Referat Mata

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara anatomi, kornea merupakan bagian terluar dari mata yang berkontak langsung dengan lingkungan, terdiri atas lima lapisan yaitu lapisan epitel kornea yang bersambungan dengan epitel konjungtiva bulbaris, membran Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel. Epitel merupakan lapisan pertahanan kornea terhadap infeksi, sehingga apabila terdapat jejas pada epitel maka kornea akan mudah sekali terinfeksi dan menyebabkan keratitis (Anonimous, 2009). Keratitis merupakan peradangan pada kornea. Keratitis dapat terletak superfisial maupun profunda. Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti infeksi, mata kering yang disebabkan oleh gangguan kelopak mata atau kurangnya air mata, pajanan terhadap sinar yang terlalu terang, reaksi alergi terhadap iritan, imunologis (ulkus Mooren), dan defisiensi vitamin A. Mata yang kering dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea sehingga mengakibatkan keratitis (Anonimous, 2009). Keratitis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe berdasarkan etiologi dan lokasi terjadinya lesi (Ilyas, 2006). Keratitis yang disebabkan oleh bakteri 1

Transcript of Referat Mata

Page 1: Referat Mata

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara anatomi, kornea merupakan bagian terluar dari mata yang

berkontak langsung dengan lingkungan, terdiri atas lima lapisan yaitu lapisan

epitel kornea yang bersambungan dengan epitel konjungtiva bulbaris, membran

Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel. Epitel merupakan

lapisan pertahanan kornea terhadap infeksi, sehingga apabila terdapat jejas pada

epitel maka kornea akan mudah sekali terinfeksi dan menyebabkan keratitis

(Anonimous, 2009).

Keratitis merupakan peradangan pada kornea. Keratitis dapat terletak

superfisial maupun profunda. Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti

infeksi, mata kering yang disebabkan oleh gangguan kelopak mata atau kurangnya

air mata, pajanan terhadap sinar yang terlalu terang, reaksi alergi terhadap iritan,

imunologis (ulkus Mooren), dan defisiensi vitamin A. Mata yang kering dapat

menurunkan mekanisme pertahanan kornea sehingga mengakibatkan keratitis

(Anonimous, 2009).

Keratitis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe berdasarkan

etiologi dan lokasi terjadinya lesi (Ilyas, 2006). Keratitis yang disebabkan oleh

bakteri atau mikroba adalah jenis keratitis yang paling parah komplikasinya. 10-

15% kasus mengakibatkan hilangnya penglihatan secara permanen. Di Amerika

Serikat kira-kira 25.000 penduduk amerika setiap tahunnya menderita penyakit ini

(Vaughan, 2009). Frekuensi keratitis herpes simpleks di Amerika Serikat sebesar

5% di antara seluruh kasus kelainan mata. Di Negara-negara berkembang

insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang

setiap tahunnya (Suhardjo, 1995).

1

Page 2: Referat Mata

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Gambar 1. Anatomi dan histologi kornea

Kornea (cornum = seperti tanduk) merupakan selaput bening mata yang

tembus cahaya dan pelindung struktur mata internal (Ilyas, 2006; James et al.,

2006). Jaringan ini bersifat avaskular dan transparan. Kornea dewasa mempunyai

tebal 0,54 mm di tengah, 0,65 mm di tepi, dan diameter 11,5 mm (Vaughan,

2009). Kornea memberikan kontribusi ¾ dari total kekuatan refraksi mata atau

setara dengan 40 dioptri dari total 50 dioptri mata manusia (Ilyas, 2006; Golnaz

dan Jeffrey, 2007).

Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus

humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata dan udara bebas.

Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus (Lang,

2000).

Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung

saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan

konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari

2

Page 3: Referat Mata

saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan

suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman

melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua

lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus

(Ilyas, 2006).

Dari anterior ke posterior (Gambar 1), kornea memiliki 5 lapisan yang

berbeda-beda. Adapun lapisan-lapisan tersebut sebagai berikut (Vaughan, 2009).

1. Epitel

Terdiri 5 lapis sel epitel squamous bertingkat tidak bertanduk yang saling

tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan

epitel kira-kira 5% (50 µm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film

air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal

sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapisan

sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan

erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui

desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,

elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal

yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan

erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel

memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2005).

2. Membran bowman

Lapisan basal tipis yang berasal dari sel basal epitel squamous bertingkat.

Lapisan ini memiliki daya tahan yang tinggi terhadap trauma, namun tidak

memiliki daya regenerasi. Apabila terjadi trauma akan menimbulkan jaringan

parut (Lang, 2000). Tebal lapisan ini sekitar 12 µm (Khurana, 2007).

3. Stroma

Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan

tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan

lebar sekitar 0,5 mm yang saling menjalin dan mencakup seluruh diameter

kornea. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas

terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan

3

Page 4: Referat Mata

dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma

(Ilyas, 2006).

4. Membran Descemet

Lapisan ini merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang

stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih

yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini

berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal 40 µm. Lebih kompak

dan elastis daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma

dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang

lain (Ilyas, 2005).

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal

antara 20-40 µm melekat erat pada membran Descemet melalui hemidesmosom

dan zonula okluden. Endotel dari kornea ini dibasahi ole h aqueous humor.

Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya

regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan

mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi

cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat

akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan

cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan

terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang

merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan

kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan

terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2006).

2.2 Fisiologi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui

berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh susunan

filamen-filamen kolagen pada stroma yang uniform, avaskular, dan komposisi air

yang konstan di dalam stroma atau keadaan dehidrasi relatif (deturgesens). Air di

dalam stroma dipertahankan sebanyak 70% (Lang, 2000; Khurana, 2007).

4

Page 5: Referat Mata

Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan

oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan

endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada

epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah

daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema

kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya

menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel

epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal

menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin

merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan

membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan, 2009).

Penetrasi obat ke dalam ke kornea bersifat bifasik. Substansi larut lemak

dapat melalui epitel utuh dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh.

Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air

sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme

kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan

membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme,

seperti bakteri, virus, parasit, dan jamur (Vaughan, 2009).

2.3 Keratitis

2.3.1 Definisi

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan

menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal

lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda yang mengenai lapisan stroma

(Ilyas, 2006).

2.3.2 Epidemiologi

Keratitis bakterialis merupakan penyebab kebutaan di negara berkembang.

Pada tahun 1996, Gonzales et al. Melaporkan bahwa insidensi keratitis di selatan

India 11,3 per 10.000 penduduk, 35% dari ulkus kornea yang disebabkan oleh

bakteri dan 32% adalah karena jamur. Penelitian lain di timur India ditemukan

bahwa 62% dari ulkus kornea disebabkan jamur. Di Nepal angka ini diperkirakan

5

Page 6: Referat Mata

799 per 100.000 per tahun. Jamur menyebabkan keratitis di sekitar 6% dari pasien

di daerah beriklim sedang, tetapi angka yang lebih menonjol di daerah tropis.

(Norina et al., 2008).

Angka kejadian infeksi keratitis di negara maju juga telah meningkat

karena tingginya tingkat pengguna lensa kontak. Saat ini 2 sampai 11 per 100.000

per tahun. Sebuah penelitian dari Hongkong menemukan kejadian tahunan 0,63

per 10.000 pada bukan pemakai lensa kontak dan 3,4 per 10.000 pada pemakai

lensa kontak. Keratitis acanthamoeba sekarang menyumbang sekitar 1% dari

semua kasus, dengan menggunakan lensa kontak yang bertindak sebagai faktor

risiko utama.

Frekuensi keratitis herpes simpleks di Amerika Serikat sebesar 5% di

antara seluruh kasus kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi

keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang setiap tahun.

Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks

(Suhardjo, 1995).

2.3.3 Etiologi dan faktor risiko

Penyebab keratitis bermacam-macam dan digolongkan menjadi infeksi dan

non infeksi. Adapun penyebab infeksi berupa bakteri, virus, fungi, dan parasit

(Vaughan, 2009).

Matthew et al. (2008) menemukan beberapa faktor risiko penyebab terjadinya

keratitis yaitu penggunaan kontak lens, penyakit kornea sebelumnya, trauma mata,

dan ocular surgery. Selain itu faktor lainnya adalah kekeringan pada mata, pajanan

terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi

atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif

lain, dan kekurangan vitamin A (Mansjoer, 2001).

2.3.4 Patofisiologi

Permukaan kornea secara normal akan dilindungi oleh berbagai macam

mekanisme pertahanan termasuk diantaranya barrier fisik dari kelopak mata

terhadap benda asing, kedipan mata yang reguler untuk menyapu kotoran yang

menempel pada film air mata, dan persambungan antara epitel konjungtiva dan

kornea. Ada juga mediator sistem imun yang mempertahankan kornea, seperti sel

6

Page 7: Referat Mata

mast konjungtiva, conjunctiva-associated lymphoid tissue (CALT) yang

bertanggung jawab atas antigen lokal, substansi imunoaktif pada film air mata

(IgA, lisozim, beta lisin, laktoferin, dan albumin spesifik dari air mata), sel-sel

plasma, makrofag, dan limfosit T (Golnaz dan Jeffrey, 2007).

Ketika terjadinya defek pada epitel kornea, maka proses infeksi dan

inflamasi akan dimulai (Golnaz dan Jeffrey, 2007). Karena kornea bersifat

avaskular, maka pertahanan ketika peradangan tidak akan segera datang seperti

pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Mediator sistem imun

dan sel-sel imun yang terdapat pada kornea dan konjungtiva akan segera bekerja,

kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan

tampak sebagai injeksi perikornea (siliar). Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari

sel-sel mononuklear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN) yang

mengakibatkan timbulnya infiltrat dan tampak sebagai bercak berwarna kelabu

keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat

terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea (Vaughan, 2009).

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada

kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan

fotofobia. Rasa sakit ini diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama

palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Fotofobia pada

penyakit kornea timbul akibat kontraksi iris yang meradang dan nyeri.

(Vaughan, 2009).

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan

berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama

kalau letaknya di pusat. Meskipun mata berair, sekret biasanya tidak ditemukan

(Vaughan, 2009).

2.3.5 Manifestasi klinis

Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea.

Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea. Pada peradangan yang dalam,

penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik) yang dapat

berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum keratitis adalah

sebagai berikut (Mansjoer, 2001).

7

Page 8: Referat Mata

Gejala subjektif:

Keluar air mata yang berlebihan (epifora)

Fotofobia

Blefarospasme

Nyeri

Gejala objektif:

Penurunan tajam penglihatan

Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)

Mata merah (injeksi siliar)

Infiltrat (+/-)

2.3.6 Klasifikasi

Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu

keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis

profunda yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).

Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut (Khurana,

2003).

I. Keratitis Superfisial

1. Keratitis epitelial

a. Keratitis punctata superfisialis

b. Herpes simpleks

c. Herpes zoster

2. Keratitis subepitelial

a. Keratitis nummularis

b. Keratitis disiformis

3. Keratitis stromal

a. Keratitis neuroparalitik

b. Keratitis lagoftalmus

II. Keratitis Profunda

1. Keratitis interstisial

2. Keratitis sklerotikans

3. Keratitis disiformis

8

Page 9: Referat Mata

4.

(A)

(B) (C)

Gambar 2. (A) Keratitis pungtata. (B) Keratitis numularis. (C) Keratitis interstisial

Sumber: Anonimous (2009)

Berdasarkan etiologinya, keratitis dapat dibedakan atas (Vaughan, 2009):

1. Keratitis bakterialis

2. Keratitis virus

3. Keratitis fungi

4. Keratitis parasit

2.3.7 Diagnosis kerja

1) Anamnesis

Pasien biasanya datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan, mata

merah, merasa kelilipan, nyeri, fotofobia, epifora, dan blefarospasme.

2) Pemeriksaan fisik

Injeksi siliar merupakan penanda pada kebanyakan kasus keratitis, terdapat

kekeruhan kornea, pupil miosis, kedalaman bilik mata depan normal, tekanan

intraokular normal, sekret (-).

3) Pemeriksaan penunjang

Tes placido

Penderita membelakangi jendela atau sumber cahaya, pemeriksa menghadap

ke penderita dengan jarak pendek sambil memegang alat placid. Alat placid

dipasang didepan mata penderita dan pemeriksa melihat bayangan placido

9

Page 10: Referat Mata

pada kornea penderita melalui lubang yang terdapat ditengah-tengah alat

tersebut, sedang penderita melihat ke arah lubang tersebut. Yang diperhatikan

adalah gambaran sirkuler yang direfleksi pada permukaan kornea penderita.

Bila bayangan di kornea gambarannya sirkuler dan teratur disebut placid (-),

pertanda permukaan kornea baik. Jika gambaran sirkulernya tidak teratur,

placid (+), berarti permukaan kornea tidak baik, mungkin ada infiltrat, ulkus,

sikatrik, atau astigmatisma.

Uji fluoresensi

Mata ditetesi dengan fluoresens warna kuning kemudian dibilas dengan NaCl

akan berubah menjadi hijau. Untuk lebih jelas diamati dengan slitlamp

memakai warna biru atau digunakan kertas fluoresens yang diletakkan di

sakus lakrimal dan pasien disuruh berkedip-kedip kemudian diamati.

Tes fistel

Setelah pemberian fluoresens bola mata harus ditekan sedikit, untuk

melepaskan fibrin dari fistel, sehingga cairan COA dapat mengalir keluar

melalui fistel, seperti air mancur pada tempat ulkus tersebut.

Bakteriologi

Dilakukan pemeriksaan hapusan langsung, pembiakan, tes sensitivitas. Dari

pemeriksaan hapusan langsung dapat diketahui jenis kuman penyebab. Bila

tidak terdapat kumannya, dari macam-macam sel yang ditemukan dapat

diketahui kira-kira penyebab terjadinya keratitis. Bila terdapat banyak

monosit maka diduga akibat virus, leukosit PMN kemungkinan bakteri,

Eosinofil menunjukkan radang akibat alergi, limfosit terdapat pada radang

yang kronis.

Sensibilitas kornea.

Pemeriksaan sensibilitas kornea dilakukan pada mata kanan dan kiri yaitu

pada bagian parasentral meridian horizontal temporal, menggunakan dua

macam alat yaitu:

a) menggunakan kapas pilin

Pasien duduk di depan pemeriksa, kemudian mata yang akan diperiksa

difiksasi dengan cara diminta melihat ke arah nasal. Kapas pilin

disentuhkan pada kornea dari temporal. Bila terjadi refleks kedip dicatat

10

Page 11: Referat Mata

sebagai sensibilitas kornea positif (+), sedangkan bila tidak terjadi refleks

kedip maka dicatat sensibilitas kornea negatif (-).

b) menggunakan estesiometer

Pasien duduk didepan pemeriksa, kemudian mata yang akan diperiksa

disinari dengan lampu senter dari jarak kurang lebih 40 cm, dan disuruh

melihat kearah lampu senter. Estesiometer dengan panjang filamen 6 cm,

diarahkan ke mata responden dan disentuhkan pada kornea parasentral

bagian temporal dengan arah tegak lurus sampai filamen sedikit

membengkok 5o. Bila tidak ada refleks kedip maka pemeriksaan diulangi

dengan panjang filament dikurangi 0,5 cm, begitu seterusnya sampai

terjadi refleks kedip. Hasil yang dicatat adalah panjang filament terpanjang

yang menyebabkan refleks kedip.

2.3.8 Diagnosis banding

Diagnosis banding dari keratitis sangat erat kaitannya dengan penyakit

mata lain yang menyebabkan mata merah. Berikut diagnosis banding keratitis

(Berson, 1993).

Tabel 1. Diagnosis banding mata merah

Gejala subjektif dan objektif

Glaukoma akut

Uveitis akut

KeratitisKonjungtivitis

Bakteri Virus AlergiVisus 3 1 sampai 2 3 0 0 0Nyeri 2 sampai 3 2 2 0 0 0Fotofobi 1 3 3 0 0 0Halo 2 0 0 0 0 0Injeksi siliar 1 2 3 0 0 0Injeksi konjungtiva

2 2 2 3 2 1

Kekeruhan kornea 3 0 1 sampai 3 0 0 atau 1 0Destruksi epitel kornea

0 0 1 sampai 3 0 0 atau 1 0

Kelainan pupil Midrasi, non reaktif

Kecil tapi irreguler

Normal atau kecil

0 0 0

Kedalaman kamera okuli

3 0 0 0 0

11

Page 12: Referat Mata

anterior Tekanan intraokular

3 -2 sampai 1 0 0 0 0

Sekret 0 0 Kadang-kadang

2 atau 3 2 1

Sumber: Berson (1993)

2.4 Keratitis Bakterialis

Keratitis bakterialis adalah keratitis yang disebabkan oleh bakteri patogen

dan dapat menyebabkan kebutaan (Jabran et al., 2008). Ciri-ciri khusus keratitis

bakterialis adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi korneal lengkap bisa

terjadi dalam 24–48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea,

pembentukan abses stroma, edema kornea, dan inflamasi segmen anterior adalah

karakteristik dari penyakit ini (Anonimous, 2009).

2.4.1 Patogen

Berikut ini adalah patogen keratitis bakterialis dengan karakteristik infeksi

masing-masing infeksi.

Tabel 2. Karakteristik infeksi patogen keratitis

Sumber: Lang (2000)

12

Page 13: Referat Mata

2.4.2 Patogenesis

Awal dari keratitis bakterialis adalah adanya gangguan dari epitel kornea

yang intak dan masuknya mikroorganisme patogen ke stroma kornea, dimana

akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat

menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu

proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur

fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea.

Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi

dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus

awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma (Anonimous, 2009).

Difusi produk-produk inflamasi di bilik posterior, menyalurkan sel-sel

inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri

yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi

selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi

kornea (Anonimous, 2009).

2.4.3 Manifestasi klinis

Pasien dengan keratitis bakteri (Gambar 3) pada umumnya bersifat

unilateral, nyeri, fotofobia, hiperlakrimasi, dan terdapat penurunan fungsi

penglihatan. Anamnesis yang perlu dilakukan diantaranya riwayat pemakaian

kontak lensa, trauma, penurunan status imunologis, defisiensi air mata, penyakit

kornea, dan malposisi kelopak mata. Dapat ditemukan infiltrat stromal dan sekret

kental mukopurulen, edema kornea, injeksi siliar, dan pada kasus yang berat

bahkan dapat ditemukan hipopion. Tekanan intraokular dapat turun disebabkan

hipotonus badan siliar. Namun, pada umumnya tekanan intraokular meningkat

akibat sumbatan dari trabecular meshwork oleh sel peradangan. Kelopak mata

juga dapat edema (Anonimous, 2009).

S. aureus dan S. pneumoniae pada umumnya memberikan gambaran oval,

kuning-putih, supurasi stroma yang padat dan opak dikelilingi kornea yang jernih,

serta menyebar dari fokus infeksi ke tengah kornea. Pada umumnya muncul 24-48

jam setelah inokulasi pada kornea. Hipopion dapat terjadi. Pada pemeriksaan

gram akan ditemukan diplokokus gram positif (Anonimous, 2009).

13

Page 14: Referat Mata

Pseudomonas sp umumnya menghasilkan eksudat mukopurulen, nekrosis

liquefaktif yang difus, dan semiopak ground glass pada penampakan stroma.

Infeksi berkembang dengan cepat karena enzim proteolitik yang diproduksi oleh

Pseudomonas. Terasa nyeri dan perforasi kornea dapat terjadi dalam 48 jam. Pada

pemeriksaan gram akan ditemukan bakteri batang gram negatif (Anonimous,

2009).

Gambar 3. Keratitis bakterialisSumber: Anonimous (2009)

2.4.4 Tata laksana

Terapi dimulai dengan antibiotik spektrum luas sebab infeksi

polimikrobial sering terjadi. Pemilihan regimen pengobatan dapat menggunakan

terapi kombinasi. Aminoglikosida (gentamisin 1,5% atau tobramisin 1,5%) 1

tetes/jam dan sefalosporin (cefazolin 1 tetes/jam pada jam bangun selama lima

hari atau cefuroxim 5%) atau monoterapi dengan fluorokuinolon seperti

ciprofloksasin 0,3% 2 tetes/15 menit selama 6 jam diteruskan 2 tetes/30 menit

selama 18 jam dan kemudian di tapp off sesuai respon pengobatan. Perbaikan

kondisi terjadi pada 48 jam berikutnya (Anonimous, 2009).

Terapi single drug dengan menggunakan flourokuinolon (misalnya

ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi

kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya streptococcus) dilaporkan

mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan florokuinolon dan prevalensi

resistensi terhadap golongan florokuinolons tampaknya semakin meningkat

(Anonimous, 2009). Moksifloksasin dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik

terhadap bakteri gram positif dari florokuinolon generasi sebelumnya pada uji in-

14

Page 15: Referat Mata

vitro (Aamna et al., 2008). Penggunaan steroid harus dihindari karena dapat

mengganggu proses reepitelisasi dari kornea (Bowlling et al., 2011).

2.5 Keratitis Virus

2.5.1 Keratitis virus herpes simpleks (HSV)

Keratitis herpes simpleks (HSV) merupakan salah satu infeksi kornea yang

paling sering ditemukan dalam praktik. Disebabkan oleh virus herpes simpleks

tipe 1 maupun tipe 2 (Foster, 2008). Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks

dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer herpes simpleks primer pada

mata jarang ditemukan dan bentuk ini (Vaughan, 2009).

2.5.1.1 Gejala Klinis

Infeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati

preaurikuler, konjungtivitis folikutans, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis

epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau

lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer

dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau

16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominasi oleh kelompok laki-laki pada

umur 40 tahun ke atas (Suhardjo, 1995).

Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi

perikorneal, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak

sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau

insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang

juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus keratitis

akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan

keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak

adanya fotofobia (Suhardjo, 1995).

2.5.1.2 Lesi

Keratitis herpes simpleks juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial dan

profunda. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik.

Keratitis dendritik merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang

15

Page 16: Referat Mata

diakibatkan oleh perbanyakkan virus dan menyeba serta menimbulkan kematian

sel dengan defek bercabang. Lesi dendritik merupakan gambaran lesi yang

memiliki percabangan linear dengan tepian kabur dan memiliki bulbus terminalis

pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendritik, namun

keratitis herpes dapat juga menyerupai infeksi kornea yang lain dan harus

dimasukkan dalam diagnosis banding (Vaughan, 2009).

Ada juga bentuk lain yaitu bentuk lesi geografik yaitu lesi dendritik

menahun dengan lesi berbentuk lebih lebar. Hal ini terjadi akibat bentukan ulkus

bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian

gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi

ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik,

menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis

epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun,

semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam

satu dua hari (Vaughan, 2009).

Gambar 4. Lesi dendritik (kanan) dan lesi geografik (kiri) pada keratitis HSV

Keratitis herpes simpleks bentuk dendritik harus dibedakan dengan

keratitis herpes zoster. Pada keratitis herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi

suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mukus plak dan bentuk dendriform lebih

kecil (Ilyas, 2006).

Keratitis diskiformis (Gambar 5B) adalah bentuk penyakit stroma paling

umum pada infeksi HSV. Stroma di daerah pusat yang edema berbentuk cakram,

tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin

16

Page 17: Referat Mata

cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan di membran Descement. Mungkin

terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula

diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti

kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis diskiformis

normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan.

Edema adalah tanda terpenting dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan

vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009).

Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering

disertai vaskularisasi, terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang

dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring

(Gambar 5A) diduga sebagai infiltrat PMN disertai reaksi antigen antibodi virus

herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat,

apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan

ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit

herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda-tanda khas

herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan

oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit

virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, infeksi bakteri atau fungi

sekunder (Vaughan, 2009).

(A) (B)

Gambar 5. (A) Lesi dengan Wessely Ring (B). Keratitis Diskiformis

2.5.1.3 Patogenesis

Keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal

Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitel, mengakibatkan kerusakan sel

17

Page 18: Referat Mata

epitel, dan membentuk ulkus kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi

imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi

yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan

proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma

disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang

epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk

menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat

berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat

migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes

imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara

imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak

(Vaughan, 2009).

2.5.1.4 Tata laksana

Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil

memperkecil efek merusak akibat respon radang (Suhardjo, 1995).

1. Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena

virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban

antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea,

namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan

aplikator berujung kapas khusus. Iodium atau eter topikal tidak banyak

manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti

atropin 1 % atau homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjugtiva, dan

ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti

penutupnya sampai defek korneanya sembuh. Umumnya adalah 72 jam.

Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan

epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel

memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan

pasien menghadapi berbagai keracunan obat (Vaughan, 2009).

18

Page 19: Referat Mata

2. Terapi obat

Agen anti virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine

(IDU), trifluridine (TFT), vidarabine, dan asiklovir. TFT dan asiklovir efektif

untuk penyakit stroma. IDU dan TFT sering menimbulkan reaksi toksik.

Asiklovir oral digunakan untuk penyakit herpes mata berat. IDU merupakan

obat antiviral yang murah, bersifat tidak stabil, bekerja dengan menghambat

sintesis DNA virus, dan bersifat toksik untuk epitel normal, tidak boleh

dipergunakan lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam larutan 1% dan diberikan

setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vidarabin sama dengan IDU,

akan tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep. TFT sama dengan IDU,

diberikan 1% setiap 4 jam. Asiklovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA

virus. Dalam bentuk salep 3% yang diberikan setiap 4 jam. Sama efektif

dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal

(Anonimous, 2009). Foster (2008) menemukan gansiklovir gel lebih efektif

dibandingkan asiklovir.

Kortikosteroid topikal tidak perlu bahkan berpotensi sangat merusak.

Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang

meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai

kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali

ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus

(Vaughan, 2009).

3. Bedah

Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan

pasien yang mempunyai siktarik kornea berat, namun hendaknya dilakukan

beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes

rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang

diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit

dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens

(Vaughan, 2009).

Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau

fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan

sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft

19

Page 20: Referat Mata

petak lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasti lamelar memiliki

keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan

terjadi penolakan transparan. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi

mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat pada keratitis

herpes simpleks (Vaughan, 2009).

4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV

Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira-kira sepertiga kasus

dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme

pemicunya setelah dengan teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan,

pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam,

pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari.

Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. Dan

aspirin dapat diminum sebelum menstruasi (Vaughan, 2009).

2.5.6 Keratitis virus varisela zoster

Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan

rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering

pada zoster oftalmika. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian

kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan

lebih jarang lagi keratitis epitel dengan atau tanpa pseudodendritik (Vaughan,

2009).

Berbeda dari lesi kornea varicella yang jarang dan jinak, zoster oftalmika

relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya

sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster oftalmika

dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi

cabang-cabang Nervus Nasosiliaris (Vaughan, 2009).

20

Page 21: Referat Mata

Gambar 6. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N. NasosiliarisSumber: Anonimous (2009)

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai

epitel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi

epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendritik linear

yang sedikit mirip dendritik pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh

edema dan sedikit infiltrat sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini

dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-

kadang timbul keratitis diskiformis dan mirip keratitis diskiformis HSV.

Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering

berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis

yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya

sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata

(Vaughan, 2009).

Asiklovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk

mengobati herpes zoster oftalmika, khususnya pada pasien yang kekebalannya

terganggu. Dosis oralnya adalah 800 mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi

hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan anti virus

topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk

mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan

kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan

untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun

demikian keadaan ini sembuh sendiri (Vaughan, 2009).

21

Page 22: Referat Mata

2.6 Keratitis Fungi

Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea

dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53%

kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan

menyebabkan keratitis jamur (Sachin et al., 2012).

2.6.1 Etiologi

Secara ringkas dapat dibedakan:

1. Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-

cabang hifa.

a) Jamur bersepta: Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,

Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,

Curvularia sp, Altenaria sp.

b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.

2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas:

Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

2.6.2 Manifestasi Klinis

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi

jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang

larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamela kornea, peradangan

akut, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang

berat (Srinivasan, 2004).

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan

infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang

tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan

lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat

terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang

merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai

tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi

konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida

biasaya ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan (Srinivasan, 2004).

22

Page 23: Referat Mata

Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut

(Srinivasan, 2004).

1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama

2. Lesi satelit

3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan

seperti hifa di bawah endotel utuh

4. Plak endotel

5. Hipopion, kadang-kadang rekuren

6. Formasi cincin sekeliling ulkus

7. Lesi kornea yang indolen

Gambar 7. Keratitis aspergilus dan keratitis candidaSumber: Srinivasan (2004)

2.6.3 Diagnosis laboratorium

Pemeriksaan laboratorium sangat membantu diagnosis pasti, walaupun

bila negatif belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah

melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu

dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH,

Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-

masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi

jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine

Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan

Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi

jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup

memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar

ekstrak maltosa (Srinivasan, 2006).

23

Page 24: Referat Mata

2.6.4 Tata laksana

Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat

komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi

pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis

keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:

1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya

2. Jamur berfilamen

3. Ragi (yeast)

4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.

Golongan I: Topikal Amphotericin B 1,0-2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),

Natamycin 10 mg/ml, golongan Imidazole.

Golongan II: Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5%

(obat terpilih), Econazole 1% (obat terpilih).

Golongan III: Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,

Clotrimazole 1%, Fluoconazol 2 %

Golongan IV: Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.

Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk

mengurangi uveitis anterior.

Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria

penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up)

dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya

infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik

biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit

menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-

kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis

diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.

2.7 Keratitis Parasit

Parasit dapat menyebabkan keratitis terutama acanthamoeba. 1-4% dari

keseluruhan kasus keratitis disebabkan oleh acanthamoeba (Ranjakumar, 2008).

24

Page 25: Referat Mata

2.7.1 Patogenesis

Penyebab keratitis adalah multifaktor. Penyabab utama dikarenakan

trauma minor okular. Biasanya trauma minor pada mata oleh karena penggunaan

kontak lens. Kemudian amoeba masuk ke kornea melalui penggunaan kontak lens

saat berenang atau cairan kontak lens. Adapun karakteristik keratitis

acanthamoeba untuk dibedakan dengan keratitis lainnya adalah:

1. Infiltrat yang berbentuk cincin

2. Peninggian lesi kornea

3. Kurangnya vaskularisasi baik pada kasus kronis maupun peradangan berat

(Ranjakumar, 2008).

2.7.2 Manifestasi klinis

Adapun gambaran klinis keratitis acanthamoeba adalah sebagai berikut:

1) Stadium dini: defek epitel, epitel yang berkabut, pseudodenritik

2) Stadium lambat: defek epitel, infiltrat stroma, keratitis numularis

3) Stadium lanjut: infiltrat yang berbentuk cincin, abses stroma, lesi satelit

(Ranjakumar, 2008).

Gambar 8. Gambaran keratitis acanthamoebaSumber: Ranjakumar (2008)

25

Page 26: Referat Mata

Tabel 3. Gejala klinis subjektif keratitis beradasarkan etiologi

2.7.3 Tata laksana

Tata laksana keratitis parasit adalah dengan pengobatan sistemik dan

topikal. Sistemik dengan menggunakan itraconazole atau ketaconazole 600

mg/hari secara oral. Obat-obat lain yang digunakaN adalah:

1) Aromatic diamidines: Propamidine isethionate 0.1 %, Dibromopropamidine

ointment 0.15 %

2) Aminoglycosides: Neomycin

3) Imidazole dan triazole antifungal

4) Polimiksin

5) Cationic antiseptik: Polyhexamethylene biguanide (PHMB) 0.02 %

Chlorhexidine 0.02 % (Ranjakumar, 2008).

Tabel 4. Pengobatan keratitis acanthamoeba berdasarkan siklus hidup

Sumber: Ranjakumar (2008)

26

Page 27: Referat Mata

BAB III

KESIMPULAN

Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,

virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang

terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya

yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan

obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap

konjungtivitis menahun.

Pada keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea

bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk

refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk

ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama

apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris

yang meradang  Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan

merasa ada yang mengganjal atau kelilipan.

Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan

dan membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah

satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan

gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis

penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.

27

Page 28: Referat Mata

DAFTAR PUSTAKA

1. Aamna J, Aurengzeb S, Syed AH, Zia-ud-din S. Role of Moxifloxacin in

Bacterial Keratitis. Pak J Ophthalmol, 2009. 25(2): 81-6.

2. Anonimous. Keratitis Waspada Invasi Kuman pada Mata. Farmacia, 2009.

9(3). Serial online: http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?

IDNews=1388

3. Bowlng E, Russell GE, Shovlin JP, Sindt CW. The Corneal Atlas. Review Of

Optometry, 2011.

4. Golnaz J, Jeffrey JZ. Keratitis. 2007. Serial online: www.antimicrobe.org

5. Foster CS. Ganciclovir Gel—A New Topical Treatment for Herpetic

Keratitis. Clinical Professor of Ophthalmology, 2008. 52-6.

6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI: Jakarta, 2006.

7. Khurana AK. Comprehensive Opthamology. New Age International: New

Dehli, 2007.

8. Lang GK. Opthamology. Thieme Stuttgart: New York, 2000.

9. Mansjoer AM. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Media Aesculapius FKUI:

Jakarta, 2001. Hal: 56.

10. Matthew G, Andrew A, Fiona S. Risk Factors and Causative

Organisms in Microbial Keratitis. Cornea, 2008. 27:22–27.

11. Norina TJ, Raihan S, Bakiah S, Ezanee M, Liza-Sharmini AT, Wan HWH.

Microbial Keratitis: Aetiological Diagnosis And Clinical Features In Patients

Admitted To Hospital Universiti Sains Malaysia. Singapore Med J. 2008.

49(1): 67-71.

12. Ranjakumar. Parasitic Keratitis. Dept. of Ophthalmology Medical college:

Kozhikode. 2008. 412-6.

13. Sachin D, Ruchi K, Santosh S. Epidemiological Features And Laboratory

Results Of Bacterial And Fungal Keratitis: A Five-Year Study At A

Ruraltertiary-Care Hospital In Western Maharashtra, India. Singapore Med J,

2012. 53(4): 264–267.

28

Page 29: Referat Mata

14. Srinivasan M. Fungal Keratitis. Curr Opin Ophthalmol, 2004. 15:321–327.

Lippincott Williams & Wilkins.

15. Suhardjo. Diagnosis dan Penatalaksanaan Keratitis Herpes Simpleks. Cermin

dunia kedokteran, 1995. 104: 49-51.

29