan lebih lambatBeri pengertian tentang kearusan anak mengejar ketinggalan dalam pertumbuhannya

OsteopeniaSuplemen kalsium dan vitamin D

Avaskular nekrosis (AVN)Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan kepada dokter ahli ortopedi

Mudah terkena infeksiVaksinasi pneumonia dan varisella jika anak tidak sedang menderita cacar

Tekanan darah meningkatMonitor berkala, obat antihipertensi bila perlu

KatarakBiasanya tidak mempengaruhi penglihatan. Konsultasikan kepada dokter spesialis mata

Peningkatan resiko atherosklerosisCek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid maupun hidroklorokuin.

H. 2. Hidroklorokuin

Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2H. 3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS

Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid yang tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.

Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis. 2H. 4. Obat-obatan Imunosupresif

Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin.

Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:

Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk mengontrol penyakit

Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya hipertensi

Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi kortikosteroid dan sitostatik.

Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi sistitis hemoragik.

Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit