Referat Mual Dan Muntah

download Referat Mual Dan Muntah

of 15

Transcript of Referat Mual Dan Muntah

Mual dan Muntah Pasca Operasi

Mual dan Muntah Pasca Operasi

BAB I

PENDAHULUAN

Muntah merupakan suatu cara traktus gastrointestinal membersihkan dirinya sendiri dari isinya ketika hampir semua bagian traktur gastrointestinal teriritasi secara luas, sangat mengembang, atau bahkan terlalu terangsang. Distensi atau iritasi yang berlebihan dari duodenum menyebabkan suatu rangsangan khusus yang kuat untuk muntah.2Mual dan muntah pasca operasi atau post operative nausea and vomiting (PONV) dapat disebabkan oleh beberapa jalur yaitu sistem saraf perifer, dan reseptor dari sistem saraf pusat, meskipun penyebab pastinya belum diketahui. Mual muntah pasca operasi atau Post operative nausea and vomiting (PONV) adalah efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi.1

Mual dan muntah pasca operasi menunjukkan 20 - 30 % angka kejadian pada pasien. Angka kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama.3,8,9

Ada beberapa golongan obat yang biasa digunakan untuk menangani mual dan muntah pasca operasi, seperti dopamine antagonis, histamin antagonis, antikolinergik, serotonin antagonis, dexametason, dan neurokinin antagonis. Namun ondansetron adalah antogonis serotonin pertama, dan merupakan pilihan untuk keluhan mual dan muntah. Dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Penggunaan selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) anatagonis seperti ondansetron 4 mg ( 0.1 mg/kg pada anak), granisetron 0.01 - 0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak) juga secara aktif dapat mencegah PONV dan dalam terapi PONV. Pemberian dexametason juga berperan efektif dalam meningkatkan penurunan terjadinya PONV dengan dosis 4 - 10 mg.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi Mual dan Muntah

Etiologi muntah pada PONV merupakan multifaktorial. Faktor - faktornya bisa diklasifikasi berdasarkan sikuensi keterpaparan pasien yaitu :

1. Faktor - faktor pasien1 a. Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42 - 51% pada umur 6 - 16 tahun dan 14 - 40% pada dewasa.

b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 - 4 kali lebih mungkin dibandingkan laki - laki, kemungkinan karena hormon perempuan.

c. Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih mudah terjadi PONV baik karena adipos yang berlebihan sehingga penyimpanan obat - obat anestesi atau produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan adipos.

d. Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness lebih mungkin terkena PONV

e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kondisi ini akan menambah resiko terjadinya PONV

f. Perokok : merokok mempengaruhi angka kejadian PONV, pada pasien dengan status bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV

2. Faktor - faktor preoperatif1 a. Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan meningkatkan insiden PONV

b. Ansietas : stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah

c. Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial, obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien dengan kemoterapi.

d. Pre medikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung dan mengurangi tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi gaster, dan menurunkan motilitas pencernaan. Hal ini menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dari sel - sel chromaffin dan terlepasnya ADH.

3. Faktor - faktor intraoperatif1a. Faktor anestesi:

Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah

Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah

Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang vestibular

Obat - obat anestesi : opioid adalah opat penting yang berhubungan dengan PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi.

Agen inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang tinggi karena katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan yang dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya muntah karena N2O karena kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster.

b. Teknik anestesi: Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif.

c. Faktor pembedahan :

Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara, laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik, bedah THT, bedah ginekologi.

Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV meningkat sampai 60%).

4. Faktor - faktor post operatif 1Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat.

Risk-estimation for PONV by the Apfel-score9

Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah sadar pada daerah medulla yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan bagian dari pusat muntah, dan mual dapat disebabkan oleh : (1) impuls iritatif yang datang dari traktus gastrointestinal,

(2) impuls yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion sickness,

(3) impuls dari korteks serebri untuk mencetuskan muntah. Muntah kadang terjadi tanpa didahuui dengan perangsangan prodromal mual, yang menunjukkan hanya bagian-bagian tertentu dari pusat muntah yang berhubungan dengan perangsangan mual.2,5Mekanisme Mual dan Muntah

Sinyal sensoris yang mencetuskan muntah terutama berasal dari faring, esophagus, lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf kemudian ditransmisikan oleh serabut saraf aferen vagal maupun oleh saraf simpatis ke berbagai nucleus yang tersebar di batang otak yang semuanya disebut "pusat muntah". Dari sini, impuls-impuls motorik yang menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah melalui jalur saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus yang lebih bawah dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen.2

Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul perilaku muntah, efek pertama adalah

(1) bernapas dalam (2) naiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter esophagus bagian atas supaya terbuka

(3) penutupan glotis untuk mencegah aliran muntah memasuki paru (4) pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior. Kemudian datang kontraksi diafragma yang kuat ke bawah bersama dengan kontraksi semua otot dinding abdomen. Keadaan ini memeras perut di antara diafragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Akhirnya, sfingter esophagus bagian bawah berelaksasi secara lengkap, membuat pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus.2,5

Jadi, aksi muntah berasal dari suatu kerja dari otot-otot abdomen bersama dengan kontraksi dari dinding lambung dan pembukaan sfingter esophagus sehingga isi lambung dapat dikeluarkan.2

Selain dari muntah yang disebabkan oleh rangsangan iritasi traktus gastrointestinal, muntah juga dapat disebabkan oleh impuls saraf yang timbul pada daerah otak. Terutama berlaku pada daerah kecil yang terletak bilateral pada dasar ventrikel keempat disebut zona pencetus kemoreseptor untuk muntah. Perangsangan elektrik pada daerah ini dapat menyebabkan muntah, namun yang lebih penting terutama pada penggunanaan obat-obat tertentu, termasuk apomorfin, morfin, dan beberapa derivate digitalis, dapat secara langsung merangsang zona pencetus kemoreseptor dan mencetuskan muntah. Destruksi daerah tersebut menghambat muntah, tetapi tidak menghambat muntah yang ditimbulkan oleh rangsangan iritasi.2,5

Telah diketahui dengan baik bahwa perubahan arah atau irama gerakan tubuh yang cepat dapat menyebabkan muntah. Mekanisme hal ini yaitu karena gerakan merangsang reseptor di dalam labirin vestibular pada telinga dalam, dan dari sini impuls ditransmisikan terutama lewat jalur nuclei vestibular batang otak ke dalam serebelum, kemudian ke zona pencetus kemoreseptor, dan akhirnya ke pusat muntah untuk menyebabkan muntah.2

Terdapat 3 stadium pada proses mual dan muntah :

1. Mual perasaan yang sangat tidak enak di belakang tenggorokan dan epigastrium. Terjadi peningkatan salivasimenurunnya tonus lambung, dan peristaltik.

2. Recthing suatu usaha involunter untuk muntah, terdiri atas gerakan pernapasan spasmodik melawan glotis dan pergerakan inspirasi dinding dada dan diafragma.

3. Muntah suatu refleks yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi lambung atau usus atau keduanya ke mulut. 5Jalur alamiah dari muntah belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf - saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf -saraf ini menerima input dari :

Chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema

Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga tengah)

Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik)

Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)8Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.

a) Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.

b) Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia.

Pada area CTZ kaya akan reseptor dopamine dan 5-hydroxytryptamine, khususnya D2 dan 5HT3. CTZ tidak dilindungi oleh sawar darah otak, oleh karena itu bisa terpapar oleh stimulus - stimulus (mis: obat - obatan dan toksin). Bisa juga dipengaruhi oleh agen anestesi, opioid dan faktor humoral (cth 5HT) yang terlepas pada saat operasi. Sistem vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi yang berhubungan dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba - tiba dari kepala pasien setelah bangun menyebabkan gangguan vestibular telinga tengah, dan menambah insiden PONV. Acetilkoline dan histamin berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah. Pusat kortikal yang lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan, terutama jika adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut. Pusat muntah adalah medulla oblongata yang letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor.2,4,5

Patofisiologi mual dan muntah1,2Tatalaksana Mual dan Muntah Pasca Operasi

Pengunanaan propofol pada anestesia dapat mengurangi angka kejadian pada postoperative nausea and vomiting (PONV) karena propofol bekerja dengan menekan pusat muntah. 3,10

Adapun beberapa golongan obatyang dapat digunakan dalam terapi mual dan muntah pasca operasi, yaitu :

Dopamine Antagonists

Metoclopramide dapat diberikan untuk mencegah PONV. Ini merupakan antiemetic yang dimedia melalui reaksi anti dopaminergik dan berhubungan dengan prokinetik. Penggunaan dosis untuk metoclopramide yaitu 200 mg tiap 6 jam yang mana mencegah mual dan munttah yang terinduksi dengan kemoterapi. Sayangnya penggunaan obat ini berefek samping pada gejala ekstrapiramidal pada lebih dari 10 % pasien, yang dapat diatasi dengan pemberian antihistamin dan benzodiazepine. Dosis lain diberikan metoclopramide 0.15 mg/kg secara intravena, namun tidak seefektif pada pemberian 5-HT3 anatagonis, namun dapat diberikan sebagai obat alternatif. 5-HT3 anatagonis tidak berhubungan dengan gejala akut pyramidal (distonik) dan reaksi disforik yang mungkin dapat ditemui pada pemberian metoclopramide atau antiemetic phenothiazine. Pemberian droperidol 0.625 - 1.25 mg (0.05 - 0.075 mg/kg pada anak) secara intravena dapat diberikan saat berlangsungnya operasi, dan menurunkan kejadian PONV. Namun sayangnya pemberian droperidol mengindikasi terjadinya QT interval dan berhubungan dengan aritmia jantung. Peringatan dari FDA (Food and Drug Administration) masih menjadi kontroversi dan penggunaan obat ini pun tidak terlalu digunakan. 1,3,4

Histamin Antagonis

Diphenhydramine (Benadryl) dan dimenhydrinate adalah histamine (H1) reseptor antagonis yang diketahui efektif mengatasi morning sickness dan antikolinergik lemah (antimuskarinik) . Cyclizine (Marezine) dan promethazine (atosil, phenergan) sama dengan antihistamin dan antikolinergik, yang memiliki kontraindikasi pada pasien dengan glaucoma dan hipertrofi prostat. Pemberian obat ini efektif dalam mencegah PONV. Efek samping pemberian obat ini adalah mengantuk, retensi urin, mulut kering, penglihatan yang kabur, dan gejala ektrapiramidal.1,3,4

Antikolinergik

Pemberian atrofin sulfat masih dipertimbangkan. Penggunaan scopolamine secara transdermal cukup efektif namun dapat menimbulkan beberapa kesulitan pada beberapa pasien, seperti pada eksaserbasi glaucoma, retensi urin, dan kesulitan pada daya akomodasi penglihatan. Efek samping pada pemberian obat ini yaitu penglihatan kabur (18%), mulut kering (8%), pusing (2%), dan agitasi (1%).1,3

Serotonin Antagonis

Ondansetron adalah antogonis serotonin pertama, dan merupakan pilihan untuk keluhan mual dan muntah. Dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Penggunaan selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) anatagonis seperti ondansetron 4 mg ( 0.1 mg/kg pada anak), granisetron 0.01 - 0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak) juga secara aktif dapat mencegah PONV dan dalam terapi PONV. Namun pemberian obat-obat ini tidak lebih baik dari ondansetron, seperti dolasetron yang butuh waktu 15 menit untuk mencapai onsetnya.1,3

Ondansetron

Ondansetron merupakan derivate carbazolone yang merupakan obat selective memblock serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT3) receptor. 5- hydroxytryptamine(5-HT) terdapat dalam jumlah besar di trombosit dan saluran gastrointestinal( enterchromaffin sel dan plexus myenteric). 5-HT juga berperan penting dalam neurotransmitter di Central nervous system, retina, system limbic, hypothalamus, cerebellum dan spinal cord. Banyak type dari 5-HT ini, antara lain 5-HT2A adalah reseptor yang berpengaruh pada kontraksi otot dan agregasi trombosit. 5-HT3 adalah reseptor yang memediasi terjadinya mual muntah yang terdapat saluran pencernaan dan area postrema di otak. 5-HT4 adalah reseptor untuk sekresi dan peristaltic. 5-HT6 dan 5-HT7 adalah reseptor utama pada system limbic yang berperan penting untuk terjadinya depresi.2,3,6Ondansetron selektif memblock reseptor serotonin 5-HT3. Reseptor 5-HT3 berlokasi perifer( abdominal vagal afferent) dan sentral (chemoreseptot trigger zone di area postrema dan tractus nucleus solitaries) yang berperan penting dalam terjadinya mual muntah. Serotonin dilepaskan dari sel enterocromaffin di usus kecil yang menstimulasi vagal afferent melalui 5-HT3 dan menstimulasi terjadinya muntah. Obat ini tidak mengganggu motilitas gastrointestinal dan sphingter oesophagus. 6Ondansetron telah tebukti sebagai antiemetic yang efektif untuk mencegah PONV, chemotherapy dan radiasi yang menyebabkan mual muntah. Tetapi tidak mempunyai efek pada mual muntah yang diakibatkan oleh gangguan vestibular. Prophylaksis ini harus kita berikan terutama kepada pasien dengan resiko tinggi terjadinya PONV untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan akibat mual muntah tersebut. 3,45-HT3 reseptor antagonis mempunyai efek samping yang lebih minimal dibandingkan obat lain. Ondansetron tidak menyebabkan sedasi, gangguan extrapyramidal ataupun depresi pernafasan. Efek samping yang paling banyak dilaporkan adalah sakit kepala. Pada beberapa kasus didapatkan gangguan irama jantung(prolong QT interval) terutama pada dolasetron. 4,6Kontraindikasi Ondansetron adalah selain pada pasien yang hipersensitivitas terhadap obat ini, juga pada ibu hamil ataupun yang sedang menyusui karena mungkin disekresi dalam asi. Pasien dengan penyakit hati mudah mengalami intoksikasi, tetapi pada pasien yang mempunyai kelainan ginjal agaknya dapat digunakan dengan aman. 4Dosis yang dianjurkan untuk mencegah PONV adalah 4 mg pada akhir pembedahan, dapat diulang setiap 4-8jam. waktu paruhnya adalah 3-4 jam pada orang dewasa sedangkan pada anak-anak dibawah 1`5 tahun antara 2-3 jam, oleh karena itu ondansetron baik diberikan pada akhir pembedahan. Ondansetron di metabolisme di hati melalui proses hydroxylasi dan konjugasi oleh enzyme cythocrome P-450. 4Dexametason

Dexametason cukup efektif dalam mengatasi antiemetik. Pada penelitian kerja dexametason berefek pada penghambatan dari traktus nucleus solitarii tapi tidak pada area postrema. Banyak penelitian menjelaskan bahwa pemberian dosis dexametason yang biasa diberikan yaitu 8 - 10 mg, namun ada juga sumber berbeda mengatakan pemberian dosisnya yaitu 2.5 - 5 mg.4 Pemberian dexametason 4 - 10 mg (0.10 mg/kg pada anak) dapat dikombinasikan dengan obat antiemetik lain dan efektif untuk keadaan mual dan muntah. 3

Neurokinin Antagonis

Subtansi P yaitu regulatori peptide yang mengikan ada neurokinin-1 (NK1) reseptor ditemukan pada vagal aferen di traktus gastrointestinal. Sekitar 40 tahun lalu dikatakan bahwa NK1 Secara efektif dapat mengatasi stimulus emetic secara luas. Namun saat in di beberapa penelitian, pemberian 200 mg mengurangi kejadian muntah postoperative dari 50% menjadi 10%. 4

Prophylactic doses and timing for the administration of antiemetics8,10

Sumber lain mengatakan bahwa penggunan 1 mg haloperidol dan 4 mg ondansetron efektif sebagai profilaksis dalam mual dan muntah pasca operasi.6

Pada terapi nonfarmakologis PONV termasuk pemberian cairan yang adekuat yaitu 20 mL/kg setelah puasa dan stimulasi dari P6 dengan akupuntur pada pergelangan tangan. 3

Pemberian profilaksis pada setiap pasien masih menjadi kontroversi, dan masih perlu dilakukan penilaian dari segala aspek multifactor untuk dapat menerima profilaksis. Terapi yang baik untuk menangani mual dan muntah pasca operasi yaitu dilakukan pada kurang dari 24 jam.1,3

Algoritma penanganan mual dan muntah pasca operasi 7BAB IIIKESIMPULAN

Mual dan muntah pasca operasi menunjukkan 20 - 30 % angka kejadian pada pasien. Angka kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama.

Jalur alamiah dari muntah belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf - saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf -saraf ini menerima input dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema , sistem vestibular, nervus vagus, sistem spinoreticular, dan nukleus traktus solitaries.

Ada beberapa golongan obat yang biasa digunakan untuk menangani mual dan muntah pasca operasi, seperti dopamine antagonis (metoclopramide 0.15 mg/kg), histamin antagonis, antikolinergik, serotonin antagonis (ondansetron, granisetron, dolasetron), dexametason, neurokinin antagonis. Namun ondansetron adalah antogonis serotonin pertama, dan merupakan pilihan untuk keluhan mual dan muntah. Dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Penggunaan selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) anatagonis seperti ondansetron 4 mg ( 0.1 mg/kg pada anak), granisetron 0.01 - 0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak) juga secara aktif dapat mencegah PONV dan dalam terapi PONV. Pemberian dexametason juga berperan efektif dalam meningkatkan penurunan terjadinya PONV dengan dosis 4 - 10 mg.

DAFTAR PUSTAKA

1. Christian CA. Post operative Nausea and Vomiting. In: Miller DR, Eriksson LI, Fleisher LA, Kronish JPW, Young WL, editors. Miller's Anesthesia. Seventh Edition. Volume Two. San Fransisco: Elsevier; 2010. P 2729-51.

2. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Yanuar L, Hartanto H, Novriati A, Wulandari N, editor. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. P865-6.3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Postanesthesia Care. In: Clinical Anesthesiology. Fourth Edition. USA: McGraw-Hill Companies; 2006. P1005-8.

4. Sadosty AT, Browne BJ. Vomiting Diarrhea and Constipation. In: Tintinalli JE, Kelen GD, Stapczynski JS, editors. Emergency Medicine A Comprehensive Study Guide. Fifth Edition. USA: McGraw-Hill Companies; 2000. P567-8.

5. Price SA, Wilson LM. Gangguan Sistem Gastrointestinal. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. P421-2.6. Carl E. Rosow CE, Haspel KL, Smith SE, Grecu L. Haloperidol Versus Ondansetron for Prophylaxis of Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth Analg. 2008;106:1407-9.

7. Gan TJ, Meyer T, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Eubanks S, Kovac A, et al. Consensus Guidelines for Managing Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth Analg. 2003; 97: 62-71.

8. McCracken G, Houston P, Lefebvre G. Guideline for the Management of Postoperative Nausea and Vomiting. J O G C Juillet. July 2008; 209: 600 - 7.

9. Pierre S, Benais H, Pouymayou J. Apfel's simplified score may favourably predict the risk of postoperative nausea and vomiting. Can J Anesth. 2002; 49 (3): 237 - 42.10. Bosch JE, Bonsel GJ, Moons KG. Effect of Postoperative Experiences on Willingness to Pay to Avoid Postoperative Pain, Nausea, and Vomiting. Anesthesiology. 2006; 104:1033-9.Rina Dwi Indriyani (0861050108)Page 1