Referat Neuro Jeli Pnt
-
Upload
jelita-lestari -
Category
Documents
-
view
222 -
download
0
description
Transcript of Referat Neuro Jeli Pnt
BAB I
PENDAHULUAN
Trigeminal Neuralgia postherpetic didefinisiskan sebagai, nyeri kronik, di satu atau lebih
cabang nervus trigeminal setelah infeksi akut dari Herpes zoster virus. Nyeri yang dirasakan di
tempat penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati. Pada
pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.
Herpes Zoster dikenal pula sebagai ‘shingles’ dapat menginfeksi sistem saraf dengan
reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang distribusi dermatomal
yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai neuralgia paska herpetika. Biasanya
gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai nyeri radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan
dapat sangat mengganggu kehidupan penderitanya.
Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan imunitas
menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk kanker dan penderita
HIV.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Fisiologis Nervus Trigeminus
Nervus Trigeminus merupakan saraf cranial terbesar yang memiliki 3 percabangan yaitu :
1
a. Nervus Opthalmicus bersifat sensoris murni. Berjalan ke depan pada dinding lateral sinus
cavernosus dalam fossa crania media dan bercabang tiga; n. lacrimalis, frontalis, dan
nasociliaris, yang masuk ke orbita melalui fissure orbitalis superior. Saraf ini disebarkan
ke kornea mata, kulit dahi dan kepala, kelopak mata, mukosa sinus paranasales, dan
cavum nasi.
b. Nervus maxillaries bersifat sensoris murni. Meninggalkan cranium melalui foramen
rotundum dan kemudian disebarkan ke kulit muka di atas maxilla, gigi rahang atas,
mukosa hidung, sinus maxillaries dan palatum.
c. Nervus mandibularis bersifat motoris dan sensoris. Radiks sensoris meninggalkan
ganglion trigeminal dan berjalan keluar cranium melalui foramen ovale. Radiks motoris
n.trigeminus juga keluar dari cranium melalui foramen yang sama dan bergabung dengan
akar sensoris membentuk truncus n.mandibularis. Serabut sensoris n.mandibularis
mensarafi kulit pipi dan kulit atas mandibula dan sisi kepala. Juga mensarafi articulation
temporomandibularis dan gigi rahang bawah, mukosa pipi, dasar mulut, dan bagian depan
lidah. Serabut motoris n.mandibularis mensarafi otot-otot pengunyah.
Nervus Trigeminus merupakan saraf sensoris utama kepala dan saraf otot-otot
pengunyah. Dan juga menegangkan palatum molle dan membrane tympani.
Fungsi nervus Trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa suhu, nyeri dan raba
pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral calvaria), pemeriksaan
refleks kornea, dan pemeriksaan fungsi otot-otot pengunyah. Fungsi otot pengunyah
dapat diperiksa, misalnya dengan menyuruh penderita menutup kedua rahangnya dengan
rapat, sehingga gigi-gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-gigi rahang atas,
sementara m. Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan mudah.
2
Gambar 1. Nervus V (Nervus Trigeminus)
2. Trigeminal Neuralgia
2.1. Definisi
Secara harfiah, Trigeminal neuralgia berarti nyeri pada nervus trigeminus, yang
menghantarkan rasa nyeri menuju ke wajah. Trigeminal neuralgia adalah suatu keadaan yang
memengaruhi Nervus V. Dicirikan dengan suatu nyeri yang muncul mendadak, berat, seperti
sengatan listrik, atau nyeri yang menusuk-nusuk, biasanya pada satu sisi rahang atau pipi. Pada
beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat pula terserang. Pada kebanyakan
penderita, nyeri berkurang saat malam hari, atau pada saat penderita berbaring.
2. 2. Gambaran Klinis
Serangan Trigeminal neuralgia dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai satu
menit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang
lain merasakan nyeri yang cukup berat, seperti nyeri saat terkena setrum listrik. Penderita
Trigeminal neuralgia yang berat menggambarkan rasa sakitnya seperti ditembak, kena pukulan
jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya. Serangan ini hilang timbul. Bisa jadi dalam sehari
3
tidak ada rasa sakit. Namun, bisa juga sakit menyerang setiap hari atau sepanjang minggu. Lalu,
tidak sakit lagi selama beberapa waktu. Trigeminal neuralgia biasanya hanya terasa di satu sisi
wajah, tetapi bisa juga menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi
wajah dalam waktu bersamaan.
2. 3. Klasifikasi
Trigeminal neuralgia dapat dibedakan menjadi:
1. Trigeminal neuralgia tipikal,
2. Trigeminal neuralgia atipikal,
3. Trigeminal neuralgia karena Sklerosis Multipel,
4. Trigeminal neuralgia sekunder,
5. Trigeminal neuralgia paska trauma, dan
6. Failed Trigeminal neuralgia.
Bentuk-bentuk neuralgia ini harus dibedakan dari nyeri wajah idiopatik (atipikal) serta kelainan
lain yang menyebabkan nyeri kranio-fasial.
2. 4. Etiologi
Mekanisme patofisiologi yang mendasari Trigeminal neuralgia belum begitu pasti, walau
sudah sangat banyak penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua teori tentang mekanisme
harus konsisten dengan:
1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang lama.
2. Umumnya ada stimulus 'trigger' yang dibawa melalui aferen berdiameter besar (bukan
serabut nyeri) dan sering melalui divisi saraf kelima diluar divisi untuk nyeri.
3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion gasserian dan/atau akar-
akar saraf sering menghilangkan nyeri.
4
4. Terjadinya Trigeminal neuralgia pada pasien yang mempunyai kelainan demielinasi
sentral (terjadi pada 1% pasien dengan Sklerosis Multipel).
Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral dibanding saraf
tepi. Paroksisme nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik adalah sering dapat dikontrol
dengan obat-obatan anti kejang (karbamazepin dan fenitoin).
Tampaknya sangat mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukkan suatu cetusan
'aberrant' dari aktivitas neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan input melalui saraf
kelima, berasal dari sepanjang traktus sentral saraf kelima, atau pada tingkat sinaps sentralnya.
Berbagai keadaan patologis menunjukkan penyebab yang mungkin pada kelainan ini. Pada
kebanyakan pasien yang dioperasi untuk Trigeminal neuralgia ditemukan adanya kompresi atas
‘nerve root entry zone' saraf kelima pada batang otak oleh pembuluh darah (45-95% pasien). Hal
ini meningkat sesuai usia karena sekunder terhadap elongasi arteria karena penuaan dan
arteriosklerosis dan mungkin sebagai penyebab pada kebanyakan pasien.
Otopsi menunjukkan banyak kasus dengan keadaan penekanan vaskuler serupa tidak
menunjukkan gejala saat hidupnya. Kompresi nonvaskuler saraf kelima terjadi pada beberapa
pasien. 1-8% pasien menunjukkan adanya tumor jinak sudut serebelopontin (meningioma, sista
epidermoid, neuroma akustik, AVM) dan kompresi oleh tulang (misal sekunder terhadap
penyakit Paget). Tidak seperti kebanyakan pasien dengan Trigeminal neuralgia, pasien ini sering
mempunyai gejala dan/atau tanda defisit saraf kranial.
Penyebab lain yang mungkin, termasuk cedera perifer saraf kelima (misalnya karena
tindakan dental) atau Sklerosis Multipel, dan beberapa tanpa patologi yang jelas.
2.5. Patofisiologi
Trigeminal neuralgia dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan sistem
persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi
adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring
dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima
sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada sudut serebelo-pontin
seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena
5
Sklerosis Multipel. Ada sebagian kasus yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm,
neuralgia Trigeminal bisa mempunyai penyebab perifer maupun sentral.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun
penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada nukleus/inti saraf ini
yang menimbulkan produksi ektopik potensial aksi pada saraf trigeminal. Keadaan ini, yaitu
discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik
yang hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi
potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang
paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus mengakibatkan terjadinya serangan
nyeri.
Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara sentral membuktikan
adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang bagaimana Multipel Sklerosis bisa disertai
nyeri Trigeminal diingatkan akan adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf,
atau pada nukleus sensorik utama nervus trigeminus.
Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes, dianggap bahwa lesi
pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat terjadinya nyeri. Tentang mengapa
nyeri pasca herpes masih bertahan sampai waktu cukup lama dikatakan karena setelah sembuh
dan selama masa regenerasi masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri hingga kurun waktu yang
berbeda. Pada orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada usia lanjut nyeri bisa
berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat dan dalam dosis yang adekuat akan
sangat mempersingkat lamanya nyeri ini.
Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan hemifacial spasm dalam
kelompok "Syndromes of Cranial Nerve Hyperactivity". Menurut dia, semua saraf yang
digolongkan pada sindroma ini mempunyai satu kesamaan: mereka semuanya terletak pada pons
atau medulla oblongata serta dikelilingi oleh banyak arteri dan vena.
Pada genesis dari sindroma hiperaktif ini, terdapat dua proses yang sebenarnya
merupakan proses penuaan yang wajar:
1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.
2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan bergeser atau
jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan akibat makin besarnya kontak
6
neurovaskuler yang tentunya akan memperbesar kemungkinan terjadinya penekanan
pada saraf yang terkait.
Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab umum dari sindroma
saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang berdenyut, baik dari arteri maupun vena, adalah
penyebab utamanya. Letak kompresi berhubungan dengan gejala klinis yang timbul. Misalnya,
kompresi pada bagian rostral dari nervus trigeminus akan mengakibatkan neuralgia pada cabang
oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya. Menurut Calvin, sekitar 90% dari Trigeminal
neuralgia penyebabnya adalah adanya arteri "salah tempat" yang melingkari serabut saraf ini
pada usia lanjut.
Mengapa terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan bahwa
mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah dengan beberapa faktor pola
hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya. Pembuluh darah yang menekan tidak harus
berdiameter besar. Walaupun hanya kecil, misalnya dengan diameter 50-100 um saja, sudah bisa
menimbulkan neuralgia, hemifacial spasm, tinnitus, ataupun vertigo. Bila dilakukan
microvascular decompression secara benar, keluhan akan hilang.
3. Herpes Zoster Menyebabkan Neuralgia
Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia.
Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral
nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai ganda.
Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.1,3
Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian menderita
herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang bertanggung jawab untuk
presentasi klinis yang berbeda ini.3
7
Gambar 2. Virus Varisella zooster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk
reaktivasi selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.
Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik untuk
hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada kulit, menyebabkan ruam
karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah resolusi, banyak individu terus mengalami
nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic neuralgia).
PATOGENESIS
Gambar 3. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster
Herpes Zooster
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster
yang hidup secara dorman di ganglion setelah paparan pertama melalui system pernafasan.
Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster
dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan
bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat
8
terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses
peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini
bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini
terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ’Lipschutz inclusion body’.
Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan
hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai
beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis.
Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.2
Nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis :
1. Proses stimulasi singkat
Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan
timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya lesi,
maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam waktu singkat.
2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atauinflamasi jaringan.
Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan atau dikenal
sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya kalor,
rubor, dolor dan fungsiolaesa.
3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.
Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan
mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi
saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal
dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya.
Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui
perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal yang
selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral).
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal
semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan Aβ yang biasanya berupa
sentuhan halus atau raba normal dirasakan dengan rasa normal, tetapi pada allodinia
diraakan nyeri.2
9
Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang
diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan
sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi
yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus.
Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang juga
mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut
menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya
menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua rangsang
masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam proses sehingga dapat
dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska herpetika memerlukan beberapa
macam pendekatan pula.2
4. NEURALGIA TRIGEMINAL PASCA HERPETIKA
4.1. Definisi
Trigeminal Neuralgia postherpetic didefinisiskan sebagai, nyeri kronik, di satu atau lebih
cabang nervus trigeminal setelah infeksi akut dari Herpes zoster virus. Neuralgia ini
dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama
berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska
herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah
penyembuhan herpes zoster)
4.2. Epidemiologi
Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan data dari
Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di Asia, Australia dan
Amerika Selatan.2
Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan 10-70
persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia
lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5 dan 9 tahun mengambil 50%
dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara usia 1 dan 4 tahun serta 10 dan 14 tahun.
10
Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau dengan leukemia dilaprkan 50-100
kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok sehat usia sama.
4.3. Manifestasi klinis herpes zoster dan neuralgia paska herpetika
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa
terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang
terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah
tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa
unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari
dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari,
tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.
Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan
pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan
pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat
mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat
dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang
paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan
rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus,
atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan
stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
4.4. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah timbulnya
neuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan dari
herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan komplikasi
11
herpes zoster. Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di
tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia paska herpetika
ke dalam tiga fase:
- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4
minggu
- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau
3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.
Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa
tersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia
dimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri
tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat tidur. Keluhan
sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif terhadap perubahan
temperatur.
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan
sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik (allodinia
/ hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan sensorik
meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih
berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang
meluas ke seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi), ensefalitis,
hepatitis, pneumonitis.
4.5. Terapi
a. Analgesik
Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer
maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan
penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti
efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga
menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis
12
dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih
efektif dibanding plasebo dalam pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat
dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan
bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau
refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Oxycodone berdasarkan
penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan
nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan maksimal 60
mg/hari pada NPH.
b. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan memodulasi voltage-gated sodium
channel dan kanal kalsium, meningkatkan efek inhibisi GABA, dan menghambat
transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.
Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada
kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin
dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Karbamazepin, lamotrigine
bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi
hambatan.2,4
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya
gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit
dari voltage-gated calcium channel , sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan
neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada
primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai
efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum
dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil
perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.
c. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan
kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur
inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat
13
antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami pengurangan
nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik
norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri
neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor ) seperti fluoxetine,
paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA
menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya
menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi,
dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini
juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan
hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot
herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.
d. Terapi topikal
Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin
sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska
herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui
bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang
menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Pada
suatu uji klinik acak terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika,
dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok
yang mendapat terapi capsaicin , sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok kontrol
(p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering
tidak bisa ditoleransi pemakainya.
14
Gambar 4. Alogaritma tatalaksana postherpetic neuralgia
4.6. Prognosis
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan
kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik.
Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaika nyata, dan
pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi
namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.
BAB III
15
KESIMPULAN
Neuralgia pasca herpetika merupakan komplikasi dari penyakit herpes zoster yang
disebabkan oleh virus varicella zoster. Virus ini menyebabkan 3 klinis yang berbeda, yaitu
menyebabkan cacar air pada masa anak-anak, pada dewasa menimbulkan herpes zoster dan pada
keadaan berikutnya dapat timbul neuralgia pasca herpes, yang biasanya menyerang pada usia tua.
Pada neuralgia pasca herpes, fungsi sensoris normal mengalami perubahan. Perubahan
yang terjadi yaitu berupa sensasi abnormal terhadap rabaan halus, tiupan atau suhu yang
dirasakan sangat nyeri. Hal ini diakibatkan karena perlukaan dari saraf perifer dan berubahnya
proses pengolahan sinyal ke system saraf pusat.
Secara umum penatalaksanaan neuralgia pasca herpes meliputi 2 jalur, yaitu
farmakologik dan nonfarmakologik. Obat anastetik misalnya lidokain, prokain dilaporkan
memberikan efek teerapi sementara bila diberikan injeksi local atau intravena. Penggunaan krim
topical untuk mengobati neuralgia pasca herpes cukup banyak dilaporkan diantaranya dengan
menggunakan capsaicin. Antidepresan trisiklik juga menunjukkan peran penting pada neuralgia
pasca herpes, karena mekanisme memblok reuptake noreepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat
mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf yang terlibat dalam persepsi nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan
penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.
2. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from:
http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id
16
3. Mazzoni, P. Pearson, T. Rowland, L. Merritt’s Neurology Handbook. 2nd Edition.
Lippincott Williams & Wilkins : 2006.
4. Gilhus. E, Barnes. M, brainin, M. European Handbook of Neurogical Management.
Vol.1, willey Blackwell : 2010.
5. Anderson. E, Varicella-Zoster virus.available from :
http://emedicine.medscape.com/article/231927-overview
6. Sayalnar. J, Guleypoglu. N. Trigeminal Postherpetic Neuralgia Responsive to
Treatmen with Capsaicin 8% topical Patch: A Case Report. Avalaible at:
http://web.a.ebscohost.com/ehost/resultsadvanced
7. Alvarez. K, Dowgan S. Evaluation of the sensation in patients with trigeminal post-
herpetic neuralgia avalaible at:
http://web.a.ebscohost.com/ehost/resultsadvanced
8. Kost.R, Straus. S, Postherpetic neuralgia--pathogenesis, treatment, and prevention
Avalaible at: http://web.a.ebscohost.com/ehost/resultsadvanced
17