Referat SLE 1

58
BAB I PENDAHULUAN Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada system imun antara lain lupus erimatosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi t erdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama. Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi imun. Pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episoderemisi. Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi lupus 1

Transcript of Referat SLE 1

Page 1: Referat SLE 1

BAB I

PENDAHULUAN

Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit

yang disebabkan gangguan atau kelainan pada system imun antara lain lupus erimatosus.

Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang

melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga

mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang

dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.

Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga,

tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom

klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi imun. Pembentukan kompleks imun dan

yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui

penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa

organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat

episodik diselangi episoderemisi.

Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi lupus

eritmatosus sampai saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang

adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan. Seperti pada penyakit yang

bermanifestasi pada kulit.

Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di Negara

berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multi

disiplin dan dukungan dari berbagai pihak.

1

Page 2: Referat SLE 1

BAB II

I. DEFINISI

SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ) adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel

mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissuebinding autoantibody dan kompleks imun,

yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya

belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau

kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody.

Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.

Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang

menimbulkan kecacatan.

II. EPIDEMIOLOGI

Sistemik Lupus Erythematosus merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia

diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap SLE ( Systemic Lupus Erythematosus ). Penyakit

Lupus ditemukan baik pada wanita maupu pria, tetapi wanita lebih banyak dibandingkan pria

yaitu 9:1, umumnya pada usia 18 – 65 tahun tetapi paling sering antara usia 25 – 45 tahun,

walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.

Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat

prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan

dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin,dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8

tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan

bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.

Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,sekitar 15-17%.

Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih

sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan

2

Page 3: Referat SLE 1

usia. Prevalensi penyakit LES dikalangan penduduk berkulit hitan ternyata lebih tinggi

dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.

SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ) ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan

ras Afrika, Amerika, Asia, Hispanik dan dipengaruhi factor sosioekonomi. Sebuah penelitian

epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasiayaitu 0,3-0,9 (per 100.000

orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras

Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE

merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.

III. ETIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan

peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh

kombinasi antara factor - faktor genetik, hormonal dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar

termal). Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui, diduga factor genetik, infeksi dan

lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan

untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi

ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam

pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan

kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan

pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem

pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel

tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi

penyakit menahun.

Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya diketahui

tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang

dapat memicu timbulnya lupus :

Infeksi

Antibiotic ( golongan sulfa dan penisilin )

3

Page 4: Referat SLE 1

Sinar ultraviolet

Stress yang berlebihan

Obat – obatan tertentu

Hormone

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak

diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari

penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan

menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang

akan menderita penyakit ini.

Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.

Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih

sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih

sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi

dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama estrogen) mungkin

berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada

wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui. Faktor Resiko terjadinya SLE :

1. Faktor Genetik

Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria

dewasa

Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun

Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga

yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon

Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.

4

Page 5: Referat SLE 1

3. Sinar UV

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang

efektif, Sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit

mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut

maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.

4. Imunitas

Pada pasien SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ), terdapat hiperaktivitas

sel B atau intoleransi terhadap sel T.

5. Obat

Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum

dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus

Erythematosus atau DILE).

Jenis obat yang dapat menyebabkan SLE adalah :

Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,

prokainamid, dan isoniazid

Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin

Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan

griseofurvin

6. Infeksi

Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang - kadang

penyakit ini kambuh setelah infeksi.

7. Stres

Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan

penyakit ini.

5

Page 6: Referat SLE 1

IV. PATOFISIOLOGI

Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga

dekat. Resiko meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic,

menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis

tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga

berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang

mengacau regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE, bisa dilihat pada

tabel berikut :

Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous

Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)

Definite Ultraviolet B light

Probable Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1

rasio penderita menarche : menopause = 3:1

Possible Faktor diet : Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;

Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats

Faktor Infeksi : DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida

bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu : Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid;

Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; DPenicillamine; Minoksiklin; Antibodi

anti-TNF-a ; Interferon-a

Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta factor lingkungan

yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari

pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi

antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon

hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah

produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks. Subset patogen autoantibodi dan

6

Page 7: Referat SLE 1

deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan

karakteristik SLE.

Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai keadaan

seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen tubuh tidak

dikenal (self antigen) contoh : nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A. Antigen tersebut diproses seperti

umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan

diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh.

Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang terbentuk oleh antigen external akan

merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan

dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks yang merusak berbagai organ bila

mengendap.

Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA,

DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit

dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding

trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic

trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.

Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan kerusakan

jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya

menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.

Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks yang

melibatkan berbagai aktivasi komplemen , PMN dan berbagai mediator inflamasi.

Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah

ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat meningkatkan aktivasi sel

B untuk membentuk antibodi.

7

Page 8: Referat SLE 1

Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :

Sel T :

-Lymphopenia

-Penurunan sel T supressor

-Peningkatan sel T helper

-Penurunan memori dan CD4

-Penurunan aktivasi sel T supressor

-Peningkatan aktivasi sel T helper

Sel B :

-Aktivasi sel B

-Peningkatan respon terhadap cytokine

Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang

dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.

8

Page 9: Referat SLE 1

Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu :

faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.

1. Faktor genetik

Memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada

saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai factor genetic yaitu studi yang

berhubungan dengan HLA ( Human Leucocyte Complex ) mengatur produksi antibody spesifik.

Penderita lupus ± 6 % mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4 atau C1q dan

IgA atau kecendrungan jenis fenotip HLA ( -DR2 dan –DR3. Faktor imunopatogenik yang

berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat

merusak pelepasan sirkulasikompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga

membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal

membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen  nuklear akanmenimbulkan respon imun.

2. Faktor lingkungan 

Dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan,

virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan

apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita

lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung merubah sel DNA serta

mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan

pada inflamasi. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu

meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius

terutama virus rubella, sitomegalovirus dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan

apoptosis.

3. Faktor imunologis

Selama ini dinyatakan bahwa hiperreaktivita sel limfosit B menjadi dasar dari patogenesi

SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ). Beberapa autoantibody ini secara langsung bersifat

pathogen termasuk dsDNA ( double stranded DNA ), yang berperan dalam membentuk

kompleks imun yang kemudian merusak jaringan. Selama perjalanan penyakit lupus tubuh

membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai  jenis

9

Page 10: Referat SLE 1

autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuclear

(autoantibody terhadap DNA, RNA, nucleoprotein, kompleks protein asam nukleat.

Umumnya titer antiDNA mempunyaikorelasi dengan aktivitas penyakit lupus.

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,yaitu bersifat sitotoksik

dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai

perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc immunoglobulin. Contoh klinis

mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibody tertentu yang

bersifat membahayakan karena dapat berinterkasi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya

antiprotombin, sehingga dapat terjadi thrombosis disertai perdarahan. Antibody antinuclear

dikenal juga sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyeba

vaskulitis.

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada pathogenesis ataupun bernilai sebagai

petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita

lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu

diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan  secara pasif dengan serum

penderita lupus.

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya

kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-

epidermis, pleksus koroid) dan aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan

hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa

kompleks imun terbentuk disirkulasi dan terdeposit dijaringan, beberapa terbentuk insitu ( suatu

mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi seperti dsDNA. Komponen

C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabk anaktivasi komplemen tanpa bantuan

autoantibodi.

4. Hormone

Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun

mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES

10

Page 11: Referat SLE 1

terutama terjadi pada perempuan antara menarsdan menopause, diikuti anak-anak dan setelah

menopause. Namun, studioleh Cooper  menyatakan bahwa menars yang terlambat dan

menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa  pajanan estrogen yang

lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan

karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-

stimulating hormone),LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan

dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron danestriol. Frekuensi

LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon

androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan

kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

V. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ) sangat

bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda – tanda terkenanya berbagai system

dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti oleh

gejala terkenanya sitem imun.

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah5 tahun.

Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat

spontan atau didahului oleh factor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus

atau bakteri, obat misalnya golongan sulfa.

A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak – anak yang paling sering ditemukan

adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable.

Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.

11

Page 12: Referat SLE 1

B. Gejala Muskuloskeletal

Pada anak – anak gejala yang sering ditemukan yaitu athralgia (90%) dan sering

mendahului gejala – gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal

proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan

kaki.

Arthritis dapat terjadi pada lebih dari 90 % anak, umumnya simetris. Biasanya  sangat

responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada SLE ( Systemisc

Lupus Erythematosus ). Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan

kekakuan sendi yang berat. Osteonekrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah

dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.

Berbeda denga JRA, arthritis SLE umumnya sangat nyeri dan nyeri ini tidak proporsional

dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa

adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun

kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.

C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.

1. Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk 

kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada

hidung dan kedua pipi.

Karakteristik malar atau ruam kupu – kupu termasuk jembatan

hidung dan bervariasi dari merah pada erythematosus epidermis hingga

penebalan scaly patches.

Ruam bersifat fotosintesis dan juga untuk semua daerah yang

terkena matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan

dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yangtidak beraturan. Dengan

pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.

12

Page 13: Referat SLE 1

2. Lesi Kulit Sub AkutLesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3. Lesi Diskoid

2 % lesi discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun.sekitar 7 % lesi

discoid akan menjadi SLE dalam waktu % tahun, sehingga perlu di

monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya

antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang

tinggi dan lekopeni ringan.

Ruam discoi adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga,

dada, punggung, dan ekstremitas yang  menimbul dan berbatas tegas,

dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri.

Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan

atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,

tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.Kalau

sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.

Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak kanak. Namun,mereka

terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid

lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa

kanak-kanak.

13

Page 14: Referat SLE 1

4. Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil

sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema

periungual.

5. Urtikaria

Biasanya menghilang perlahan – lahan beberapa bulan setelah

penyakit tenang secara klinis dan serologis.

D. Kelainan pada Ginjal

Pada 2/3 dari anak dan remaja SLE akan timbul gejala lupusnefritis.

Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak  dalam tahun pertama terdiagnosanya LES.

Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupusnefritis adalah :

Kelas I : minimal mesangial lupus nephritis

Kelas II : mesangial proliferative lupus nephritis

Kelas III : focal lupus nephritis

Kelas IV : diffuse lupus nephritis

Kelas V : membranous lupus nephritis

Kelas VI : advanced sclerotic lupus nephritis

14

Page 15: Referat SLE 1

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria

dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan

nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis

tampak sebagai sindroma nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sdang sampai berat.

Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan

fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi

progresif.

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan

fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering

unilateral, mungkin itemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan

pemberian terapi yang adekuat.

F. Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dansering tidak dapat

diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapaitahap lanjut.

G. Gastrointestinal

Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeriakut abdomen, muntah

dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitisintestinalis. Gejala menghilang dengan cepat

bila gangguan sistemiknyamendapat pengobatan yang adekuat.

H. Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus.

Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal.

I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus.Biasanya berupa limfaden

opati difus dan lebih sering pada anak-anak.Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE.

15

Page 16: Referat SLE 1

J. Susunan Saraf Tepi 

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik  danmotorik. Biasanya bersifat

sementara.

K. Susunan Saraf Pusat

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan

kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala  dan kehilangan memori.

Diagnose lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi gangguan psikososial

reaktif, infeksi dan metabolic. Thrombosis vena serebralis biasanya terkait dengan antibody

antifosfolipid. Bila diagnose lupus serebralis sudah diduga, CT scan perl dilakukan.

Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organic dan

kejang – kejang. Penyakit otak organik biasanyaditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE

pada system – system lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi atau halusinasi disamping

gejala khas kelainan organic otak.

Kejangkejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.Kelainan lain yang mungkin 

ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis,

pseudomotor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis,

neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunansaraf pusat tidak selalu

jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antaralain vaskulitis, deposit gamma globulin di

pleksus koroideus.

L. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-

positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronistrombositopenia, dan lekopenia.

M. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi

karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.

16

Page 17: Referat SLE 1

Gejala dari penyakit lupus:

- demam

- lelah

- merasa tidak enak badan

- penurunan berat badan

- ruam kulit

- ruam kupu-kupu

- ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari

- sensitif terhadap sinar matahari

- pembengkakan dan nyeri persendian

- pembengkakan kelenjar

- nyeri otot

- mual dan muntah

- nyeri dada pleuritik

- kejang

- psikosa

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan :

- hematuria (air kemih mengandung darah)

- batuk darah

- mimisan

- gangguan menelan

- bercak kulit

- bintik merah di kulit

- perubahan warna jari tangan bila ditekan

- mati rasa dan kesemutan

- luka di mulut

- kerontokan rambut

- nyeri perut

- gangguan penglihatan

17

Page 18: Referat SLE 1

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE

Penyakit SLE dapat ringan atau berat sampai mengancam nyawa . Kriteria untuk

dikatakan SLE ringan adalah :

Diagnosis SLE telah ditegakkan atau sangat dicurigai

Secara klinis tenang

Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,

gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit

Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengobatan

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana

tercantum di bawah ini, yaitu:

Jantung : vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi

maligna

Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark

paru, fibrosis interstitial

Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika

Ginjal : nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulonephritis), sindroma

nefrotik

Kulit : vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)

Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,

mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma demielinisasi

Otot : miositis

Hematologi : anemia hemolitik, netropenia (leukosit < 1.000/mm3 ), trombositopenia

< 50.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri

Konstitusional : demam tinggi yang persiten tanpa bukti infeksi

18

Page 19: Referat SLE 1

VI. DIAGNOSIS

Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association (ARA, 1992).

Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4 dari 11 butir

kriteria dibawah ini :

1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak,

atau efusi dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan

2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan

immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat

yang dapat memicu ANA sebelumnya

3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau

berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)

4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV / matahari,

menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit

5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit

6. Salah satu Kelainan darah;

- anemia hemolitik,

- Leukosit < 4000/mm³,

- Limfosit<1500/mm³,

- Trombosit <100.000/mm³

7. Salah satu Kelainan Ginjal;

- Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

- Sedimen seluler , adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel

darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8. Salah satu Serositis :

- Pleuritis,

- Perikarditis

9. Salah satu kelainan Neurologis;

- Konvulsi / kejang,

- Psikosis

10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan

19

Page 20: Referat SLE 1

11. Salah satu Kelainan Imunologi

- Sel LE+

- Anti dsDNA diatas titer normal

- Anti Sm (Smith) diatas titer normal

- Tes serologi sifilis positif palsu

Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :

1. Wanita muda

2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari

3. Manifestasi sendi

4. Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit

5.Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen yang rendah)

Kriteria untuk klasifikasi SLE dari the American College of Rheumatology

Criteria Batasan

Ruam malar eritema malar ( eminensia malar atau lipatan nasolabial ), datar

atau menonjol

Ruam discoid bercak eritema dengan gambaran bersisik keratosis dan sumbatan

folikular, lesi yang lebih lama dapat ditemukan gambaran bersisik

atrofi

Fotosensivitas ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar matahari, didapat

dari anamnesia atau observasi dokter

Ulkus mulut ulcer mulut atau nasofaring biasanya tidak nyeri, hasil observasi

dokter

Arthritis non erosive

serositis

Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer, nyeri, bengkak, efusi

1. Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau pleural friction rub

dapat didengar oleh dokter atau adanya bukti efusi pleura

2. Perikarditis : bukti hasil EKG atau pericardial friction rub

dapat didengar oleh dokter atau adanya bukti efusi

pericardium

Gangguan ginjal Proteinuria menetap > 0,5 mg/hari atau >3+

20

Page 21: Referat SLE 1

Apapun tipe cetakan seluler

Gangguan neurologi Kejang tanpa ada penyebab lain

Psikosis tanpa ada penyebab lain

Gangguan hematologi Anemia hemolitik

Leucopenia <4000/mm3 pada 2 kali/lebih pemeriksaan

Limfopenia <1500/mm3 pada 2 kali/lebih pemeriksaan

Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa penyebab obat – obatan

Gangguan imunologi antiDNA

antiSM

positif antibody antifosfolipid berdasarkan

- Kadar IgG atau IgM antibody antikardiolipin abnormal

- Hasil positif antikoagulan lupus dengan menggunakan

metode standar

- Hasil tes sifilis positif palsu selama 6 bulan dengan

konfirmasi dari tes imobilisasi Trepanoma pallidum atau

test floresensi absorbsi antibody Trepanoma pallidum

Antibody antinuclear

(ANA)

Titer ANA yang abnormal berdasarkan tes imunofloresensi tanpa

pengaruh obat yang mengakibatkan sindroma lupus akibat obat

21

Page 22: Referat SLE 1

VII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :

1. Hematologi

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada

hampir semua penderita lupus. Tetapi antibody nini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain.

Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk

antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik

untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.

Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam

sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibody lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk

memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.

2. Kelainan imunologi

Ditemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive, dan lain-lain.

ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE. Antibody doublestranded DNA (Anti-Ds DNA)

dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive. Depresi pada serum complement (didapatkan pada fase

aktif) dapat berubah menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan

aktivitas dari perjalanan penyakit SLE , tetapi anti-Sm tidak.

Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic (Ro,La,Sm,RNP,Jo-1)

berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan kadang ditemukan pada SLE dengan

negatif ANA.

Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.Mereka disertai

antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan Partial Thrombiplastin (PTT).

22

Page 23: Referat SLE 1

Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena

pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA

berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna.

Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa

dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA).

Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan

yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.

Beberapa obat dapat menyebabkan ANA tes positf dan kadang-kadang sindroma mirip

lupus. Gejala menghilang jika obat dihentikan segera. Obat-obat yang dapat memicu timbulnya

SLE terhadap orang dengan predisposisi genetik :

Definite ascociation : Chlorpromazine, Methyldopa, Hydralazine , Procainamide,

Isoniazid , Quinidine

Possible ascociation : Beta-blocker, Methimazole, Captopril, Nitrofurantion,

Carbamazepine, Penicillinamine, Cimetidine, Phenitoin, Ethosuximide,

Propylthiouracil, Hydrazine, Sulfasalazine, Levodopa, Sulfonamide, Lithium,

Trimethadione

Unlikely ascociation : Allopurinol, Penicillin, Chlortalidone, Phenylbutazone,

Gold salt , Reserpine, Griseofulvin, Streptomycin, Methysergide, Tetracycline,

Oral contraceptive

Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE.

ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae

memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk antidsDNA

pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis

Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah kadarnya pada SLE

dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun telah terjadi proses pada ginjal. Untuk

menilai perjalanan SLE pada ginjal dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6

bulan. Adanya silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.

23

Page 24: Referat SLE 1

Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan prevalensinya.

Antibody Prevalensi (%)

Antigen yang dikenali Clinical Utility

Antinuclearantibodies (ANA)

98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik

Hasil negative berulang menyingkirkan SLE

Anti-dsDNA 70 DNA (doublestranded) Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.

Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA

Spesifik untuk SLE,tidak ada korelasi klinis,kebanyakan pasien juga memiliki RNP,umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia

Anti-RNP 40 Kompleks protein pada U1 RNAγ

Tidak spesifik untuk SLE, jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasukSLE

Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa

Tidak spesifik SLE,berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupussubakut, dan lupusneonatus disertaiblok jantung congenital, berkaitandengan penurunan resiko nephritis.

Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY RNA

Biasanya terkait dengan anti-Ro, berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis

Antihistone 70 Histones terkait dengan DNA(pada nucleosome, chromatin)

Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE

Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2 glycoprotein 1 cofactor,

Tiga tes tersedia, ELISA untuk cardiolipin dan β2G1, sensitive

24

Page 25: Referat SLE 1

prothrombin prothrombin time (DRVVT), merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.

Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs’ langsung, terbentuk pada hemolysis

Antiplatelet 30 Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet

Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik, secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE

Antineuronal(termasuk antiglutamate receptor)

60 Neuronal dan permukaan antigen limfosit

Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif

Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS

Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada

SLE :

1. Anemia 60%

2. Leukopenia 45%

3. Trombocytopenia 30%

4. False test for syphilis 25%

5. Lupus anticoagulant 7%

6. Anti-cardiolipin antibody 25%

7. Direct coomb test positive 30%

8. Proteinuria 30%

9. Hematuria 30%

10. Hypocomplementemia 60%

11. ANA 95-100%

12. Anti-native DNA 50%

13. Anti-Sm 20%

Interpretasi:

25

Page 26: Referat SLE 1

Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan spesifitas

98% dan sensitivitas 97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka

sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA

negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada,

maka bukan SLE.

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi LES pada anak meliputi:

• Hipertensi (41%)

• Gangguan pertumbuhan (38%)

• Gangguan paru-paru kronik (31%)

• Abnormalitas mata (31%)

• Kerusakan ginjal permanen (25%)

• Gejala neuropsikiatri (22%)

• Kerusakan muskuloskeleta (9%)

• Gangguan fungsi gonad (3%).

IX. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat

gambaran klinis yang mirip aau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu :

Undifferentiated connective tissue disease

Sindroma Sjogren

Sindroma antibody antifosfolipid (APS)

Fibromialgia (ANA positif)

Purpura trombositopenik idiopatik

Lupus imbas obat

Artritis reumatoid

Vaskulitis

Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.

26

Page 27: Referat SLE 1

Endokarditis bacterial subacute

Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi

kulit.

Drug eruption.

Limfoma.

Leukemia.

Trombotik trombositopeni purpura.

X. PENATALAKSANAAN

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ

yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan

serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang

dihubungkan dengan aktifitas penyakit. SLE yang tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan

spontan, dapatmenjadi penyakit menahun atau kematian yang cepat.

Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi

suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam

merencanakan program terapi akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan

tim ahli yang berpengalamandalam menangani penyakit multisystem pada anak dan

remaja. Nefrologis perlu dilibatkan untuk pengamatan yang optimal terhadap

komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis.

Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.

1. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan

adanyakenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka

perludihindari makanan “junk food” atau makanan mengandung tinggi

sodiumuntuk menghindari kenaikan berat badan berlebih.

27

Page 28: Referat SLE 1

2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada

anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari

sinar UVB.

3. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risikoinfeksi

meningkat pada anak dengan SLE. Pemberian antibiotic sebagai

profilaksi dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.

Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus,

yaitu :

a. d iagnos i s  d in i  dan  pengoba tan   segera  penyaki t   in feks i ,   t e r

u tama infeksi bacterial

b. sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis harus

dianggap sebagai gejala infeksi

c. gambaran radiologi infiltrate limfositik paru harus dianggap sebagai

infeksi bacterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain

d. setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.

Lupus diskoid 

Terapi standar adalah fotoproteksi, antimalaria dan steroid topical. Krim

luocinoid 5% lebih efektif dibndingkan krim hidrokortison 1 %. Terapi dengan

hidroksiklorokuin efektif pada 48 % pasien dan acitrenin efektif terhadap 50 %

pasien.

Serositis lupus ( pleuritis, perikarditis )

Standar terapi adalah nSAIDs ( dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal),

antimalaria dan kadang - kadang diperlukan steroid dosis rendah.

A r t h r i t i s l u p u s

Untuk keluhan musculoskeletal, terapi standar adalan nSAIDs dengan

pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk

keluhan myalgi dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan

(amitriptilin).

28

Page 29: Referat SLE 1

 

Miositis lupus

Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison dosis 1-2

mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di

tapering off secara hati – hati dalam 2-3 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode

lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengancara

pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,tak lebih 150-250 mg),

metrotreksat atau azathioprine.

Fenomena Raynaud

 Standar terapinya adalah calcium channel blokers, misalnya nifedipin, alfa1adrenergic,

reseptor antagonist dan nitrat misalnya isosorbidmononitrat.

Lupus nefritis

Kelas I : tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO

Kelas II : mensengial, mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal.

Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan status

penyakit menjadi lebih parah.

Kelas III : fokal proliferative nefritis / FPGNmemrlukan terapi yang sama agresifnya dengan

DPGN, khususnya bila ada lesi focal necrotizing.

Kelas IV : DPGN kombinasi kortikosteroid dengan siklosfosfamid ternyata lebih baik

dibandingkan dengan prednisone. Siklofosfamid intravena telah

digunakan secara luas baik untuk DPGN maupun bentuk lain dari

lupus nefritis. Azatioprin telahterbukti memperbaiki outcome jangka

panjang untuk tipe DPGN.

Prednisone dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar

komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati

– hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan,

setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis

siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan

tergantung pada jumlah lekositnya.

29

Page 30: Referat SLE 1

Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah monoterapi dengan

kortikosteroid, terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A,

siklofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Proteinuria sering bisa

diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada lupus nefritis kelas V tahap lanjut

pilihan terapinya adalah dialysis dan transplantasi hati.

Gangguan hematologis

Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini

a d a l a h   k o r t i k o s t e r o i d ,   i m u n o g l o b u l i n   i n t r a v e n a ,   a n t i   D   i n t r a v e n a ,

vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik terapi yang

dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi.

 

 Pneumonitis interstitialis lupus

Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklofosfamid intravena.

 

Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting 

Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklofosfamid intravena.

 

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES 

1. Antimalaria : hidroksiklorokuin 3 – 7 mg/kg/hari peroral dalam garam sulat

(maksimal 400mg/hari)

2. Kortikosteroid : prednisone dosis harian (1mg/kg/hari), prednisone dosis alternate

yang lebih tinggi (5mg/kg/hari, maksimal 150 – 250 mg), prednisone dosis rendah

harian (0,5mg/kg/hari) yang digunakan bersama methylprednisolon dosis tinggi

intermitten (30mg/kg/hari)

3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid  500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama

3minggu, maksimal 1 g/m2. Harus diberikan intravena dengan infuse

terpasang dan dimonitor. Monitor leukosit pada 8 – 14 hari mengikuti

setiap dosis (leukosit di maintance > 2000 – 3000/mm3). Azathioprine 1

– 3 mg/kg/hari peroral 4 kali sehari.

4. Nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAIDs). Naproxen 7 – 20 mg/kg/hari

peroral dibagi 2 – 3 dosis maksimal 500 – 1000 mg/hari. Tolmetin 15 – 30

30

Page 31: Referat SLE 1

mg/kg/hari peroral dibagi 2 – 3 dosis maksimal 1200 – 1800 mg/hari. Diclofenac <

12 tahun tidak dianjurkan, > 12 tahun 2 – 3 mg/kg/hari peroral dibagi 2 dosis,

maksimal 100 – 200 mg/hari

5. Suplemen Kalsium dan vitamin D, Kalsium karbonat  < 6 bulan 360 mg/hari, 6 – 12

bulan 540 mg/hari, 1 – 10 bulan 800 mg/hari, 11 – 18 bulan 1200 mg/hari.

Calcifediol   < 30 kilogram 20 mcg peroral 3 kali/minggu, > 30 kilogram 50 mcg

peroral 3 kali/minggu

6. Antihipertensi : nofedipin 0,25 – 0,5 mg/kg/dosis peroral dosis awal, maksimal 10

mg, diulang setiap 4 – 8 jam. Enalapril 0,1 mg/kg/hari peroral 4 kali sehari atau 2

kali sehari bisa ditingkatkan kalo perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari. Propranolol 

0.5 – 1 mg/kg/hari peroral dibagi 2 – 3 dosis, dapat

ditingkatkan bertahap dalam 3 – 7 hari dengan dosis biasa 1 – 5 mg/kg/hari.

Masa kanak – kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal seragam.

Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan. Penyebab utama kematian dapa pasien

dengan lupus saat ini yaitu infeksi, mefritis, penyakit SSP, perdaraan paru – paru, dan infark

miocard, dan komplikasi akibat kortikosteroid kronis dalam pegaturan kekebalan penyakit

kompleks.

SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90 %. Penyebab kematian

dapat langsung akibat penyakit lupus yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan

SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950 – 1960

menunjukkan 5 years survival rates sebesar 17,5 – 69 %. Sedabgkan tahun 1980 – 1990 5 years

survival rates 83 – 93 %. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76 – 85 % pasien SLE dapat

hidup selama 10 tahun, sebesar 88 % dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa

organ tubuh secara jangka panjang dan menetap.

Penatalaksanaan Umum :

Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,

gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi kelelahan

31

Page 32: Referat SLE 1

disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah

gaya hidup.

· Hindari Merokok

· Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

· Hindari stres dan trauma fisik

· Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia

· Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00

· Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormone estrogen

Penatalaksanaan Medikamentosa :

Untuk SLE derajat Ringan;

Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis)

hanya memerlukan sedikit pengobatan.

Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid

Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.

Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria

(hydroxycloroquine)

Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari :

Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan

Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat

bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata

Untuk SLE derajat berat;

Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik,

penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf

pusat) perlu ditangani oleh ahlinya

Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai

kelainan organ sasaran yang terkena.

32

Page 33: Referat SLE 1

Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa

diberikan obat penekan sistem kekebalan

Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan

sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap

kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.

Pengobatan Pada Keadaan Khusus

Anemia Hemolitik : Prednison 60 – 80 mg/hari (1 - 1,5 mg/kg BB/hari), dapat

ditingkatkan sampai 100 – 200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu

belum ada perbaikan

Trombositopenia autoimun : Prednison 60 - 80 mg/hari (1 - 1,5 mg/kg BB/hari).

Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena

(IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut – turut

Perikarditis Ringan : Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak

efektif dapat diberikan prednison 20 – 40 mg/hari

Perkarditis Berat : Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari

Miokarditis : Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat

dikombinasikan dengan siklofosfamid

Efusi Pleura : Prednison 15 – 40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi

pleura atau drainase

Lupus Pneunomitis : Prednison 1 - 1,5 mg/kg BB/hari selama 4 – 6 minggu

Lupus serebral : Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil

dilanjutkan dengan pemberian oral 5 – 7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat

diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut – turut

XI. PROGNOSIS

Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak

penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat

bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal

33

Page 34: Referat SLE 1

ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun

meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami

kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

BAB III

KESIMPULAN

SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ) merupakan penyakit autoimun dimana organ

dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissuebinding autoantibody dan kompleks

imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun

sebabnya belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan

fulminan atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam

autoantibody.

Penyakit Lupus ditemukan baik pada wanita maupu pria, tetapi wanita lebih banyak

dibandingkan pria. Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini

ditimbulkan oleh kombinasi antara factor - faktor genetik, hormonal dan lingkungan (cahaya

matahari, luka bakar termal).

Gejala dari penyakit lupus ini berupa demam, lelah, merasa tidak enak badan, penurunan

berat badan, ruam kulit, ruam kupu-kupu, ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari,

sensitif terhadap sinar matahari dan lain – lain.

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ

yang sudah terjadi. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan

program terapi akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang

34

Page 35: Referat SLE 1

berpengalamandalam menangani penyakit multisystem pada anak dan remaja.

Dengan edukasi dan penatalaksanaan yang baik, angka harapan hidup 10 tahun meningkat

sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan

otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med. Feb 28 2008;358(9):929-39.

2. D'Cruz DP, Khamashta MA, Hughes GR. Systemic lupus erythematosus. Lancet. Feb 17 2007;369(9561):587-96. 

3. Sestak AL, Fürnrohr BG, Harley JB, Merrill JT, Namjou B. The genetics of systemic lupus erythematosus and implications for targeted therapy. Ann Rheum Dis. Mar 2011;70 Suppl 1:i37-43. 

4. Bosch X. Systemic lupus erythematosus and the neutrophil. N Engl J Med. Aug 25 2011;365(8):758-60.

5. Sanchez E, Nadig A, Richardson BC, et al. Phenotypic associations of genetic susceptibility loci in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. Oct 2011;70(10):1752-7. 

6. Blank M, Shoenfeld Y, Perl A. Cross-talk of the environment with the host genome and the immune system through endogenous retroviruses in systemic lupus erythematosus. Lupus. Nov 2009;18(13):1136-43. 

7. Ritterhouse LL, Crowe SR, Niewold TB, et al. Vitamin D deficiency is associated with an increased autoimmune response in healthy individuals and in patients with systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. Sep 2011;70(9):1569-74. 

8. Helmick CG, Felson DT, Lawrence RC, Gabriel S, Hirsch R, Kwoh CK, et al. Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part I. Arthritis Rheum. Jan 2008;58(1):15-25. 

9. Costenbader KH, Feskanich D, Stampfer MJ, Karlson EW. Reproductive and menopausal factors and risk of systemic lupus erythematosus in women. Arthritis Rheum. Apr 2007;56(4):1251-62. 

10. Faurschou M, Dreyer L, Kamper AL, Starklint H, Jacobsen S. Long-term mortality and renal outcome in a cohort of 100 patients with lupus nephritis. Arthritis Care Res (Hoboken). Jun 2010;62(6):873-80. [Medline].

35

Page 36: Referat SLE 1

11. Office of Minority Health & Health Disparities (OMHD). Eliminate Disparities in Lupus. Available athttp://www.cdc.gov/omhd/amh/factsheets/lupus.htm. Accessed May 14, 2008.

12. Gladman DD, Urowitz MB. Prognosis, mortality and morbidity in systemic lupus erythematosus In: Wallace DJ, Hahn BH. Dubois' lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007:1333-53.

13. Faurschou M, Mellemkjaer L, Starklint H, et al. High risk of ischemic heart disease in patients with lupus nephritis. J Rheumatol. Nov 2011;38(11):2400-5. 

14. Alarcón GS, McGwin G Jr, Bastian HM, Roseman J, Lisse J, Fessler BJ, et al. Systemic lupus erythematosus in three ethnic groups. VII [correction of VIII]. Predictors of early mortality in the LUMINA cohort. LUMINA Study Group. Arthritis Rheum. Apr 2001;45(2):191-202. 

15. Wallace D, Edmund D, eds. Dubois' Lupus Erythematosus. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins.; 2006.

16. Bertsias GK, Ioannidis JP, Aringer M, et al. EULAR recommendations for the management of systemic lupus erythematosus with neuropsychiatric manifestations: report of a task force of the EULAR standing committee for clinical affairs. Ann Rheum Dis. Dec 2010;69(12):2074-82. 

17. Varaprasad IR, Agrawal S, Prabu VN, Rajasekhar L, Kanikannan MA, Narsimulu G. Posterior reversible encephalopathy syndrome in systemic lupus erythematosus. J Rheumatol. Aug 2011;38(8):1607-11.

18. Petri M, Naqibuddin M, Carson KA, Wallace DJ, Weisman MH, Holliday SL, et al. Depression and cognitive impairment in newly diagnosed systemic lupus erythematosus. J Rheumatol. Oct 2010;37(10):2032-8. 

19. Nodler J, Moolamalla SR, Ledger EM, Nuwayhid BS, Mulla ZD. Elevated antiphospholipid antibody titers and adverse pregnancy outcomes: analysis of a population-based hospital dataset. BMC Pregnancy Childbirth. Mar 16 2009;9:11. 

20. Ramos-Casals M, Cuadrado MJ, Alba P, Sanna G, Brito-Zerón P, Bertolaccini L, et al. Acute viral infections in patients with systemic lupus erythematosus: description of 23 cases and review of the literature. Medicine (Baltimore). Nov 2008;87(6):311-8. 

21. Muscal E, Brey RL. Neurologic manifestations of systemic lupus erythematosus in children and adults.Neurol Clin. Feb 2010;28(1):61-73. 

22. Lin YC, Wang AG, Yen MY. Systemic lupus erythematosus-associated optic neuritis: clinical experience and literature review. Acta Ophthalmol. Mar 2009;87(2):204-10. 

23. Williams EL, Gadola S, Edwards CJ. Anti-TNF-induced lupus. Rheumatology (Oxford). Jul 2009;48(7):716-20. 

24. Hanly JG, Urowitz MB, Su L, et al. Autoantibodies as biomarkers for the prediction of neuropsychiatric events in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. Oct 2011;70(10):1726-32. 

36

Page 37: Referat SLE 1

25. Ibañez D, Gladman DD, Touma Z, Nikpour M, Urowitz MB. Optimal frequency of visits for patients with systemic lupus erythematosus to measure disease activity over time. J Rheumatol. Jan 2011;38(1):60-3.

26. Yazdany J, Panopalis P, Gillis JZ, Schmajuk G, MacLean CH, Wofsy D, et al. A quality indicator set for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Mar 15 2009;61(3):370-7. 

27. Broder A, Khattri S, Patel R, Putterman C. Undertreatment of Disease Activity in Systemic Lupus Erythematosus Patients with Endstage Renal Failure Is Associated with Increased All-cause Mortality. J Rheumatol. Nov 2011;38(11):2382-9. 

28. Navarra SV, Guzmán RM, Gallacher AE, Hall S, Levy RA, Jimenez RE, et al. Efficacy and safety of belimumab in patients with active systemic lupus erythematosus: a randomised, placebo-controlled, phase 3 trial. Lancet. Feb 26 2011;377(9767):721-31. 

29. Hill E. Belimumab Earns FDA Approval for Lupus. Medscape News [serial online]. March 15, 2011;Accessed August 11, 2011. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/738729.

30. Lu TY, Ng KP, Cambridge G, Leandro MJ, Edwards JC, Ehrenstein M, et al. A retrospective seven-year analysis of the use of B cell depletion therapy in systemic lupus erythematosus at University College London Hospital: the first fifty patients. Arthritis Rheum. Apr 15 2009;61(4):482-7. 

31. Merrill JT, Neuwelt CM, Wallace DJ, et al. Efficacy and safety of rituximab in moderately-to-severely active systemic lupus erythematosus: the randomized, double-blind, phase II/III systemic lupus erythematosus evaluation of rituximab trial. Arthritis Rheum. Jan 2010;62(1):222-33. 

32. Alarcón GS, McGwin G, Bertoli AM, Fessler BJ, Calvo-Alén J, Bastian HM, et al. Effect of hydroxychloroquine on the survival of patients with systemic lupus erythematosus: data from LUMINA, a multiethnic US cohort (LUMINA L). Ann Rheum Dis. Sep 2007;66(9):1168-72. 

33. Yazdany J, Panopalis P, Gillis JZ, Schmajuk G, MacLean CH, Wofsy D, et al. A quality indicator set for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Mar 15 2009;61(3):370-7. 

34. Schmajuk G, Yelin E, Chakravarty E, Nelson LM, Panopolis P, Yazdany J. Osteoporosis screening, prevention, and treatment in systemic lupus erythematosus: application of the systemic lupus erythematosus quality indicators. Arthritis Care Res (Hoboken). Jul 2010;62(7):993-1001. 

35. Schmajuk G, Schneeweiss S, Katz JN, et al. Treatment of older adult patients diagnosed with rheumatoid arthritis: improved but not optimal. Arthritis Rheum. Aug 15 2007;57(6):928-34. 

36. Scalzi LV, Hollenbeak CS, Wang L. Racial disparities in age at time of cardiovascular events and cardiovascular-related death in patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Sep 2010;62(9):2767-75. 

37

Page 38: Referat SLE 1

37. van Assen S, Agmon-Levin N, Elkayam O, Cervera R, Doran MF, Dougados M, et al. EULAR recommendations for vaccination in adult patients with autoimmune inflammatory rheumatic diseases. Ann Rheum Dis. Mar 2011;70(3):414-22. 

38. Elkayam O, Amir S, Mendelson E, Schwaber M, Grotto I, Wollman J, et al. Efficacy and safety of vaccination against pandemic 2009 influenza A (H1N1) virus among patients with rheumatic diseases.Arthritis Care Res (Hoboken). Jul 2011;63(7):1062-7. 

39. Bramham K, Hunt BJ, Bewley S, et al. Pregnancy outcomes in systemic lupus erythematosus with and without previous nephritis. J Rheumatol. Sep 2011;38(9):1906-13. 

40. Vinet E, Clarke AE, Gordon C, Urowitz MB, Hanly JG, Pineau CA, et al. Decreased live births in women with systemic lupus erythematosus. Arthritis Care Res (Hoboken). Jul 2011;63(7):1068-72. 

41. Silverman E, Jaeggi E. Non-cardiac manifestations of neonatal lupus erythematosus. Scand J Immunol. Sep 2010;72(3):223-5. 

42. Hornberger LK, Al Rajaa N. Spectrum of cardiac involvement in neonatal lupus. Scand J Immunol. Sep 2010;72(3):189-97. 

43. Houssiau FA, Vasconcelos C, D'Cruz D, et al. The 10-year follow-up data of the Euro-Lupus Nephritis Trial comparing low-dose and high-dose intravenous cyclophosphamide. Ann Rheum Dis. Jan 2010;69(1):61-4.

44. Appel GB, Contreras G, Dooley MA, et al. Mycophenolate mofetil versus cyclophosphamide for induction treatment of lupus nephritis. J Am Soc Nephrol. May 2009;20(5):1103-12. 

45. Isenberg D, Appel GB, Contreras G, et al. Influence of race/ethnicity on response to lupus nephritis treatment: the ALMS study. Rheumatology (Oxford). Jan 2010;49(1):128-40. 

46. Houssiau FA, D'Cruz D, Sangle S, et al. Azathioprine versus mycophenolate mofetil for long-term immunosuppression in lupus nephritis: results from the MAINTAIN Nephritis Trial. Ann Rheum Dis. Dec 2010;69(12):2083-9. 

47. Wolfe F, Marmor MF. Rates and predictors of hydroxychloroquine retinal toxicity in patients with rheumatoid arthritis and systemic lupus erythematosus. Arthritis Care Res (Hoboken). Jun 2010;62(6):775-84. 

48. Griffiths B, Emery P, Ryan V, Isenberg D, Akil M, Thompson R, et al. The BILAG multi-centre open randomized controlled trial comparing ciclosporin vs azathioprine in patients with severe SLE.Rheumatology (Oxford). Apr 2010;49(4):723-32. 

49. Tsokos GC. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 2011;365:2110-2121

50. Santer DM, Hall BE, George TC, et al. C1q deficiency leads to the defective suppression of IFN-α in response to nucleoprotein containing immune complexes. J Immunol2010;185:4738-4749

38

Page 39: Referat SLE 1

51. Lood C, Gullstrand B, Truedsson L, et al. C1q inhibits immune complex-induced interferon-alpha production in plasmacytoid dendritic cells: a novel link between C1q deficiency and systemic lupus erythematosus pathogenesis. Arthritis Rheum2009;60:3081-3090

52. Duarte C, Couto M, Ines L, Liang MH. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. In: Lahita RG, Tsokos G, Buyon J, Koike T, eds. Systemic lupus erythematosus. 5th ed. London: Elsevier, 2011:673-96.

53. Pons-Estel GJ, Alarcon GS, Scofield L, Reinlib L, Cooper GS. Understanding the epidemiology and progression of systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum2010;39:257-268

54. Moser KL, Kelly JA, Lessard CJ, Harley JB. Recent insights into the genetic basis of systemic lupus erythematosus. Genes Immun 2009;10:373-379

55. Manolio TA, Collins FS, Cox NJ, et al. Finding the missing heritability of complex diseases.Nature 2009;461:747-753

56. Niederer HA, Clatworthy MR, Willcocks LC, Smith KG. FcgammaRIIB, FcgammaRIIIB, and systemic lupus erythematosus. Ann N Y Acad Sci 2010;1183:69-88

57. Lahita RG, ed. Systemic lupus erythematosus. 5th ed. Boston: Elsevier, 2011.

39