Referat NIHL

28
REFERAT NOISE INDUCED HEARING LOSS (NIHL) DISUSUN OLEH : Tiara Rahmawati 030.08.240 DOKTER PEMBIMBING : dr. Swasono R, Sp. THT-KL, M. Kes KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN

description

THT

Transcript of Referat NIHL

Page 1: Referat NIHL

REFERAT

NOISE INDUCED HEARING LOSS(NIHL)

DISUSUN OLEH :

Tiara Rahmawati

030.08.240

DOKTER PEMBIMBING :

dr. Swasono R, Sp. THT-KL, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK (THT)

RS PUSAT TNI ANGKATAN UDARA Dr. ESNAWAN ANTARIKSA

PERIODE 3 SEPTEMBER 2012 – 5 OKTOBER 2012

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Page 2: Referat NIHL

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

Pertama penulis mengucapkan puji dan syukur Penulis kepada Allah SWT atas

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Noise

Induced Hearing Loss (NIHL)” tepat pada waktunya. Adapun pembuatan referat ini adalah

sebagai salah prasyarat penulis untuk kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik THT di Rumah

Sakit Pusat TNI AU Dr. Esnawan Antariksa.

Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing,

dr. Swasono R, Sp.THT-KL, M. Kes yang telah memberikan bimbingannya dalam proses

penyelesaian referat ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam

mencari referensi yang lebih baik.

Demikian referat ini dituliskan. Semoga referat ini bermanfaat bagi siapapun yang

membacanya. Penulis memohon maaf apabila pada penulisan masih terdapat banyak

kekurangan. Untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan

kritik yang membangun dalam perbaikan referat ini.

Jakarta, September 2012

Tiara Rahmawati

Page 3: Referat NIHL

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………...……………………………………….…… ii

DAFTAR ISI ………………………………...…………………………………………...… iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………….. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi telinga ........................................................................................................................ 1

Fisiologi pendengaran............................................................................................................... 6

Definisi...................................................................................................................................... 8

Epidemiologi............................................................................................................................. 8

Etiologi...................................................................................................................................... 8

Patogenesis................................................................................................................................ 9

Gejala klinis............................................................................................................................. 10

Diagnosis …………………………………………………………………………………… 11

Penatalaksanaan....................................................................................................................... 12

Prognosis................................................................................................................................. 13

Pencegahan.............................................................................................................................. 13

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 16

Page 4: Referat NIHL

BAB I

PENDAHULUAN

Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mempermudah segala

kegiatan di bidang industri. Penerapan teknologi dapat mempermudah segala kegiatan kerja

dalam proses produksi dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Selain memberikan

dampak positif berupa keuntungan ekonomik, maka kemajuan teknologi juga menimbulkan

dampak negatif yaitu dapat meningkatkan potensi bahaya (hazard) yang dapat menimbulkan

gangguan kesehatan dan keselamatan kerja, hazard tesebut dapat berupa fisik, kimia,

ergonomic, dan psikologik.

Salah satu hazard berupa fisik di tempat kerja adalah kebisingan. Secara umum

kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan (Bashiruddin, 2007). Data survei Multi Center

Study di Asia Tenggara, Indonesia termausk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup

tinggi yaitu 4.6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan

India 6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat

menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan

pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. (1)

Menurut KepMenNaker No.51 tahun 1999 dan KepMenKes No.1405 tahun 2002,

kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau

gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari

atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB (A). Gangguan pendengaran akibat bising atau Noise

Induced Hearing Loss (NIHL) adalah tuli saraf yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang

cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama. (2)

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara

lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising,

mendapat pengobatan yang bersifat racun (ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin,

garamisin (golongan aminoglikosida), kina, asetosal, dan lain-lain.

Page 5: Referat NIHL

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI TELINGA

Gambar 1. Anatomi telinga

1.1 Telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.

Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S,

dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian

dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira ± 2,5 - 3cm. (3)

Kulit liang telinga

Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan

rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga

bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Kanalis auricularis externus

dilapisi oleh kulit yang terikat erat pada tulang rawan dan tulang yang mendasarinya

karena tidak adanya jaringan subkutan di area tersebut. Dengan demikian daerah ini

menjadi sangat peka. (4)

Page 6: Referat NIHL

Liang telinga sebenarnya mempunyai lapisan kulit yang sama dengan lapisan kulit

pada bagian tubuh lainnya yaitu dilapisi epitel skuamosa. Kulit liang telinga merupakan

lanjutan kulit daun telinga dan kedalam meluas menjadi lapisan luar membran timpani.

Lapisan kulit liang telinga luar lebih tebal pada bagian tulang rawan dari pada bagian

tulang. Pada liang telinga rulang rawan tebalnya 0,5 – 1 mm, terdiri dari lapisan

epidermis dengan papillanya, dermis dan subkutan merekat dengan perikondrium.

Epidermis dari liang telinga bagian tulang rawan biasanya terdiri dari 4 lapis yaitu sel

basal, skuamosa, sel granuler dan lapisan tanduk.

Lapisan liang telinga bagian tulang mempunyai kulit yang lebih tipis, tebalnya kira-

kira 0,2 mm, tidak mengandung papilla, melekat erat dengan periosteum tanpa lapisan

subkutan, berlanjut menjadi lapisan luar dari membran timpani dan menutupi sutura

antara tulang timpani.

Otot daun telinga terdiri dari 3 buah otot ekstrinsik dan enam buah otot intrinsik.

Otot ekstrinsik terdiri m.aurikularis anterior, m.aurikularis superior dan m.aurikularis

posterior. Otot-otot ini menghubungkan daun telinga dengan tulang tengkorak dan kulit

kepala. Otot-otot ini bersifat rudimenter, tetapi pada beberapa orang tertentu ada yang

masih mempunyai kemampuan untuk menggerakan daun telinganya keatas dan kebawah

dengan menggerakan otot-otot ini. Otot intrinsik terdiri dari m.helisis mayor, m. helisis

minor, m. tragikus, m.antitragus, m. obligus aurkularis, dan m.transpersus aurikularis.

Otot-otot ini berhubungan bagian-bagian daun telinga.

Perdarahan

Arteri-arteri dari daun telinga dan liang telinga luar berasal dari cabang

aurikulotemporal arteri temporalis superficial di bagian anterior. Di bagian posterior

dipendarahi oleh cabang aurikuloposterior dari arteri karotis eksternal. (5)

Banyak dijumpai anastomosis diantara cabang-cabang dari arteri ini. Pendarahan

kebagian lebih dalam dari liang telinga luar dan permukaan luar membrana timpani adalah

oleh cabang aurikular dalam arteri maksilaris interna.

Vena telinga bagian anterior, posterior dan bagian dalam umumnya bermuara ke

vena jugularis eksterna dan vena mastoid. Akan tetapi, beberapa vena telinga mengalir

kedalam vena temporalis superficial dan vena aurikularis posterior.

Sistem limfatik

Kelenjar limfa regio tragus dan bagian anterior dari auricula mengalir ke kelenjar

parotid, sementara bagian posterior auricular mengalir ke kelenjar retroauricular. Regio

lobulus mengalir kelenjar cervicalis superior. (4)

Page 7: Referat NIHL

Persarafan

Persarafan telinga luar bervariasi berupa tumpang tindih antara saraf-saraf kutaneus

dan kranial. Cabang aurikular temporalis dari bagian ketiga saraf trigeminus (N.V)

mempersarafi permukaan anterolateral permukaan telinga, dinding anterior dan superior

liang telinga dan segmen depan membrana timpani.Permukaan posteromedial daun telinga

dan lobulus dipersarafin oleh pleksus servikal nervus aurikularis mayor.

Cabang aurikularis dari nervus fasialis (N.VII), nervus glossofaringeus (N.IX) dan

nervus vagus (N.X) menyebar ke daerah konka dan cabang-cabang saraf ini menyarafi

dinding posterior dan inferior liang telinga dan segmen posterior dan inferior membrane

timpani. (4)

1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah merupakan bangunan berbentuk kubus yang terdiri dari: (3)

Membran timpani yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.

Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik

terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaccida (membrane

Sharpnell) dimana lapisan luarnya merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga

sedangkan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, dan pars tensa

merupakan bagian yang tegang dan memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan

yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.

Tulang pendengaran; yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang

pendengaran ini dalam telinga tengah saling berhubungan.

Tuba eustachius; yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.

1.3 Telinga Dalam

Page 8: Referat NIHL

Gambar 2. Anatomi telinga dalam

Gambar 3. Anatomi koklea

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler

yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut

helikotrema, yang berfungsi menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala

vestibuli.(3)

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk

lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah

atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala

vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar

skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Membran Reissner) sedangkan dasar

Page 9: Referat NIHL

skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti yang

mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Pada

skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan

pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut

luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti. (6)

II. FISIOLOGI PENDENGARAN

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga

dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Membran timpani

akan bergetar ketika terkena gelombang suara. Daerah-daerah bertekanan tinggi dan rendah

yang berselang-seling dan ditimbulkan oleh gelombang suara menyebabkan gendang telinga

yang sangat peka melekuk ke dalam dan keluar seiring dengan frekuensi gelombang suara.

Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membrane timpani ke cairan telinga

dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh rantai tiga tulang kecil atau osikulus (maleus, inkus,

dan stapes) yang dapat bergerak dan membentang di telinga tengah. Sewaktu membrane

timpani bergetar, rangkaian tulang-tulang tersebut ikut bergerak dengan frekuensi yang sama,

memindahkan frekuensi getaran ini dari membrane timpani ke jendela oval. Tekanan yang

terjadi di jendela oval yang ditimbulkan oleh setiap getaran akan menimbulkan gerakan

cairan telinga damlam mirip gelombang suara asal. System osikulus memperkuat tekanan

yang ditimbulkan oleh gelombang suara di udara melalui dua mekanisme agar cairan di

koklea gergetar.

Pertama, karena luas permukaan membrane timpani jauh lebih besar daripada luas

jendela oval (tekanan= gaya/luas). Kedua, efek tuas osikulus juga menimbulkan penguatan.

Bersama-sama, kedua mekanisme ini meningkatkan gaya yang bekerja pada jendela oval

sebesar 20 kali dibandingkan dengan jika gelombang suara langsung mengenai jendela oval.

Penambahan tekanan ini sudah cukup untuk menggetarkan cairan di koklea. (11)

Energi getar yang diamplikasi ini akan menggetarkan jendela oval sehigga perilimfa

pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membrane Reissner yang

mendorong edolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan

membran tektoria. Proses ini proses ini merupakan rangsang mekanik yang akan

menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan

terjadi pelepasan ion bermuatan lisrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses

depolarisasi sel rambut, sehingga neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan

Page 10: Referat NIHL

potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditoris sampai ke korteks

pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. (3)

Gambar 4a.

Fisiologi pendengaran

Gambar 4b. Fisiologi pendengaran

III. DEFINISI

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik Bising

adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising dengan intensitas 85

dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga

dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi dengan

frekuensi 3000 Hz sampai dengan 6000 Hz dan terberat pada frekuensi 4000 Hz. (7)

Page 11: Referat NIHL

Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau noise induced hearing loss (NIHL)

adalah gangguan pendengaran akibat pajanan bising yang cukup keras dalam waktu yang

cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. (7)

IV. EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 1987, Sataloff yang dikutip Rambe menemukan sebanyak 35 juta orang

Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja. 4 Barrs

melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti

rugi asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli saraf dan dari jumlah tersebut 37 % didapatkan

gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz. (2)

Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak

dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun 1995 pada

Manufacturing Plant Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta didapatkan hasil adanya

gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar

sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terus-menerus selama 5-10

tahun. (8)

Oetomo A dkk dalam penelitian yang dilakukan di Semarang pada tahun 1993 terhadap

105 karyawan pabrik dengan intensitas bising 79-100 dB menemukan sebanyak 74 telinga belum

terjadi pergeseran nilai ambang sedangkan sebanyak 136 telinga mengalami pergeseran nilai

ambang dengar dengan hasil derajat ringan sebanyak 116 telinga ( 55,3% ), derajat sedang 17

( 8% ) dan derajat berat 3 (1,4% ). (8)

Penelitian Zuldidzaan (1995) pada awak pesawat helicopter TNI AU dan AD

mendapatkan paparan bising 86-117 dB dengan prevalensi NIHL 27,16%. (8)

V. ETIOLOGI (9)

1. Intensitas kebisingan

2. Frekuensi kebisingan

3. Lamanya waktu pemaparan bising

4. Kerentanan individu

5. Jenis kelamin

6. Usia

7. Kelainan di telinga tengah

VI. PATOGENESIS

Page 12: Referat NIHL

Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut.

Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya

degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-

sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan

bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti

hilangnya stereosilia.

Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia,

sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan

bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya

kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai

di nukleus pendengaran pada batang otak. (9)

Perubahan Histopatologi Telinga Akibat Kebisingan (9)

Lokasi dan perubahan histopatologi yang terjadi pada telinga akibat kebisingan adalah

sebagai berikut :

1. Kerusakan pada sel sensoris

a. Degenerasi pada daerah basal dari duktus koklearis.

b. Pembengkakan dan robekan dari sel-sel sensoris.

c. Anoksia.

2. Kerusakan pada stria vaskularis

Suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kerusakan stria vaskularis karena

penurunan bahkan penghentian aliran darah pada stria vaskularis dan ligamen spiralis

sesudah terjadi rangsangan suara dengan intensitas tinggi.

3. Kerusakan pada serabut dan ujung saraf

Keadaan ini masih banyak diperdebatkan, tetapi pada umumnya kerusakan ini

merupakan akibat sekunder dari kerusakan-kerusakan sel-sel sensoris.

4. Hidrops endolimf

VII. GEJALA KLINIS

Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss )

adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat

berat ( profound hearing loss ). (9)

Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi

adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan

ambang dengar menetap ( permanent threshold shift).

Page 13: Referat NIHL

VII.1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi

dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena

fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. (7)

VII.2. Peningkatan ambang dengar sementara (Temporary Threshold Shift / TTS)

Merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising

dengan intensitas yang cukup tinggi.

Seseorang yang pertama kali terpapar suara bising akan mengalami berbagai

perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi

pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometric tampak sebagai “notch” yang

curam pada frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Apabila

beristirahat di luar lingkungan bising biasanya pemulihan dapat terjadi dalam

beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. (7,10)

VII.3. Peningkatan ambang dengar menetap (Permanent Treshold Shift / PTS)

Merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat

pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif). atau berlangsung lama yang

menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ

Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lainnya.

Dikatakan bahwa untuk merubah TTS menjadi PTS diperlukan waktu bekerja di

lingkungan bising selama 10-15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :

- Tingkat suara bising

- Kepekaan sesorang terhadap suara bising

PTS biasanya terjadi di sekitar frekuensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan

menyebar ke frekuensi sekitarnya. PTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila

sudah menyebar sampai frekuensi yang lebih rendah (2000 dan 3000 Hz) keluhan

akan timbul. Pada mulanya sesorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan

pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekuensi yang

lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah.

Notch bermula pada frekuensi 3000-6000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran

audiogram menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran

pada frekuensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan

kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat. (9,10)

Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditory), bising yang berlebihan juga

mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan

konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.

Page 14: Referat NIHL

VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik

dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti audiometri (7)

VIII.1. Anamnesis

Pernah bekerja atau sedang bekerja bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu

yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih.

VIII.2. Pemeriksaan otoskopi

Tidak ditemukan kelainan.

VIII.3. Pemeriksaan audiologi

Tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang

pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek dengan kesan tuli

sensorineural.

VIII.4. Pemeriksaan audiometri nada murni

Gambaran audiogram menunjukkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-

6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang

patognomonik untuk jenis ketulian ini.

Gambar 5. Audiogram gangguan pendengaran akibat bising (NIHL)

VIII.5. Pemeriksaan audiologi khusus

Seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness

balance), MLB (monoaural loudness balance), audiometric Bekesy, audiometri tutur

Page 15: Referat NIHL

(speech audiometry), dimana hasil menunjukkan fenomena rekrutmen yang

patognomonik untuk tuli sensorineural koklea.

IX. PENATALAKSANAAN

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari

lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga

terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung

kepala (helmet).

Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila

gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume

percakapan biasa, dapat dicoba pemsangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila

pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat

berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya.

Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan

ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan

anggotabadan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi.

Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,

rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama

percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan

untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant). (7)

X. PROGNOSIS

Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya

menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka

prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya

ketulian.(7)

XI. PENCEGAHAN

Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya

GPAB yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Program ini terdiri dari 3 bagian

yaitu : (9)

1. Pengukuran pendengaran

Tes pendengaran yang harus dilakukan ada 2 macam, yaitu :

a. Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja

b. Pengukuran pendengaran secara periodik.

Page 16: Referat NIHL

2. Pengendalian suara bising

Pengendalian suara bising dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

a. Melindungi telinga para pekerja secara langsung dengan memakai tutup telinga

(ear muff), sumbat telinga (ear plugs) dan pelindung kepala (helmet)

b. Mengendalikan suara bising dari sumbernya yang dilakukan dengan cara :

- Memasang peredam suara

- Menempatkan suara bising (mesin) di dalam suatu ruangan yang terpisah dari

pekerja

c. Analisa bising

Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekuensi

bising, lama, dan distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat

utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter.

Selain alat pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti ketentuan paparan

bising terhadap pekerja di lingkungan bising yang berintensitas lebih dari 85 dB tanpa

menimbulkan ketulian berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja tahun 1999. (7)

Waktu Lama pajan (hari) Intensitas (dB)

Jam 24 80

16 82

8 85

4 88

2 91

1 94

Menit 30 97

15 100

7,50 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112

Detik 28,12 115

14,06 118

7,03 121

Page 17: Referat NIHL

3,52 124

1,76 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Tabel 2. Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai keputusan Menteri Tenaga Kerja

1999

BAB III

KESIMPULAN

Noise Induced Hearing Loss (NIHL) adalah gangguan pendengaran akibat pajanan

bising yang cukup keras dalam waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising

lingkungan kerja. Ketulian ini berupa tuli saraf dan sifatnya permanen.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengujian audiometric mutlak dibutuhkan untuk

setiap pekerja yang dilakukan sebelum mulai bekerja dan secara berkala selama bekerja

dengan tujuan untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat bising terutama

bising industri.

Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya

menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa ataupun pembedahan, maka yang

terpenting dilakukan adalah pencegahan terjadinya ketulian.

Page 18: Referat NIHL

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republk Indonesia. 2004. Indonesia Termasuk 4 Negara Di Asia

Tenggara Dengan Prevalensi Ketulian 4,6%. Available at

http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=.

Accessed on 22nd September 2012.

2. Universitas Sumatera Utara. Alat Pelindung Diri untuk Pendengaran. Available at

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28089/5/Chapter%20I.pdf. Accessed on

22nd September 2012.

3. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli) dalam Telinga

Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher, editor Soepardi I, et al. Edisi 6. Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2008.

4. Enriquez A, et al. Basic Otolaryngology. Manila: Department of Otorhinolaryngology

UPGH ; 1993.

5. Snell RS. Kepala dan Leher dalam Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC ; 2006.

6. Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC ; 1997.

7. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (noise induced hearing

loss) dalam Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher, editor Soepardi I, et al.

Edisi 6. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2008.

8. Siti Rani. Dosis Pajanan Bising. Available at

http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123563-S-5264-Gambaran%20dosis-

pendahuluan.pdf. Accessed on 22nd September 2012.

9. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Ilmu Penyakit

THT. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Accessed on 22nd September

2012.

10. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher jilid dua. Edisi

13. Jakarta : Binarupa Aksara ; 1997.

11. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC ;

2011.