Referat Mata

22
REFERAT IDIOPATHIC ORBITAL INFLAMMMATORY SYNDROME (PSEUDOTUMOR ORBITA) DISUSUN OLEH: Ristianti Affandi 1102010248 PEMBIMBING : Dr. Hj. Elfi Hendriati Budiman, Sp.M DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/ SMF MATA RSUD 1

description

j

Transcript of Referat Mata

REFERAT

IDIOPATHIC ORBITAL INFLAMMMATORY SYNDROME(PSEUDOTUMOR ORBITA)

DISUSUN OLEH:

Ristianti Affandi1102010248

PEMBIMBING :

Dr. Hj. Elfi Hendriati Budiman, Sp.M

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/ SMF MATA RSUD Dr. Slamet GARUTFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS YARSI2015BAB IPENDAHULUANSindrom inflamasi idiopatik orbital (Idiopathic orbital inflammmatory syndrome/ IOIS) atau pseudotumor orbita adalah suatu proses inflamasi non-granulomatosus pada mata yang penyebabnya tidak diketahui apakah dari penyebab lokal atau sistemik.1Pseudotumor orbita merupakan penyebab ketiga penyakit mata yang paling sering setelah Graves disease dan limfoproliferatif disorder, dilaporkan insidensinya 4.7% sampai 6.3%.1 Pseudotumor orbita pertama kali di jelaskan oleh Birch-Hirschfield pada tahun 1905 ditemukan masa orbita dimana pada biopsi tidak ditemukan pertumbuhan tumor. Pada 1.264 pasien di Wills Eye Hospital, Philadelphia Amerika Serikat untuk massa orbital dicurigai, lesi inflamasi menyumbang 11% dari histopatologi terdapat lesi. Dari 200 pasien berusia 60 tahun atau

lebih yang di rawat di rumah sakit yang sama ditemukan 19 (10%) kasus pseudotumor.1,2,3Di China dilaporkan pada 209 kasus pada usia rata-rata 44 tahun, 90 mengalami inflamasi pada mata kanan, 81 pada mata kiri dan 38 kasus pada keduanya.2Proptosis merupakan gejala yang paling sering ditemui, selain itu disertai dengan nyeri daerah orbita, gerakan terbatas, penurunan visus, diplopia, dan chemosis.3Terapi dari pseudotumor adalah dengan kortikosteroid oral dosis tinggi yang biasanya memiliki respon yang baik. Obat-obatan yang biasa digunakan adalah prednisone selain itu dapat digunakan radioterapi dan pembedahan.3

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 DefinisiSindrom inflamasi idiopatik orbital (Idiopathic orbital inflammmatory syndrome/ IOIS) atau pseudotumor orbita adalah suatu proses inflamasi non-granulomatosus pada mata yang penyebabnya tidak diketahui apakah dari penyebab lokal atau sistemik.1 Terjadi pembengkakan pada jaringan di belakang mata dan di daerah orbita. Daerah orbita merupakan bagian tulang tengkorak yang menjadi tempat bola mata, berfungsi sebagai pelindung bola mata dan otot serta jaringan disekitarnya.4Disebutkan sebagai pseudotumor ditunjukan sebagai proses non-neoplastik yang menghasilkan tanda seperti proses neoplasma pada orbita.5 Pada pseudotumor tidak menunjukan adanya penyebaran ke jaringan lain.4Konsep terbaru dari pseudotumor orbita adalah idiopatik tumor inflamasi yang dibentuk sebagai respon seluler inflamasi pleomorfik dan reaksi jaringan fibrovaskular.22.2 Anatomi2.2.1 Rongga OrbitaRongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita. Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung. Dinding lateral orbita membentuk sudut 45 dengan dinding medialnya. Dinding orbita terdiri atas tulang:51. Atap atau superior: Os. Frontal2. Lateral : Os. Frontal, os. Zigomatik, ala magna os. Sfenoid3. Inferior: Os. Zigomatik, os. Maksila, os. Palatine4. Nasal: Os. Maksila, os. Lakrimal, os. Etmoid.Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik, arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid.5 Gambar 1. Anatomi OrbitaFisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V), abdusen (VI), dan arteri vena oftalmik. 5

Gambar 2. Fisura Orbita Superior dan InferiorFisura orbita inferior terletak di dasar tengah temporal orbita dilalui oleh saraf intra-orbita dan zigomatik dan arteri infra orbita.5Fosa lakrimal terletak di sebelah temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal.52.2.2 Otot Penggerak MataOtot ini menggerakan bola mata dengan fungsi ganda dan untuk pergerakan mata tergantung pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot. Otot penggerak bola mata terdiri dari :51. Otot Oblik InferiorM. oblik inferior mempunyai origo pada fosa lakrimalis tulang lakrimal, berinsersi pada sklera posterior 2mm dari kedudukan macula, dipersarafi saraf okulomotor, bekerja untuk menggerakan mata keatas, abduksi, dan eksiklotorsi.52. Otot Oblik SuperiorM. Oblik superior berorigo pada annulus zinn dan ala parva tulang sfenoid di atas foramen optic, berjalan menuju troklea dan dikatrol balik dan kemudian berjalan di atas otot rektus superior yang kemudian berinsersi pada sklera dibagian temporal belakang bola mata. Oblik superior dipersarafi saraf ke IV atau troklear yang keluar dan bagian dorsal sumsum saraf pusat.5Mempunyai aksi pergerakan miring dari troklea pada bola mata dengan kerja utama terjadi bila sumbu aksi dan saumbu penglihatan searah atau mata melihat kearah nasal. Berfungsi menggerakan bola mata untuk depresi (primer) terutama bila mata melihat ke nasal, abduksi dan insiklotorsi5Oblik superior merupakan otot penggerak mata yang terpanjang dan tertipis.53. Otot Rektus InferiorRektus inferior mempunyai origo pada annulus zinn, berjalan antara oblik inferior dan bola mata atau sklera dan insersi 6mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik inferior diikat kuat oleh ligament Lockwood. Rektus inferior dipersarafi oleh n.III.5 Fungsi gerakan bola mata :a. Depresi (Gerak primer)b. Eksoklotorsi (Gerak Sekunder)c. Adduksi (Gerak sekunder)5

4. Otot Rektus LateralRektus lateral mempunyai origo pada zonula zinn di atas dan di bawah foramen optic. Rektus lateral dipersarafi oleh N.VI. Dengan fungsi menggerakan mata terutama abduksi.55. Otot Rektus MediusRektus medius mempunyai origo pada zonula zinn dan pembungkus dura saraf optic yang sering memberikan rasa sakit pada pergerakan mata bila terdapat neuritis retrobulbar, dan berinsersi 5mm di belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling tebal dengan tendon paling pendek. Menggerakan mata untuk adduksi (Gerak Primer).56. Otot Rektus SuperiorRektus superior mempunyai origo pada annulus zinn dekat fisura orbita superior beserta lapis dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakan bola mata bila terjadi neuritis retrobulbar. Otot ini berinsersi 7mm di belakang limbus dan dipersarafi cabang N.III.5Fungsi menggerakan mata elevasi, terutama bila melihat ke lateral: a. Adduksi, terutama bila tidak melihat ke lateralb. Iniklotorsi

Gambar 3. Anatomi Otot Ekstensor Bola Mata2.2.3 Anatomi Sistem LakrimalSistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.5Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :1. Sistem produksi atau glandula lakrimal. Glandula lakrimal terletak di temporo antero superior rongga orbita.2. Sitem ekskresi, yang terdiri atas pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal dan duktus nasolacrimal. Sakus lakrimal terletak di bagian depan rongga orbita. Air mata dari duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung di dalam meatus inferior.5

Gambar 4. Anatomi Sistem Lakrimal2.2 EpidemiologiPseudotumor orbita merupakan penyakit yang jarang ditemukan dan insidensi belum diketahui dengan pasti. Menurut Rootman pseudotumor menempati posisi setelah Graves disease pada penyakit orbita paling sering yaitu sekitar 6.5% pada penelitiannya di klinik orbital University of British Columbia. Menurut Yuen Pseudotumor orbita ditemukan sekitar 6% pada sebuah penelitian di klinik orbita di Boston.3Pseudotumor orbita merupakan penyebab ketiga penyakit mata yang paling sering setelah Graves disease dan limfoproliferatif disorder, dilaporkan insidensinya 4.7% sampai 6.3%.1 Pseudotumor orbita pertama kali di jelaskan oleh Birch-Hirschfield pada tahun 1905 ditemukan masa orbita dimana pada biopsy tidak ditemukan pertumbuhan tumor. Pada 1.264 pasien di Wills Eye Hospital, Philadelphia Amerika Serikat untuk massa orbital dicurigai, lesi inflamasi menyumbang 11% dari histopatologi terdapat lesi. Dari 200 pasien berusia 60 tahun atau lebih yang di rawat di rumah sakit yang sama ditemukan 19 (10%) kasus pseudotumor.1,2,32.3 Etiologi dan Faktor RisikoEtiologi pseudotumor orbita masih belum diketahui. Beberapa penelitian memaparkan kemungkinan berhubungan dengan infeksi, penyakit autoimun, dan penyembuhan luka yang menyimpang.2,4 Penyakit ini dihubungkan dengan infeksi dari Streptococcal pharyngitis, infeksi virus saluran napas atas dan infeksi Borrelia bugdorferi.4Pseudotumor dapat menjadi bagian dari penyakit lain, seperti; Tolosa Hunt Syndrome, Pituitay Histiocyteosis, Idiopatic Meningitis, Carotido-Cavernous Fistula, Wagener Granulomatosis, dan Erdheim-Chester Disease. Selain itu juga berkolerasi dengan beberapa penyakit autoimun seperti arthritis, lupus, dan inflammatory bowel disease.1,3Pseudotumor orbita tidak ada hubungannya dengan ras, gender atau usia, namun ada juga yang menyatakan bahwa lebih sering terkena pada wanita muda, usia rata-rata terkena penyakit ini sekitar 47 tahun.3,4,72.4 PatofisiologiPatofisiologi pseudotumor orbita masih sulit dipahami tapi banyak bukti yang menunjukan pada proses immune-mediated sebagai mekanisme utama. Penemuan patologi mungkin tidak spesifik dan hanya menunjukan benign hiperplasia limfoid dan sel inflamasi infiltrasi dengan vaskulitis nekrosis.62.5 Manifestasi KlinisPseudotumor orbita biasanya bersifat unilateral, jika bilateral kemungkinan merupakan manifestasi dari vaskulitis.7,8 Dapat bersifat akut, kronik dan rekuren. Secara klasik di gambarkan dengan trias pseudotumor yaitu, nyeri, ophthalmoparesis dan proptosis.1 Gejala mungkin tidak spesifik digambarkan nyeri pada mata, mata merah (jarang), ptosis, penglihatan ganda atau penurunan tajam penglihatan merupakan gejala akut. Ditemukan juga tanda-tanda inflamasi seperti; rubor, dolor, calor, tumor, dan function laesa. Pada anak-anak mungkin dapat disertai dengan demam. Pada gejala kronik disertai dengan proptosis asimptomatik.2,3,4,6 Nyeri dirasakan bertambah saat pasien menggerakan mata dan juga disertai dengan erythema dan edema periorbita.2Pasien dengan proptosis progresif, penurunan motiliti okular dan nyeri hebat merupakan tanda bahaya pada pasien pseudotumor orbita.2Tanda lain seperti pembesaran kelenjar lakrimalis atau teraba masa di orbita, uveitis, peningkatan TIO, hyperopic shift, saraf optik yang bisa menebal, meningkatnya senstasi saraf trigeminal, chemosis konjungtiva dan injeksi konjungtiva.6 Gambar 5. Proptosis pada pseudotumor orbita OD Gambar 6. Importan protrusion, chemosis, loss motolity Gambar 7. Edema Palpebra dan Nyeri2

Gambar 8. Chemosis, Proptosis,Disertai demam dan gangguan lapang pandang2

2.6 DiagnosisDiagnosis pseudotumor ditegakan berdasarkan; manifestasi klinik, temuan pada pemeriksaan, biopsi, Radiologi, dan respon terhadap steroid.1 Pseudotumor harus dibedakan dengan keganasanan dan penyakit tyroid serta harus menyingkirkan adakah penyebab lokal maupun sistemik.3,4 Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan, diantaranya;1. CT-Scan2. MRI3. Ultrasonograpy kepala4. Skull x-ray5. Biopsy6. Laboratorium : Darah lengkap, ESR dan CRPPada imaging mayoritas kasus dapat ditemukan lokasi terjadinya inflamasi, gambaran mungkin menunjukan stigmata dari inflamasi orbita, termasuk cairan di ruang tenon, kontur nervus optikus, dan otot extraokular. Pada CT-Scan dan MRI pseudotumor mungkin ditemukan masa orbital yang difus, penipisan uveoscleral, proptosis, nervus optikus yang menebal dan otot ekstraokular yang menebal. MRI dengan menggunakan frequency-selective fat saturation dan Gd-DTPA.2 Termasuk infiltrasi dari lemak retro-orbital dan inflamasi pada apex orbital.1,3Gambar 9

Gambar 11Gambar 10

Gambar 12. CT-Scan (Axial dan Coronal) seluruh otot recti menipis dan proptosis

Gambar 13. CT-Scan (Axial dan Coronal) menunjukan proses infiltratif bilateralTanda pada CT-scan obital menunjukan penipisan sklera posterior menebal, lemak orbital, atau kelenjar lakrimalis atau penebalan otot ekstraokular (termasuk tendon). Biasanya jarang disertai dengan desertai dengan destruksi tulang.6Pemeriksaan laboratorium tidak dapat menegakan diagnosis, tapi dapat digunakan untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding. Gordon menyarankan untuk memeriksakan pemeriksaan darah lengkap, sedimen eritrosit, protein C-reactive, antibody anti-nuklear, antibodi anti-neutrophil cytoplasmic, faktor rheumatoid, serum electrophoresis, enzim angiotensin-converting, fungsi tiroid, dan anti thyroid antibodies.2Biopsi orbita dilakukan untuk kecurigaan keganasan atau pada respon rendah terhadap terhadap terapi. FNAB (Fine-needle aspiration biopsy) dilakukan biasanya untu membedakan antara keganasan dan bukan keganasan. Pada gambaran histopatologi dari hasil biopsi ditemukan gambaran inflamasi granulomatous, bercampur dengan nongranulomatous inflamasi dan fibosis.2,3Pseudotumor orbit terdiri dari polimorfik, infiltrat limfositik nonspesifik dengan makrofag, leukosit polymorphonuclear dan eosinophilis. Peningkatan jaringan ikat dengan edema dan fibrosis juga sering terlihat ketika pembentukan fibrosis yang luas terlihat pada spesimen biopsi, itu disebut sclerosing pseudotumor orbital.2Pseudotumor orbital adalah gangguan yang sangat langka karena proses inflamasi idiopatik kronis orbita. Jenis granulomatosa kronis akhirnya dapat berubah menjadi jenis sclerosing. Jenis granulomatosa menunjukkan respon yang baik terhadap kortikosteroid serta radioterapi. Secara umum, pseudotumors dapat diobati hanya dengan eksplorasi operasi dan pengangkatan tumor. Pendekatan endonasal dapat digunakan untuk mengakses mengapuran.2Biopsi dalam menegakan diagnosis masih dalam perdebatan karena beberapa penelitian dapat menimbulkan komplikasi seperti ptosis, paresis otot extraokular, dan kebutaan.3

Gambar 14. Spesimen biopsi diambil dari supra orbita, pada gambaran histopatologis ditemukan proses granulomatosus.

2.7 Diagnosis Banding1. Selulitis orbita2. Tyroid Ophtalmopathy3. Sarcoidosis4. Tumor Limfoid5. Limfangioma6. Metastase Carsinoma12.8 TatalaksanaTerapi pada pseudotumor orbita adalah untuk memperbaiki visus, nyeri dan mencegah kehilangan fungsi.7 NSAID sistemik, kotikosteroid sistemik atau radiasi biasanya memberikan dampak yang baik hanya kelompok kecil pada pasien tanpa pengobatan yang mengalami perbaikan.3,8Lebih dari 70% pasien menunjukan perbaikan yang drastis dalam 24-48 jam terapi. Respon yang baik terhadap kortikosteroid juga meyakinkan diagnosis pseudotumor orbita. Kortikosteroid yang digunakan adalah pednison 1.0 2.0 mg/KgBB/ hari, ketika telah tejadi perbaikan maka dosis diturunkan secara perlahan dalam 2 bulan. Penggunan 375mg/3x /hari untuk periode 6-22 bulan menunjukan hasil memuaskan tanpa menimbulkan efek samping.2Pada orang tua atau orang-orang yang kontraindikasi terhadap kortikosteroid atau pada kekambuhan dapat dilakukan terapi radiasi dengan dosis rendah. Unuk pasien yang tidak dapat menggunakan keduanya digunakan agen kemoterapi seperti metotrexat, Clofosfamid, dan siklosforin dianggap dapat membantu.2Terapi lain yang digunakan adalah cytotoxic agents (ciclofosfamid dan clorambucil), immunosuppressant (metotrexat, azathioperine, dan siklosforin), IV immunoglobulins, TNF-alfa inhibitor, monoclonal antibody (infleximab dan adalimumab) dan mycophenolate moftil yang dapat menghambat denovo dari sintesis purin dan menghambat replikasi limfosit B dan T.2Terapi bedah juga dapat dilakukan, biasanya eksisi dilakukan pada inflamasi di glandula lakrimalis dan nyeri yang berat.3Gambar 15. Gambaran pasca pengobatan kortikosteroid

2.9 PrognosisHasil dari terapi dapat menghilangkan gejala pada 63% penderita, pada 35% penderita mengalami gejala yang persisten seperti disfungsi motility, nyeri atau kehilangan penglihatan. Pada 2% pasien mengalama terapi yang tidak efektif. Ditemukan juga pada beberapa kasus kekambuhan gejala pada lokasi yang sama dan berbeda.3

BAB IIIKESIMPULAN

Pseudotumor Orbital adalah suatu kondisi yang jarang ditemukan namun menempati posisi ketiga dari penyakit orbita. Terjadi suatu proses inflamasi di daerah orbita yang dapat mengenai setiap bagian orbita. Etiologi dan patogenesisnya masih dalam penelitian. Pasien mungkin hadir dengan terdapat massa pada orbita, kelopak mata bengkak, nyeri, penurunan ketajaman visual dan biasanya terjadi unilateral. Penyakit ini sangat responsive terhadap terapi kortikosteroid walaupun ada sebagian kecil yang mengalami kekambuhan. Biopsi diindikasikan untuk pengobatan tidak berespon membaik, atau kambuh setelah terapi lini pertama. Terapi lini kedua terdiri dari baik radioterapi dosis rendah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Szabo B, Szabo I, Crisan D, dan Stefanus C. Idiopathic Orbital Inflammatory pseudotumor: Case report and review of the literature. Romanian Journal of Morphology and Embryology . 2011. 52(3). 927-9302. Chaudhry IA, Shamsi FA, Arat YO, dan Riley FC. Orbital Pseudotumor; Distinct Diagnosis Features and Management. Middle East African Journal of Ophthalmology. 2008. 15 (1); 17-27.3. Bijlsma RW, Kalmann R, Stilma JS. General Introduction and Aims of the Study. Progress in etiology, diagnosis, and treatment of idiopathic orbital inflammatory diseases. 2011. Utrecht University, Faculty of Medecine, the Netherlands. Hal 3-114. Orbital Pseudotumor. MedlinePlus. Available on http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001623.htm diunduh pada 18/3/2015 5. Ilyas S. Pemeriksaan Anatomi dan Fisiologi Mata serta Kelainan pada Pemeriksaan Mata. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. Hal 24-276. William L, Division WD. Orbital Inflammatory Pseudotumor. The Wills Eye Manual. 2004. Philadelphia. USA. Ed 4. Hal 130-131.7. Swamy BN, McCluskey P, Nemet A, Crouch R, Martin P, Benger R, Ghabriel R, dan Wakefield D. Idiopathic Orbital Inflammatory Syndrome; Clinical Features and Treatment Outcomes. Br J Ophthalmol. 2007. 91. Hal 1667-16708. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Disease & Disorders of The Orbit. Vaughan & Asburys General Ophtalmology. 2008. Ed 7. Hal 252-253

16