Referat PCP Final

44
Referat PCP BAB I PENDAHULUAN AIDS atau Sindrom Penurunan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Infeksi HIV didapati pada setengah grup risiko tinggi: (1) pria yang homoseksual dan biseksual berjumlah lebih dari 60% kasus AIDS di Amerika Serikat. (2) penyalahgunaan obat intravena berjumlah sekitar 15% kasus. (3) perempuan heteroseksual yang berhubungan dengan pria biseksual dan penyalahguna obat intravena berjumlah kurang dari 10% di Amerika Serikat, tetapi proporsi kasus ini meningkat cepat (hampir 50% kasus baru di semua area). (4) pasien-pasien dengan transfusi produk darah (kebanyakan pada penderita hemofilia dan bayi) diperkirakan mencapai 2%. Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia secara umum memang masih rendah, tetapi Indonesia telah digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic), yaitu adanya prevalensi epidemik lebih dari 5% pada sub populasi tertentu misalnya penjaja seks dan penyalahguna NAPZA Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015 1

description

a

Transcript of Referat PCP Final

Page 1: Referat PCP Final

Referat PCP

BAB I

PENDAHULUAN

AIDS atau Sindrom Penurunan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit

yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Infeksi

HIV didapati pada setengah grup risiko tinggi: (1) pria yang homoseksual dan biseksual

berjumlah lebih dari 60% kasus AIDS di Amerika Serikat. (2) penyalahgunaan obat intravena

berjumlah sekitar 15% kasus. (3) perempuan heteroseksual yang berhubungan dengan pria

biseksual dan penyalahguna obat intravena berjumlah kurang dari 10% di Amerika Serikat,

tetapi proporsi kasus ini meningkat cepat (hampir 50% kasus baru di semua area). (4) pasien-

pasien dengan transfusi produk darah (kebanyakan pada penderita hemofilia dan bayi)

diperkirakan mencapai 2%.

Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia secara umum memang masih rendah, tetapi Indonesia telah

digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level

epidemic), yaitu adanya prevalensi epidemik lebih dari 5% pada sub populasi tertentu misalnya

penjaja seks dan penyalahguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya).

Surveilans pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator untuk

menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat umum. Tingginya tingkat keseriusan dan

kematian penderita HIV&AIDS disebabkan berbagai faktor. Salah satu faktor adalah

penatalaksanaan pada penderita yang masih kurang tepat, termasuk terlambatnya diagnostik

infeksi oportunistik. Padahal infeksi oportunistik inilah yang sering mengantarkan ke arah

kematian penderita AIDS.

Tidak seperti di negara-negara lain yang sudah maju, para pengidap HIV di Indonesia

cenderung mudah jatuh ke stadium AIDS oleh karena mengalami infeksi oportunistik. Hal ini

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

1

Page 2: Referat PCP Final

Referat PCP

dimungkinkan karena pengidap HIV di Indonesia umumnya tinggal dan hidup berdampingan

dengan angka kejadian infeksi lain yang masih tinggi. Berbagai infeksi oportunistik yang sering

terjadi pada penderita HIV & AIDS di Indonesia adalah toksoplasmosis, sepsis, pneumonia,

pneumocystis carinii, tuberkulosis paru, hepatitis B, hepatitis C, infeksi virus sitomegalo, diare

kronis, kandidiasis oroesofageal, dan berbagai manifestasi infeksi pada kulit.

Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh yang dapat

timbul akibat mikroba (bakteri, virus, jamur) yang berasal dari tubuh maupun yang sudah ada

dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal dapat terkendali oleh kekebalan tubuh.

Infeksi oportunistik bergantung berdasarkan tingkat imunosupresi yang biasanya muncul pada

penderita dengan CD4 <200/mm3 atau total lymphocyte count <1200/mm3 dan pada prevalensi

endemik dari agen penyebab. Pola infeksi oportunistik di berbagai negara dapat berbeda. Di

Amerika serikat infeksi oportunistik yang sering dijumpai adalah PCP (Pneumocystic carinii

Pneumonia) namun di Indonesia infeksi oportunistik yang sering dijumpai adalah infeksi jamur

saluran cerna dan tuberkulosis paru.

Pneumocystis jiroveci yang sebelumnya dikenal sebagai Pneumocystis carinii merupakan

penyebab utama kesakitan dan kematian pada pasien dengan gangguan sistem imun diantaranya

pasien terinfeksi HIV, penyakit keganasan, penerima transplantasi organ. Infeksi Pneumocytis

carinii pneumonia ini merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada penderita HIV

dengan angka kematian di Amerika Serikat sekitar 60% pada tahun 80-an.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

2

Page 3: Referat PCP Final

Referat PCP

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Dan Fisiologi Paru

Saluran  nafas pada manusia dibagi menjadi dua, yaitu saluran nafas atas dan saluran

nafas bawah. Organ pada saluran nafas atas terletak di luar rongga toraks, yaitu hidung, faring,

dan laring. Sedangkan saluran nafas bawah berada di dalam rongga toraks yang terdiri dari

trakeobronkial dan alveoli. Trakea bercabang menjadi dua cabang utama bronkus, yang

kemudian akan bercabang lagi menjadi bronkus lobaris. Bronkus lobaris bercabang lagi menjadi

bronkus segmentalis, kemudian menjadi bronkiolus sampai akhirnya menjadi alveolus.

Gambar 1 : Saluran nafas atas dan bawah

(sumber: http://www.rci.rutgers.edu/)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

3

Page 4: Referat PCP Final

Referat PCP

Paru-paru adalah organ berbentuk kerucut yang berada di dalam rongga toraks. Setiap

paru terdiri dari ribuan alveoli dan kapiler. Ukuran paru kanan lebih besar dibandingkan dengan

paru kiri. Paru kanan dibagi menjadi tiga lobus, yaitu superior, media, dan inferior. Sedangkan

paru kiri dibagi menjadi dua lobus yaitu superior dan inferior. Antara paru kanan dengan paru

kiri dipisahkan oleh jantung dan pembuluh darah besar serta struktur lain dalam  mediastinum.

Masing-masing paru ini akan dilapisi oleh pleura visceralis dan terdapat bebas di dalam cavitas

pleuralisnya masing-masing.

Gambar 2 : Anatomi paru

(sumber: http://lungpictures.org//)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

4

Page 5: Referat PCP Final

Referat PCP

Salah satu fungsi dari paru ialah respirasi. Respirasi adalah pertukaran gas antara

organisme hidup dengan lingkungannya. Pertukaran gas pada manusia sangat bergantung pada

sistem kardiopulmoner sirkulatori, tempat O2 disuplai ke seluruh tubuh dan CO2 dielminasi

dari tubuh. Mekanisme respirasi terdiri atas dua fase, yaitu fase inspirasi dan fase ekspirasi yang

diakibatkan oleh penambahan dan pengurangan kapasitas cavita thoracis secara bergantian.

Frekuensi respirasi bervariasi, antara 16 – 20 kali per menit pada orang normal yang sedang

istirahat dan lebih cepat pada anak-anak maupun lebih lambat pada orang tua.

Inspirasi terjadi ketika rongga toraks bertambah besar. Saat dinding toraks membesar,

pleura parietal yang melekat di dinding toraks akan bergerak bersama dan kubah diafragma

yang menurun akan membentuk suatu tekanan yang lebih negatif di dalam rongga pleura.

Penurunan tekanan ini akan menyebabkan paru mengembang dan mengisap udara melalui

trakea hingga mencapai alveoli. Otot yang berperan adalah otot diafragma dan otot interkostal

eksterna. Rangsangan pada nervus phrenicus menyebabkan otot diafragma berkontraksi.

Ekspirasi biasanya terjadi secara pasif ketika otot-otot inspirasi berelaksasi sehingga

rongga toraks kembali mengecil. Elastisitas dari jaringan paru mempunyai daya rekoil dan

mengecilkan alveolus sehingga udara mengalir keluar dari paru. Pada saat berbicara, menyanyi,

atau melakukan ativitas yang berat diperlukan ekspirasi yang kuat. Selama ekspirasi kuat ini,

otot-otot ekspirasi berkontraksi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

5

Page 6: Referat PCP Final

Referat PCP

Gambar 3 : Mekanisme Respirasi

(sumber: Mechanics of Breathing and Gas Transfer in Humans)

2.2 HIV/ AIDS

A. DEFINISI

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan materi genetik

asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik untuk mentransfer

informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse

transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. 1

HIV menyerang sistem imun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki

reseptor CD4 dipermukaannya. Limfosit T helper antara lain berfungsi menghasilkan zat kimia

yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem

imun dan pembentukan antibodi sehingga yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T tetapi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

6

Page 7: Referat PCP Final

Referat PCP

juga limfosit B, monosit, makrofag dan sebagainya dan merusak sistem imunitas. Selanjutnya

bisa memudahkan infeksi oportunistik di dalam tubuh. Kondisi inilah yang kita sebut AIDS11

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala

atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV

(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap

akhir dari infeksi HIV.

Definisi AIDS menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) lebih

melihat pada gejala yang ditimbulkan pada tahapan perubahan penderita HIV/AIDS, yaitu pada

orang dewasa atau remaja umur 13 tahun atau lebih adalah terdapatnya satu dari beberapa

keadaan yang menunjukkan imunosupresi berat yang berhubungan dengan infeksi HIV, seperti

Pneumocystis Carnii Pneumonia (PCP), suatu infeksi paru yang sangat jarang terjadi pada

penderita yang tidak terinfeksi HIV mencakup infeksi oportunistik yang jarang menimbulkan

bahaya pada orang yang sehat. Selain infeksi dan kanker dalam penetapan CDC 1993, juga

termasuk: ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan

CD4<200/ml.13

B. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah

variasi antar wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor.yang

berpengaruh. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi.

Klasifikasi untuk epidemi HIV/AIDS terdiri dari6 :

Rendah: Prevalensi HIV dalam suatu sub-populasi berisiko tertentu belum

melebihi 5%.

Terkonsentrasi: Prevalensi HIV secara konsisten lebih dari 5% di subpopulasi

tertentu dan prevalensi HIV di bawah 1% di populasi umum

atau ibu hamil.

Meluas: Prevalensi HIV lebih dari 1% di populasi umum atau ibu hamil

Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

7

Page 8: Referat PCP Final

Referat PCP

orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja seks komersial dan penyalah-

guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan

Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi

terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi

meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang

dengan HIV positif.3

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan sebanyak 278 rumah sakit

rujukan Odha (Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

780/MENKES/SK/IV/2011 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang

dengan HIV (lihat Lampiran 1)) yang tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia.3

Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan

September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33

provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi

pada kelompok usia 20-29 tahun.3

C. ETIOLOGI

HIV merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili Lentivirus

dari famili retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi 2 tipe HIV yang menyebar luas ke

seluruh dunia dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa.2

D. PATOGENESIS

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki reseptor

membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus, yakni gp120 akan

berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai fusi

membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk

ke bagian tengah sitoplasma CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik

(reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda

virus.1

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

8

Page 9: Referat PCP Final

Referat PCP

cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA

dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus

dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein

struktural dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan

bergabung dengan protein inti.1

Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmen- segmen

kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh sebagian membran

sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-

sel rentan seperti sel CD4+ lainnya, monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel

epitel, sel dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia,

dan berbagai jaringan tubuh.1

Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun, terutama

melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk

menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan

aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi

sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK).

Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada

sel-sel imun lainnya.1

Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600 sampai 1200/ μl

darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal

untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal.

Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan

perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300

sel/μl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/μl mengalami imunosupresi yang berat dan

risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik.1

E. PATOFISIOLOGI

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

9

Page 10: Referat PCP Final

Referat PCP

Dalam tuguh ODHA,partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu

kali terinfeksi HIV,seumur hidup ia akan tetap terinfeksi HIV,sebagian berkembang masuk

tahap AIDS pada 3 tahun pertama,50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun,

dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,dan

kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang

kronis,sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubug yang juga bertahap.1

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.Sebagian

memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala

yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakakan kelenjar getah bening, ruam,

diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,dimulaialh infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).Masa

tanpa gejala ini umumnya berlangsung 8-10 tahun. Namun pada sebagian orang dalam jangka

waktu 2 tahun saja sudah dapat menunjukkan gejala dan ada juga yang perjalanan penyakitnya

lambat.1

Seiring dengan memburuknya kekebalan tubuh,odha mulai menampakkan gejala-gejala

akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,demam lama,rasa lemah,pembesaran

kelenjar getah bening,diare,tuberkulosis,infeksi jamur,herpes,dll.1

Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh aadalah kerusakan mikro

arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid,yang

dapat dilihat dengan pemeriksaaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi

kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.1

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat,klinis tidak menunjukkan

gejala,pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi,10 partikel setiap hari. Replikasi yang

cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,muncul HIV yang resisten.Bersamaan dengan

replikasi HIV,terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,untungnya tubuh masih

mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.1

Perjalanan penyakit pada pengguna narkotika berjalan lebuh progresif. Dimana 80%

pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

10

Page 11: Referat PCP Final

Referat PCP

yang sering ditemui pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak dijumpai pada odha

dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik juga berbanding lurus dengan infeksi

pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin

mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi yang terjadi secara bersamaan ini akan

menyebabkan virus HIV akan membelah dengan cepat sehingga jumlahnya akan meningkat

pesat.Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T,akibat perjalanan

penyakit yang progresif.

Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini tercermin

dari hasil penelitan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik yang

berasal dari penggunaan narkotika dengan kadar CD4 lebih dari 200sel/mm3.. Ternyata 56.14%

mempunyai jumlah virus dalam darah yang melebih 55.000 kopi/ml,artinya penyakit infeksi

HIVnya progresif,walaupun kadar CD4 realtif masih cukup baik.1

F. PENULARAN

Model penularan HIV melalui hubungan seksual, darah dan produk darah yang terinfeksi

HIV, dan transmisi dari ibu ke anak.3

• Hubungan Seksual

HIV dapat menyebar baik melalui hubungan sesama jenis (homoseksual) atau

berbeda jenis (heteroseksual) ketika pasangannya telahterinfeksi HIV. Perempuan lebih besar

berisiko untuk terinfeksi dari pasangannya karena transmisi dari laki-laki ke perempuan lebih

efisien daripada perempuan ke laki-laki. Selama melakukan hubungan seks kerusakan lapisan

organ seksual bisa menularkan HIV dari pasangan yang terinfeksi ke orang yang tidak terinfeksi

dengan pertukaran cairan tubuh. Selain melakukan hubungan seksual dengan vaginal yang

berisiko, ada perilaku seksual berisiko lainnya untuk tertular HIV, misalnya hubungan seks

dengan anal.

• Darah dan produk darah yang terinfeksi HIV

Penularan HIV melalui darah dan produk darah yang terinfeksi HIV dapat melalui

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

11

Page 12: Referat PCP Final

Referat PCP

transfusi darah dan pemakaian jarum suntik yang tidak steril secara bergantian.

o Transfusi darah

Darah donor yang tidak ditapis berisiko mengandung HIV. Ketika tes

darah untuk skrining HIV tidak dapat dilakukan, orang dengan sickle cell,

haemophilia dan lainnya membutuhkan transfusi darah yang berulang terinfeksi

HIV melalui darah yang terkontaminasi virus.

o Pemakaian alat suntik/ jarum suntik yang tidak steril

Biasanya pengguna napza suntik menggunakan alat suntik bergantian

dengan teman pengguna napza yang lain. Pertukaran darah yang terinfeksi HIV

lewat jarum suntik adalah metode tranmisi HIV antara pengguna napza suntik.

• Transmisi dari ibu ke anak

Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi selama kehamilan, ketika lahir, dan masa

menyusui. Sebagian besar penularan terjadi pada saat melahirkan per vaginam. Peluang

penyebaran HIV dengan cara ini sekitar 30%.

Populasi berisiko tinggi untuk penularan HIV terdiri dari:

- Penjaja seks dan pelanggannya

- Penasun (pengguna napza suntik)

- Laki-laki suka laki-laki

- Narapidana

Populasi berisiko juga bisa sebagai jembatan penularan kepada kelompok yang lain

(pasangan kelompok berisiko). Sebagai contoh, pelanggan dari penjaja seks yang terinfeksi HIV

mungkin akan terinfeksi HIV. Kemudian dia melakukan hubungan seks dengan istrinya secara

tidak aman, dan kemudian menginfeksi istrinya. Dalam kasus ini dia bertindak sebagai

jembatan, infeksi HIV yang diperoleh dari penjaja seks ke pasangannya.3

Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara,

minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

12

Page 13: Referat PCP Final

Referat PCP

tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan.3

G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS.Diagnosis

laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:

1. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan

mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah

Polymerase Chain Reaction (PCR)4

2. Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan ELISA ,

immunoflurescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA)4

Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV.

Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi terhadap antibodi

dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik,

yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini dapat

memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan

seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk

mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi.1

Tiap negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia, skrining dan

surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan Western Blot telah digunakan di

waktu yang lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik,ELISA 1, dan ELISA 2 untuk

skrining dan surveilans.7

Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada pemeriksaan didasarkan pada sensitivitas dan

spesifisitas tiap jenis reagensia. Untuk diagnosis klien yang asimtomatik harus menggunakan

strategi III dengan persyaratan reagensia sebagai berikut7 :

1) Sensitivitas reagen pertama > 99%

2) Spesifisitas reagen kedua > 98%

3) Spesifisitas reagen ketiga > 99%

4) Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak sama.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

13

Page 14: Referat PCP Final

Referat PCP

Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai prinsip

pemeriksaan (misalnya EIA, dot blot, imunokromatografi atau aglutinasi) atau jenis

antigen (misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau peptida sintetik) yang berbeda

daripada reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama.

5) Prosentase hasil kombinasi dua reagensia pertama yang tidak sama (discordant) kurang

dari 5%.

6) Pemilihan jenis reagensia (EIA atau Simple/Rapid) harus didasarkan pada:

a. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil

b. Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan

c. Sarana dan prasarana yang tersedia

Tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%, spesifisitas reagen

>98% .3

Gambar 4 : Metode Diagnosis HIV

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

14

Page 15: Referat PCP Final

Referat PCP

Tabel 1 : Interpretasi Hasil Pemeriksaan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

15

Page 16: Referat PCP Final

Referat PCP

WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan prognosis),

berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut12 :

Penentuan derajat klinis untuk infeksi HIV pada dewasa menurut WHO10

Tabel 2 : Derajat Klinis HIV

Tahap 1 :

Asimptomatik

Limfadenopati menyeluruh

Tahap 2:

Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya

Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral,

infeksi jamur di kuku)

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Angular cheilitis

Seboroik dermatitis

Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis

bakterial)

Papular pruritik eruption

Tahap 3:

Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya

Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan

Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan (>37,6OC)

Candidiasis oral

Oral hairy leukoplakia

TB paru

Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

16

Page 17: Referat PCP Final

Referat PCP

Stomatitis, gingngivitis, periodontitis

Anemia (Hb <8)

Neutropenia ( netrofil <500)

Trombositopenia (<50.000)

Tahap 4:

HIV wasting syndrome (penurunan berat badan > 10%,

diare>1 bulan atau lemah lesu dan demam > 1 bulan)

Pneumonisitis carina pneumonia

Toxoplasmosis otak

Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan

Kriptokokosis, ekstra paru

TB ekstra paru

Penyakit disebabkan oleh CMV

Kandidiasis esofagus sampai paru

Mikobakteriosis atipikal

Lymphoma

Kaposi sarcoma

HIV encephalopati

Virus herpes lebih dari 1 bulan

Leukoensefalopati multifokal yang progresif

Infeksi jamur endemik yang menyebar

Meningitis

Ensefalopati HIV

Infeksi non tuberkulosis bakteri

(sumber: buku ajar ilmu penyakit dalam fkui)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

17

Page 18: Referat PCP Final

Referat PCP

2.3 Pneumocystis Pneumonia (PCP)

A. Definisi dan Etiologi

Pneumocystic pneumonia (PCP) adalah suatu penyakit peradangan paru yang

disebabkan oleh protozoa Pneumocystis jirovecii yang menginfeksi manusia, dan

Pneumocystis carinii yang menginfeksi tikus. PCP dapat menyebabkan kesakitan dan

kematian pada pasien dengan gangguan sistem imun diantaranya pada pasien yang terinfeksi

HIV, penyakit keganasan, maupun penerima transplantasi organ.11,12

Organisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas (1909). Tahun1915 Carini dan

Maciel menemukan organisme ini pada paru guinea pig yang awalnya diduga sebagai salah

satu tahap siklus hidup Trypanosoma cruzi. Tahun 1942 Meer dan Brug mengemukakan

bahwa organisme ini bersifat patogen bila berada dalam tubuh manusia. Tahun 1952 Vanek

bersama dengan Otto Jirovec menggambarkan  tentang siklus paru dan patologi dari penyakit

yang kemudian dikenal sebagai  “pneumonia sel plasma interstitial” atau “pneumonia

parasitik”.11,14

Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jirovecii. Pada

awalnya sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jirovecii dalam golongan

protozoa, apalagi sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam subklas Coccidiomorpha ,

kelas sporozoa dari protozoa. Penggolongan ke dalam protozoa ini dikarenakan karakteristik

strukturnya yang menyerupai Toksoplasma gondii dan sensitif terhadap preparat obat anti

parasit, antara lain pentamidin isethionat, pirimetamin, sulfadiazine, trimetoprim +

sulfametoksazol.11

Namun studi terbaru berdasarkan penelitian biologi molekuler asam nukleat RNA

ribosom dan biokimianya, Pneumocystis jirovecii dimasukkan ke dalam golongan fungus (=

jamur) yang berhubungan erat dengan Askomikotina.11

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

18

Page 19: Referat PCP Final

Referat PCP

B. Epidemiologi

Distribusinya luas di seluruh dunia, menginfeksi manusia dan hewan, dan dapat terjadi

pada semua golongan umur. PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh

yang menurun, seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang prematur dan

mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal 1980-an, PCP

jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita ALL

(Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien – pasien yang mendapat terapi

kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini umumnya sering dihubungkan dengan dengan

infeksi HIV lanjut.11,12,13,15

C. Patogenesis

Pneumocystis jirovecii berada tersebar dimana–mana sehingga hampir semua orang telah

pernah terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak–kanak sebelum berusia 4 tahun.

Transmisi Pneumocystis jirovecii dari orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory

droplet infection”. Masa inkubasi ekstrinsik (= prepaten period) diperkirakan 20-30 hari

dengan durasi serangan selama 1–4 minggu.11

Masih ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi infeksi laten yang telah

pernah didapat penderita sebelumnya atau karena paparan berulang dan reinfeksi terhadap

jamur ini. Namun diduga mekanisme infeksinya karena aktifnya infeksi laten.14

Organisme ini merupakan patogen ekstraseluler. Paru merupakan tempat primer

infeksi, biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan. Organisme umumnya masuk

melalui inhalasi dan melekat pada sel alveolar. Di paru, pertumbuhannya terbatas pada

permukaan surfaktan di atas epitel alveolar. Pneumocystis jirovecii berkembang biak di paru

dan merangsang pembentukan eksudat yang eosinofilik dan berbuih yang mengisi ruang

alveolar, mengandung histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

19

Page 20: Referat PCP Final

Referat PCP

dalam paru sehingga menurunkan oksigenasi, interstisium menebal dan kemudian fibrosis.14

Pada hal ini mengakibatkan kematian karena kegagalan pernafasan akibat asfiksia yang

terjadi karena blokade alveoli dan bronkial oleh massa jamur yang berproliferasi tadi.

Hiperplasia jaringan interstisial dan terinfiltrasi berat dengan sel mononukleus dan sel plasma

juga tampak. Karena itulah penyakitnya disebut “Pneumonia sel plasma interstisial”.14

D. Faktor Resiko

Terdapat beberapa kelompok yang memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk

terinfeksi PCP, yaitu pasien dengan infeksi HIV dengan jumlah CD4 <200 sel/μL yang tidak

mendapat terapi profilaksis PCP, pasien dengan infeksi HIV yang menderita infeksi

oportunistik lain seperti kandidiasis oral, pasien dengan defisiensi imun primer seperti

hipogamaglobulin, pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang setelah transplantasi

organ, pasien dengan keganasan, dan pasien dengan malnutrisi berat.11,15

E. Manifestasi klinis

Pada umumnya gejala klinis Pnemocystic Pneumonia hampir sama dengan pneumonia

jenis lainnya. Pada stadium awal keluhan yang dikemukakan penderita hampir sama dengan

infeksi saluran nafas atas dan bawah, yaitu tanda infeksi akut (badan demam yang cenderung

semakin tinggi, letargi, nyeri otot, nafsu makan yang menurun) yang disertai dengan batuk non

produktif.11,12,15

Kemudian pada stadium selanjutnya keadaan pasien semakin parah, sehingga jelas

tampak sakit berat dengan panas yang tinggi (>39C), menggigil disertai oleh sesak napas serta

pernapasan cuping hidung. Penderita juga mengeluh tentang nyeri dada yang dirasakan pada

sisi yang sakit, sehingga penderita berbaring tidur pada sisi yang sehat. Batuk menjadi

semakin parah bahkan pada beberapa penderita akan mengalami batuk darah.11,12,15

Pada penderita anak – anak sehubungan dengan malnutrisi, onset penyakit berjalan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

20

Page 21: Referat PCP Final

Referat PCP

perlahan, dijumpai kegagalan tumbuh kembang (failure to thrive), yang akhirnya diikuti

takipnea dan sianosis. Sedang pada penderita yang imunosupresif (anak maupun dewasa),

onset penyakit berjalan cepat.11

Tabel 3: Manifestasi Klinis Pneumocystis carinii pneumonia

Manifestasi klinis pneumocystis carinii pneumonia

Ringan Sedang Berat

Gejala Batuk, berkeringat, sesak

nafas saat aktivitas

Sesak nafas saat aktivitas

minimal, demam,

berkeringat, batuk (non

produktif)

Sesak napas saat

istirahat, takipnea,

demam persisten

Analisa

Gas

Darah

PaO2 >70 mmHg,

AaDO2 <35 mmHg

PaO2 50-70 mmHg,

AaDO2 35-45 mmHg, atau

saturasi O2 <94%

PaO2 <50 mmHg,

AaDO2 >45 mmHg

Foto

Rontgen

Dada

Normal atau tanda

perihilar minor

Bayangan interstisial

bilateral difusa

Bilateral interstisial

ekstensif

(Sumber: Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. H. Adam Malik Medan)

F. Penegakkan Diagnosis

Penegakkan diagnosis PCP secara pasti masih sulit dilakukan bila hanya melihat dari

gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi karena kurang khas. Dari gejala

klinis berupa demam, batuk, sesak nafas, dan nyeri dada. Kemudian pada pemeriksaan fisik

toraks yang sakit tampak tertinggal saat bernafas. Pada sisi yang sakit menunjukkan fremitus

suara yang meningkat. Pada perkusi, akan terdengar suara redup pada sisi yang sakit. Dan

pada auskultasi dapat normal atau terdengar ronkhi.11,12,15

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

21

Page 22: Referat PCP Final

Referat PCP

Hasil pemeriksaan rutin laboratorium juga tidak khas, leukosit dapat sedikit

meningkat, serum laktat dehidrogenase (LDH) dapat meningkat (>220 U/L) dimana hal

tersebut menunjukkan ada tanda inflamasi paru, bukan petunjuk khas untuk PCP. Analisis gas

darah dapat memperlihatkan hasil hipoksemia, hipokarbia, dan peningkatan alveolar-arterial

gradien oksigen (AaDO2). Hasil normal dapat ditemukan pada 20% pasien dengan gejala

sangat ringan, tetapi hal itu tidak boleh menyebabkan kelalaian untuk mengevaluasi pasien

dengan gejala klinis mirip PCP, meskipun tidak khas dan hitung sel CD4+ kurang dari

200sel/mm.16

Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kista atau trofozoit Pneumocystis dalam

sediaan klinis pasien yang didapatkan dari induksi sputum dengan hypertonic saline, bilasan

bronkus (BAL) dan biopsi paru. Pewarnaan konvensional yang paling sering digunakan adalah

Gomori Methenamine Silver (GMS) untuk mendeteksi dinding kista, serta Giemsa dengan

modifikasi untuk mendeteksi semua stadium Pneumocystis. Sensitivititas pewarnaan tersebut

dalam mendeteksi Pneumocystis dari sediaan bilasan bronkus mencapai 70-92% bila

dikombinasikan dengan pemeriksaan sediaan biopsi transbronkial, sensitivitasnya mencapai

100%. Induksi sputum merupakan prosedur pemeriksaan yang lebih sederhana serta non-

invasif dibandingkan bilasan bronkus atau biopsi transbronkial, tetapi sensitivitasnya

menggunakan pewarnaan konvensional hanya 35-78%. Pengembangan teknik pewarnaan

imunositokimia dilaporkan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan induksi sputum higga

97%.16

Pemeriksaan PCR dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas deteksi Pneumocystis

jirovecii hingga 86-100% dari sediaan induksi sputum. Beberapa penelitian menggunakan

PCR telah berhasil mendeteksi Pneumocystis jirovecii pada individu yang sediaan

pewarnaannya negatif. Sebagian pasien tersebut memperlihatkan gejala klinis, sebagian lagi

tidak, sehingga memungkinkan dugaan kolonisasi asimpomatik.16

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

22

Page 23: Referat PCP Final

Referat PCP

Gambar 9: Pneumocystis dengan pewarnaan GMS

(Sumber: The New England Journal of Medicine)

Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah infiltrat interstisial

bilateral di daerah perihiler yang kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan

perjalanan penyakit. Gambaran röntgen normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT

scan dapat menunjukkan gambaran “ground glass” atau lesi kistik.11,12,14,15

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

23

Page 24: Referat PCP Final

Referat PCP

Gambar 8 : Gambaran radiologis pneumocystis carinii pneumonia

(Sumber: American Thoracic Society)

G. Penatalaksanaan

Obat pilihan utama adalah kombinasi Trimetoprim 20 mg/kg BB/hari +

Sulfametoksazol 100 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 4 dosis dengan interval pemberian

tiap 6 jam selama 12 – 14 hari. Obat alternatif lain (namun lebih toksik) adalah Pentamidin

isethionat, dosis 4 mg/kgBB/hari diberikan 1x / hari secara IM atau IV selama 12 – 14 hari.

Pentamidin isethionat biasanya diberikan pada pasien yang tidak respon ataupun tidak dapat

bertoleransi terhadap pemberian kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol.11,12,15

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

24

Page 25: Referat PCP Final

Referat PCP

Tabel 4: Terapi Pneumocystis Pneumonia

(Sumber: The New England Journal of Medicine)

H. Profilaksis

Obat profilaksis PCP diberikan pada CD4 < 200 sel/μL atau limfosit total kurang dari

14%, dengan kandidiasis orofaringeal atau demam yang tidak jelas sebabnya yang

berlangsung lebih dari 2 minggu. Regimen yang diberikan kotrimoksasol. Kotrimoksasol forte

diberikan per oral 2 kali sehari, seminggu 2 kali pemberian atau dapsone (100 mg PO per hari)

atau atovaquone (750 mg PO 2 kali per hari).11,15

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

25

Page 26: Referat PCP Final

Referat PCP

Tabel 5: Terapi profilaksis Pneumocystis Pneumonia

(Sumber: The New England Journal of Medicine)

I. Penghentian profilaksis

Profilaksis dihentikan pada pasien dalam kombinasi terapi ARV dengan supresi HIV

yang baik (< 400 kopi per milliliter) dan CD4 lebih dari 200 sel/μL atau limfosit total lebih

dari 14% yang telah berlangsung selama 3 bulan.12,15

J. Prognosa

Pada pasien dengan infeksi HIV, mortalitasnya sebesar 10 - 20% bergantung pada

tingkat keparahan penyakit. PCP masih merupakan penyebab terbesar pada pasien dengan

AIDS di Amerika Serikat. Pada pasien tanpa infeksi HIV, prognosis lebih buruk yaitu

mortalitas mencapai 30 – 50%.11,15

Prognosis PCP lebih buruk pada pasien dengan penyakit paru, pasien pneumotoraks, dan

pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik. Mortalitas yang lebih tinggi mungkin

disebabkan terlambatnya terapi yang dibutuhkan.11,15

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

26

Page 27: Referat PCP Final

Referat PCP

BAB III

KESIMPULAN

PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jirovecii.

Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi, misalnya : pada penderita

HIV / AIDS, ALL (Acute Lymphocytic Leucemia), maupun pada pasien yang mendapat terapi

kortikosteroid. Transmisi orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection”

Diduga mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten. Gejala klinis PCP

meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-, dispnea – terutama saat beraktivitas-,

dan batuk non produktif. Semakin lama dispnea akan bertambah hebat, disertai takipnea, sam-

pai terjadi sianosis dan gagal nafas.16

Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jirovecii pada sediaan paru

atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi sputum, BAL ( Broncho

Alveolar Lavage) maupun biopsi paru. Pada pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat gam-

baran infiltrat bilateral simetris. Pada darah dijumpai kadar LDH yang meninggi, >220 U/L

atau PaO2 < 70 mmHg.16

Oleh karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan immunodefisiensi,

diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat untuk mengurangi persentase mortalitas

penyakit ini.16

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

27

Page 28: Referat PCP Final

Referat PCP

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

3. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada

orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

4. Tjokronegoro, Arjatmo & Hendra. Penyakit Menular Seksual. Balai Penerbit FK UI.

Jakarta.2003

5. USAID. Family Planning/HIV Integration: tehnical Guidance for USAIDSupported Field

Programs. U.S. Agency for International Development.Washington, D.C.2003

6. Utomo, Budi dan Irwanto. HIV Testing Polices And Program: technical,Programmatic,

Ethical, And Human Right Aspect. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXVI,

Nomor 3.1998

7. WHO. AIDS in South-East Asia: No Time for Complacency. World Health Organization

Regional Office for South-East Asia. New Delhi;1992

8. Riono, Pandu. Biologi, Respon Imunologi, Dan Manifestasi Klinik Penularan HIV/AIDS,

dalam STD/HIV/AIDS Detection and Monitoring Indonesia,Center for Health Research-UI,

AusAID and Indonesia AustraliaSpecialised Training Project Phase II;1999

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

28

Page 29: Referat PCP Final

Referat PCP

9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV.

2012. Hlm 39-40.

10. Depkes RI. Pusdiknakes Kerjasama dengan Ford Foundation. Jakarta;1997

11. Nicholas John Bennett, MBBCh, PhD. Penumocystis Carinii Pneumonia. Medscape.

12. Laurence Huang et al. HIV-Associated Pneumocystis Pneumonia. American Thoracic

Society 2011.

13. Reto Nuesch et al. Pneumocystis carinii Pneumonia in Human Deficiency Virus (HIV)-

Positive and HIV-Negative Immunocompromised Patients. Oxford Journals. 1999.

14. D A Gervais et al. Pneumocystis carinii Pnumonia. American Journal of Roentgenology.

1995.

15. Charles F. Thomas, Jr et al. Pneumocystis Pneumonia. The New England Journal of

Medicine. 2004.

16. Anna Rozaliyani et al. Pemeriksaan Real-time PCR dalam Diagnosis Pneumocystis

Pneumonia. Jurnal Respirologi.

17. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. H. Adam Malik Medan. Infeksi Oportunistik

pada penderita HIV.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara RSPI Sulianti Saroso Periode 22 Juni – 29 Agustus 2015

29