Referat Mata

28
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Dibelakang iris lensa digantung oleh zonula ( zonula Zinnii) yang menghubungkannya dengan korpus siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humor aquaeus dan disebelah posterior terdapat viterus. Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati air dan elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang elastik. Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau pun saraf di lensa. Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata

Transcript of Referat Mata

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1. Latar Belakang

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan. Tebal

sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Dibelakang iris lensa digantung oleh zonula ( zonula

Zinnii) yang menghubungkannya dengan korpus siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat

humor aquaeus dan disebelah posterior terdapat viterus. Kapsul lensa adalah suatu membran

semipermeabel yang dapat dilewati air dan elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis epitel

subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya

usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi

kurang elastik.

Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan sedikit sekali mineral

yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di

kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi

maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau pun saraf di lensa.

Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina. Fungsi lensa

mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina.

Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis.

Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya datang dari dekat), lensa mata akan

menebal.

Dislokasi lensa adalah keadaan dimana lensa kristalina bergeser atau berubah

posisinya dari kedudukan normalnya akibat rupturnya zonula zinii sebagai pemegangnya

 

I.2. Rumusan Masalah

Yang akan dibahas dalam referat ini adalah anatomi lensa, pertumbuhan lensa,

histologi lensa , fungsi lensa, komposisi lensa dan kelainan pada lensa akibat trauma.

I.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan umum

Memahami tentang lensa dan kelainannya akibat trauma

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan anatomi lensa

b. Menjelaskan pertumbuhan lensa

c. Menjelaskan histologi lensa

d. Menjelaskan fungsi lensa

e. Menjelaskan komposisi lensa

f. Menjelaskan kelainan lensa akibat trauma

I.4. Manfaat

1.4.1. Manfaat Umum

Yang akan dibahas dalam makalah ini tentang lensa dan kelainannya akbat trauma.

1.4.2. Manfaat Khusus

a. Mengetahui anatomi lensa

b. Mengetahui pertumbuhan lensa

c. Mengetahui histologi lensa

d. Mengetahui fungsi lensa

e. Mengetahui komposisi lensa

f. Mengetahui kelainan lensa akibat trauma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lensa

2.1.1. Anatomi Lensa

Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa memiliki

dua permukaan, yaitu permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih cembung

daripada permukaan anterior. Radius kurvatura anterior 10 mm dan radius kurvatura posterior

6 mm. Diameter lensa adalah 9-10 mm dan ketebalan lensa adalah 3,5 mm saat lahir hingga 5

mm saat usia lanjut. Berat lensa 135 mg pada usia 0-9 tahun hingga 255 mg pada usia 40-80

tahun.10

Lensa terletak di bilik posterior bola mata, di antara permukaan posterior iris dan

badan vitreus pada lengkungan berbentuk cawan badan vitreus yang di sebut fossa hyaloid.

Lensa bersama dengan iris membentuk diafragma optikal yang memisahkan bilik anterior dan

posterior bola mata 9. Lensa tidak memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat.

Lensa dipertahankan di tempatnya oleh serat zonula yang berada di antara lensa dan badan

siliar. Serat zonula ini, yang bersal dari ephitel siliar, adalah serat kaya fibrilin yang

mengelilingi lensa secara sirkular. 2

Gambar 2.1. Anatomi Lensa

2.1.2. Pertumbuhan Lensa

Lensa akan terus tumbuh dan membentuk serat lensa seumur hidup, tidak ada sel yang

mati ataupun terbuang karena lensa ditutupi oleh kapsul lensa. Pembentukan serat lensa pada

ekuator, yang akan terus berlanjut seumur hidup, membentuk nukleus infantil selama dekade

pertama dan kedua kehidupan serta membentuk nukleus dewasa selama dekade ketiga. Arah

pertumbuhan lensa yang telah berkembang berlawanan dengan arah pertumbuhan

embriologinya. Sel yang termuda akan selalu berada di permukaan dan sel yang paling tua

berada di pusat lensa. Laju pertumbuhan lensa adalah 1,3 mg/tahun antara usia 10-90 tahun.2

2.1.4. Histologi Lensa

Secara histologis, lensa memiliki tiga komponen utama: 9

1. Kapsul lensa Lensa dibungkus oleh simpai tebal (10-20 μm), homogen, refraktil, dan

kaya akan karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epithel. Kapsul ini

merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan terutama terdiri atas kolagen tipe

IV dan glikoprotein. Kapsul lensa paling tebal berada di ekuator (14 μm) dan paling tipis

pada kutub posterior (3 μm). Kapsul lensa bersifat semipermeabel, artinya sebagian zat

dapat melewati lensa dan sebagian lagi tidak. Epitel subkapsular

Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan

anterior lensa. Epitel subkapsular yang berbentuk kuboid akan berubah menjadi kolumnar di

bagian ekuator dan akan terus memanjang dan membentuk serat lensa. Lensa bertambah

besar dan tumbuh seumur hidup dengan terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang

terdapat di ekuator lensa. Sel-sel epitel ini memiliki banyak interdigitasi dengan serat-serat

lensa.

2. Serat lensa

Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan gepeng. Serat

ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel subkapsular. Serat

lensa akhirnya kehilangan inti serta organelnya dan menjadi sangat panjang. Sel-sel ini

berisikan sekelompok protein yang disebut kristalin.

Gambar 2.2: Histologi

Lensa ditahan di tempatnya oleh sekelompok serat yang tersusun radial yang disebut

zonula, yang satu sisinya tertanam di kapsul lensa dan sisi lainnya pada badan siliar. Serat

zonula serupa dengan miofibril serat elastin. Sistem ini penting untuk proses akomodasi, yang

dapat memfokuskan objek dekat dan jauh dengan mengubah kecembungan lensa. Bila mata

sedang istirahat atau memandang objek yang jauh, lensa tetap diregangkan oleh zonula pada

bidang yang tegak lurus terhadap sumbu optik. Bila melihat dekat, muskulus siliaris akan

berkontraksi, dan koroid beserta badan siliar akan tertarik ke depan. Ketegangan yang

dihasilkan zonula akan berkurang dan lensa menebal sehingga fokus objek dapat 5.

2.1.5. Fungsi Lensa

Lensa adalah salah satu dari media refraktif terpenting yang berfungsi memfokuskan

cahaya masuk ke mata agar tepat jatuh di retina. Lensa memiliki kekuatan sebesar 10-20

dioptri tergantung dari kuat lemahnya akomodasi.

2.1.6. Komposisi Lensa

Lensa terdiri atas air sebanyak 65%, protein sebanyak 35% (kandungan protein

tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral dibandingkan jaringan

tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada dijaringan lain. Asam

askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Lensa tidak

memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat 4.

Protein lensa dapat dibagi menjadi dua berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu

protein laut air (protein sitoplasmik) dan protein tidak larut air (protein sitoskeletal). Fraksi

protein larut air sebesar 80% dari seluruh protein lensa yang terdiri atas kristalin

Protein lensa yang tidak larut air dapat dibagi menjadi dua, yaitu protein yang larut

dalam urea dan yang tidak larut dalam urea. Fraksi yang larut dalam urea terdiri atas protein

sitoskeletal yang berfungsi sebagai rangka struktural sel lensa. Fraksi yang tidak larut urea

terdiri atas membran plasma serat lensa.

Seiring dengan meningkatnya usia, protein lensa menjadi tidak larut air dan

beragregasi membentuk partikel yang lebih besar yang mengaburkan cahaya. Akibatnya lensa

menjadi tidak tembus cahaya. Selain itu, seiring dengan bertambahnya usia, maka makin

banyak protein yang larut urea menjadi tidak larut urea 10.

2.2. Katarak Traumatik

2.2.1. Definisi

Katarak traumatik merupakan katarak yang muncul sebagai akibat cedera pada mata

yang dapat merupakan trauma perforasi ataupun tumpul yang terlihat sesudah beberapa hari

ataupun beberapa tahun. Katarak traumatik ini dapat muncul akut, subakut, atau pun gejala

sisa dari trauma mata.

2.2.2. Patogenesis

a. Luka memar/ tumpul

Jika terjadi trauma akibat benda keras yang cukup kuat mengenai mata dapat

menyebabkan lensa menjadi opak. Trauma yang disebabkan oleh benturan dengan bola keras

adalah salah satu contohnya. Kadang munculnya katarak dapat tertunda sampai kurun waktu

beberapa tahun. Bila ditemukan katarak unilateral, maka harus dicurigai kemungkinan adanya

riwayat trauma sebelumnya, namun hubungan sebab dan akibat tersebut kadang cukup sulit

untuk dibuktikan dikarenakan tidak adanya tanda-tanda lain yang dapat ditemukan mengenai

adanya trauma sebelumnya tersebut.

Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior.

Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak

tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.

Gambar 2.3.

b. Luka Perforasi

Luka perforasi pada mata mempunyai tendensi yang cukup tinggi untuk terbentuknya

katarak. Jika objek yang dapat menyebabkan perforasi (contoh : gelas yang pecah) tembus

melalui kornea tanpa mengenai lensa biasanya tidak memberikan dampak pada lensa, dan

bila trauma tidak menimbulkan suatu luka memar yang signifikan maka katarak tidak akan

terbentuk. Hal ini tentunya juga bergantung kepada penatalaksanaan luka kornea yang hati-

hati dan pencegahan terhadap infeksi, akan tetapi trauma-trauma seperti di atas dapat juga

melibatkan kapsul lensa, yang mengakibatkan keluarnya lensa mata ke bilik anterior. Urutan

dari dampak setelah trauma juga bergantung pada usia pasien. Saat kapsul lensa pada anak

ruptur, maka akan diikuti oleh reaksi inflamasi di bilik anterior dan masa lensa biasanya

secara berangsur-angsur akan diserap, jika tidak ditangani dalam waktu kurang lebih 1 bulan.

Namun demikian, pasien tidak dapat melihat dengan jelas karena sebagian besar dari

kemampuan refraktif mata tersebut hilang.

Keadaan ini merupakan konsekuensi yang serius dan kadang membutuhkan

penggunaan lensa buatan intraokular. Bila ruptur lensa terjadi pada dewasa, juga diikuti

dengan reksi inflamasi seperti halnya pada anak namun tendensi untuk fibrosis jauh lebih

tinggi, dan jaringan fribrosis opak yang terbentuk tersebut dapat bertahan dan menghalangi

pupil. Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan

menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil.

Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat

disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata. Pada keadaan ini akan terlihat

secara histopatologik masa lensa yang akan difagosit makrofag dengan cepatnya, yang dapat

memberikan bentuk endoftalmitis fakoanalitik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah

akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan terbentuknya cincin Soemering

atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elschnig.

Gambar 2.4. Cincin Soemering

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Gambar 2.5. Mutiara Elschnig

c. Kimia

Trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak. Komponen basa

yang masuk mengenai mata menyebabkan peningkatan PH cairan akuos dan menurunkan

kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi secara akut ataupun perlahan-lahan. Trauma

kimia dapat juga disebabkan oleh zat asam, namun karena trauma sam sukar masuk ke bagian

dalam mata dibandingkan basa maka jarang menyebabkan katarak.

2.2.3. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dapat juga

dibantu dengan pemeriksaan penunjang :

a. Anamnesis

Riwayat dan mekanisme trauma, apakah tajam atau tumpul

Riwayat keadaan mata sebelumnya, apakah ada riwayat operasi, glakoma, retinal

detachment, penyakit mata karena gangguan metabolik.

Riwayat penyakit lain, seperti diabetes, sickle cell, sindroma marfan, homosistinuria,

defisiensi sulfat oksidase.

Keluhan mengenai penglihatan, seperti penurunan visus, pandangan ganda pada satu

mata atau kedua mata, nyeri pada mata.

b. Pemeriksaan fisik

Visus, lapangan pandang, dan pupil

Kerusakan ekstraokular - fraktur tulang orbita, gangguan saraf traumatik.

Tekanan intraokular - glaukoma sekunder, perdarahan retrobulbar.

Bilik anterior - Hipema, iritis, iridodonesis, robekan sudut.

Lensa - Subluksasi, dislokasi, integritas kapsular (anterior dan posterior), katarak (luas

dan tipe).

Vitreus - ada atau tidaknya perdarahan, Presence or absence of hemorrhage, perlepasan

vitreus posterior.

Fundus - Retinal detachment, ruptur khoroid, perdarahan pre intra dan sub retina, kondisi

saraf optik.

c. Pemeriksaan penunjang

B-scan - jika pole posterior tidak dapat terlihat.

A-scan - sebelum ekstraksi katarak

CT scan orbita - adanya fraktur, benda asing, atau kelainan lain.

2.2.4. Penatalaksanaan Katarak Traumatik

Penatalaksanaan katarak traumatik tergantung kepada saat terjadinya. Bila terjadi pada

anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah

ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder. Apabila tidak

terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit

seperti glaukoma, uveitis, dan lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa.

Penyulit uvetis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien

dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan.

Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis, atau salah letak lensa.

Harus diberikan antibiotik sistemik dan topikal serta kortikosteroid topical dalam

beberapa hari untuk memperkecil kemungkinan infeksi dan uveitis. Atropin sulfat 1%, 1 tetes

3 kali sehari, dianjurkan untuk menjaga pupil tetap berdilatasi dan untuk mencegah

pembentukan sinekia posterior. Katarak dapat dikeluarkan pada saat pengeluaran benda asing

atau setelah peradangan mereda. Apabila terjadi glaukoma selama periode menunggu, bedah

katarak jangan ditunda walaupun masih terdapat peradangan. Untuk mengeluarkan katarak

traumatik, biasanya digunakan teknik-teknik yang sama dengan yang digunakan untuk

mengeluarkan katarak kongenital, terutama pada pasien berusia kurang dari 30 tahun.

2.2.5. Penatalaksanaan bedah

Merencanakan pendekatan pembedahan sepenuhnya penting pada kasuskasus katarak

traumatik. Integritas kapsular preoperatif dan stabilitas zonular harus diketahui/ diprediksi.

Pada kasus dislokasi posterior tanpa glaukoma, inflamasi, atau hambatan visual, pembedahan

mungkin tidak diperlukan. Indikasin untuk penatalaksanaan pembedahan pada kasus-kasus

katarak traumatik adalah sebagai berikut :

Penurunan visus yang berat (unacceptable)

Hambatan penglihatan karena proses patologis pada bagian posterior.

Inflamasi yang diinduksi lensa atau terjadinya glaukoma.

Ruptur kapsul dengan edema lensa.

Keadaan patologis okular lain yang disebabkan trauma dan membutuhkan tindakan

bedah.

Fakoemulsifikasi standar dapat dilakukan bila kapsul lensa intak dan dukungan

zonular yang cukup. Ekstraksi katarak intrakapsular diperlukan pada kasus-kasus dislokasi

anterior atau instabilitas zonular yang ekstrim. Dislokasi anterior lense ke bilik anterior

merupakan keadaan emergensi yang harus segera dilakukan tindakan (removal), karena dapat

mengakibatkan terjadinya papillary block glaucoma. Lesentomi dan vitrektomi pars plana

dapat menjadi pilihan terbaik pada kasus-kasus ruptur kapsul posterior, dislokasi posterior,

atau instabilitas zonular yang ekstrim.

2.2.6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain :

Dislokasi lensa dan subluksasi sering ditemukan bersamaan dengan katarak traumatik.

Komplikasi lain yang dapat berhubungan, seperti phakolitik, phakomorpik, blok pupil,

glaukoma sudut tertutup, uveitis, retinal detachment, rupture koroid, hipema, perdarahan

retrobulbar, neurophati optik traumatik.

2.2.7. Prognosis

Prognosis sangat bergantung kepada luasnya trauma yang terjadi pada saat terjadinya

trauma dan kerusakan yang terjadi akibat trauma.

2.3. DISLOKASI LENSA

2.3.1    Definisi

Dislokasi lensa adalah keadaan dimana lensa kristalina bergeser atau berubah

posisinya dari kedudukan normalnya akibat rupturnya zonula zinii sebagai

pemegangnya.1Dislokasi lensa dapat terjadi total (luksasi) ataupun sebagian (subluksasi) yang

terjadi akibat proses trauma pada mata, herediter (sindrom marfan, homosistinuria), ataupun

komplikasi dari penyakit lain. Kejadian dislokasi lensa sangat jarang ditemukan. Sejauh ini

data mengenai  insidensi dislokasi lensa pada populasi umum belum diketahui dengan jelas.1  

2.3.2   Klasifikasi

Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke vitreus, subskleral, ruang interretina,

konjungtiva, dan ke subtenon. Dislokasi ke bilik depan sering menyebabkan glaukoma akut

yang hebat, sehingga harus segera diekstraksi. Dislokasi ke posterior biasanya lebih tenang

dan sering tidak menimbulkan keluhan, tetapi dapat menyebabkan vitreus menonjol ke bilik

depan dan menyebabkan blok pupil dan peninggian TIO.10

1. Subluksasi Lensa

Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian Zonulla Zinn sehingga lensa

berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita

kelainan pada Zonulla Zinii yang rapuh (Sindrom Marphan).

Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan

memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada Zonulla

tidak ada maka lensa yang elastic akan menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih

miopik. Lensa yang menjadi sangat cembung akan mendorong iris ke depan sehingga sudut

bilik mata depan tertutup. Bila sudut mata menjadi sempit pada mata akan mudah terjadi

glaucoma sekunder.

Subluksasi dapat mengakibatkan glaucoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut

bilik mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit, subluksasi lensa seperti

glaucoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kacamata koreksi

yang sesuai.

a. Luksasi Lensa Anterior

Bila seluruh Zonulla Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat

masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan ini maka

akan terjadi gangguan penglihatan keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul galukoma

kongestif akut dengan gejala-gejalanya.

Pasien akan mengeluh penglihatan penglihatan menurun mendadak disertai dengan

rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan bleforospasme. Terdapat injeksi siliar

yang berat, edema kornea, lensa di bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil

yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.

Pada luksasi anterior sebaiknya pasien secepatnya dikirim pada dokter mata untuk

dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolamida untuk menurunkan

tekanan bola matanya.

b. Luksasi lensa posterior

Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat

putusnya Zonulla Zinii di seluruh lingkaran ekuator lensa jatuh ke dalam badan kaca dan

tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli.

Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapangan pandangannya akibat lensa

mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atu afakia. Pasien

akan melihat normal dengan lensa + 12.0 dioptropi untuk jauh, bilik mata depan dalam dan

iris tremulans.

Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit

akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi

telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.

2.3.3   Etiologi / Faktor- Faktor Penyebab

Dislokasi lensa dapat terjadi oleh karena herediter, komplikasi penyakit mata lainnya

ataupun akibat proses trauma yang terjadi pada mata. Dari faktor herediter dapat terjadi pada

keadaan Sindrom Marfan ataupunpada homosistinuria, dimana zonulazinii sebagai pemegang

lensa menjadi inkompeten.2

Sedangkan untuk faktor trauma, terjadi lebih sering pada kasus trauma tumpul,

dimana terjadi ekspansi dan kompresi pada bola mata yang pada akhirnya dapat

mengakibatkan dislokasi lensa.3 Penyakit lain pada mata yang dapat menyebabkan

komplikasi ke arah dislokasi lensa diantaranya katarak hipermatur dan high myopia.1

Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya dislokasi lensa ditinjau dari teori Blum

yang dibagi menjadi empat faktor, antara lain faktor biologi, faktor perilaku, faktor

lingkungan, dan faktor pelayanan kesehatan.

Faktor Biologi

Herediter-   Mutasi pada gen fibrilin

pada kromosom 15 (Sindrom Marfan)

Kelainan bawaan yang bersifat

autosomal resesif, dimana terjadi

Defisiensi sintetis enzim Cystathione

(Homocystinuria)

Kelainan bawaan autosomal dominan

atau resesif (Weill-Marchesani

Syndrome)

Usia (dapat terjadi pada semua umur).

Unutk dislokasi lensa karena faktor

herediter manifestasi sudah muncul

sejak usia anak- anak.

Jenis kelamin, tidak ada perbedaan

insidens dislokasi lensa antara laki-laki

dan perempuan.

Faktor Lingkungan

Lingkungan dengan keadaan yang

kurang baik, (misal: Pencahayaan

kurang)

Faktor Perilaku

Kurangnya kesadaran pasien untuk

segera berobat-    Kurangnya kesadaran

pasien untuk melakukan pemeriksaan

rutin (kontrol)

Faktor Pelayanan

Kesehatan

Komplikasi dari operasi katarak-   

Keterlambatan dalam diagnosis dini

dan terapi terutama pada kasus

dislokasi lensa yang merupakan

komplikasi dari penyakit lain seperti

katarak hipermatur, sehingga kejadian

penyakit tidak dapat dicegah atau

diminimalisir dan seringkali tidak

terdeteksi.

Kekeliruan dalam diagnosis dan terapi

Tidak adanya program yang adekuat

untuk proses skrining awal penyakit

terutama untuk dislokasi lensa yang

terjadi karena faktor herediter.

 

 

2.3.4    Patofisiologi

Homocystinuria merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan

meningkatnya kadar darah pada konsentrasi homosistein urin – asam amino yang

mengandung sulfur.

Adanya kecacatan dalam metabolisme asam amino akan menghasilkan zonules yang

rapuh dan mudah pecah, hal ini akan memungkinkan lensa untuk menggantikan inferonasally

atau bahkan masuk kedalam bilik anterior

 

Syndrome Marfan

Dislokasi Lensa. Pada anak-anak muda, dislokasi lensa dapat diobati efektif dengan

kacamata atau lensa kontak yang membiaskan sekitar atau melalui lensa. Untuk remaja yang

tidak menyukai penggunaan kacamata atau mengalami gangguan lapang pandang yang

terbatas mungkin menjadi indikasi untuk jenis pemasangan implan lensa intraokuler.

Perbedaan Syndrome Marfan dan Homocytinuria

Syndrome Marfan Homocytinuria

Autosomal dominanInkompetensi Autosomal resesifOrgan jantung

Aorta

Dislokasi lensa ke atas

Mentalitas normal

Scoliosis

Flat kaki

Hernia

jarang terkena

Dislokasi lensa ke bawah

Keterbelakangan mental

Trombosis rekuren

Osteoporosis

2.3.5   Gejala Klinis

Gejala-gejala dislokasi lensa tergantung pada keparahan dan dapat bervariasi dari

ringan sampai miopia berat, Silindris dan fluktuasi visus. Selain itu, visus dapat sangat kabur.

Dislokasi lensa hanya dapat dikonfirmasikan oleh dokter yang menggunakan pemeriksaan

mata menggunakan slit lamp setelah dilakukan dilatasi pupil secara sepenuhnya (midriasis).

 

2.3.6   Pengobatan

Ekstraksi dislokasi lensa bisa sulit, sehingga subluxated lensa sendiri bukan

merupakan alasan yang cukup untuk dilakukan operasi. Dengan tidak adanya glaucoma sudut

tertutup, dekompensasi kornea, peradangan atau kecacatan visual, membiarkan subluxated

lensa mendukung pilihan non-bedah. Untuk penstabilan kesalahan, koreksi visual dengan

kacamata atau lensa kontak dapat menjadi pilihan.

Jika luxates lensa ke dalam ruang posterior tetapi tidak terjadi peradangan, hanya

dilakukan memantau kondisi. Namun, jika peradangan tidak terjadi dan ada ancaman

kerusakan retina, perlu dilakukan vitrectomy dan ekstraksi lensa.

Jika lensa telah secara spontan terjadi dislokasi ke ruang anterior, atau di mana pasien

mengalami dislokasi anterior, ikuti protokol ini: pasien diposisikan berbaring, kemudian hati-

hati memanipulasi kepala sampai lensa jatuh kembali ke tempat di fosa. Terapkan solusi

pilocarpine dan mendapatkan konsultasi bedah.

Jika terjadi blok pupil, berlanjut menjaid glaukoma sudut tertutup, laser iridotomy

perifer diindikasikan sesegera mungkin. Namun, tingkat keberhasilannya rendah. Dengan

demikian, pasien kemudian harus menjalani ekstraksi lensa dengan implantasi lensa

intraokular. Sementara beberapa ahli bedah mata telah sukses dengan implan ruang posterior,

lensa bilik anterior biasanya menjadi modalitas pilihan.

 

2.3.7   Komplikasi dan Prognosis

a. Dalam setiap kasus dislokasi lensa, kemungkinan kuat akan terjadi blok pupil dan

sekunder glaukoma sudut tertutup.

b. Delapan puluh % pasien dengan sindrom Marfan akan mengalami subluksasi lensa.

c. Kenyataan bahwa subluksasi lensa bukan alasan yang kuat untuk dilakukan pembedahan

pengeluaran lensa.

d. Gejala subluksasi dapat dikelola secara efektif dengan lensa kontak buram atau terapi

jangka panjang pilocarpine.

BAB III

PENUTUP

Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa memiliki

dua permukaan, yaitu permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih cembung

daripada permukaan anterior.

Lensa terletak di bilik posterior bola mata, di antara permukaan posterior iris dan

badan vitreus pada lengkungan berbentuk cawan badan vitreus yang di sebut fossa hyaloid.

Lensa bersama dengan iris membentuk diafragma optikal yang memisahkan bilik anterior dan

posterior bola mata.

Secara histologis, lensa memiliki tiga komponen utama:Kapsul lensa , epitel

subkapsular dan serat lensa. Lensa adalah salah satu dari media refraktif terpenting yang

berfungsi memfokuskan cahaya masuk ke mata agar tepat jatuh di retina dan sebagai

akomodasi mata.

Katarak traumatik merupakan katarak yang muncul sebagai akibat cedera pada mata

yang dapat merupakan trauma perforasi ataupun tumpul yang terlihat sesudah beberapa hari

ataupun beberapa tahun.

Dislokasi lensa adalah keadaan dimana lensa kristalina bergeser atau berubah

posisinya dari kedudukan normalnya akibat rupturnya zonula zinii sebagai

pemegangnya.1Dislokasi lensa dapat terjadi total (luksasi) ataupun sebagian (subluksasi) yang

terjadi akibat proses trauma pada mata, herediter (sindrom marfan, homosistinuria), ataupun

komplikasi dari penyakit lain. Kejadian dislokasi lensa sangat jarang ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

 

1. Eifrig, C. W. Ectopia Lentis. 2009. Emedicine

2. Crick, R. P, and Khaw, P. T. A Textbook Of Clinical Ophthalmology 3rd Edition.

2003. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

3. Azar. D. T, and Napoli. J. J. The Crystalline Lens and Cataract in Manualof Ocular

Diagnosis and Therapy, 6th Edition. 2008. Lippincott Williams& Wilkins

4. Vaughan. D. G., Asbury. T., dan Eva. P. R. Oftalmologi Umum. 2000.Widya Medika:

Jakarta.

5. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology A Synopsis. Butterworth-Heinemann, Boston, 2009

6. Ilyas S. Penuntun Umum Penyakit Mata. Cet. IV. Jakarta : Penerbit FKUI. 1996. h. 28-

9.

7. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Cet.II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998. h. 92-4.

8. Lang G. Ophthalmology – A Short Textbook. Thieme. Stuttgart · New York. 2000.

9. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. Injury to the eye. Br Med J 2004;328:36-8