Referat PCP Final
-
Upload
hendrawijaya -
Category
Documents
-
view
60 -
download
14
description
Transcript of Referat PCP Final
Referat PCP
BAB I
PENDAHULUAN
AIDS atau Sindrom Penurunan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit
yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Infeksi
HIV didapati pada setengah grup risiko tinggi: (1) pria yang homoseksual dan biseksual
berjumlah lebih dari 60% kasus AIDS di Amerika Serikat. (2) penyalahgunaan obat intravena
berjumlah sekitar 15% kasus. (3) perempuan heteroseksual yang berhubungan dengan pria
biseksual dan penyalahguna obat intravena berjumlah kurang dari 10% di Amerika Serikat,
tetapi proporsi kasus ini meningkat cepat (hampir 50% kasus baru di semua area). (4) pasien-
pasien dengan transfusi produk darah (kebanyakan pada penderita hemofilia dan bayi)
diperkirakan mencapai 2%.
Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia secara umum memang masih rendah, tetapi Indonesia telah
digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level
epidemic), yaitu adanya prevalensi epidemik lebih dari 5% pada sub populasi tertentu misalnya
penjaja seks dan penyalahguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya).
Surveilans pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator untuk
menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat umum. Tingginya tingkat keseriusan dan
kematian penderita HIV&AIDS disebabkan berbagai faktor. Salah satu faktor adalah
penatalaksanaan pada penderita yang masih kurang tepat, termasuk terlambatnya diagnostik
infeksi oportunistik. Padahal infeksi oportunistik inilah yang sering mengantarkan ke arah
kematian penderita AIDS.
Tidak seperti di negara-negara lain yang sudah maju, para pengidap HIV di Indonesia
cenderung mudah jatuh ke stadium AIDS oleh karena mengalami infeksi oportunistik. Hal ini
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
1
Referat PCP
dimungkinkan karena pengidap HIV di Indonesia umumnya tinggal dan hidup berdampingan
dengan angka kejadian infeksi lain yang masih tinggi. Berbagai infeksi oportunistik yang sering
terjadi pada penderita HIV & AIDS di Indonesia adalah toksoplasmosis, sepsis, pneumonia,
pneumocystis carinii, tuberkulosis paru, hepatitis B, hepatitis C, infeksi virus sitomegalo, diare
kronis, kandidiasis oroesofageal, dan berbagai manifestasi infeksi pada kulit.
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh yang dapat
timbul akibat mikroba (bakteri, virus, jamur) yang berasal dari tubuh maupun yang sudah ada
dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal dapat terkendali oleh kekebalan tubuh.
Infeksi oportunistik bergantung berdasarkan tingkat imunosupresi yang biasanya muncul pada
penderita dengan CD4 <200/mm3 atau total lymphocyte count <1200/mm3 dan pada prevalensi
endemik dari agen penyebab. Pola infeksi oportunistik di berbagai negara dapat berbeda. Di
Amerika serikat infeksi oportunistik yang sering dijumpai adalah PCP (Pneumocystic carinii
Pneumonia) namun di Indonesia infeksi oportunistik yang sering dijumpai adalah infeksi jamur
saluran cerna dan tuberkulosis paru.
Pneumocystis jiroveci yang sebelumnya dikenal sebagai Pneumocystis carinii merupakan
penyebab utama kesakitan dan kematian pada pasien dengan gangguan sistem imun diantaranya
pasien terinfeksi HIV, penyakit keganasan, penerima transplantasi organ. Infeksi Pneumocytis
carinii pneumonia ini merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada penderita HIV
dengan angka kematian di Amerika Serikat sekitar 60% pada tahun 80-an.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
2
Referat PCP
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Paru
Saluran nafas pada manusia dibagi menjadi dua, yaitu saluran nafas atas dan saluran
nafas bawah. Organ pada saluran nafas atas terletak di luar rongga toraks, yaitu hidung, faring,
dan laring. Sedangkan saluran nafas bawah berada di dalam rongga toraks yang terdiri dari
trakeobronkial dan alveoli. Trakea bercabang menjadi dua cabang utama bronkus, yang
kemudian akan bercabang lagi menjadi bronkus lobaris. Bronkus lobaris bercabang lagi menjadi
bronkus segmentalis, kemudian menjadi bronkiolus sampai akhirnya menjadi alveolus.
Gambar 1 : Saluran nafas atas dan bawah
(sumber: http://www.rci.rutgers.edu/)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
3
Referat PCP
Paru-paru adalah organ berbentuk kerucut yang berada di dalam rongga toraks. Setiap
paru terdiri dari ribuan alveoli dan kapiler. Ukuran paru kanan lebih besar dibandingkan dengan
paru kiri. Paru kanan dibagi menjadi tiga lobus, yaitu superior, media, dan inferior. Sedangkan
paru kiri dibagi menjadi dua lobus yaitu superior dan inferior. Antara paru kanan dengan paru
kiri dipisahkan oleh jantung dan pembuluh darah besar serta struktur lain dalam mediastinum.
Masing-masing paru ini akan dilapisi oleh pleura visceralis dan terdapat bebas di dalam cavitas
pleuralisnya masing-masing.
Gambar 2 : Anatomi paru
(sumber: http://lungpictures.org//)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
4
Referat PCP
Salah satu fungsi dari paru ialah respirasi. Respirasi adalah pertukaran gas antara
organisme hidup dengan lingkungannya. Pertukaran gas pada manusia sangat bergantung pada
sistem kardiopulmoner sirkulatori, tempat O2 disuplai ke seluruh tubuh dan CO2 dielminasi
dari tubuh. Mekanisme respirasi terdiri atas dua fase, yaitu fase inspirasi dan fase ekspirasi yang
diakibatkan oleh penambahan dan pengurangan kapasitas cavita thoracis secara bergantian.
Frekuensi respirasi bervariasi, antara 16 – 20 kali per menit pada orang normal yang sedang
istirahat dan lebih cepat pada anak-anak maupun lebih lambat pada orang tua.
Inspirasi terjadi ketika rongga toraks bertambah besar. Saat dinding toraks membesar,
pleura parietal yang melekat di dinding toraks akan bergerak bersama dan kubah diafragma
yang menurun akan membentuk suatu tekanan yang lebih negatif di dalam rongga pleura.
Penurunan tekanan ini akan menyebabkan paru mengembang dan mengisap udara melalui
trakea hingga mencapai alveoli. Otot yang berperan adalah otot diafragma dan otot interkostal
eksterna. Rangsangan pada nervus phrenicus menyebabkan otot diafragma berkontraksi.
Ekspirasi biasanya terjadi secara pasif ketika otot-otot inspirasi berelaksasi sehingga
rongga toraks kembali mengecil. Elastisitas dari jaringan paru mempunyai daya rekoil dan
mengecilkan alveolus sehingga udara mengalir keluar dari paru. Pada saat berbicara, menyanyi,
atau melakukan ativitas yang berat diperlukan ekspirasi yang kuat. Selama ekspirasi kuat ini,
otot-otot ekspirasi berkontraksi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
5
Referat PCP
Gambar 3 : Mekanisme Respirasi
(sumber: Mechanics of Breathing and Gas Transfer in Humans)
2.2 HIV/ AIDS
A. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan materi genetik
asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik untuk mentransfer
informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. 1
HIV menyerang sistem imun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki
reseptor CD4 dipermukaannya. Limfosit T helper antara lain berfungsi menghasilkan zat kimia
yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem
imun dan pembentukan antibodi sehingga yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T tetapi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
6
Referat PCP
juga limfosit B, monosit, makrofag dan sebagainya dan merusak sistem imunitas. Selanjutnya
bisa memudahkan infeksi oportunistik di dalam tubuh. Kondisi inilah yang kita sebut AIDS11
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala
atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.
Definisi AIDS menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) lebih
melihat pada gejala yang ditimbulkan pada tahapan perubahan penderita HIV/AIDS, yaitu pada
orang dewasa atau remaja umur 13 tahun atau lebih adalah terdapatnya satu dari beberapa
keadaan yang menunjukkan imunosupresi berat yang berhubungan dengan infeksi HIV, seperti
Pneumocystis Carnii Pneumonia (PCP), suatu infeksi paru yang sangat jarang terjadi pada
penderita yang tidak terinfeksi HIV mencakup infeksi oportunistik yang jarang menimbulkan
bahaya pada orang yang sehat. Selain infeksi dan kanker dalam penetapan CDC 1993, juga
termasuk: ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan
CD4<200/ml.13
B. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah
variasi antar wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor.yang
berpengaruh. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi.
Klasifikasi untuk epidemi HIV/AIDS terdiri dari6 :
Rendah: Prevalensi HIV dalam suatu sub-populasi berisiko tertentu belum
melebihi 5%.
Terkonsentrasi: Prevalensi HIV secara konsisten lebih dari 5% di subpopulasi
tertentu dan prevalensi HIV di bawah 1% di populasi umum
atau ibu hamil.
Meluas: Prevalensi HIV lebih dari 1% di populasi umum atau ibu hamil
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
7
Referat PCP
orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja seks komersial dan penyalah-
guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan
Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi
meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang
dengan HIV positif.3
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan sebanyak 278 rumah sakit
rujukan Odha (Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
780/MENKES/SK/IV/2011 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang
dengan HIV (lihat Lampiran 1)) yang tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia.3
Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan
September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33
provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi
pada kelompok usia 20-29 tahun.3
C. ETIOLOGI
HIV merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili Lentivirus
dari famili retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi 2 tipe HIV yang menyebar luas ke
seluruh dunia dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa.2
D. PATOGENESIS
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki reseptor
membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus, yakni gp120 akan
berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai fusi
membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk
ke bagian tengah sitoplasma CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik
(reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda
virus.1
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
8
Referat PCP
cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA
dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus
dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein
struktural dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan
bergabung dengan protein inti.1
Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmen- segmen
kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh sebagian membran
sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-
sel rentan seperti sel CD4+ lainnya, monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel
epitel, sel dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia,
dan berbagai jaringan tubuh.1
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun, terutama
melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk
menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan
aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi
sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK).
Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada
sel-sel imun lainnya.1
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600 sampai 1200/ μl
darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal
untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal.
Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan
perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300
sel/μl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/μl mengalami imunosupresi yang berat dan
risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik.1
E. PATOFISIOLOGI
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
9
Referat PCP
Dalam tuguh ODHA,partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali terinfeksi HIV,seumur hidup ia akan tetap terinfeksi HIV,sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama,50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun,
dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis,sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubug yang juga bertahap.1
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,dimulaialh infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung 8-10 tahun. Namun pada sebagian orang dalam jangka
waktu 2 tahun saja sudah dapat menunjukkan gejala dan ada juga yang perjalanan penyakitnya
lambat.1
Seiring dengan memburuknya kekebalan tubuh,odha mulai menampakkan gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,demam lama,rasa lemah,pembesaran
kelenjar getah bening,diare,tuberkulosis,infeksi jamur,herpes,dll.1
Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh aadalah kerusakan mikro
arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid,yang
dapat dilihat dengan pemeriksaaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi
kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.1
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat,klinis tidak menunjukkan
gejala,pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi,10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,muncul HIV yang resisten.Bersamaan dengan
replikasi HIV,terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,untungnya tubuh masih
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.1
Perjalanan penyakit pada pengguna narkotika berjalan lebuh progresif. Dimana 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
10
Referat PCP
yang sering ditemui pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak dijumpai pada odha
dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik juga berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi yang terjadi secara bersamaan ini akan
menyebabkan virus HIV akan membelah dengan cepat sehingga jumlahnya akan meningkat
pesat.Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T,akibat perjalanan
penyakit yang progresif.
Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini tercermin
dari hasil penelitan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik yang
berasal dari penggunaan narkotika dengan kadar CD4 lebih dari 200sel/mm3.. Ternyata 56.14%
mempunyai jumlah virus dalam darah yang melebih 55.000 kopi/ml,artinya penyakit infeksi
HIVnya progresif,walaupun kadar CD4 realtif masih cukup baik.1
F. PENULARAN
Model penularan HIV melalui hubungan seksual, darah dan produk darah yang terinfeksi
HIV, dan transmisi dari ibu ke anak.3
• Hubungan Seksual
HIV dapat menyebar baik melalui hubungan sesama jenis (homoseksual) atau
berbeda jenis (heteroseksual) ketika pasangannya telahterinfeksi HIV. Perempuan lebih besar
berisiko untuk terinfeksi dari pasangannya karena transmisi dari laki-laki ke perempuan lebih
efisien daripada perempuan ke laki-laki. Selama melakukan hubungan seks kerusakan lapisan
organ seksual bisa menularkan HIV dari pasangan yang terinfeksi ke orang yang tidak terinfeksi
dengan pertukaran cairan tubuh. Selain melakukan hubungan seksual dengan vaginal yang
berisiko, ada perilaku seksual berisiko lainnya untuk tertular HIV, misalnya hubungan seks
dengan anal.
• Darah dan produk darah yang terinfeksi HIV
Penularan HIV melalui darah dan produk darah yang terinfeksi HIV dapat melalui
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
11
Referat PCP
transfusi darah dan pemakaian jarum suntik yang tidak steril secara bergantian.
o Transfusi darah
Darah donor yang tidak ditapis berisiko mengandung HIV. Ketika tes
darah untuk skrining HIV tidak dapat dilakukan, orang dengan sickle cell,
haemophilia dan lainnya membutuhkan transfusi darah yang berulang terinfeksi
HIV melalui darah yang terkontaminasi virus.
o Pemakaian alat suntik/ jarum suntik yang tidak steril
Biasanya pengguna napza suntik menggunakan alat suntik bergantian
dengan teman pengguna napza yang lain. Pertukaran darah yang terinfeksi HIV
lewat jarum suntik adalah metode tranmisi HIV antara pengguna napza suntik.
• Transmisi dari ibu ke anak
Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi selama kehamilan, ketika lahir, dan masa
menyusui. Sebagian besar penularan terjadi pada saat melahirkan per vaginam. Peluang
penyebaran HIV dengan cara ini sekitar 30%.
Populasi berisiko tinggi untuk penularan HIV terdiri dari:
- Penjaja seks dan pelanggannya
- Penasun (pengguna napza suntik)
- Laki-laki suka laki-laki
- Narapidana
Populasi berisiko juga bisa sebagai jembatan penularan kepada kelompok yang lain
(pasangan kelompok berisiko). Sebagai contoh, pelanggan dari penjaja seks yang terinfeksi HIV
mungkin akan terinfeksi HIV. Kemudian dia melakukan hubungan seks dengan istrinya secara
tidak aman, dan kemudian menginfeksi istrinya. Dalam kasus ini dia bertindak sebagai
jembatan, infeksi HIV yang diperoleh dari penjaja seks ke pasangannya.3
Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara,
minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
12
Referat PCP
tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan.3
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS.Diagnosis
laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:
1. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan
mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah
Polymerase Chain Reaction (PCR)4
2. Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan ELISA ,
immunoflurescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA)4
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi terhadap antibodi
dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik,
yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini dapat
memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan
seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk
mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi.1
Tiap negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia, skrining dan
surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan Western Blot telah digunakan di
waktu yang lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik,ELISA 1, dan ELISA 2 untuk
skrining dan surveilans.7
Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada pemeriksaan didasarkan pada sensitivitas dan
spesifisitas tiap jenis reagensia. Untuk diagnosis klien yang asimtomatik harus menggunakan
strategi III dengan persyaratan reagensia sebagai berikut7 :
1) Sensitivitas reagen pertama > 99%
2) Spesifisitas reagen kedua > 98%
3) Spesifisitas reagen ketiga > 99%
4) Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak sama.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
13
Referat PCP
Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai prinsip
pemeriksaan (misalnya EIA, dot blot, imunokromatografi atau aglutinasi) atau jenis
antigen (misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau peptida sintetik) yang berbeda
daripada reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama.
5) Prosentase hasil kombinasi dua reagensia pertama yang tidak sama (discordant) kurang
dari 5%.
6) Pemilihan jenis reagensia (EIA atau Simple/Rapid) harus didasarkan pada:
a. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
b. Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan
c. Sarana dan prasarana yang tersedia
Tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%, spesifisitas reagen
>98% .3
Gambar 4 : Metode Diagnosis HIV
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
14
Referat PCP
Tabel 1 : Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
15
Referat PCP
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan prognosis),
berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut12 :
Penentuan derajat klinis untuk infeksi HIV pada dewasa menurut WHO10
Tabel 2 : Derajat Klinis HIV
Tahap 1 :
Asimptomatik
Limfadenopati menyeluruh
Tahap 2:
Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral,
infeksi jamur di kuku)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Angular cheilitis
Seboroik dermatitis
Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis
bakterial)
Papular pruritik eruption
Tahap 3:
Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan (>37,6OC)
Candidiasis oral
Oral hairy leukoplakia
TB paru
Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
16
Referat PCP
Stomatitis, gingngivitis, periodontitis
Anemia (Hb <8)
Neutropenia ( netrofil <500)
Trombositopenia (<50.000)
Tahap 4:
HIV wasting syndrome (penurunan berat badan > 10%,
diare>1 bulan atau lemah lesu dan demam > 1 bulan)
Pneumonisitis carina pneumonia
Toxoplasmosis otak
Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
Kriptokokosis, ekstra paru
TB ekstra paru
Penyakit disebabkan oleh CMV
Kandidiasis esofagus sampai paru
Mikobakteriosis atipikal
Lymphoma
Kaposi sarcoma
HIV encephalopati
Virus herpes lebih dari 1 bulan
Leukoensefalopati multifokal yang progresif
Infeksi jamur endemik yang menyebar
Meningitis
Ensefalopati HIV
Infeksi non tuberkulosis bakteri
(sumber: buku ajar ilmu penyakit dalam fkui)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
17
Referat PCP
2.3 Pneumocystis Pneumonia (PCP)
A. Definisi dan Etiologi
Pneumocystic pneumonia (PCP) adalah suatu penyakit peradangan paru yang
disebabkan oleh protozoa Pneumocystis jirovecii yang menginfeksi manusia, dan
Pneumocystis carinii yang menginfeksi tikus. PCP dapat menyebabkan kesakitan dan
kematian pada pasien dengan gangguan sistem imun diantaranya pada pasien yang terinfeksi
HIV, penyakit keganasan, maupun penerima transplantasi organ.11,12
Organisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas (1909). Tahun1915 Carini dan
Maciel menemukan organisme ini pada paru guinea pig yang awalnya diduga sebagai salah
satu tahap siklus hidup Trypanosoma cruzi. Tahun 1942 Meer dan Brug mengemukakan
bahwa organisme ini bersifat patogen bila berada dalam tubuh manusia. Tahun 1952 Vanek
bersama dengan Otto Jirovec menggambarkan tentang siklus paru dan patologi dari penyakit
yang kemudian dikenal sebagai “pneumonia sel plasma interstitial” atau “pneumonia
parasitik”.11,14
Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jirovecii. Pada
awalnya sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jirovecii dalam golongan
protozoa, apalagi sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam subklas Coccidiomorpha ,
kelas sporozoa dari protozoa. Penggolongan ke dalam protozoa ini dikarenakan karakteristik
strukturnya yang menyerupai Toksoplasma gondii dan sensitif terhadap preparat obat anti
parasit, antara lain pentamidin isethionat, pirimetamin, sulfadiazine, trimetoprim +
sulfametoksazol.11
Namun studi terbaru berdasarkan penelitian biologi molekuler asam nukleat RNA
ribosom dan biokimianya, Pneumocystis jirovecii dimasukkan ke dalam golongan fungus (=
jamur) yang berhubungan erat dengan Askomikotina.11
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
18
Referat PCP
B. Epidemiologi
Distribusinya luas di seluruh dunia, menginfeksi manusia dan hewan, dan dapat terjadi
pada semua golongan umur. PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh
yang menurun, seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang prematur dan
mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal 1980-an, PCP
jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita ALL
(Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien – pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini umumnya sering dihubungkan dengan dengan
infeksi HIV lanjut.11,12,13,15
C. Patogenesis
Pneumocystis jirovecii berada tersebar dimana–mana sehingga hampir semua orang telah
pernah terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak–kanak sebelum berusia 4 tahun.
Transmisi Pneumocystis jirovecii dari orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory
droplet infection”. Masa inkubasi ekstrinsik (= prepaten period) diperkirakan 20-30 hari
dengan durasi serangan selama 1–4 minggu.11
Masih ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi infeksi laten yang telah
pernah didapat penderita sebelumnya atau karena paparan berulang dan reinfeksi terhadap
jamur ini. Namun diduga mekanisme infeksinya karena aktifnya infeksi laten.14
Organisme ini merupakan patogen ekstraseluler. Paru merupakan tempat primer
infeksi, biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan. Organisme umumnya masuk
melalui inhalasi dan melekat pada sel alveolar. Di paru, pertumbuhannya terbatas pada
permukaan surfaktan di atas epitel alveolar. Pneumocystis jirovecii berkembang biak di paru
dan merangsang pembentukan eksudat yang eosinofilik dan berbuih yang mengisi ruang
alveolar, mengandung histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
19
Referat PCP
dalam paru sehingga menurunkan oksigenasi, interstisium menebal dan kemudian fibrosis.14
Pada hal ini mengakibatkan kematian karena kegagalan pernafasan akibat asfiksia yang
terjadi karena blokade alveoli dan bronkial oleh massa jamur yang berproliferasi tadi.
Hiperplasia jaringan interstisial dan terinfiltrasi berat dengan sel mononukleus dan sel plasma
juga tampak. Karena itulah penyakitnya disebut “Pneumonia sel plasma interstisial”.14
D. Faktor Resiko
Terdapat beberapa kelompok yang memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk
terinfeksi PCP, yaitu pasien dengan infeksi HIV dengan jumlah CD4 <200 sel/μL yang tidak
mendapat terapi profilaksis PCP, pasien dengan infeksi HIV yang menderita infeksi
oportunistik lain seperti kandidiasis oral, pasien dengan defisiensi imun primer seperti
hipogamaglobulin, pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang setelah transplantasi
organ, pasien dengan keganasan, dan pasien dengan malnutrisi berat.11,15
E. Manifestasi klinis
Pada umumnya gejala klinis Pnemocystic Pneumonia hampir sama dengan pneumonia
jenis lainnya. Pada stadium awal keluhan yang dikemukakan penderita hampir sama dengan
infeksi saluran nafas atas dan bawah, yaitu tanda infeksi akut (badan demam yang cenderung
semakin tinggi, letargi, nyeri otot, nafsu makan yang menurun) yang disertai dengan batuk non
produktif.11,12,15
Kemudian pada stadium selanjutnya keadaan pasien semakin parah, sehingga jelas
tampak sakit berat dengan panas yang tinggi (>39C), menggigil disertai oleh sesak napas serta
pernapasan cuping hidung. Penderita juga mengeluh tentang nyeri dada yang dirasakan pada
sisi yang sakit, sehingga penderita berbaring tidur pada sisi yang sehat. Batuk menjadi
semakin parah bahkan pada beberapa penderita akan mengalami batuk darah.11,12,15
Pada penderita anak – anak sehubungan dengan malnutrisi, onset penyakit berjalan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
20
Referat PCP
perlahan, dijumpai kegagalan tumbuh kembang (failure to thrive), yang akhirnya diikuti
takipnea dan sianosis. Sedang pada penderita yang imunosupresif (anak maupun dewasa),
onset penyakit berjalan cepat.11
Tabel 3: Manifestasi Klinis Pneumocystis carinii pneumonia
Manifestasi klinis pneumocystis carinii pneumonia
Ringan Sedang Berat
Gejala Batuk, berkeringat, sesak
nafas saat aktivitas
Sesak nafas saat aktivitas
minimal, demam,
berkeringat, batuk (non
produktif)
Sesak napas saat
istirahat, takipnea,
demam persisten
Analisa
Gas
Darah
PaO2 >70 mmHg,
AaDO2 <35 mmHg
PaO2 50-70 mmHg,
AaDO2 35-45 mmHg, atau
saturasi O2 <94%
PaO2 <50 mmHg,
AaDO2 >45 mmHg
Foto
Rontgen
Dada
Normal atau tanda
perihilar minor
Bayangan interstisial
bilateral difusa
Bilateral interstisial
ekstensif
(Sumber: Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. H. Adam Malik Medan)
F. Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis PCP secara pasti masih sulit dilakukan bila hanya melihat dari
gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi karena kurang khas. Dari gejala
klinis berupa demam, batuk, sesak nafas, dan nyeri dada. Kemudian pada pemeriksaan fisik
toraks yang sakit tampak tertinggal saat bernafas. Pada sisi yang sakit menunjukkan fremitus
suara yang meningkat. Pada perkusi, akan terdengar suara redup pada sisi yang sakit. Dan
pada auskultasi dapat normal atau terdengar ronkhi.11,12,15
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
21
Referat PCP
Hasil pemeriksaan rutin laboratorium juga tidak khas, leukosit dapat sedikit
meningkat, serum laktat dehidrogenase (LDH) dapat meningkat (>220 U/L) dimana hal
tersebut menunjukkan ada tanda inflamasi paru, bukan petunjuk khas untuk PCP. Analisis gas
darah dapat memperlihatkan hasil hipoksemia, hipokarbia, dan peningkatan alveolar-arterial
gradien oksigen (AaDO2). Hasil normal dapat ditemukan pada 20% pasien dengan gejala
sangat ringan, tetapi hal itu tidak boleh menyebabkan kelalaian untuk mengevaluasi pasien
dengan gejala klinis mirip PCP, meskipun tidak khas dan hitung sel CD4+ kurang dari
200sel/mm.16
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kista atau trofozoit Pneumocystis dalam
sediaan klinis pasien yang didapatkan dari induksi sputum dengan hypertonic saline, bilasan
bronkus (BAL) dan biopsi paru. Pewarnaan konvensional yang paling sering digunakan adalah
Gomori Methenamine Silver (GMS) untuk mendeteksi dinding kista, serta Giemsa dengan
modifikasi untuk mendeteksi semua stadium Pneumocystis. Sensitivititas pewarnaan tersebut
dalam mendeteksi Pneumocystis dari sediaan bilasan bronkus mencapai 70-92% bila
dikombinasikan dengan pemeriksaan sediaan biopsi transbronkial, sensitivitasnya mencapai
100%. Induksi sputum merupakan prosedur pemeriksaan yang lebih sederhana serta non-
invasif dibandingkan bilasan bronkus atau biopsi transbronkial, tetapi sensitivitasnya
menggunakan pewarnaan konvensional hanya 35-78%. Pengembangan teknik pewarnaan
imunositokimia dilaporkan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan induksi sputum higga
97%.16
Pemeriksaan PCR dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas deteksi Pneumocystis
jirovecii hingga 86-100% dari sediaan induksi sputum. Beberapa penelitian menggunakan
PCR telah berhasil mendeteksi Pneumocystis jirovecii pada individu yang sediaan
pewarnaannya negatif. Sebagian pasien tersebut memperlihatkan gejala klinis, sebagian lagi
tidak, sehingga memungkinkan dugaan kolonisasi asimpomatik.16
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
22
Referat PCP
Gambar 9: Pneumocystis dengan pewarnaan GMS
(Sumber: The New England Journal of Medicine)
Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah infiltrat interstisial
bilateral di daerah perihiler yang kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan
perjalanan penyakit. Gambaran röntgen normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT
scan dapat menunjukkan gambaran “ground glass” atau lesi kistik.11,12,14,15
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
23
Referat PCP
Gambar 8 : Gambaran radiologis pneumocystis carinii pneumonia
(Sumber: American Thoracic Society)
G. Penatalaksanaan
Obat pilihan utama adalah kombinasi Trimetoprim 20 mg/kg BB/hari +
Sulfametoksazol 100 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 4 dosis dengan interval pemberian
tiap 6 jam selama 12 – 14 hari. Obat alternatif lain (namun lebih toksik) adalah Pentamidin
isethionat, dosis 4 mg/kgBB/hari diberikan 1x / hari secara IM atau IV selama 12 – 14 hari.
Pentamidin isethionat biasanya diberikan pada pasien yang tidak respon ataupun tidak dapat
bertoleransi terhadap pemberian kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol.11,12,15
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
24
Referat PCP
Tabel 4: Terapi Pneumocystis Pneumonia
(Sumber: The New England Journal of Medicine)
H. Profilaksis
Obat profilaksis PCP diberikan pada CD4 < 200 sel/μL atau limfosit total kurang dari
14%, dengan kandidiasis orofaringeal atau demam yang tidak jelas sebabnya yang
berlangsung lebih dari 2 minggu. Regimen yang diberikan kotrimoksasol. Kotrimoksasol forte
diberikan per oral 2 kali sehari, seminggu 2 kali pemberian atau dapsone (100 mg PO per hari)
atau atovaquone (750 mg PO 2 kali per hari).11,15
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
25
Referat PCP
Tabel 5: Terapi profilaksis Pneumocystis Pneumonia
(Sumber: The New England Journal of Medicine)
I. Penghentian profilaksis
Profilaksis dihentikan pada pasien dalam kombinasi terapi ARV dengan supresi HIV
yang baik (< 400 kopi per milliliter) dan CD4 lebih dari 200 sel/μL atau limfosit total lebih
dari 14% yang telah berlangsung selama 3 bulan.12,15
J. Prognosa
Pada pasien dengan infeksi HIV, mortalitasnya sebesar 10 - 20% bergantung pada
tingkat keparahan penyakit. PCP masih merupakan penyebab terbesar pada pasien dengan
AIDS di Amerika Serikat. Pada pasien tanpa infeksi HIV, prognosis lebih buruk yaitu
mortalitas mencapai 30 – 50%.11,15
Prognosis PCP lebih buruk pada pasien dengan penyakit paru, pasien pneumotoraks, dan
pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik. Mortalitas yang lebih tinggi mungkin
disebabkan terlambatnya terapi yang dibutuhkan.11,15
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
26
Referat PCP
BAB III
KESIMPULAN
PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jirovecii.
Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi, misalnya : pada penderita
HIV / AIDS, ALL (Acute Lymphocytic Leucemia), maupun pada pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid. Transmisi orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection”
Diduga mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten. Gejala klinis PCP
meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-, dispnea – terutama saat beraktivitas-,
dan batuk non produktif. Semakin lama dispnea akan bertambah hebat, disertai takipnea, sam-
pai terjadi sianosis dan gagal nafas.16
Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jirovecii pada sediaan paru
atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi sputum, BAL ( Broncho
Alveolar Lavage) maupun biopsi paru. Pada pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat gam-
baran infiltrat bilateral simetris. Pada darah dijumpai kadar LDH yang meninggi, >220 U/L
atau PaO2 < 70 mmHg.16
Oleh karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan immunodefisiensi,
diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat untuk mengurangi persentase mortalitas
penyakit ini.16
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
27
Referat PCP
DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
2. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
3. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada
orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
4. Tjokronegoro, Arjatmo & Hendra. Penyakit Menular Seksual. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta.2003
5. USAID. Family Planning/HIV Integration: tehnical Guidance for USAIDSupported Field
Programs. U.S. Agency for International Development.Washington, D.C.2003
6. Utomo, Budi dan Irwanto. HIV Testing Polices And Program: technical,Programmatic,
Ethical, And Human Right Aspect. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXVI,
Nomor 3.1998
7. WHO. AIDS in South-East Asia: No Time for Complacency. World Health Organization
Regional Office for South-East Asia. New Delhi;1992
8. Riono, Pandu. Biologi, Respon Imunologi, Dan Manifestasi Klinik Penularan HIV/AIDS,
dalam STD/HIV/AIDS Detection and Monitoring Indonesia,Center for Health Research-UI,
AusAID and Indonesia AustraliaSpecialised Training Project Phase II;1999
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
28
Referat PCP
9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV.
2012. Hlm 39-40.
10. Depkes RI. Pusdiknakes Kerjasama dengan Ford Foundation. Jakarta;1997
11. Nicholas John Bennett, MBBCh, PhD. Penumocystis Carinii Pneumonia. Medscape.
12. Laurence Huang et al. HIV-Associated Pneumocystis Pneumonia. American Thoracic
Society 2011.
13. Reto Nuesch et al. Pneumocystis carinii Pneumonia in Human Deficiency Virus (HIV)-
Positive and HIV-Negative Immunocompromised Patients. Oxford Journals. 1999.
14. D A Gervais et al. Pneumocystis carinii Pnumonia. American Journal of Roentgenology.
1995.
15. Charles F. Thomas, Jr et al. Pneumocystis Pneumonia. The New England Journal of
Medicine. 2004.
16. Anna Rozaliyani et al. Pemeriksaan Real-time PCR dalam Diagnosis Pneumocystis
Pneumonia. Jurnal Respirologi.
17. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. H. Adam Malik Medan. Infeksi Oportunistik
pada penderita HIV.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015
29