Referat Rhinitis Atrofi

download Referat Rhinitis Atrofi

of 23

Transcript of Referat Rhinitis Atrofi

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya

    atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara

    klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,

    sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.2

    Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat

    diketahui secara pasti. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya

    belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor

    penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara

    konservatif atau jika tidak menunjukan perbaikan, dilakukan operasi. Biasanya

    diagnosis rinitis atrofi secara klinis tidak sulit. Biasanya sekret berbau, bilateral,

    terdapat krusta kuning kehijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada

    pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia).2,3

    Menurut Boies frekwensi penderita rinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.

    Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia

    pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

    rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.2,3

    Rinitis atrofi atau ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut

    Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever,

    dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman

    dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.3,5

  • 2

    BAB II

    ANATOMI DAN EMBRIOLOGI HIDUNG

    II.1 EMBRIOLOGI HIDUNG

    Sadler dalam bukunya mengelompokkan perkembangan hidung pada

    mudigah bersamaan dengan perkembangan wajah.

    Pada akhir minggu ke 4, mesenkim yang berasal dari krista neuralis mulai

    membentuk tonjol-tonjol wajah yaitu (1) tonjol maksila, yang terletak di sebelah

    lateral stomodeum dan (2) tonjol mandibular pada kaudal stomodeum.

    Ditepi atas stomodeum, yaitu di sebelah ventral vesikel otak terjadi

    proliferasi mesenkim yang membentuk prominensia frontonasalis, yang di kanan

    kirinya muncul plakoda nasal (olfaktorius) yang merupakan penebalan-penebalan

    setempat yang berasal dari ektoderm permukaan dibawah pengaruh induksi

    bagian ventral otak depan.

    Selama minggu ke lima, plakoda hidung tersebut mengalami invaginasi

    membentuk lubang hidung. Plakoda hidung membentuk suatu rigi jaringan yang

    masing-masing mengelilingi lubang dan membentuk tonjol hidung lateral dan

    tonjol hidung medial.

    Selama dua minggu selanjutnya, ukuran tonjol maksilla terus bertambah

    besar, dan tumbuh ke arah medial sehingga mendesak tonjol hidung medial ke

    arah garis tengah. Selanjutnya celah antara dua tonjol medial dan tonjol maksila

    tersebut menghilang, keduanya bersatu.

    Awalnya tonjol maksila dan tonjol hidung terpisah oleh sebuah alur yang

    dalam yaitu alur nasolakrimal. Ektoderm di lantai alur ini membentuk sebuah tali

    epitel padat yang melepaskan diri dari ectoderm dibawahnya,. Setelah terjadi

    kanalisasi, tali ini membentuk duktus nasolakrimalis, ujung atasnya melebar

    membentuk saccus lakrimalis. Setelah lepasnya tali tersebut, tonjol maksila dan

    tonjol hidung lateral menyatu. Duktus lakrimalis kemudian berjalan dari tepi

    medial mata menuju ke meatus inferior rongga hidung,. Tonjolan maksila

    kemudian membesar sampai membentuk pipi dan maksila.

  • 3

    Hidung terbentuk dari tonjol-tonjol wajah ke lima; tonjol frontal

    membentuk jembatannya, gabungan tonjol-tonjol hidung medial membentuk

    lengkung cuping dan ujung hidung, dan tonjol lateral membentuk sisi-sisinya

    (alae)

    Gambar II.1.1 aspek frontal wajah pada .perkembangan hidung1

  • 4

    II.2 ANATOMI HIDUNG,3

    II.2.A Hidung Luar dan Hidung Dalam

    Secara letak, anatomi hidung dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung luar

    dan hidung dalam. Dilihat dari arah depan, hidung merupakan organ berbentuk

    piramida yang terletak pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas,

    sedangkan di dalam hidung terbagi menjadi dua oleh sekat hidung (septum nasi).

    Susunan hidung luar dari atas kebawah meliputi (1) pangkal hidung (bridge) (2)

    batang hidung atau dorsum, (3) puncak hidung (tip/apeks), (4) ala nasi, (5)

    kolumela dan (6) lubang hidung (nares anterior). Titik pertemuan kolumela

    dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas

    membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut

    filtrum.

    Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

    oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

    atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari (1) tulang hidung

    (os nasal), (2) prosesus frontalis os maksila, (3) prosesus nasalis os frontal.

    Kerangka tulang rawan terdiri dari (1) sepasang kartilago nasalis lateralis

    superior, (2) sepasang nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), (3) tepi

    anterior kartilago septum.

  • 5

    Gambar II.2.A.1 Hidung luar dan tulang pembentuk hidung3

    Rongga hidung atau kavum nasi merupakan daerah yang dimulai dari os

    internum di bagian anterior sampai ke koana di bagian posterior. Pintu (lubang)

    masuk rongga hidung di bagian depan disebut nares anterior dan pintu keluar

    dibagian belakang disebut nares posterior (koana) yang merupakan penghubung

    rongga hidung dan nasofaring. Cavum nasi dibagi menjadi dua bagian oleh

    septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi struktur tulang dibagian tengah

    yang terdiri dari tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya meliputi (1) lamina

    perpendikularis os etmoid terletak disebelah atas, (2) vomer dan rostrum sfenoid

    di bagian posterior (3) krista nasalis os maksila, (4) krista nasalis os palatine,

    kedua krista merupakan struktur bagian bawah. Bagian tulang rawan meliputi (1)

    kartilago septum (kuadrangularis) di bagian anterior dan (2) kolumela.

    Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding,, yaitu dinding medial,

    lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Dinding

    lateralnya terdiri dari empat buah konka, (1) konka inferior, paling besar dan

    letaknya paling bawah, (2) konka media, lebih kecil, letaknya tepat diatas konka

  • 6

    inferior, (3) konka superior, ukurannya lebih kecil lagi dari konka media, letaknya

    diatas konka media (4) konka suprema merupakan yang terkecil, biasanya

    rudimenter, jarang ditemukan. Disela-sela konka, terdapat rongga udara sempit

    yang tidak teratur, yang disebut meatus. Penamaan meatus sesuai dengan konka

    yang ada diatasnya. Pada meatus inferior bagian anterior, terdapat duktus

    nasolakrimalis. Hiatus semilunaris pada meatus media merupakan muara sinus

    anterior ( frontalis, maksilaris dan etmoidalis anterior). Pada meatus superior

    terdapat muara sinus etmoidales posterior, sedangkan sinus sfenoidales bermuara

    di resesus sfenoidalis.

    Gambar II.2.A.2 lateral hidung tanpa konka3

    II.2.B Vakularisasi Hidung

    Sistem perdarahan hidung bermula dari dua arteri utama yaitu (1) arteri

    maksilaris interna dan (2) arteri etmoidalis. Sistem drainase vena berawal dari

    pleksus kavernosus dibawah membrane mukosa, lalu melalui vena oftalmika,

    vena fasialis anterior, dan vena sfenopalatina.

    Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui beberapa

    anastomosis. Di anterior septum kartilaginosa, a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,

  • 7

    a.labialis superior, dan a.palatina mayor beranastomosis menjadi pleksus

    kiesselbach (little area) yang merupakan lokasi epistaksis tersering.

    Gambar II.2.B.1 Skema perdarahan hidung

    II.2.C Persarafan Hidung

    Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

    nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang

    berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari

    cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama

    nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris

    yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis

    posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati

    lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis

    anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi

    cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar

    mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion

    sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga

    memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion

    a. karotis interna a. oftalmika a. etmoidalis anterior & posterior sinus frontalis, sinus etmoidalis, atap hidung

    a. karotis eksterna a. maksilaris interna cabang a. sfenopalatina konka, meatus, septum

    a. labialis superior, cabang a. infraorbitalis, alveolaris sinus maksilaris cabang a.faringealis sinus sfenoidalis

  • 8

    ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis

    dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan

    sedikit diatas ujung posterior konkha media.

    Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah

    bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada

    mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

    Gambar II.2.C.1 Persarafan Hidung4

  • 9

    II.3 FISIOLOGI HIDUNG

    II.3.A Fisiologi Hidung

    Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian

    lebih dari biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap

    lingkungan yang tidak menguntungkan.

    Fungsi fisiologis hidung dan SPN adalah (1) fungsi respirasi: air

    conditioning, purifikasi udara, humidifikasi, penyeimband dalam pertukaran

    tekanan dan mekanisme imunologik local, (2) fungsi penghidu, (3) fungsi fonasi,

    (4) fungsi statik dan mekanik, (5) refleks nasal.

    Pada fungsi respirasi, vibrissae pada vestibulum nasi, silia serta palut

    lendir membantu filtrasi udara pada inspirasi. Perlu diketahui bahwa anatomi

    hidung dalam yang ireguler menyebabkan arus balik udara inspirasi yang

    mengakibatkan penimbunan partikel dalam hidung dan nasofaring, akan tetapi

    benda asing tersebut akan di ekspektorans atau diangkut melalui transport

    mukosiliar ke lambung untuk disterilkan menggunakan asam lambung. Pada

    fungsi penyesuaian udara atau air conditioning udara yang masuk ke hidung akan

    disesuaikan suhunya dengan suhu tubuh yaitu berkisar 370C oleh pembuluh darah

    yang ada di bawah epitel, permukaan konka dan septum yang luas (turbulensi

    mengenai konka dan septum).

    Cabang nervus olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan

    sepertiga atas septum berperan dalam fungsi penghidu hidung. Partikel bau dapat

    mencapat daerah nervus sensorius tersebut dengan cara difusi dengan palut lendir

    dan dengan cara menarik nafas dengan kuat. Hidung juga membantu dalam proses

    pengecapan, untuk membedakan asal rasa manis, dan membedakan asam cuka

    atau asam jawa.

    Proses bicara merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan paru-

    paru sebagai sumber tenaga, laring sebagai generator suara, dan struktur kepala

    dan leher seperti bibir, lidah, gigi, dll sebagai articulator untuk mengubah suara

    dasar dari laring menjadi pembicaraan yang dapat di mengerti. Sinus, nasofaring

  • 10

    dan resonansi hidung berperan pula dalam artikulasi, khususnya pada bunyi

    tertentu seperti m, n, ing.

    II.3.B SISTEM MUKOSILIAR HIDUNG

    II.3.B.1 Histologi Mukosa

    Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya

    sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis,

    mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis

    semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan

    subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.

    II.3.B.2 Epitel

    Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous

    kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang

    vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa

    respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini

    memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian

    apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan

    untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan

    mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari

    epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,

    menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi

    dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000

    sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak

    pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya

    memiliki silia.

    Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi

    depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang

    epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi.

  • 11

    Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya

    panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat

    mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3

    m. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi

    sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan

    satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia

    tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel.

    Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah

    (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga

    menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan

    ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi

    geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai

    ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi

    berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya

    sama.

    Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.

    Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari

    pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang

    menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antarapasangan

    yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga

    neksin.

    Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m dan

    diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia.

    Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada

    permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya

    sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan

    membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu

    pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian

    mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih

    baik dibanding dengan sel epitel gepeng.

  • 12

    II.3.B.3 Palut Lendir

    Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan

    bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar

    lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan

    mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan

    kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer)

    yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial

    ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang

    pada cairan perisiliar dibawahnya.

    Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein

    sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada

    gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,

    sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang

    lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang

    menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan

    dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin,

    kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus

    yang terperangkap.

    Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara

    silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar.

    Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan

    masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar,

    maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat

    mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali

    (Sakakura 1994).

    II.3.B.4 Membrana Basalis

    Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah

    epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri

    dari atas kolagen dan fibril retikulin.

  • 13

    II.3.B.5 Lamina Propia

    Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini

    dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan

    kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan

    kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut

    jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf.

    Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung.

    Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis

    semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang

    melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium,

    gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-

    masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai

    kepadatan sel goblet yang paling tinggi.

    II.3.B.6 Transportasi mukosiliar

    Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung

    untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang

    terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan

    lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance

    mukosiliar.

    Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan

    dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini

    tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan

    mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat

    merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A

    (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.

    Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung

    sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan

    masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah

    posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring.

  • 14

    Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia,

    tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang

    bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini

    tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir

    akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.

    Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka

    gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan

    menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan

    arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari

    ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresifsaat mencapai ostium,

    dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20

    mm/menit.

    Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian

    hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya

    1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit.

    Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan

    bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di

    dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba

    eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus

    etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian

    melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga

    nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.

  • 15

    BAB III

    RINITIS ATROFI

    III.1 DEFINISI,3,5,6

    Rinitis atrofi merupakan penyakit kronik nonspesifik yang ditandai dengan

    mukosa dan konka yang atrofi, kelainan mukosa yang menyebabkan terbentuknya

    krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk. Rinitis atrofi memiliki

    banyak istilah lain seperti Rinitis sika, Rinitis kering, sindrom hidung terbuka dan

    ozaena.

    III.2 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

    III.2.A Epidemiologi4,5

    Insidensi terjadinya Rinitis atrofi sudah berkurang pada abad terakhir,

    dicurigai akibat meningkatnya penggunaan antibiotik pada kasus infeksi kronis

    nasal. Selain menyerang manusia, Rinitis atrofi juga sering menyerang babi dan

    sapi.

    Prevalensi terjadinya Rinitis atrofi primer tinggi pada daerah yang kering,

    jarang hujan seperti pada gurun-gurun di Arab Saudi. Studi melaporkan bahwa

    Rinitis atrofi banyak ditemui di pada orang asia, Hispanics dan afrika-amerika.

    Pada satu studi dilaporkan bahwa 69.6% penderita berasal dari rural area

    dan 43.5% merupakan pekerja pabrik. Rinitis atrofi banyak menyerang orang

    dengan sosial ekonomi rendah, dan higienis yang buruk. Angka kejadian enam

    kali lebih sering pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.

    III.2. Etiologi2,4

    Penyebab dari rinitis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi

    infeksi bakteri kronik pada hidung dan nasal sering dikatakan sebagai penyebab

    terjadinya Rinitis alergi primer. Dari hasil pemeriksaan sediaan apus nasal,

    ditemukan Klebsiella Ozaenae (paling banyak), Coccobacillus of Perez,

    Coccobacillus of Loewenberg, Pseudomonas Aeruginosa, dll. Defisiensi FE,

  • 16

    defisiensi vitamin A, kelainan hormonal, penyakit kolagen dan kelainan autoimun

    juga sering dikaitkan dengan terjadinya kasus Rinitis atrofi.

    Rinitis atrofi sekunder merupakan Rinitis atrofi yang terjadi setelah ada

    kondisi fisik yang terjadi sebelumnya, seperti trauma, infeksi, post operation,

    dalam terapi radiasi dan lainnya.

    III.3 PATOLOGI RINITIS ATROFI,3,4,5

    Rinitis atrofi mempunyai gejala yang khas yaitu dengan adanya perubahan

    atrofi pada seluruh bagian hidung. dr.Benhard fraenkel pada tahun 1876

    menyatakan adanya trias Rinitis atrofi meliputi, bau, krusta, dan atrofi nasal.

    Histopatologi Rinitis atrofi ditandai dengan adanya perubahan epitel

    respirasi normal menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa betingkat

    (metaplasia), dengan atau tanpa keratinisasi. Atrofi pada silia, mukosa dan

    kelenjar submukosa, dimana mukosa menjadi pucat, tampak lengket, terdapat

    secret yang mongering membentuk krusta berwarna hijau kekuningan dan scabs.

    Bau yang tercium merupakan akibat dari terjadinya infeksi sekunder.

    Keluhan anosmia terjadi karena proses atrofi juga mengenai epitel

    olfaktorius, sel saraf bipolar dan serat saraf, ditambah dengan insufisiensinya

    udara untuk mencapai area olfaktorius karena adanya krusta yang menghalangi.

    Rinitis atrofi dibagi menjadi dua jenis. Rinitis Atrofi tipe satu, merupakan

    tipe yang sering terjadi, dimana ditemukannya endarteritis obliterans,

    periarteritis, dan fibrosis periarteria terminal arteriol akibat dari infeksi kronik

    dengan infiltrate sel plasma. Rinitis atrofi tipe satu ini berespon baik terhadap efek

    vasodilator terapi estrogen. Rinitis atrofi tipe dua, lebih jarang ditemui. Pada tipe

    ini, Sel endotel pada kapiler yang berdilatasi memiliki sitoplasma yang berlebih,

    dan menunjukkan adanya resorpsi tulang melalui ditemukannya alkaline fosfatase.

    Rinitis atrofi tipe dua tidak berespon baik terhadap terapi estrogen.

  • 17

    III.4 PEMERIKSAAN

    III.4.A Anamnesa4

    Keluhan yang paling sering di keluhkan pasien adalah adanya perasaan

    hidung yang tersumbat dikarenakan adanya blunting effect, dan krusta yang besar

    yang mengahalangi aliran udara.

    Keluhan lain yang juga sering dikeluhkan pasien adalah bau busuk yang

    dikeluhkan orang sekitar, yang membuat pasien jadi memiliki masalah sosial,

    pasien sendiri tidak dapat mencium bau busuk tersebut, karena pasien mengalami

    anosmia.

    Pusing, sekret purulent, krusta kehijauan berbau busuk yang terlepas dan

    menyebabkan pendarahan hidung, dll.

    III.4.B Pemeriksaan Fisik6

    Pada 100% kasus ditemui (1) krusta, disusul dengan (2) kavum nasi yang

    lapang dan tidak ditemuinya konka inferior (atrofi) pada rhinoskopi anterior (62%

    parsial, 37% total), atrofi konka media pada 57% kasus, adanya (3) sekret pada

    52% kasus, dan (4) perforasi septum yang hanya ditemui pada 10% kasus.

    III.4.C Pemeriksaan Penunjang

    III.4.C.1 Radiologi9

    Pada foro rontgen ditemukan (1) penebalan mukoperiostal pada SPN, (2)

    hipoplasia sinus maksilaris, (3) pembesaran kavum nasi dengan erosi dan bowing

    pada dinding lateralnya, (4) resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan

    konka media.

    Posisi foto yang dapat digunakan posisi Waters, AP, Caldwell dan Lateral.

  • 18

    Gambar III.4.C.1 Gambaran radiologi7

    III.4.C.2 Mikrobiologi

    Ditemuinya kuman Klebsiella Ozaena, Pseudomonas Aeroginosa dan

    lainnya seperti yang tertera di etiologi pada hasil kultur bakteri.

    III.4.C.3 Biopsi (Histopatologi)

    Mukosa Normal Rinitis Atrofi

    Epitel kolumnar bertingkat semu Metaplasia skuamosa

    Terdapat kelenjar serosa dan kelenjar

    mukus

    Atrofi kelenjar mucus

    Absensi silia

    Endarteritis obliterans

  • 19

    Tabel III.4.C.3 Tabel perbandingan biopsy mukosa normal dan rhinitis atrofi

    III.5 DIAGNOSA

    III.5.A Diagnosa Kerja8

    Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis (trias rinitis atrofi),

    pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum,

    Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan

    Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis. Diagnosis Banding: Rinitis kronik

    tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis dan rinitis sika.

    III.5.B Diagnosa Banding2,8

    Diagnosa banding dari rhinitis atrofi adalah (1) Rinitis kronik tbc, (2) rinitis

    kronik lepra, (3) rinitis kronik sifilis, (4) sinusitis.

    III.6 TATALAKSANA 2,3,4,5

    Karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan rinitis atrofi belum

    ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan mengatasi

    gejala. Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau pembedahan.

  • 20

    III.6.A Konservatif

    Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi

    kuman. Terapi secara paliatif dapat di lakukan dengan melakukan irigasi atau cuci

    hidung untuk menghilangkan bau dan membersihkan krusta.

    Nasal irrigation&douches, dengan komposisi 28.4g sodium bicarbonate

    (disolusi krusta), 28.4g sodium diborate (antiseptik, bertindak sebagai bakterisidal

    dalam asam dan membantu untuk membuffer bicarbonate), 56.7 sodium chloride

    (untuk membuat larutan menjadi isotonik). Satu sendok teh campuran diatas

    dicampur dengan 280ml air hangat-luke, dapat digunakan sebagai douches pada

    kavum nasi untuk membersihkan krusta menggunakan disposibel 10 atau 20 cc.

    Dapat diulang 3-4 kali sehari. Saat prosedur berlangsung, pasien diminta untuk

    terus mengucapkan K,K,K untuk menutup nasofaringeal isthmus, sehingga

    resiko aspirasi jadi semakin kecil. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan

    dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring

    dikeluarkan melalui mulut. Berdasarkan studi di California, penggunaan

    hipertonik salin pulsasi nasal irigasi selama tiga sampai enam minggu

    menunjukkan perubahan yang signifikan pada gejala-gejala tersebut. Jika sukar

    mendapatkan larutan diatasm dapat dilakukan juga dengan menggunakan 100cc

    air hangat, satu sendok makan betadine (15cc), atau larutan garam dapur setengah

    sendok teh dicampur segelas air hangat. Dapat diberikan juga vitamin A

    3X50.000 unit dan preparat FE selama dua minggu.

    Tetes hidung glukosa-gliserin juga dapat di administrasikan setelah

    melakukan douches. Glukosa diharapkan dapat menghambat infeksi saprofitik,

    dan bakteri proteolitik, serta meningkatkan pertumbuhan flora komensal. Gliserin

    disisi lain membantu sebagai lubrikan dan agen higroskopik. Efek samping dari

    gliserin dapat menyebabkan iritasi.

    Pada Rinitis Atrofi tipe satu dapat diberikan, estradiol dalam minyak

    arachis dalam bentuk obat tetes dan semprot (100.000 unit/ml).

    Perlu diperhatikan, penggunaan dekongestan merupakan kontraindikasi

    pada rinitis atrofi karena dapat memperburuk patologis penyakit.

  • 21

    III.6.B Pembedahan

    Dilakukan jika tidak ada perbaikan setelah diberikan pengobatan

    konservatif.

    Prinsip pembedahan pada rinitis atrofi dibagi dalam empat kelompok besar

    (1) mengurangi ukuran dari kavum nasi, untuk mengurangi turbulensi udara

    dalam kavum nasi dan mencegah pengeringan mukosa serta produksi krusta, (2)

    menginduksi regenerasi mukosa normal nasal dengan cara penyempitan rongga

    hidung sebagian atau total, dengan implantasi, dilakukan selama dua tahun, (3)

    meningkatkan lubrikasi pada mukosa nasal yang kering, (4) improvisasi

    vaskularisasi pada kavum nasi.

    Pembedahan dengan tujuan mengurangi ukuran dari kavum nasi pertama

    kali dilakukan oleh Lautenschlager, dengan cara menarik dinding lateral nasal kea

    rah medial, atau dinding edial dari antrum maksilaris dengan metode Caldwell-

    Luc. Tindakan ini sering disebut juga rekalibrasi fosa nasalis. Menginduksi

    regenerasi mukosa nasal dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti Metode

    Young, disusul dengan Modifikasi Sinha, Modifikasi Gadre, Ghoshs

    vestibuloplasty., dan lainya saling berkaitan dengan metode young. Induksi

    lubrikasi pada kavum nasal yang kering dapat dilakukan dengan metode

    Wiitmack, dimana dilakukan implantasi duktus stensen ke antrum maksilaris.

    Injeksi ganglion stellate dilakukan dengan tujuan adanya improvisasi

    vaskularisasi kavum nasi.

    III.7 PROGNOSIS

    Prognosis rinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas

    penyakitnya, jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit di

    diagnosa pada tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi

    antimikrobial yang adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat

    mmengembalikan fungsi hidung kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala

  • 22

    klinis yang parah, tetap dicoba dengan terapi medika mentosa, dan jika tidak

    berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan tindakan bedah.

    BAB IV

    RESUME

    Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya

    atrofi progresif tulang dan mukosa konka.

    Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai

    penyebab seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu sepsis klebsiela, yang sering

    Klebsiela Ozaena, kemudian Stapfilokokus, dan Pseudomonas Aeruginosa,

    defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal dan

    penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.

    Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada

    pasien biasanya nafas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus

    kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala dan hidung

    tersumbat. Pada pemeriksaan THT ditentukan rongga hidung sangat lapang,

    konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta

    berwarna hijau.

    Terapi belum ada yang baku, ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan

    gejala dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif.

  • 23

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Ed 7. Suyono J, alih

    bahasa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 2000: 331-3

    2. Soepardi EA, Iskandar N, et al, edi. Sumbatan Hidung dalam Buku Ajar

    Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 7.

    Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2012: 96-100, 117-8

    3. Adams GL, Boies Jr LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Ed

    6. Wijaya C, alih bahasa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC),1997:

    173-188, 221-2

    4. Gambar diunduh dari emedicine.medscape.com/article/82679-overview

    pada 16 Juni 2013

    5. Dutt SN, Kameswaran M. Aetology and Management of atropic rinitis. J

    Otolaryngol. 2005 Nov;119:843-52

    6. Moore & Kern. Amer J Rhin. 2001;15(6): 355-61

    7. Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd.

    2003 July 2008; 33:405-7

    8. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. CDK. 2004;144:5-7

    9. Pace-Balzan, Shankar, Hawke. J Otolaryngol 1991;20:428-32