Referat Obgyn Santi

33
BAB I Pendahuluan Kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang ditemukan selama kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Hipertiroid adalah kelainan yang terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid yang berlebihan dari kebutuhan tubuh. (Williams Obstetrics 23rd . 2010) Wanita hamil dengan eutiroid memunculkan beberapa tanda tidak spesifik yang mirip dengan disfungsi tiroid sehingga diagnosis klinis sulit ditegakkan. Sebagai contoh, wanita hamil dengan eutiroid dapat menunjukkan keadaan hiperdinamik seperti peningkatan curah jantung, takikardi ringan, dan tekanan nadi yang melebar, suatu tanda-tanda yang dapat dihubungkan dengan keadaan hipertiroid. (Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010) Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan hipotiroidisme pada wanita hamil. Kelainan endokrin ini sering terjadi pada wanita muda dan dapat mempersulit kehamilan. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodosa toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa toksik ditemukan pada usia 1

description

obsgyn

Transcript of Referat Obgyn Santi

BAB I

Pendahuluan

Kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang ditemukan selama

kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan,

menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Hipertiroid adalah kelainan yang

terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid yang berlebihan dari kebutuhan tubuh.

(Williams Obstetrics 23rd . 2010)

Wanita hamil dengan eutiroid memunculkan beberapa tanda tidak spesifik yang mirip

dengan disfungsi tiroid sehingga diagnosis klinis sulit ditegakkan. Sebagai contoh, wanita hamil

dengan eutiroid dapat menunjukkan keadaan hiperdinamik seperti peningkatan curah jantung,

takikardi ringan, dan tekanan nadi yang melebar, suatu tanda-tanda yang dapat dihubungkan

dengan keadaan hipertiroid. (Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan hipotiroidisme

pada wanita hamil. Kelainan endokrin ini sering terjadi pada wanita muda dan dapat mempersulit

kehamilan. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodosa

toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada umumnya

ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma

nodosa toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena

penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hamper selalu hipertiroidisme

dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena tumor

trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi hipertiroidisme di Indonesia belum

diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa. Hipertiroidisme

lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki- laki dengan ratio 5:1. Kekerapannya

diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan, namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan

krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian janin. Tiroiditis postpartum adalah

penyakit tiroid autoimun yang terjadi selama tahun pertama setelah melahirkan. Penyakit ini

memberikan gejala tirotoksikosis transien yang diikuti dengan hipotiroidisme yang biasanya

terjadi pada 8-10% wanita setelah bersalin. (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009,

Marx, Helen, et al. 2008, Rull, Gurvinder.2010)

1

Deteksi dini untuk mengetahui adanya hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah

penting, karena kehamilan itu sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai dengan

keadaan hipertiroidisme. Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan

perhatian khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang

diberikan dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.

2

BAB II

Anatomi dan Fisiologi Tiroid

II. A. Anatomi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid terdiri dari lobus kanan dan kiri dimana kedua lobus tersebut dihubungkan

oleh istmus. Kelenjar ini terdapat pada bagian inferior trakea dan beratnya diperkirakan 6-20

gram. Lobus kanan bisasanya lebih besar dan lebih vascular dibandingkan lobus kiri. Kelenjar ini

kaya akan pembuluh darah dengan aliran darah 4-6 ml/menit/gram. Pada keadaaan hipertiroid,

aliran darah dapat meningkat sampai 1 liter/menit/gram sehingga dapat didengar menggunakan

stetoskop yang disebut bruit. Kelenjar tiroid mendapatkan persarafan adrenergik dan kolinergik

yang berasal dari ganglia servikal dan saraf vagus. Kedua system saraf ini mempengaruhi aliran

darah pada kelenjar tiroid yang akan mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid seperti TSH dan iodid.

Selain itu, serabut saraf adrenergik mencapai daerah folikel sehingga persarafan adrenergic

diduga mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid secara langsung.

3

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Folikel atau acini yang berisi koloid merupakan unit fungsional kelenjar tiroid. Dinding

folikel dilapisi oleh sel kuboid yang merupakan sel tiroid dengan ukuran bervariasi tergantung

dari tingkat stimulasi pada kelenjar. Sel akan berbentuk kolumner bila dalam keadaaan aktif, dan

berbentuk kuboid bila dalam keadaan tidak aktif. Setiap 20-40 folikel dibatasi oleh jaringan ikat

yang disebut septa yang akan membentuk lobulus. Di sekitar folikel terdapat sel parafolikuler

atau sel C yang menghasilkan hormon kalsitonin. Di dalam lumen folikel, terdapat koloid

dimana tiroglobulin yang merupakan suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sel tiroid yang akan

disimpan. (Dumont, J.E., et al. 2008)

4

II. B. Fisiologi Tiroid

Kelenjar tiroid memelihara tingkat metabolisme dari sebagian besar sel dalam tubuh

dengan menghasilkan dua hormon tiroid di dalam sel folikelnya, yaitu triiodothyronin (T3) dan

tetraiodohyronin (T4) atau tirosin. Iodin (I2 ) memilki berat atom sebesar 127 dan berat

molekulnya 254. T4 memilki berat molekul sebesar 777 Dalton yang 508 didalamya merupakan

iodida. Hormon tiroid sangat penting dalam perkembangan saraf normal, pertumbuhan tulang,

dan pematangan seksual. Sel parafolikel yang disebut sel C berada di dekat sel folikuler yang

menghasilkan suatu hormon polipeptida, kalsitonin. Pada orang dewasa, hormon tiroid disintesis

di kelenjar tiroid melalui beberapa tahap, yaitu (Dumont, J.E., et al. 2008) :

a) Iodin (I2) yang direduksi menjadi iodide (I) di lambung dan usus cepat diabsorbsi dan

beredar dalam sirkulasi dalam bentuk iodide.

b) Sel folikuler pada kelenjar tiroid membentuk iodide trap yang dibawa ke sel melalui

gradien elektrokimia.

c) Retikulum endoplasma kasar mensintesis molekul besar yang disebut tiroglobulin.

Iodida-tiroglobulin bebas diangkut dalam bentuk vesikel ke membran apikal, dimana

vesikel tersebut kemudian berfusi dengan membran dan akhirnya melepaskan

tiroglobulin pada membran apical.

5

d) Pada membran apikal, iodida yang teroksidasi berikatan dengan unit tirosin (Ltyrosine)

dalam tiroglobulin pada satu atau dua posisi, membentuk precursor hormon

monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT).

e) Setiap molekul tiroglobulin bisa mengandung sampai 4 residu T4 dan nol hingga satu T3.

Tiroglobulin disimpan kembali ke dalam sel folikuler sebagai droplet koloid melalui

proses pinositosis.

f) Lisosom eksopeptidase mengancurkan ikatan antara tiroglobulin dan T4 (atau T3).

Sebagian besar (80%) T4 dilepaskan ke kapiler darah dan hanya sejumlah kecil (20%) T3

disekresi dari kelenjar tiroid.

g) Proteolisis tiroglobulin juga melepaskan monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine

(DIT). Molekul-molekul ini dideiodinasi oleh enzim deiodinase sehingga iododa dapat

digunakan kembali untuk membentuk T4 atau T3. Normalnya, hanya beberapa molekul

tiroglobulin utuh yang meninggalkan sel folikuler.

h) TSH merangsang hampir semua proses yang melibatkan sintesis dan sekresi hormone

tiroid.

Aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid mengatur fungsi kelenjar tiroid dan pertumbuhan.

Produksi dan pelepasan hormon tiroid diatur oleh thyroid-releasing hormone (TRH) dari

hipotalamus. TRH mencapai hipofisis anterior melalui system portal, dimana sel tirotropik

6

dirangsang untuk menghasilkan thyroid-stimulating hormone (TSH) atau thyrotropin. TSH

dilepaskan ke aliran darah sistemik kemudian dibawa sampai ke kelenjar tiroid. Di sini, TSH

merangsang pengambilan iodida, dan semua proses yang mendorong pembentukan dan

pelepasan T4 dan T3. TSH mengaktifasi adenilsiklase yang berbatasan dengan membran sel

folikel dan meningkatkan kerja cAMP. T3 memiliki efek inhibisi kuat terhadap sekresi TRH.

(Dumont, J.E., et al. 2008)

Hampir semua T3 dalam sirkulasi berasal dari T4. TSH juga merangsang konversi T 4

menjadi T3 yang secara biologis lebih aktif. Sebagian besar hormon tiroid terikat pada protein

plasma agar hormon tersebut terlindungi selama diangkut. Terdapat keseimbangan antara

hormon yang terikat protein dengan hormon yang bebas. Hormon tiroid larut dalam lemak dan

dapat dengan mudah melintasi membrane sel melalui proses difusi. (Girling, Joanna. 2008)

Di dalam darah, tubuh kita hanya memiliki sejumlah kecil thyroxine-binding globulin

(TBG) sekitar 10 mg/L, tetapi afinitasnya terhadap T4 sangat tinggi. T4 total sekitar 10-7 mol/L

setara dengan 77,7 g/L serum darah, karena 777 gram T4 sama dengan 1 mol dari total. Kurang

lebih 70% dari T4 dan T3 berikatan pada TBG, dan sisanya terikat pada thyroxine- binding

albumin (TBA) dan transthyrenin. Estrogen merangsang sintesis TBG. Hormon T3 dieliminasi

dengan cepat (waktu paruhnya 24 jam), karena memiliki derajat terendah terhadap pengikatan

protein. Molekul tiroksin (T4) memiliki waktu paruh biologis sekitar 7 hari, hampir setara

dengan waktu paruh isotop radioaktif I131 (8 hari). (Dumont,J.E. et al. 2008)

Hormon tiroid adalah molekul yang larut lemak dan dapat melewati membrane sel

dengan mudah. T3 berikatan pada protein reseptor nuklear dengan sebuah afinitas sepuluh kali

lipat dibandingkan T4. Informasi tersebut mengubah transkripsi DNA menjadi mRNA, dan

akhirnya diterjemahkan ke dalam banyak protein efektor. Satu tipe protein reseptor tiroid terikat

pada elemen pengatur tiroid dalam gen sel target. Susunan seluler penting yang dirangsang oleh

T3 : mitokondria, pompa Na +-K+, myosin ATPase, reseptor adrenergik, banyak sistem enzim

dan protein untuk pertumbuhan dan pematangan termasuk perkembangan sistem saraf pusat.(6)

Hormon tiroid merangsang konsumsi oksigen padahampir semua sel. Hormon tiroid

merangsang kecepatan dari (1) pengeluaran glukosa hati dan utilisasi glukosa perifer, (2)

metabolisme asam lemak, kolesterol, dan trigliserida hati, (3) sintesis protein penting (pompa

7

Na+-K+, enzim pernapasan, eritropoietin, reseptor adrenergik, hormon seksual, faktor

pertumbuhan, dll), (4) absorpsi karbohidrat di usus dan ekskresi kolesterol, dan (5) pengaturan

fungsi reproduksi. (Dumont, J.E., et al. 2008)

II. C. Fisiologi Tiroid dalam Kehamilan

Hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3 ) disintesis di dalam folikel tiroid.

Tiroid-stimulating hormone (TSH) merangsang sintesis dan pelepasan T3 dan T4, yang

sebelumnya didahului dengan pengambilan iodide yang penting untuk sintesis hormon tiroid.

Walaupun T 4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, namun di jaringan perifer T4 dikonversi

menjadi T3 yang lebih poten melalui proses deiodinasi. Selama kehamilan normal kadar tiroid

binding globulin (TBG) dalam sirkulasi meningkat dan juga akhirnya T3 dan T4 ikut meningkat.

(Girling, Joanna. 2008)

Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan otak bayi dan system saraf. Selama

trimester pertama kehamilan, fetus bergantung pada ibu untuk menyediakan hormon tiroid

melalui plasenta karena fetus tidak dapat menghasilkan hormon tiroid sendiri sampai trimester

kedua. Pada minggu ke-10-12, kelenjar tiroid fetus mulai berfungsi namun fetus tetap

membutuhkan iodin dari ibu untuk menghasilkan hormon tiroid. TSH dapat dideteksi dalam

serum janin mulai usia kehamilan 10 minggu, tetapi masih dalam kadar yang rendah sampai usia

kehamilan 20 minggu yang mencapai kadar puncak 15 uU per ml dan kemudian turun sampai 7

uU per ml. Penurunan ini mungkin karena kontrol dari hipofisis yang mulai terjadi pada usia

kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan post natal. Selama trimester kedua dan ketiga, hormon

tiroid disediakan oleh ibu dan fetus, namun lebih banyak oleh ibu. (Girling, Joanna. 2008, Inoue,

Miho, et al. 2009, Williams Obstetrics 23rd . 2010)

Selama usia pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat dideteksi adanya T4

yang mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25 sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam cairan

amnion selama awal kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat. Tetrayodotironin

(T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk reverse T3 (rT3) , hal ini mungkin

disebabkan karena sistem enzimnya belum matang. Reverse T3 meningkat terus dan mencapai

kadar puncak pada usia kehamilan 17 sampai 20 minggu. Kadar rT3 didalam cairan amnion

dapat dipakai sebagai diagnosis prenatal terhadap kelainan faal kelenjar tiroid janin.Selama

8

kehamilan, fungsi kelenjar tiroid maternal bergantung pada tiga faktor independen namun saling

terikat, yaitu (a) peningkatan konsentrasi hCG yang merangsang kelenjar tiroid, (b) peningkatan

ekskresi iodide urin yang signifikan sehingga menurunkan konsentrasi iodin plasma, dan (c)

peningkatan thyroxine-binding globulin (TBG) selama trimester pertama, menyebabkan

peningkatan ikatan hormone tiroksin. Pada akhirnya, faktor-faktor ini bertanggung jawab

terhadap peningkatan kebutuhan tiroid (Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd . 2010) :

a. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)

Seperti yang disebutkan di atas, human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan

hormon peptid yang bertanggung jawab untuk produksi progesterone dalam konsentrasi yang

adekuat pada awal kehamilan, sampai produksi progesteron diambil alih oleh plasenta yang

sedang berkembang. Konsentrasi hCG meningkat secara dramatis selama trimester pertama

kehamilan dan menurun secara bertahap setelahnya. Secara struktural, peptide hCG terdiri atas

dua rantai, sebuah rantai rantai , dimana rantai dan dari hCG identik dengan struktur yang

membentuk TSH. Struktur yang homolog ini menjadikan hCG mampu merangsang kelenjar

tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid, namun tidak sekuat TSH. (Dumont, J.E., et al. 2008,

Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd . 2010)

Kadar TSH turun selama kehamilan trimester pertama, berbanding dengan peningkatan

hCG. Walaupun hCG sebagai stimulan kelenjar tiroid, konsentrasi hormon tiroid bebas (tidak

terikat) pada umumnya dalam batas normal atau hanya sedikit di atas normal selama trimester

9

pertama. Efek perangsangan dari hCG pada kehamilan normal tidak signifikan dan normalnya

ditemukan pada pertengahan awal kehamilan. Pada awal minggu ke-12 atau pada kondisi

patologis tertentu, termasuk hipermesis gravidarum dan tumor trofoblastik, konsentrasi hCG

mencapai kadar maksimal yang akan menginduksi keadaan hipertiroid dimana kadar tiroksin

bebas meningkat dan kadar TSH ditekan. (Williams Obstetrics 23rd . 2010)

b. Ekskresi Iodin Selama Kehamilan

Konsentrasi iodine plasma mengalami penurunan selama kehamilan, akibat peningkatan filtrasi

glomerulus (GFR). Peningkatan GFR menyebabkan meningkatnya pengeluaran iodine lewat

ginjal yang berlangsung pada awal kehamilan. Ini merupakan faktor penyebab turunnya

konsentrasi iodine dalam plasma selama kehamilan. Kompensasi dari kelenjar tiroid dengan

pembesaran dan peningkatan klirens iodin plasma menghasilkan hormon tiroid yang cukup untuk

mempertahankan keadaan eutiorid. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pembesaran

kelenjar tiroid adalah hal yang fisiologis, merupakan kompensasi adaptasi terhadap peningkatan

kebutuhan iodin yang berhubungan dengan kehamilan. (Girling, Joanna. 2008)

c. Thyroxine Binding Globulin

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan TBG menyebabkan peningkatan

ikatan tiroksin, yang merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi fungsi tiroid selama

kehamilan. Hormon tiroid dalam serum diangkut oleh tiga protein, yaitu thyroxine binding

globulin (TBG), albumin, dan thyroxine binding prealbumin (TBPA) atau transtiretin. Dari

ketiga protein tersebut, TBG memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap tiroksin. Pada pasien

tidak hamil, sekitar 2/3 dari hormone tiroksin diikat oleh TBG. Pada kehamilan normal, terjadi

peningkatan dari konsentrasi TBG sekitar dua kali lipat dari normal selama kehamilan sampai 6-

12 bulan setelah bersalin. Hal ini menggambarkan peningkatan kadar hormon tiroksin total

(TT4) pada semua wanita hamil, namun kadar tiroksin bebas (FT4) dan indeks tiroksin total

(FTI) normal. Untuk menjamin kestabilan kadar hormon bebas, mekanisme umpan balik

merangsang pelepasan TSH yang bekerja untuk meningkatkan pengeluaran hormone dan

menjaga kestabilan hemostasis kadar hormon bebas. Peningkatan konsentrasi

TBG merupakan efek langsung dari meningkatnya kadar estrogen selama kehamilan.

Estrogen merangsang peningkatan sintesis TBG, memperpanjang waktu paruh dalam sirkulasi,

10

dan menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG serum. Estrogen juga merangsang hati untuk

mensintesis TBG dan menyebabkan penurunan kapasitas TBPA. Pada akhirnya, proporsi hormon

tiroksin dalam sirkulasi yang berikatan dengan TBG meningkat selama kehamilan, dan dapat

mencapai 75%. Kadangkala perubahan hormonal ini dapat membuat pemeriksaan fungsi tiroid

selama kehamilan sulit diinterpretasikan. (Girling, Joanna. 2008)

11

BAB III

Tirotoksikosis dalam Kehamilan

Definisi

Tiroktosikosis adalah suatu keadaan di mana didapatkan kelebihan hormon tiroid karena

ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu

jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi

tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. 

Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat

mengancam jiwa, umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau

Struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus:infeksi, operasi, trauma,

zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, tress emosi,penghentian obat anti tiroid,

ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/strok, palpasi tiroid

terlalu kuat.

Klasifikasi Tiroktosikosis

Tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori:

1.      Kelainan yang berhubungan dengan Hipertiroidisme

2.      Kelainan yang tidak berhubungan dengan Hipertiroidisme

Etiologi Tirotoksikosis

Hipertiroidisme Primer

Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme

Hipertiroidisme Sekunder

·         Penyakit Graves

·         Gondok multinodula toksik

12

·         Adenoma toksik

·         Obat : yodium lebih, litium

·         Karsinoma tiroid yang berlebih

·         Struma ovarii (ektopik)

·        Hormon tiroid berlebih (tirotoksikosis faktisia)

·        Tiroiditis subakut

·        Silent thyroiditis

·        Destruksi kelenjar : amiodaron, radiasi, adenoma, infark

·        TSH- secreting tumor chGH secreting tumor

·        Tirotoksikosis gestasi (trimester I)

·        Resistensi hormon tiroid

Hipertiroid Sebagai Etiologi Tirotoksikosis

III. A. Etiologi

Hipertiroid dalam kehamilan dapat berupa penyakit Graves, hiperemesis gravidarum,

tirotoksikosis gestasional sementara, dan kehamilan mola. Di antara keempat penyebab

hipertiroid dalam kehamilan, penyakit graves paling sering terjadi, sekitar 1 dari 500 kehamilan.

(Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics

23rd. 2010)

Penyakit graves merupakan kelainan autoimun kompleks dengan tanda tirotoksikosis,

oftalmopati (lid lag, lid retraction, dan eksoftalmus), dan dermopati (miksedema pretibial). Hal

ini dimediasi oleh immunoglobulin yang merangsang tiroid. Telah diamati pada pasien dengan

riwayat penyakit graves dimana cenderung terjadi remisi pada kehamilan dan relaps kembali

13

setelah bersalin. (De Groot, Leslie J, et al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Rull, Gurvinder. 2010,

Williams Obstetrics 23 rd. 2010)

Selain penyakit graves, hipertiroid dalam kehamilan juga dapat disebabkan oleh

hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum ditandai dengan ditemukannya gejala muntah

berlebihan pada awal kehamilan yang menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi.

Pemeriksaan biokimia pada pasien ini menunjukkan hipertiroksinemia, dengan peningkatan

konsentrasi T4 serum dan penurunan konsentrasi TSH serum yang ditemukan pada sebagian

besar wanita hamil. Pemeriksaan TSH serum membantu untuk membedakan hiperemesis yang

berhubungan dengan hipertiroksinemia dan kemungkinan penyebab lainnya. Hipertiroksinemia

ringan biasanya bersifat sementara, menurun pada kehamilan minggu ke-18 tanpa terapi

antitiroid. Namun, hipertiroksinemia yang signifikan disertai dengan peningkatan T4 bebas dan

TSH yang rendah, dan penemuan klinik hipertiroid, memerlukan terapi obat antitiroid. (Girling,

Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

III. B. Gejala Klinis

Wanita yang memiliki riwayat keluarga dengan kelainan tiroid atau penyakit autoimun

memiliki resiko yang lebih tinggi mengidap penyakit hipertiroid. Gejala yang sering timbul biasa

adalah intoleransi terhadap panas, berkeringat lebih banyak, takikardi, dada berdebar, mudah

lelah namun sulit untuk tidur, gangguan saluran cerna, berat badan menurun meskipun asupan

makan cukup, mudah tersinggung, merasa cemas dan gelisah.

Selain itu dapat juga timbul tanda-tanda penyakit graves, seperti perubahan mata, tremor

pada tangan, miksedema pretibial dan pembesaran kelenjar tiroid. (De Groot, Leslie J, et al.

2007, Girling, Joanna. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd . 2010)

III. C. Diagnosis

Diagnosis klinis hipertiroid pada wanita hamil biasanya sulit ditegakkan. Hal ini

dikarenakan wanita dengan hipertiroid memiliki beberapa tanda-tanda sistem hiperdinamik

seperti peningkatan curah jantung dengan bising sistolik dan takikardi, kulit hangat, dan

intoleransi terhadap panas. Tanda hipertiroid seperti berat badan turun, dapat menjadi tidak jelas

oleh kenaikan berat badan karena kehamilan. Didapatkannya perubahan mata pada penyakit

14

graves atau miksedema pretibial dapat membantu, namun tidak selalumengindikasikan

tirotoksikosis. Adanya onkilosis atau pemisahan kuku distal dari nailbed, dapat juga membantu

dalam menegakkan diagnosis klinis hipertiroid. (De Groot, Leslie J, et al. 2007, Girling, Joanna.

2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd . 2010)

Peningkatan kadar T3 serum dapat meningkatkan densitas reseptor - adrenergik sel

miokardium sehingga curah jantung meningkat walaupun saat istirahat dan terjadi aritmia

(fibrilasi atrium). Denyut nadi saat istirahat biasanya di atas 100 kali per menit dan jika denyut

nadi tetap atau tidak menjadi lambat selama melakukan manuver Valsava, diagnosis

tirotoksikosis menjadi lebih mungkin. (Girling, Joanna. 2008) Diagnosis hipertiroid dalam

kehamilan dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis dan laboratorium, terutama pemeriksaan

fungsi tiroid. Pada kehamilan, kadar T3 total dan T4 total meningkat seiring meningkatnya

konsentrasi TBG. Kadar FT3 dan FT4 dalam batas normal tinggi pada kehamilan trimester

pertama dan kembali normal pada trimester kedua. Nilai T4 total tidak bermanfaat pada wanita

hamil karena nilainya yang tinggi merupakan respon terhadap estrogen yang meningkatkan

konsentrasi TBG. FT3 sebaiknya diperiksa ketika nilai TSH rendah tetapi kadar FT4 normal.

Peningkatan kadar T3 menunjukkan toksikosis T3. Pemeriksaan TSH saja sebaiknya tidak

dijadikan acuan dalam mendiagnosis hipertiroid dalam kehamilan. Pasien dengan penyakit

graves hampir selalu memiliki hasil pemeriksaan TSIs yang positif. Pemeriksaan TSI ini

sebaiknya diukur pada trimester ketiga. Nilai TSI yang tinggi sering dihubungkan dengan

tirotoksikosis fetus.

Antibodi antimikrosomal jika memungkinkan perlu juga diperiksa karena wanita yang

memiliki hasil positif pada kehamilan atau sesaat setelah persalinan memiliki resiko berlanjut ke

penyakit tiroiditis postpartum. (De Groot, Leslie J, et al. 2007, Rull, Gurvinder. 2010, Williams

Obstetrics 23rd. 2010)

15

HIPERTIROID GESTASIONAL

III. D. Penatalaksanaan

Hipertiroid yang ringan (peningkatan kadar hormon tiroid dengan gejala minimal)

sebaiknya diawasi sesering mungkin tanpa terapi sepanjang ibu dan bayi dalam keadaan baik.

Pada hipertiroid yang berat, membutuhkan terapi, obat anti-tiroid adalah pilihan terapi, dengan

PTU sebagai pilihan pertama. Tujuan dari terapi adalah menjaga kadar T4 dan T3 bebas dari ibu

dalam batas normal-tinggi dengan dosis terendah terapi anti-tiroid. Target batas kadar hormon

bebas ini akan mengurangi resiko terjadinya hipotiroid pada bayi. Hipotiroid pada ibu sebaiknya

16

dihindari. Pemberian terapi sebaiknya dipantau sesering mungkin selama kehamilan dengan

melakukan tes fungsi tiroid setiap bulannya. Obat-obat yang terpenting digunakan untuk

mengobati hipertiroid (propiltiourasil dan metimazol) menghambat sintesis hormon tiroid.

Laporan sebelumnya mengenai hubungan terapi metimazol dengan aplasia kutis, atresia

oesophagus, dan atresia choanae pada fetus tidak diperkuat pada penelitian selanjutnya, dan tidak

terdapat bukti lain menyangkut obat lain yang berefek abnormalitas kongenital. Oleh karena itu,

PTU sebaiknya dipertimbangkan sebagai obat pilihan pertama dalam terapi hipertiroid selama

kehamilan dan metimazol sebagai pilihan kedua yang digunakan jika pasien tidak cocok, alergi,

atau gagal mencapai eutiroid dengan terapi PTU. Kedua obat tersebut jarang menyebabkan

neutropenia dan agranulositosis. Oleh karena itu, pasien sebaiknya waspada terhadap gejala-

gejala infeksi, terutama sakit tenggorokan, dapat dihubungkan dengan supresi sumsum tulang

dan harus diperiksa jumlah neutrofil segera setelah menderita. (Girling, Joanna. 2008, Inoue,

Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2009, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

Propiltiourasil dan metimazol keduanya dapat melewati plasenta. Namun, PTU menjadi

pilihan terapi pada ibu yang hipertiroid karena kadar transplasentalnya jauh lebih kecil

dibandingkan dengan metimazol. TSH reseptor stimulating antibodi juga melalui plasenta dan

dapat mempengaruhi status tiroid fetus dan neonatus. (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al.

2009, Marx, Helen. 2009, Rull, Gurvinder. 2010) (sumber : Marx, Helen, et al. 2008)

Wanita yang sedang dalam terapi antitiroid sebaiknya tidak berhenti menyusui bayinya

karena kedua obat anti tiroid tersebut aman. Keduanya ada dalam air susu ibu (metimazole

kadarnya lebih besar dibandingkan PTU), tetapi hanya dalam konsentrasi yang lebih rendah. Jika

pasien mengkonsumsi lebih dari 15 mg karbimazol atau 150 mg propiltiourasil sehari, bayi

sebaiknya diperiksa dan mereka sebaiknya tidak disusui sebelum ibunya mendapatkan terapi

dengan dosis terbagi. (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Rull, Gurvinder. 2010)

Beta-blocker khususnya propanolol dapat digunakan selama kehamilan untuk membantu

mengobati palpitasi yang signifikan dan tremor akibat hipertiroid. Untuk mengendalikan

tirotoksikosis, propanolol 20 ± 40 mg setiap 6 jam, atau atenolol 50 -100 mg/hari selalu dapat

mengontrol denyut jantung ibu antara 80-90 kali per menit. Esmolol, - blocker kardio seleketif,

efektif pada wanita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak berespon pada propanolol. Obat-obat

ini hanya digunakan sampai hipertiroid terkontrol dengan obat anti tiroid. (Girling, Joanna. 2008,

17

Marx, Helen. 2009, Rull, Gurvinder. 2010) Pada pasien yang tidak adekuat diterapi dengan

pengobatan anti-tiroid seperti pada pasien yang alergi terhadap obat-obat, pembedahan

merupakan alternative yang dapat diterima. Pembedahan pengangkatan kelenjar tiroid sangat

jarang disarankan pada wanita hamil mengingat resiko pembedahan dan anestesi terhadap ibu

dan bayi. Jika tiroidektomi subtotal direncanakan, pembedahan sering ditunda setelah kehamilan

trimester pertama atau selama trimester kedua. Alasan dari penundaan ini adalah untuk

mengurangi resiko abortus spontan dan juga dapat memunculkan resiko tambahan lainnya.

Pembedahan dapat dipikirkan pada pasien hipertiroid apabila ditemukan satu dari kriteria berikut

ini (De Groot, Leslie J., et al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Wil liams

Obstetrics 23rd. 2010) :

a) Dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan tinggi (PTU > 300 mg, MMI > 20 mg)

b) Hipertiroid secara klinis tidak dapat dikontrol

c) Hipotiroid fetus terjadi pada dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan untuk mengandalikan

hipertiroid pada ibu

d) Pasien yang alergi terhadap obat anti tiroid

e) Pasien yang menolak mengkonsumsi obat anti tiroid

f) Jika dicurigai ganas Terapi radioiodin menjadi kontraindikasi dalam pengobatan

hipertiroid selama kehamilan sejak diketahui bahwa zat tersebut dapat melewati plasenta

dan ditangkap oleh kelenjar tiroid fetus. Hal ini dapat menyebabkan kehancuran kelenjar

dan akhirnya berakibat pada hipotiroid yang menetap. (De Groot, Leslie J., et al. 2007,

Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2008, Rull,

Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23 rd. 2010)

III. E. Komplikasi

Hipertiroid yang tak terkontrol, terutama pada pertengahan masa hamil, dapat memicu

beberapa komplikasi. Komplikasi maternal di antaranya keguguran, infeksi, preeklamsia,

persalinan preterm, gagal jantung kongesti, badai tiroid, dan lepasnya plasenta. Komplikasi fetus

dan neonatus di antaranya prematur, kecil untuk masa kehamilan, kematian janin dalam rahim,

dan goiter pada fetus atau neonatus dan atau tirotoksikosis. Pengobatan yang belebihan juga

dapat menyebabkan hipotiroid iatrogenik pada fetus. (Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et

al. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

18

Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati untuk penyakit graves

sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan ibu dapat melewati plasenta sehingga

masuk ke dalam aliran darah fetus dan merangsang tiroid fetus. Jika ibu dengan penyakit graves

sedang diobati dengan obat anti tiroid, hipertiroid pada bayi kurang bermakna karena obat-

obatan tersebut juga dapat melintasi plasenta. Namun, jika ibunya diobati dengan pembedahan

atau radioaktif iodin, kedua metode terapi tersebut dapat menghancurkan seluruh tiroid, namun

pasien masih dapat memiliki antibodi dalam darahnya. (Marx, Helen, et al. 2008, Williams

Obstetrics 23 rd. 2010)

Hipertiroid pada neonatus dapat menyebabkan denyut jantung meningkat yang dapat

berakhir pada gagal jantung, berat badan rendah, dan kadang-kadang tiroid yang membesar dapat

menekan saluran napas sehingga mengganggu pernapasan. (Marx, Helen, et al. 2008, Williams

Obstetrics 23rd. 2010)

III. F. Krisis Tiroid

Krisis tirotoksik, yang juga disebut badai tiroid, merupakan sebuah kegawatdaruratan

medis yang dapat timbul akibat hipermetabolik yang berlebihan. Kondisi ini jarang terjadi, hanya

1% dari wanita hamil dengan hipertiroid, tetapi memiliki resiko gagal jantung. Badai tiroid

didiagnosis melalui kombinasi gejala dan tanda seperti hiperpireksia, takikardi yang tidak

berhubungan dengan demamnya, gagal jantung kongestif, disaritmia, muntah, diare, dan

perubahan mental termasuk cemas, bingung, dan gelisah. Badai tiroid ini dapat muncul akibat

infeksi, penghentian terapi yang tiba-tiba, pembedahan, dan persalinan. (Williams Obstetrics

23rd. 2010)

Pengobatannya meliputi pemberian cairan intravena, hidrokortison, propanolol, iodin

oral, dan karbimazol atau propiltiourasil dalam dosis tinggi. Terapi badai tiroid terdiri dari

rangkaian pengobatan berupa (Williams Obstetrics 23rd. 2010) :

a. Terapi suportif secara umum sebaiknya dilakukan

b. Terapi spesifik :

19

a) PTU 1000 mg per oral atau melalui nasogastric tube. Dilanjutkan dengan 200 mg

per oral setiap 6 jam. Jika pemberian melalui oral tidak memungkinkan, dapat

digunakan metimazol suppositoria.

b) 1 jam setelah pemberian PTU, diberikan yodium untuk menghambat pelepasan

hormone tiroid. Dapat diberikan dalam bentuk sodium iodide 500±1000 mg

secara intravena setiap 8 jam, atau saturated solution of potassium iodide (SSKI)

5 tetes per oral setiap 8 jam, atau larutan lugol 10 tetes setiap 8 jam.

c) Dexamethasone 2 mg secara intravena setiap 6 jam untuk 4 dosis, untuk

mencegah konversi dari T4 menjadi T3 di jaringan perifer.

d) Propanolol 20-80 mg per oral setiap 4-6 jam.

e) Phenobarbital 30-60 mg per oral setiap 6-8 jam, diperlukan pada gelisah yang

berlebihan.

f) Fetus sebaiknya dievaluasi dengan tepat dengan USG atau pemeriksaan nonstress

tergantung umur kehamilan.

20

BAB IV

Kesimpulan

Kehamilan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap regulasi fungsi tiroid pada

wanita sehat dan pada pasien dengan kelainan tiroid. Pengaruh ini perlu dikenali dengan

seksama, didiagnosis dengan jelas, dan diterapi dengan tepat. Kelainan fungsi tiroid terjadi

dalam 1-2% kehamilan, namun kelainan fungsi tiroid subklinik baik itu hipertiroid mungkin

lebih banyak yang tidak terdiagnosis jika tidak diskrining lebih awal. Kehamilan meningkatkan

kecepatan metabolisme, aliran darah, denyut jantung, curah jantung, dan beberapa gejala

subjektif seperti kelelahan, dan intoleran terhadap panas yang dapat menunjukkan kemungkinan

adanya tirotoksikosis. Perubahan metabolik lain yang juga berefek pada aksis hipotalamus-

hipofisis-tiroid adalah rangsangan langsung hCG terhadap tiroid ibu yang kemudian berakibat

peningkatan metabolisme tiroksin. Penyebab utama tirotoksikosis dalam kehamilan diantaranya

penyakit Graves dan hipertiroid gestasional non-autoimun. Perjalanan penyakit Graves selama

kehamilan berubah-ubah, dengan kecenderungan membaik pada trimester kedua dan ketiga, dan

mengalami eksaserbasi selama masa postpartum. Perubahan ini merupakan akibat dari supresi

sistem imun selama kehamilan. Dampak buruk akibat hipertiroid dalam kehamilan seperti resiko

preeklamsia yang tinggi dan gagal jantung kongestif adalah beberapa komplikasi yang mungkin

terjadi pada pasien dengan pengendalian kondisi yang rendah. Wanita hamil dengan hasil TSI

positif atau yang sedang menggunakan obat anti tiroid sebaiknya diperiksa juga kemungkinan

terjadinya kelainan fungsi tiroid pada fetus. Perlu diingat dalam mengobati pasien hipertiroid

bahwa semua obat-obat anti tiroid dapat melewati plasenta dan dapat berefek terhadap fungsi

tiroid fetus.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary, Leveno, Kenneth J., Bloom, Steven L., Hauth, John C., Rouse,

Dwight J. & Spong, Catherine Y. eds. (2010) Williams Obstetrics. 23rd . United States :

The McGraw Hill Companies, Inc.

2. De Groot, Leslie J., Green, Alex Stagnaro & Vigersky, Robert (2007) The Hormone

Foundation¶s Patient Guide to the Management of Maternal Hyperthyroidism Before,

During, and After Pregnancy. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. Vol

92, No. 9 0.

3. Dumont, J.E., Opitz, R., Christophe, D., Vassart, G., Roger, P.P. & Maenhaut, C. (2008)

The Phylogeny, Ontogeny, Anatomy and Regulation of the Iodine Metabolizing Thyroid.

Belgium : IRIBHM, School of Medicine, University of Brussels. Germany : Leibniz-

Institute of Freshwater Ecology and Inland Fisheries, University of Berlin.

4. Girling, Joanna (2008) Thyroid Disease in Pregnancy. The Obstetrician & Gynaecologist,

10, pp. 237-243.

5. Inoue, Miho, Arata, Naoko, Koren, Gideon & Ito, Shinya (2009) Hyperthyroidism during

Pregnancy. Canadian Family Physician, Vol 55 July, pp. 701-703.

6. Marx, Helen, Amin, Pina & Lazarus, John H. (2008) Hyperthyroidism and Pregnancy.

British Medical Journal, Vol 336 March, pp. 663-667.

7. Rull, Gurvinder (2010) Hyperthyroidism in Pregnancy [Internet]. EMIS. Available from :

http://www.patient.co.uk.htm [Accesed 22 March 2011].

22