Referat Pterigium

26
BAB I PENDAHULUAN Di Indonesia angka kejadian pterigium masih cukup tinggi. Pterigium masih menjadi salah satu penyebab tersering dari keluhan mata merah dan aspek kosmetik pada pasien. Etiologi pterigium belum diketahui secara jelas. Diduga pterigium merupakan suatu proses peradangan dan degenerasi konjungtiva yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari, lingkungan berangin, dan udara yang panas. Selain itu faktor genetik juga dicurigai menjadi salah satu faktor predisposisi. Pterigium bila tidak terlalu mengganggu dapat dibiarkan tanpa pengobatan. Namun bila terjadi peradangan yang sering, mengganggu penglihatan, dan dari segi kosmetik buruk dapat dilakukan pembedahan untuk menghilangkannya. Namun setelah dilakukan pembedahan, angka kekambuhan masih cukup tinggi sehingga sangat ditekankan pada orang dengan risiko tinggi untuk melakukan menghindari faktor-faktor predisposisi. 1

description

Referat Pterigium

Transcript of Referat Pterigium

Page 1: Referat Pterigium

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia angka kejadian pterigium masih cukup tinggi. Pterigium masih

menjadi salah satu penyebab tersering dari keluhan mata merah dan aspek kosmetik

pada pasien.

Etiologi pterigium belum diketahui secara jelas. Diduga pterigium

merupakan suatu proses peradangan dan degenerasi konjungtiva yang disebabkan

oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari, lingkungan berangin, dan

udara yang panas. Selain itu faktor genetik juga dicurigai menjadi salah satu faktor

predisposisi.

Pterigium bila tidak terlalu mengganggu dapat dibiarkan tanpa pengobatan.

Namun bila terjadi peradangan yang sering, mengganggu penglihatan, dan dari segi

kosmetik buruk dapat dilakukan pembedahan untuk menghilangkannya. Namun

setelah dilakukan pembedahan, angka kekambuhan masih cukup tinggi sehingga

sangat ditekankan pada orang dengan risiko tinggi untuk melakukan menghindari

faktor-faktor predisposisi.

1

Page 2: Referat Pterigium

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan suatu membran transparan yang menutupi sklera

dan kelopak mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui

konjungtiva. Konjungtiva juga mengandung musin yang dihasilkan oleh sel goblet.2

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:

Konjungtiva tarsal, menutupi tarsus dan sukar digerakkan dari tarsus

di bawahnya.

Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakkan dari

sklera di bawahnya.

Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal

dengan konjungtiva bulbi2

Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan dengan sangat

longgar terhadap jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah digerakkan tanpa

hambatan.2

Gambar 2.1 Konjungtiva

2.1.2 Anatomi Kornea

Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata bagian depan,

bening, dan tembus cahaya.2

Kornea terdiri dari 5 lapisan, yaitu:

2

Page 3: Referat Pterigium

1. Epitel

Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5-6 lapis sel epitel tidak bertanduk

saling tumpang tindih; sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.

Pada sel basal sering terlihat proses mitosis sehingga sel muda

ini terdorong ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan

erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di

depannya melalui desmosom dan makula okluden. Ikatan ini

menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang

merupakan barrier.

2. Membran Bowman

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan

kolagen tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari

bagian depan stroma.

3. Stroma

Terdiri atas susunan kolagen yang sejajar satu sama lain. Pada

permukaan terlihat sebagai anyaman yang teratur, sedangkan di

bagian perifer serat kolagen bercabang. Terbentuknya kembali

serat kolagen memakan waktu lama, kadang hingga 15 bulan.

Keratosit merupakan sel stroma kornea yang terletak di antara

serat kolagen stroma, berperan sebagai fibroblas. Diduga

keratosit membentuk bahan dasar serta serat kolagen pada masa

perkembangan embrio dan sesudah terjadi trauma.2

4. Membran Descement

Merupakan membran aselular dan batas belakang stroma kornea.

Dihasilkan oleh sel endotel dan merupakan membran basalnya.

Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, serta

mempunyai tebal 40µm.2

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal,

dan berukuran 20-40 µm. Endotel melekat pada membran

descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.2

3

Page 4: Referat Pterigium

Gambar 2.2 Lapisan kornea

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf

siliar longus, saraf nasosiliar, dan dari saraf kranial Nervus V cabang pertama yaitu

cabang oftalmika. Saraf siliar longus berjalan melalui suprakoroid, kemudian masuk

ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman dan melepaskan selubung

schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa

ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.

Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam 3 bulan.2

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem

pompa endotel terganggu. Selanjutnya akan terjadi dekompensasi endotel yang dapat

mengakibatkan edema kornea. Sel endotel tidak mempunyai daya regenerasi.2

Kornea adalah bagian mata yang tembus cahaya dan menutupi bola mata

bagian depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari

50 dioptri pembiasan sinar yang masuk ke dalam mata dilakukan oleh kornea.2

2.2 Definisi Pterigium

Pterygium (baca: ’ter ig’ee um’) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron

yang artinya wing atau sayap. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak

pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke

daerah kornea.2

4

Page 5: Referat Pterigium

Gambar 2.3 Gambaran mata normal dan yang terdapat pterigium

2.3 Epidemologi Pterigium

Di Indonesia, hasil survei Departemen Kesehatan RI tahun 1982

menunjukkan bahwa pterigium menempati urutan ketiga insiden terbesar dari

penyakit mata dengan 8,79%. Hasil survei nasional tahun 1993-1996 tentang angka

kesakitan mata di 8 propinsi di Indonesia menempatkan pterigium pada urutan kedua

dengan 13,9%.3 Gizzard dkk dalam penelitian di Indonesia menemukan bahwa

angka prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi Sumatra.4 Sedangkan dari survei

kesehatan indra penglihatan dan pendengaran tahun 1995 prevalensi penyakit mata di

Sulawesi Utara menempatkan pterigium pada urutan pertama dengan 17,9%.5

Mandang pada tahun 1970 menemukan 14,69% pterigium khususnya di 19 desa dan

17,50% pterigium di 3 ibukota kecamatan di Kabupaten Minahasa. Di Minahasa,

pterigium merupakan penyakit mata nomor 3 sesudah kelainan refraksi dan penyakit

infeksi luar. Mangindaan dan Bustani melaporkan 21,35% pterigium di 2 desa di

Kabupaten Minahasa Utara. Hasilnya 12,92% pada pria dan 8,43% pada wanita.

Sebanyak 9,55% berusia di atas 50 tahun, dengan pekerjaan sebagai petani sebesar

10,11%, insidens terbanyak adalah pterigium stadium 3 dengan 42,11%, dan insiden

pterigium yang tumbuh di bagian nasal sebesar 55,26 %.6,7

2.4 Etiologi Pterigium

Etiologi pterigium belum diketahui secara jelas. Diduga merupakan suatu

proses peradangan dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu,

5

Page 6: Referat Pterigium

pasir, cahaya matahari, lingkungan berangin, dan udara yang panas. Selain itu faktor

genetik dicurigai menjadi salah satu faktor predisposisi.9,10

Faktor risiko yang mempengaruhi munculnya pterigium antara lain:

1. Radiasi ultraviolet

Faktor risiko utama yang berasal dari lingkungan sebagai

penyebab timbulnya pterigium adalah paparan sinar matahari. Sinar

ultraviolet yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva akan

mengakibatkan kerusakan dan proliferasi sel. Iklim dan waktu berada

di luar ruangan merupakan faktor penting yang mempegaruhi paparan

radiasi ultraviolet.

2. Faktor Genetik

Pada beberapa kasus dilaporkan terdapat sekelompok anggota

keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian case control

menunjukkan bahwa pterigium kemungkinan diturunkan secara

autosom dominan.

3. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus

atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis

kronik dan terjadinya limbal sebagai teori baru patogenesis dari

pterigium. Wong juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis

factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai

terapi. Debu, kelembaban yang rendah, trauma kecil dari bahan

partikel tertentu, dry eye, dan virus papilloma juga dapat menjadi

penyebab pterigium.11

2.5 Patofisiologi Pterigium

Etiologi pterigium tidak diketahui secara jelas. Tetapi penyakit ini lebih

sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas. Oleh karena itu respon

terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet,

kelembaban yang rendah, angin kencang, debu, dan iritan lainnya diduga sebagai

penyebabnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan oleh

kelainan tear film sehingga menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan

6

Page 7: Referat Pterigium

salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin dan kering juga

mendukung teori ini.12

Sinar ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada

limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi

dalam jumlah berlebihan sehingga proses kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi,

dan terjadi angiogenesis. Akibatnya terjadi degenerasi kolagen dan terlihat jaringan

subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastik,

proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium yang kemudian menembus kornea.

Kerusakan pada kornea terjadi pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan

jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat

normal, tebal, atau tipis, serta kadang terjadi displasia.12,13

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan

defisiensi limbal stem cell akan terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada

permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke

kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran Bowman, dan

pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium sehingga

banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari

defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Sinar ultraviolet dicurigai sebagai

penyebab terjadinya kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4

Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan

fenotipe. Pertumbuhan lebih baik pada media yang mengandung serum dengan

konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan

fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada

fibroblas pterigium menunjukkan matriks metalloproteinase. Matriks ekstraseluler

tersebut berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak dan penyembuhan luka.

Hal ini menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus tumbuh menginvasi stroma

kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular serta inflamasi.4

2.6 Gejala dan Tanda Pterigium

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering

tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami

7

Page 8: Referat Pterigium

pasien antara lain mata sering berair dan tampak merah, terasa seperti ada benda

asing, dan ketajaman penglihatan menurun.

Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna kuning,

tampak jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva

interpalpebra sampai kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang

berwarna coklat kemerahan, dan umumya tumbuh di daerah nasal, yaitu pada 90%

kasus. Di bagian depan dari apeks pterigium terdapat infiltrat-infiltrat kecil yang

disebut “islet of Fuch”. Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan

menebal, hal tersebut yang terkadang dikeluhkan oleh penderita.15-17

Pterigium dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:

1. Pterigium simpleks; jika terjadi hanya di bagian nasal atau temporal saja.

2. Pterigium dupleks; jika terjadi di bagian nasal dan temporal.

Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe, yaitu:

1. Pterigium progresif; tebal dan terdapat vaskularisasi dengan infiltrat di

depan kepala pterigium pada kornea, yang disebut cap dari pterigium.

2. Pterigium regresif; tipis, atrofi, dan terdapat sedikit vaskularisasi. Tipe

ini akhirnya akan membentuk membran yang tidak hilang.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat sesuai dengan perluasannya

ke kornea dan pupil, yaitu:

Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

Derajat 2 : jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi

tidak lebih dari 2 mm.

Derajat 3 : jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi belum

mencapai pinggiran pupil dalam keadaan cahaya normal, dimana

pupil berdiameter sekitar 3–4 mm.

Derajat 4: jika pterigium sudah mencapai pupil.18

8

Page 9: Referat Pterigium

Gambar 2.4 Pterigium derajat 2

Gambar 2.5 Pterigium derajat 3

Gambar 2.6 Pterigium derajat 4

2.7 Diagnosa Banding Pterigium

2.7.1 Pseudopterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang

cacat. Pseudopterigium ini sering terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea

sehingga konjungtiva menutupi kornea.5,6

9

Page 10: Referat Pterigium

Gambar 2.7 Pseudopterigium

Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium antara lain:

Pseudopterigium didahului dengan adanya riwayat kerusakan

permukaan kornea seperti tukak kornea, sedangkan pada pterigium

tidak.

Pseudopterigium muncul pada bagian konjungtiva yang terdekat dengan

tempat proses abnormal pada kornea sebelumnya.

Pada puncak pterigium terdapat islet of Fuchs pada kornea, sedangkan

pada pseudopterigium tidak.

Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan

mata normal, sedangkan pada pterigium terdapat peningkatan

vaskularisasi.

Pseudopterigium dapat diselipi sonde di bawahnya, sedang pada

terigium tidak

Pterigium bersifat progresif, sedangkan pseudopterigium tidak.

2.7.2 Pinguekula

Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk segitiga

dengan puncak di perifer dasar dari limbus kornea, berwarna kuning keabu-abuan,

dan terletak di celah kelopak mata. Timbul akibat iritasi oleh angin, debu, dan sinar

matahari yang berlebihan. Sering terdapat pada orang dewasa yang berumur kurang

lebih 20 tahun.1

10

Page 11: Referat Pterigium

Gambar 2.8 Pinguekula

Secara histopatologik pada pinguekula hanya terdapat dua lapis sel, epitel

tipis dan gepeng. Dapat ditemukan serat-serat kolagen stroma berdegenerasi hialin

yang amorf dan kadang juga terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus.

Dapat terlihat juga penimbunan kalsium pada lapisan permukaan. Pembuluh darah

tidak masuk ke dalam pinguekula. Namun bila terjadi peradangan, di sekitar bercak

degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar. Tidak ada pengobatan

yang khusus, tetapi bila terdapat gangguan kosmetik dapat dilakukan pembedahan

pengangkatan pinguekula.1

2.8. Penatalaksanaan Pterigium

2.8.1 Non Farmakologi

Secara teoritis, perlu dilakukan tindakan untuk menghindari faktor-faktor

penyebab seperti paparan radiasi ultraviolet, angin, dan debu dengan tujuan

mengurangi risiko berkembangnya pterigium pada individu yang memiliki risiko

tinggi. Pasien disarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran dan

menggunakan kacamata pelindung untuk mengurangi paparan cahaya matahari,

angin, dan debu pada mata. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk

pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, dan pada pasien yang banyak

beraktivitas di luar ruangan.

2.8.2 Farmakologi

Pada pterigium yang ringan tidak perlu diobati. Untuk pterigium derajat 1-2

yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi

11

Page 12: Referat Pterigium

antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa

penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan

intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.

2.8.3 Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi

pterigium. Setelah avulsi pterigium sedapat mungkin pada bagian konjungtiva bekas

pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari

konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.  Tujuan utama

pengangkatan pterigium adalah untuk memberikan hasil yang baik secara kosmetik,

mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, dan menurunkan angka

kekambuhan. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus

pterigium yang rekuren mengingat efek samping yang dapat ditimbulkan dari

pemakaian MMC cukup berat.

1. Indikasi Operasi

Pterigium yang menjalar ke kornea melebihi 3 mm dari limbus.

Pterigium mencapai lebih dari separuh jarak antar limbus dan tepi

pupil.

Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair, dan

silau akibat astigmatismus.

Segi kosmetik terutama untuk penderita wanita.6

2. Teknik Pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah terjadinya

kekambuhan, yang dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke

kornea. Banyak teknik bedah yang dapat digunakan dengan bervariasi tingkat

kekambuhan. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah

awal untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung

pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungannya termasuk epitelisasi yang

lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus pada permukaan kornea.1

Berikut beberapa teknik bedah yang sering digunakan, antara lain:

Teknik Bare Sclera

12

Page 13: Referat Pterigium

Melibatkan eksisi kepala dan badan pterigium, sementara

memungkinkan sklera untuk berepitelisasi. Telah didokumentasikan

dalam berbagai laporan bahwa tingkat kekambuhan tinggi, antara

24% hingga 89%.1

Teknik Autograft Konjungtiva

Dilaporkan memiliki tingkat kekambuhan yang terendah

2% dan yang tertinggi 40% pada beberapa studi prospektif. Prosedur

ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva

bulbar superotemporal, kemudian dijahit di atas sklera yang telah

dieksisi pterigium. Komplikasi jarang terjadi dengan menggunakan

teknik ini. Untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya

pembedahan secara hati-hati jaringan tenon dari graft konjungtiva

dan penerima, manipulasi minimal jaringan, serta orientasi akurat

dari penempatan graft tersebut. Direkomendasikan untuk

menggunakan sayatan besar dalam mengeksisi pterigium karena

telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik

ini.1

Gambar 2.9 Langkah-langkah teknik autograft konjungtiva

Cangkok Membran Amnion

13

a. Pterigium.

b. Batas pterigium yang akan dieksisi.

c. Pterigium telah dieksisi.

d. Konjungtiva di daerah yang tidak terkena sinar UV, misalnya pada bagian bawah palpebra superior, diambil sebagai autograft.

e. Autograft konjungtiva tersebut dipindahkan ke bagian pterigium yang telah dieksisi.

Page 14: Referat Pterigium

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk

mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari

penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian

besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion berisi

faktor penting untuk menghambat proses peradangan, fibrosis, dan

epitelisasi. Namun tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi

yang ada, antara 2,6% hingga 10,7%. Keuntungan dari teknik ini

dibandingkan dengan autograft konjungtiva adalah utuhnya

konjungtiva bulbar. Membran amnion biasanya ditempatkan di atas

sklera dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma

menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan

penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion

supaya menempel pada jaringan episkleral di bawahnya. Lem fibrin

juga telah digunakan dalam autograft konjungtiva.1

2.8.4 Terapi Tambahan

Mitomycin C (MMC) telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena

kemampuannya untuk menghambat aktivitas fibroblas. Efeknya mirip dengan

iradiasi beta, namun dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua

bentuk MMC yang saat ini digunakan adalah aplikasi intraoperatif MMC langsung

ke sklera setelah eksisi pterigium dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal

setelah operasi. Beberapa penelitian menganjurkan untuk hanya menggunakan MMC

intraoperatif dengan tujuan mengurangi toksisitas.1

Iradiasi beta juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan karena

menghambat proses mitosis meskipun tidak ada data yang jelas dari angka

kekambuhan yang tersedia. Namun efek samping yang dapat terjadi dari pemakaian

iridiasi beta antara lain terjadinya nekrosis sklera, endoftalmitis, dan pembentukan

katarak sehingga banyak dokter mata yang tidak merekomendasikan

penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan setelah operasi dapat diberikan

kombinasi obat-obatan sebagai berikut:

14

Page 15: Referat Pterigium

1. Tetes mata Mitomycin C 0,02% 2 kali sehari maing-masing 1 tetes selama 5

hari. Dibarengi pemberian salep mata Dexamethasone 0,1% 4 kali sehari

dengan tappering off sampai 6 minggu.

2. Tetes mata Mitomycin C 0,04% 4 kali sehari maing-masing 1 tetes selama 14

hari. Dibarengi pemberian salep mata Dexamethasone 0,1% 4 kali sehari

dengan tappering off sampai 6 minggu.

3. Tetes mata topikal Thiotepa (Triethylene thiophosphasmide) diberikan 1 tetes

tiap 3 jam selama 6 minggu. Dibarengi pemberian salep mata antibiotik

Chloramphenicol dan steroid selama 1 minggu.6

Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi

masalah sehingga terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan

pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi menurun dengan

penambahan terapi ini, namun perlu diwaspadai adanya efek samping dari pemberian

terapi tersebut.1

2.9 Komplikasi Pterigium

Komplikasi pada mata yang dapat ditimbulkan akibat adanya pterigium

antara lain:

Gangguan penglihatan.

Mata kemerahan.

Iritasi mata.

Gangguan pergerakan bola mata.

Timbul jaringan parut kronis pada konjungtiva dan kornea.

Sindrom Dry eye.3

Komplikasi yang dapat tejadi setelah dilakukan operasi eksisi pterigium

antara lain:

Infeksi.

Ulkus kornea.

Graft konjungtiva yang terbuka.

Diplopia.

Adanya jaringan parut di kornea.3

15

Page 16: Referat Pterigium

2.10 Pencegahan

Pada orang dengan risiko tinggi seperti yang bertempat tinggal di daerah

tropis, beraktivitas di luar ruangan dalam waktu yang lama misalnya nelayan dan

petani, serta banyak berkontak dengan debu dan sinar matahari dianjurkan untuk

memakai topi dan kacamata pelindung untuk melindungi mata dari paparan sinar

matahari dan debu. Tindakan-tindakan pencegahan tersebut juga perlu dilakukan

oleh pasien yang telah menjalani prosedur pengangkatan pterigium dengan tujuan

mencegah kekambuhan.6

2.11 Prognosa Pterigium

Ketajaman penglihatan dan dari segi kosmetik pasien setelah pterigium

dieksisi menjadi baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat

ditoleransi. Kebanyakan pasien setelah 48 jam pasca operasi sudah dapat beraktivitas

kembali.6

Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah

sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan

dengan antimetabolit, antineoplasia, dan transplantasi konjungtiva. Pasien dengan

pterigium yang berulang dapat dilakukan kembali prosedur pengangkatan dengan

cara eksisi kemudian dilakukan konjungtiva autograft atau transplantasi membran

amnion. Umumnya rekurensi pterigium terjadi pada 3–6 bulan pertama setelah

operasi.6

Pada orang yang berisiko tinggi timbulnya pterigium seperti memiliki

riwayat keluarga dengan pterigium, berkerja di luar ruangan dalam waktu lama, dan

tinggal di daerah yang berangin dianjurkan memakai topi dan kacamata pelindung

untuk mengurangi paparan sinar matahari pada mata.

16

Page 17: Referat Pterigium

BAB III

KESIMPULAN

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif.Terlihar seperti daging berbentuk segitiga dan

umumnya muncul secara bilateral di sisi nasal. Keadaan ini diduga merupakan suatu

fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet dan debu karena sering terdapat pada orang

yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar

matahari, berdebu, atau berpasir. Temuan patologik pada pterigium yang dapat

dilihat yaitu lapisan Bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.

Jika pterigium meluas sampai ke pupil, lesi harus diangkat secara bedah

bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi

autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.

17

Page 18: Referat Pterigium

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu penyakitmata. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2014.

2. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva: Oftalmologi umum.

Edisi ke-17. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 2013.

3. Mangindaan IAN, Bustani NM. Insiden pterigium di Desa Bahoi dan Serei di

pesisir pantai Minahasa Utara. 2005.

4. Fisher JP. Pterygium. Dikutip dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Diakses pada: 31

Agustus 2015.

5. Fisher JP. Pterygium. Dikutip dari: http://www.eMedicine.com. Diakses

pada: 31 Agustus 2015.

6. Ilyas S. Mata merah: Penuntun ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI. 2013.

7. Lazuarni. Prevalensi pterigium di Kabupaten Langkat 2010. Tesis. Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan. 2011.

8. American Academy Of Ophthalmology. Base and clinical science course.

2006.

9. Khurana AK. Community ophthalmology in comprehensive ophthalmology.

4th ed. New Delhi: New Age International Limited Publisher. 2007.

10. Donald THT. Pterygium: Clinical ophthalmology. Singapore: Saunder

Elsevier. 2007.

11. Tjahjono DG, Gilbert SWS. Pterigium: Panduan managemen klinis Perdani.

Jakarta: CV Ondo. 2006.

12. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi ke-3. Surabaya: Penerbit Airlangga.

2006.

18