Referat Polip Nasi

download Referat Polip Nasi

of 35

description

polip nasi

Transcript of Referat Polip Nasi

  • REFERAT

    Diagnosis dan Penatalaksanaan Polip Nasi

    Disusun oleh:

    Fransisca Magdalena S (11.2014.083)

    Gita Puspitasari (11.2014.147)

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan

    Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

    RSUD Tarakan Jakarta Pusat

    Periode 8 Juni 2015 11 Juli 2015

  • 1

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

    karunia-Nya sehingga referat yang berjudul Diagnosis dan Penatalaksanaan Polip

    Nasi ini dapat diselesaikan.

    Referat ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di

    bagian Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana.

    Terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak

    membantu dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada para konsulen RSUD

    THT Tarakan, dr. Elly Simangunsong, Sp.THT-KL; dr. Wiendyati, Sp.THT-KL; dr.

    Riza Rizaldi, Sp.THT-KL; dr. Daneswarry, Sp.THT-KL; dr. Stivina Azrial, Sp.THT

    sebagai pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, serta dukungan dalam

    penyusunan referat ini. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan

    dokter muda dan semua pihak yang banyak membantu dalam penyusunan referat ini.

    Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,

    oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk

    perbaikan demi kesempurnaan referat ini.

    Demikianlah kata pengantar dari penyusun, semoga referat ini bermanfaat

    untuk menambah wawasan kita semua. Sekian dan terima kasih.

    Jakarta, 1 Juli 2015

    Penyusun

  • 2

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar .......................................................................................................... 1

    Daftar Isi ................................................................................................................... 2

    I. Pendahuluan .................................................................................................. 3

    II. Anatomi dan Fisiologi .................................................................................. 4

    III. Polip Nasi ...................................................................................................... 12

    IV. Diagnosis ...................................................................................................... 21

    V. Penatalaksanaan ............................................................................................ 24

    VI. Komplikasi ................................................................................................... 29

    VII. Prognosis ...................................................................................................... 32

    VIII. Penutup ......................................................................................................... 33

    Daftar Pustaka .......................................................................................................... 34

  • 3

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Sumbatan hidung adalah salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan

    pasien ke dokter pada pelayanan primer. Ini adalah gejala bukan diagnosis, banyak

    faktor dan kondisi anatomi yang dapat menyebabkan sumbatan hidung. Penyebab dari

    sumbatan hidung dapat berasal dari struktur maupun sistemik. Yang disebabkan

    struktur termasuk perubahan jaringan, trauma, dan gangguan congenital. Yang

    disebabkan sistemik terkait dengan perubahan fisiologis dan patologis. Polip

    merupakan salah satu dari penyebab rasa hidung tersumbat.1

    Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu juga

    memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya

    seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama yang paling

    sering dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan semakin lama semakin

    berat keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia sampai anosmia. Bila

    menyumbat ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan

    keluhan nyeri kepala dan hidung berair. 1

    Polip nasi merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau

    keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkakan

    mukosa hidung atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui

    secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan

    pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka

    sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk

    mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat. 1

  • 4

    BAB II

    ANATOMI & FISIOLOGI

    Anatomi Hidung Luar

    Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian

    luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar

    dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat

    digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan;

    dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk

    hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)

    pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),

    4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).2

    Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

    Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

    oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

    atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung

    (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ;

    sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

    terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis

    superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

    kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 2

  • 5

    Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung

    Anatomi Hidung Dalam

    Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

    belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

    kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

    anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan

    kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan

    ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi

    oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang

    disebut vibrise. 2

    Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

    inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh

    tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,

    vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan

    adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. 2

    Gambar 3. Septum Nasi

  • 6

    Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium

    pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian

    depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat

    konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral

    terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,

    kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior,

    sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga

    rudimenter. 2

    Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

    labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari

    labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga

    sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu

    meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

    dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. 2

    Gambar 4. Dinding lateral kavum nasi

    Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus

    medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus

    medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum

    etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana

    terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus

    superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat

    muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar

    rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau

  • 7

    atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan

    rongga tengkorak dari rongga hidung. 2

    Kompleks Ostiometal

    Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

    berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

    gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

    papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus

    unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan

    ressus frontal. 2

    Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret

    yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit

    infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret

    akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan

    sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke

    infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka

    media. 2

    Gambar 5. Kompleks Ostiomeatal

    Pendarahan Hidung

    Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan

    posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari

    a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang

    a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina

  • 8

    yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki

    rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. 2

    Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.

    Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,

    a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus

    Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,

    sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. Vena-vena hidung

    mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di

    vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan

    dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

    merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

    intrakranial. 2

    Gambar 6. Pendarahan Hidung

    Persarafan Hidung

    Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

    n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

    n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris

    dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain

    memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom

    untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila,

    serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis

    dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di

    atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius.

    Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan

  • 9

    kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah

    sepertiga atas hidung. 2

    Gambar 7. Persarafan Hidung

    Fisiologi Hidung

    Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka

    fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur

    kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam

    pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena

    terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung

    stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu

    proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4)

    fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap

    trauma dan pelindung panas; serta 5) refleks nasal. 2

    Sebagai Jalan Napas

    Pada saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas

    setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,

    sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,

    udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti

    udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian

    lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran

    dari nasofaring.

    Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)

    Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan

    udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

  • 10

    o Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.

    Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari

    lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi

    sebaliknya.

    o Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh

    darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang

    luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan

    demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

    Sebagai Penyaring dan Pelindung

    Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri

    dan dilakukan oleh :

    o Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

    o Silia

    o Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada

    palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan

    refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh

    gerakan silia.

    o Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut

    lysozime.

    Indra Penghidu

    Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa

    olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas

    septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan

    palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

    Resonansi Suara

    Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung

    akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara

    sengau.

  • 11

    Proses Bicara

    Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n, ng)

    dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun

    untuk aliran udara.

    Refleks Nasal

    Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

    cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya, iritasi mukosa hidung

    menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu

    menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

  • 12

    BAB III

    POLIP NASI

    Definisi

    Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.

    Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu-abuan, mengkilat, lunak karena

    banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah

    menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-merahan, suram dan lebih kenyal (polip

    fibrosa). Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel an

    dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke

    arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.1,3

    Gambar 8. Polip Nasi

    Polip antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari mukosa

    antrum sinus maksila yang inflamasi dan udematus, dapat meluas ke koana.

    Terbanyak berasal dari mukosa dinding antrum bagian posterior. Polip ini juga

    dikenal sebagai Killians polyps karena ia pertama kali ditemukan oleh Killian pada

    tahun 1753. Polip antrochoanal (ACP) terdiri dari 2 komponen yaitu komponen kistik

    dan padat. Etiopatogenesis polip antrokoanal sampai saat ini masih kontroversi. Polip

    antrokoanal banyak ditemukan pada anak dan dewasa muda dengan gejala utama

    hidung tersumbat unilateral dan rinore. Nasoendoskopi dan tomografi komputer

    merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis polip antrokoanal. 1,3

  • 13

    Etiologi

    Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi

    alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum

    diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau

    sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal

    dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian

    menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak

    mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak

    mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. 1,3

    Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak. Pada

    anak-anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Yang dapat menjadi

    faktor predisposisi terjadinya polip antara lain: 1,3

    1. Alergi terutama rinitis alergi.

    2. Sinusitis kronik.

    3. Iritasi.

    4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan

    hipertrofi konka.

    Patofisiologi

    Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di

    daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga

    mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang

    sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil

    membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip. 1,4,5

    Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab

    tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,

    vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.

    Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk

    suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus

    etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini

    terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh

    orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis

    alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim

  • 14

    sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip

    akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media. 1,4,5

    Beberapa teori tentang pembentukan polip yaitu: 4,5

    1. Ketidakseimbangan vasomotor

    Teori ini tersirat karena mayoritas polip hidung pasien tidak atopik dan tidak ada

    alergen yang jelas yang dapat ditemukan. Pasien sering memiliki periode

    prodomal rhinitis sebelum terjadinya polip. Polip hidung sering memiliki

    vaskularisasi yang buruk tidak memiliki persarafan vasokonstriktor. Vaskular

    terganggu peraturan dan permeabilitas pembuluh darah meningkat dapat

    menyebabkan edema dan pembentukan polip. 4,5

    2. Alergi

    Alergi dicurigai karena 3 faktor yaitu mayoritas nasal polip mempunyai eosinofil,

    berhubungan dengan asma, dan mempunyai gejala dan tanda mirip dengan alergi

    4,5

    3. Fenomena Bernoulli

    Hasil Fenomena Bernoulli dalam Penurunan tekanan yang menyebabkan

    vasokonstriksi. Tampaknya bahwa tekanan negatif menginduksi mukosa yang

    meradang pada rongga hidung mengakibatkan pembentukan polip. Jika ini satu-

    satunya faktor, mukosa terdekat katup hidung akan membentuk polypoidal. 4,5

    4. Teori Ruptur Epitel

    Rupturnya epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat menyebabkan

    prolaps mukosa lamina propria sehingga polip terbentuk. Mungkin cacat

    diperbesar oleh efek gravitasi atau obstruksi drainase vena. 4,5

    5. Intoleransi Aspirin

    Banyak konsep yang canggih untuk menjelaskan patogenesis intoleransi aspirin

    dan asosiasi dengan polip hidung. Sebuah entitas klinis terkenal yang merupakan

    produk dari tiga kondisi: asma, aspirin sensitivitas dan polip hidung. Ini adalah

    sindrom klinis yang berbeda, ditandai dengan presipitasi serangan rhinitis dan

    asma oleh aspirin dan kebanyakan nonsteroidal anti-inflammatory drugs

    (NSAID). Rinitis persisten muncul di usia rata-rata 30 tahun, maka asma,

    intoleransi aspirin, dan hidung polip. COX1 atau COX2 mungkin lebih rentan

    terhadap ASA atau bisa menghasilkan metabolit yang tidak diketahui yang

    merangsang cysteinyl leukotrien (Cys-LT). Metabolisme asam arakidonat

  • 15

    merangsang jalur inflamasi leukotrien. Hal ini menyebabkan penurunan di tingkat

    PGE2, PG antiinflamasi. LTC4 sintase berlebih selanjutnya akan meningkatkan

    jumlah dari LTS cysteinyl, memiringkan keseimbangan ke arah peradangan. Hal

    ini dapat berkontribusi untuk respon peradangan tidak terkendali dan peradangan

    kronis. 4,5

    6. Cystic fibrosis

    Cystic fibrosis adalah merupakan gangguan autosomal resesif populasi kulit putih.

    Cystic fibrosis disebabkan oleh mutasi pada gen tunggal pada kromosom 7, nama

    transmembran cystic fibrosis regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan adanya

    siklik AMP-regulated saluran klorida dan abnormal regulasi natrium, klorida

    menghasilkan impermeabilitas dan penyerapan natrium meningkat. Poeningkatan

    penyerapan natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan pergerakan

    cairan ke dalam sel dan ruang interstitial yang menyebabkan retensi cairan,

    pembentukan polip, dan dehidrasi. 4,5

    7. Nitrat oksida

    Oksida nitrat adalah gas radikal bebas, yang dihasilkan dari L-arginin oleh

    keluarga enzim oksida nitrat synthases (Noss). Nitrat oksida memainkan peran

    utama dalam reaksi imun spesifik, regulasi vaskular, pertahanan tubuh, dan

    peradangan jaringan. Radikal bebas dipertahankan dalam keseimbangan oleh

    sistem pertahanan antioksidan superoksida dismutase (SOD) peroksidase, katalase

    dan glutation. Meskipun transien, radikal bebas bisa membanjiri antioksidan yang

    mengakibatkan kerusakan sel, cedera jaringan dan penyakit kronis. Karlidag et al

    melaporkan peningkatan dalam kadar oksida nitrat dan penurunan enzim (SOD)

    pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan adanya

    radikal bebasyang menyebabkan kerusakan pada polip hidung. 4,5

    8. Infeksi

    Peran infeksi dianggap penting dalam pembentukan polip. Ini didasarkan pada

    model eksperimental di mana terdapat gangguan epitel dengan proliferasi jaringan

    diinisiasi oleh infeksi bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus

    aureus, atau Bacteroides fragilis (semua umum patogen dalam rinosinusitis) atau

    Pseudomonas aeruginosa, yang sering ditemukan dalam cystic fibrosis. 4,5

    9. Hipotesis superantigen

    Staphylococcus aureus terdapat pada musin polip hidung pada sekitar 60 sampai

    70%. Organisme ini selalu menghasilkan toxin, Staphylococcus enterotoxin A

  • 16

    (SEA), Staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan Toxic shock syndrome toxin-1

    (TSST-1), yang mungkin bertindak sebagai superantigens, menyebabkan aktivasi

    dan klon perluasan dari limfosit dengan dalam dinding lateral hidung. Ini

    diaktifkan limfosit menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 baik (IFN-, IL-2, IL-4, IL-

    5), menyebabkan penyakit kronis lymphocyticeosinophilic. Antibodi IgE spesifik

    untuk SEA dan SEB terdeteksi pada 50% dari hidung jaringan polip dan antibodi

    IgE spesifik dalam serum untuk stafilokokus (SEB, TSST) ditemukan pada 78%

    dari polip hidung. 4,5

    10. Infeksi jamur

    Elemen jamur dihirup menjadi terperangkap dalam lendir sinonasal, menyebabkan

    eosinofil bergeser dari mukosa pernafasan ke lumen oleh mekanisme yang belum

    diketahui. Selama proses ini, mereka memproduksi mediator yang mengakibatkan

    peradangan pada mukosa. Elemen jamur ditemukan pada histologi pada 82%

    pasien rinosinusitis kronis menjalani operasi sinus. 4,5

    11. Predisposisi genetik

    Etiologi genetik dicurigai dalam pengembangan dari poliposis hidung berdasarkan

    agregasi keluarga. Cystic fibrosis merupakan resesif autosomal yang berhubungan

    dengan mutasi gen CFTR dalam wilayah Q31 pada lengan panjang kromosom 7.

    HLA-DR dinyatakan pada permukaan sel-sel inflamasi paranasal pada mukosa

    dan polip hidung. Orang dengan HLA-DR7-DQA1 dan HLA-DQB1 haplotipe

    memiliki dua atau tiga kali lebih tinggi untuk mengembangkan polip hidung. 4,5

    12. Komposisi Selular

    Pada sebagian besar polip hidung, eosinofil terdiri lebih dari 60% dari populasi

    sel, kecuali di cystic fibrosis. Ada adalah peningkatan sel T CD8+ diaktifkan oleh

    sel T mendominasi lebih dibandingkan CD4+. Mast sel dan plasma sel juga

    meningkat dibandingkan dengan mukosa hidung yang normal. 4,5

    13. Kimia mediator

    Selain infiltrasi sel inflamasi meningkat, peningkatan ekspresi dan produksi

    varietas sitokin proinflamasi dan kemokin telah telah dilaporkan dalam polip

    hidung. Histamine nyata meningkat pada polip hidung, melebihi tingkat 4000

    ng/ml. Peningkatan produksi granulosit/macrophage colony-stimulating factor,

    IL-5, RANTES dan eotaxin dapat berkontribusi untuk migrasi

    eosinofil. Peningkatan kadar IL-8 dapat menginduksi infiltrasi

    neutrofil. Meningkatkan ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular dan

  • 17

    upregulationnya dengan mengubah faktor pertumbuhan-(beta) yang dapat

    berkontribusi edema dan angiogenesis dalam polip hidung. IgA dan IgE juga

    meningkat pada hidung polip. Selain itu, produksi lokal IgE dalam polip hidung

    dapat berkontribusi pada kekambuhan polip hidung melalui IgE-sel mast-Fc RI

    (epsilon) kaskade. 4,5

    Makroskopis dan Mikroskopis

    Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan

    licin, bentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular,

    dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitif ( bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit).

    Warna polip yang pucat tersebut disebabkan kerana mengandung banyak cairan dan

    sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan

    warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun

    warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan

    ikat. 1

    Gambar 9. Polip Nasi

    Tempat asal tumbuhnya polip terutama di kompleks ostio-meatal di meatus

    medius dan sinus ethmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin

    tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Adanya polip tumbuh ke arah belakang dan

    membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari

    sinus maksila dan juga disebut polip antro-koana. 1

  • 18

    Gambar 10. Polip Antrokoanal

    Secara mikroskopis, tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung

    normal, yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembap. Sel-

    selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa

    mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang

    sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,

    menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan

    jenis radangnya polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe eosinofilik dan

    neutrofilik. 1

    Histopatologi

    Berdasarkan temuan histologis diklasifikasikan polip menjadi empat jenis: 6

    1) Tipe eosinofilik

    Edema stroma dengan sejumlah besar eosinofil

    2) Inflamasi atau fibrosis jenis kronis

    Sejumlah besar sel-sel inflamasi terutama limfosit dan neutrofil

    dengan eosinofil lebih sedikit. Tipe ini ditandai dengan tidak ditemukannya

    edema stroma dan penurunan jumlah dari sel goblet. Penebalan dari membran

    basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi mungkin dapat ditemukan

    walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri atas fibroblas.

    3) Seromucinous Tipe I + hiperplasia kelenjar seromucous.

    Tipe ini hanya terdapat kurang dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama

    dari tipe ini adalah adanya glandula dan duktus dalam jumlah yang banyak.

    4) Jenis atipikal stroma

    Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat mengalami

    misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan

  • 19

    gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu

    neoplasma

    Karakteristik histopatologi ACP mirip dengan orang non-alergi. ACP dilapisi

    dengan epitel bersilia pseudostratified, danjaringan ikat stroma berisi sel inflamasi.

    Stroma membengkak dan sangat vaskular terdiri dari jaringan ikat longgar disisipi sel

    plasma dan sedikit eosinofil. Infiltrasi sel inflamasi lebih parah daripada

    infiltrasi eosinofilik. Sebuah studi melaporkan bahwa sel sel permukaan epitelial

    pasien ACP memiliki sedikit atau tidak ada sillia dan stroma berisi sejumlah minimal

    kelenjar lendir denga eosinofil. 6

    Gejala Klinis

    Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di

    hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat

    keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau

    anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya

    akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore. Bila penyebabnya

    adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung. 1,3,4,5

    Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka

    hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka

    polipoid ialah: 1,3,4,5

    a. Polip :

    Bertangkai

    Mudah digerakkan

    Konsistensi lunak

    Tidak nyeri bila ditekan

    Tidak mudah berdarah

    Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.

    b. Polip antrokhoanal :

    Rasa sumbatan di hidung.

    Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat

    keluhannya.

    Hiposmia atau anosmia

  • 20

    Epistaksis

    Mendengkur

    Nyeri pada pipi

    Sleep apneu

    Nyeri kepala

    Post nasal drip

    Bernafas dengan mulut

    Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat

    setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama yang dirasakan semakin

    memberat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh, suara

    sengau, serta sakit kepala. Pada sumbatan hidung yang hebat dapat menimbulkan

    gejala hiposmia bahkan anosmia, dan rasa berlendir di tenggorok. 1,3,4,5

  • 21

    BAB IV

    DIAGNOSIS

    Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

    penunjang.1,5,6

    a. Anamnesis

    Keluhan utama penderita polip nasi dalah hidung rasa tersumbat dari

    yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia

    atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai

    rasa sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin

    didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul

    ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan

    penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas

    bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip dengan

    asma. Selain itu, harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi

    terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan. 1,5,6

    b. Pemeriksaan Fisik

    Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung

    sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada

    pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat

    yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. 1,5,6

    c. Pemeriksaan Penunjang

    1. Naso-endoskopi

    Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu

    diagnosis kasus polip nasi yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-

    kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi

    tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal

    juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium

    asesorius sinus maksila. 1,5,6

    2. Pemeriksaan Radiologi

    Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Cadwell dan lateral)

    dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-

    cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip.

  • 22

    Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT Scan) sangat bermanfaat

    untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal

    apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan

    pada kompleks osteomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus

    polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada

    komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah

    terutama bedah endoskopi. 1,5,6

    Gambar 11. Polip antrokoanal pada pemeriksaan CT Scan

  • 23

    BAB V

    PENATALAKSANAAN

    Medikamentosa

    Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid.

    Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non-spesifik.

    yang mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-obatan

    lain tidak memberikan dampak yang berarti.Selain itu, terapi medika mentosa juga

    bertujuan untuk menunda selama mungkin perjalanan penyakit, mencegah

    pembedahan dan mencegah kekambuhan setelah prosedur pembedahan.7,8

    a. Kortikosteroid oral

    Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip

    nasal adalah kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi non-

    spesifik ini secara signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan

    memperbaiki gejala lain secara cepat. Tetapi masa kerja sebentar dan polip

    sering tumbuh kembali dan munculnya gejala yang sama dalam waktu

    mingguan hingga bulanan. 7,8

    b. Kortikosteroid topikal hidung atau nasal spray

    Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid

    intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan

    sampai polip atau gejalanya hilang.Respon anti-inflamasi non-spesifiknya

    secara teoritis mengurangi ukuran polip dan mencegah tumbuhnya polip

    kembali jika digunakan berkelanjutan. Tersedia semprot hidung steroid yang

    efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka panjang dan jangka pendek

    seperti fluticson, mometason, budesonid dan lain-lain. Perlu diperhatikan

    bahwa kortikosteroid intranasal mungkin harganya mahal dan tidak terjangkau

    oleh sebagian pasien, sehingga dalam keadaan demikian langsung diberikan

    kortikosteroid oral. 7,8

    c. Kortikosteriod sistemik

    Pengunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek merupakan metode

    alternatif untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip. Berbeda dengan

    steroid topikal, steroid sistemik dapat mencapai seluruh bagian hidung dan

    sinus, termasuk celah olfaktorius dan meatus media dan

  • 24

    memperbaiki penciuman lebih baik dari steroid topikal. Penggunaan steroid

    sistemik juga dapat merupakan pendahuluan dari penggunaan steroid topikal

    dimana pemberian awal steroid sistemik bertujuan membuka obstruksi nasal

    sehingga pemberian steroid topikal spray selanjutnya menjadi lebih sempurna.

    Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga

    polipektomi medikamentosa. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan

    dari kortikosteroid intranasal, maka diberikan juga kortikosteroid sistemik.

    Dosis kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku, pemberian masih

    secara empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari selama seminggu

    dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu. Menurut van Camp dan

    Clement dikutip dari Mygind dan, Lidholdt untuk polip dapat diberikan

    prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam beberapa dosis,

    yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan tapering off 5 mg per

    hari. Menurut Naclerio pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali

    dalam setahun. Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak

    dianjurkan lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat

    emboli. 7,8

    d. Antibiotik

    Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat

    timbulnya infeksi. Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah

    perkembangan polip lebih lanjut dan mengurangi perdarahan selama

    pembedahan. Pemililihan antibbiotik dilakukan berdasarkan kekuatan daya

    bunuh dan hambat terhadap species staphylococcus dan golongan anaerob

    yang merupakan mikroorganisme mikroorganisme tersering yang ditemukan

    pada sinusitis kronik. Kalau ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga

    antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis sekurang-

    kurangnya selama 10-14 hari. 7,8

    Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali

    setahun. Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up

    yang lebih sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral dosis

    tinggi atau menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka lama.

    Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi medikamentosa

  • 25

    gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus berulang yang memerlukan

    perawatan dengan berbagai antibiotik. 7,8

    Non Medikamentosa

    Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip

    yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. . Terapi bedah yang dipilih

    tergantung dari luasnya penyakit (besarnya polip dan adanya sinusitis yang

    menyertainya), fasilitas alat yang tersedia dan kemampuan dokter yang menangani. 7,8

    Indikasi Operasi

    Polip menghalangi saluran nafas.

    Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksisinus.

    Polip berhubungan dengan tumor.

    Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang

    gagal pengobatan maksimum dengan obat- obatan.

    Kontraindikasi Operasi

    Absolut- penyakit jantung dan penyakit paru

    Relatif- gangguan pendarahan, anemia, infeksi akut yang berat (eksaserbasi

    asma akut)

    Tindakan Pra-Operasi

    Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kondisi

    pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan,

    demikian pula yang menderita asma dan lainnya. Menjelang operasi, selama 4 atau 5

    hari sebelum operasi pasien diberi antibiotik dan kortikosteroid sistemik dan lokal.

    Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan mengurangi inflamasi, karena

    inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan yang banyak, yang akan

    mengganggu kelancaran operasi. Kortikosteroid juga bermanfaat untuk mengecilkan

    polip sehingga operasinya akan lebih mudah dijalankan. 7,8

    Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan

    variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung,

    anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi

    septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan

    lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan

    kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi. Pada polip stadium 1 dan 2 kadang-

  • 26

    kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan

    pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai

    polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. 7,8

    Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat

    memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,

    namun kurang bermanfaat pada kasus polip. 7,8

    CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan

    perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal

    dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah

    rawan tembus ke dalam orbita dan intra kranial. Konka-konka, meatus-meatus

    terutama meatus media beserta kompleks ostiomeatal dan variasi anatomi seperti

    kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui

    dan diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid anterior, n.optikus dan a.karotis

    interna penting diketahui.Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat

    untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut,

    operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari

    daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi. Untuk

    menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem gradasi

    antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan

    secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. 7,8

    Terapi pembedahan bertujuan menghilangkan obstruksi hidung dan mencegah

    kekambuhan. Oleh karena sifatnya yang rekuren, kadang-kadang terapi pembedahan

    juga mengalami kegagalan dimana 7-50% pasien yang menjalani

    pembedahan akan mengalami kekambuhan. 7,8

    Terapi pembedahan dapat dilakukan: 7,8

    1. Polipektomi

    Sebelum polipektomi hidung dilakukan, perlu diberikan premedikasi

    dan anestesi topikal memadai. Kawat pengait kemudian dilingkarkan pada

    tangkai polip tanpa perlu diikatkan erat-erat, kemudian polip dengan tangkai

    dan dasar pedikel seluruhnya ditarik bersamaan. Infeksi sinus akibat tangkai

    polip yang menyumbat ostium, biasanya mereda lebih cepat setelah

    polipektomi. Jika polip kembali kambuh dan disertai sinusitisrekurens,

    mungkin terdapat indikasi koreksi bedah terhadap penyakit sinus. 7,8

  • 27

    Konka yang hipertrofi mungkin memerlukan kauterisasi, bedah beku

    (cryosurgery), atau reseksi parsial guna menciptakan jalan nafas memadai.

    Pembedahan demikian harus secara konservatif guna mencegah rinitis atrofik.

    Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan

    menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi

    belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk

    memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang

    tersembunyi atau polip yang sedikit.Keuntungan dari cara ini adalah, bahwa

    prosedur sederhana, perawatan post operasi singkat, risiko operasi hampir-hampir

    tidak ada.Akan tetapi kerugiannya adalah, prosedur operasi ini tak

    membersihkan polip yang berada dalam sinus, dengan sendirinya kans untuk

    residif besar sekali, malahan dalam waktu yang singkat dapat terjadi residif. 7,8

    2. Etmoidektomi

    Etmoidektomi,artinya di samping mengangkat polip yang berada

    dalam hidung, diangkat juga polip yang berada di dalam sinus paranasalis.

    Jadi kita berusaha untuk membersihkan sampai ke akar-akarnya (teknik

    operasi akan dibicarakan dalam kuliah sinus-chronica). Keuntungan cara operasi ini

    adalah kans residif lebih kecil dan kalau memangterjadi, maka jangka waktunya

    cukup lama. Kerugian operasi ini ialah prosedur operasi lebih sukar dan waktu

    perawatan lebih panjang serta resiko komplikasi post operasi relatif lebih

    besar. Operasi Etmoidektomi di bagi menjadi dua yaitu: 7,8

    a. Etmoidektomi Intranasal

    Tindakan dilakukan dengan pasien dibius umum ( anastesia).

    Dapat juga dengan bius lokal (analgesia). Setelah konka media di

    dorong ke tengah, maka dengan cunam sel etmoid yang terbesar ( bula

    etmoid ) dibuka. Polip yang ditemukan dikeluarkan sampai bersih.

    Sekarang tindakan ini dilakukan dengan menggunakan

    endoskop,sehigga apa yang akan dikerjakan dapat dilihat dengan baik.

    Perawatan pasca-bedah yang terpenting ialah memperhatikan

    kemungkinan perdarahan. 7,8

    b. Etmoidektomi Ekstranasal

    Insisi dibuat di sudut mata, pada batas hidung dan mata. Di

    daerah itu sinus etmoid dibuka, kemudian dibersihkan.

  • 28

    3. Operasi Caldwell-Luc

    Operasi ini ialah membuka sinus maksila, dengan menembus tulang

    pipi. Supaya tidak terdapat cacat di muka, maka insisi dilakukan di bawah

    bibir, di bagian superior ( atas ) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan

    diatas tulang pipi diangkat kearah superior, sehingga tampak tulang sedikit di

    atas cuping hidung, yang disebut fosa kanina. Dengan pahat atau bor tulang itu

    dibuka, dengan demikian rongga sinus maksila kelihatan. Dengan cunam

    pemotong tulang lubang itu diperbesar. Isi sinus maksila dibersihkan.

    Seringkali akan terdapat jaringan granulasi atau polip di dalam sinus maksila.

    Setelah sinus bersih dan dicuci dengan larutan bethadine, maka dibuat

    anthrostom. Bila terdapat banyak perdarahan dari sinus maksila, maka

    dimasukkan tampon panjang serta pipa dari plastik, yang ujungnya disalurkan

    melalui antrostomi ke luar rongga hidung. Kemudian luka insisi dijahit. 7,8

    4. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

    Bedah Sinus Endoskopi Fungsional(BSEF) merupakan teknik yang

    lebih baik tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus

    media, yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan

    membantu mengurangi angka kekambuhan. 7,8

    Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis

    akut berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang

    optimal. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan

    komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi

    atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia. Bedah sinus endoskopi sudah

    meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus

    paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor

    dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi,

    dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia

    koana) dan lainnya. Kontraindikasi BSEF adalah osteitis atau osteomielitis

    tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester,pasca operasi radikal

    dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi),penderita yang disertai

    hipertensi maligna, diabetes mellitus, dan kelainan hemostasis yang tidak

    terkontrol. 7,8

  • 29

    BAB VI

    KOMPLIKASI

    Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat popular dan diadopsi dengan

    cepat oleh para ahli bedah THT diseluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya,

    muncul berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya.

    Karenanya para ahli segera melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin

    terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan

    mengobatinya. Pamahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus akan

    mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BESF dapatr

    dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, periorbital/orbital, vaskular dan

    sistemik. 7,8

    I. Komplikasi intranasal

    Sinekia

    Masalah yang timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah

    terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang

    saling berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral

    hidung. Stammberger dkk melaporkan insidens sinekia yaitu 8% namun hanya

    20% yang menyebabkan gangguan sumbatan. Disfungsi pemciuman dapat

    terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media dengan

    septum. Untuk mencegah ketidakstabilan konka media, maka perlekatan

    superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan. 7,8

    Stenosis ostium sinus maksila

    Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2%.

    Pembukaan ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapat

    menghasilkan drainase fisiologik. Metode terbaik memeperlebar ostium

    adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke

    anterior, posterior dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan dengan

    timbulnya gejala maka revisi bedah mungkin diperlukan. 7,8

    Kerusakan duktus lakrimalis

    Komplikasi ini jarang karena duktus nasolakrimalis berada disepanjang

    kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat

    terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger dan Parson dkk

  • 30

    melakukan studi terhadap pasien yang mengalami perlukaan duktus

    nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala dakriosisititis atau epifora.

    Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran ostium

    sinus maksila terutama dari arah posterior dan / inferior. 7,8

    II. Komplikasi periorbital/orbital

    Edema kelopak mata/ekinmosis/emfisema. Edema kelopak mata,

    ekimosis dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi

    akibat trauma pada lamina papirasea. Proyeksi medial lemina papirasea

    pada rongga hidung dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan

    lamina papirasea mudah trauma selama prosedur bedah dilakukan.

    Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa diperlukan

    pengobatan khusus. 7,8

    Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi

    yang berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata

    keras disertai edema kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri,

    oftalmoplegi dan proptosis. Seiring dengan meningkatnya tekanan

    intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan

    penglihatan, midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur

    pembedahan, mata pasien agar selalu tampak dalam pandangan

    operator. 7,8

    Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini

    pernah dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama

    pembedahan, yang dapat pula disebabkan oleh adanya perdarahan,

    serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah merupakan

    penyebab terjadinya trauma pada n. Optikus yang dapat menyebabkan

    gangguan penglihatan. 7,8

    Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial

    dapat menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau

    otot oblikus superior mata serta kerusakan pada saraf yang

    menginervasinya. 7,8

  • 31

    III. Komplikasi intrakranial

    Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi

    pada pemula. Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah

    rawan tembus di CT scan preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan

    komplikasi ini. Kebocoran cairan serebrospinal selama prosedur beda

    merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Insidensi komplikasi ini dilaporkan

    sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera dilakukan

    penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan

    septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan

    dapat menutup sendiri. 7,8

    IV. Komplikasi sistemik

    Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap

    prosedur bedah. Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi

    sistemik pada bedah sinus adalah pemakaian tampon hidung yang dapat

    menyebabkan toxic shock syndrome (TSS). Kondisi ini ditandai dengan

    adanya demam dengan suhu tinggi dari 39,5 C, deskuamasi dan hipotensi

    ortostatik. 7,8

  • 32

    BAB VII

    PROGNOSIS

    Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga

    perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada

    rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.

    Secara medika mentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa

    dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau

    tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama

    dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitasi dan hiposensitisasi, yang

    menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang

    memuaskan.

  • 33

    BAB VIII

    PENUTUP

    Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan

    sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.

    Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada proses

    alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi. Pada

    anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat

    rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata dan adanya sekret

    hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan masaa yang lunak,

    bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil pada

    pemberian vasokonstriktor lokal. Penatalaksanaan untuk polip nasi bisa secara

    konservatif maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu

    sendiri dan keluhan dari pasien sendiri. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi,

    polip nasi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga

    kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.

  • 34

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Mangunkusumo E. Wardani S R. Polip hidung. Dalam: Soepardi, Efiaty.

    Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.

    Edisi ke Enam. Jakarta: Fakkultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. h.

    123-5.

    2. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam : Soepardi EA,

    Iskandae N, Ed .Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala

    leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

    2007.h.118-119.

    3. Van Der Baan. Epidemiology and natural history dalam Nasal Polyposis.

    Copenhagen: Munksgaard, 1997. 13-1

    4. Alper Nabi Erkan, MD, zcan akmak, MD, and Nebil Bal, MD.Frontochoanal

    polyp article by All Rights Reserved http://www.entjournal.com . Di akses pada

    tanggal 30 Juni 2015.

    5. Drake Lee AB. Nasal Polyps. In: Scott Browns Otolaryngology, Rhinology. 5th

    Ed. Vol 4. Butterworths. London, 1987: 142-53.

    6. John E McClay GOOD. Nasal Polyps. Associate Professor of Pediatric

    Otolaryngology, Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery,

    Children's Hospital of Dallas, University of Texas Southwestern Medical

    School. update Oct 22, 2008. http://www.medicine.com. Di akses pada tanggal

    30 Juni 2015 .

    7. S. P. Gulati, Anshu, R. Wadhera & A. Deeo : Efficacy of Functional

    Endoscopic Sinus Surgery in the treatment of Ethmoidal polyps . The Internet

    Journal of Otorhinolaryngology. 2007 Volume 7 Number 1. Di akses pada

    tanggal 30 Juni 2015 .

    8. Newton, JR. Ah-See, KW. A Review of nasal polyposis. Therapeutics and

    Clinical Risk Management 2008:4(2) 507512