Referat Manajemen Sepsis

25
PENDAHULUAN Sepsis diderita oleh 18 juta orang seluruh dunia setiap tahunnya. Pencatatan kejadian sepsis memperkirakan insidensinya sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi, dengan kecenderungan meningkat sebesar 9 % tiap tahunnya. Insidensi cenderung meningkat berdasarkan umur, dengan kelompok umur tua yang paling buruk. Penelitian epidemiologi sepsis di Amerika menyatakan insidensi sepsis sebesar 3 kasus diantara 1.000 populasi. Insidensi meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Insidensinya diperkirakan meningkat sekitar 1,5 % tiap tahunnya. Penelitian lainya menunjukkan insidensi sepsis meningkat dari 73,6/100.000 pada tahun 1979 menjadi 175,9/100.000 pada tahun 1989. Angka kunjungan sepsis berkisar antara 2% sampai 11% dari total kunjungan ICU. (Angus, et. al., 2001) Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar sebesar 16% dari total kunjungan ICU. Insidensi sepsis di Australia sekitar 11 tiap 1.000 populasi. Sepsis berat terdapat pada 39 % diantara pasien sepsis. (Edbrooke, et. al., 1999) Beban biaya perawatan sepsis di Amerika rata-rata US$16,7 milliar tiap tahunnya. Biaya perawatan pasien sepsis di ICU enam kali lipat lebih besar dibandingkan perawatan ICU tanpa sepsis. (Angus, et. al., 2001) 1

description

anestesi sepsis

Transcript of Referat Manajemen Sepsis

Page 1: Referat Manajemen Sepsis

PENDAHULUAN

Sepsis diderita oleh 18 juta orang seluruh dunia setiap tahunnya. Pencatatan

kejadian sepsis memperkirakan insidensinya sekitar 50-95 kasus diantara 100.000

populasi, dengan kecenderungan meningkat sebesar 9 % tiap tahunnya. Insidensi

cenderung meningkat berdasarkan umur, dengan kelompok umur tua yang paling

buruk.

Penelitian epidemiologi sepsis di Amerika menyatakan insidensi sepsis

sebesar 3 kasus diantara 1.000 populasi. Insidensi meningkat lebih dari 100 kali lipat

berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok

umur > 85 tahun). Insidensinya diperkirakan meningkat sekitar 1,5 % tiap tahunnya.

Penelitian lainya menunjukkan insidensi sepsis meningkat dari 73,6/100.000 pada

tahun 1979 menjadi 175,9/100.000 pada tahun 1989. Angka kunjungan sepsis

berkisar antara 2% sampai 11% dari total kunjungan ICU. (Angus, et. al., 2001)

Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar sebesar 16% dari total kunjungan

ICU. Insidensi sepsis di Australia sekitar 11 tiap 1.000 populasi. Sepsis berat

terdapat pada 39 % diantara pasien sepsis. (Edbrooke, et. al., 1999)

Beban biaya perawatan sepsis di Amerika rata-rata US$16,7 milliar tiap

tahunnya. Biaya perawatan pasien sepsis di ICU enam kali lipat lebih besar

dibandingkan perawatan ICU tanpa sepsis. (Angus, et. al., 2001)

Penelitian di Inggris menunjukkan rata-rata biaya harian perawatan pasien

sepsis berkisar antara US$ 930 - US$ 1.079, berbeda bermakna dibandingkan

pasien tanpa sepsis (US$ 750). Total biaya perawatan pasien sepsis berkisar antara

US$3.801 - US$ 17.962, berbeda bermakna dibandingkan total biaya perawatan

pasien tanpa sepsis (US$ 1.666). (Edbrooke, et. al., 1999)

Angka mortalitas sepsis berkisar antara 25% sampai 80 % diseluruh dunia,

tergantung beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta,

terdapatnya trauma paru-paru akut atau sindrom distres respirasi akut atau gagal

ginjal, jenis infeksinya apakah nosokomial atau polimikrobial, dan jika jamur sebagai

agen penyebabnya. Sebuah penelitian menunjukkan angka mortalitas menurun dari

62% di awal tahun 1990an menjadi 56% ditahun 2000.(Hoyert, et. al., 2001)

1

Page 2: Referat Manajemen Sepsis

Angka mortalitas sepsis di Amerika sebesar 28,6% yang meningkat

berdasarkan umur, yaitu sebesar 10% pada anak-anak dan 38,4% pada kelompok

umur >85 tahun. Penelitian di Inggris menyebutkan angka mortalitas sepsis sebesar

50% - 60%, berbeda bermakna dibanding angka mortalitas pada pasien tanpa

sepsis (20%). Data angka mortalitas di Australia menyebutkan bahwa angka

mortalitas pasien sepsis sebesar 28,9%, sedangkan angka mortalitas pada pasien

dengan sepsis berat sebesar 31,1%. ( Hoyert, et. al., 2001, Edbrooke, et. al., 1999)

DEFINISI DAN KRITERIA

Terdapat banyak istilah-istilah yang terkait sepsis yang perlu dipahami:

1. Inflamasi: respon lokal yang dipicu oleh jejas atau kerusakan jaringan, bertujuan

untuk menghancurkan, melarutkan bahan penyebab jejas ataupun jaringan yang

mengalami jejas, yang ditandai dengan gejala klasik dolor, kalor, rubor, tumor dan

functio laesa.

2. Infeksi: ditemukannya organisme pada tempat yang normal steril, yang biasanya

disertai dengan respon inflamasi tubuh.

3. Bakteremia: ditemukan bakteri di dalam darah, dibuktikan dengan biakan.

4. Septikemia: bakterimia disertai dengan gejala klinik yang bermakna.

5. Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS).

Istilah ini menggambarkan respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh berbagai

kondisi seperti trauma, luka bakar, aspirasi, kontusio pulmonal dan pankreatitis,

termasuk infeksi.

6. Sepsis: respon sistemik terhadap infeksi. Manifestasinya sama dengan SIRS

tetapi selalu dihubungkan dengan adanya proses infeksi. Jadi sepsis = SIRS yang

disebabkan oleh infeksi.

Respon sistemik: respon sistemik tersebut ditandai dengan 2 atau Iebih tanda:

- temperatur > 38°C atau kurang dari 36°C

- denyut jantung > 90/menit

- respirasi > 20/menit atau PaC02 < 32 mmHg (<4.3 kPa)

- sel darah putih > 12.000/mm3, atau > 10% bentuk immature/band.

2

Page 3: Referat Manajemen Sepsis

7. Sindrom Sepsis: klinis infeksi dengan respon sistemik yang menyebabkan

gangguan organ berupa: insufisiensi respirasi, disfungsi renal, asidosis atau gejala

mental.

8. Sepsis berat : kondisi sepsis disertai adanya disfungsi organ, hipoperfusi atau

hipotensi. Manifestasi hipoperfusi dan gangguan perfusi antara lain dapat berupa

asidosis laktat, oliguri atau penurunan kesadaran.

9. Syok septik : terjadi pada pasien dengan sepsis berat, dengan manifestasi

hipotensi yang menetap meskipun telah mendapatkan resusitasi cairan yang

adekuat, disertai dengan penurunan perfusi jaringan dan gangguan fungsi organ-

organ.

10. Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS):

Gangguan fungsi organ pada pasien akut yang sedemikian rupa sehingga

homeostatis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Kondisi ini ditandai dengan

adanya perubahan kontinyu pada lebih dari 1 organ tubuh. Disfungsi dapat berupa

kegagalan total suatu organ tubuh (misal: gagal ginjal, oliguri) atau hanya berupa

kegagalan kimiawi baik yang menimbulkan gejala klinis ataupun tidak (misal:

peningkatan kadar kreatinin serum). (Suharto, 2000)

PATOGENESIS

Faktor mikrobial dan faktor penjamu

Selama ini diterima pendapat bahwa sepsis dan syok sepsis erat kaitannya

dengan faktor mikrobial dan faktor penjamu. Faktor mikrobial penting peranannya

sebagai pencetus segala perubahan patogenesis dan patofisiologi yang terjadi, dan

juga terkait dengan pemilihan antiibiotik yang sesuai. Faktor penjamu merupakan

faktor penentu mudah/sukarnya mikroorganisme masuk dan berkembang biak, di

samping bagaimana responnya (Suharto, 2000; Light, 1998).

Proses kejadian sepsis

Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan adanya fokus infeksi jaringan

sebagai sumber bakteremia (bakteremia sekunder). Kuman gram negatif merupakan

komensal normal dalam GIT, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan,

3

Page 4: Referat Manajemen Sepsis

seperti dalam peritonitis perforasi. Sepsis juga bisa ditimbulkan oleh kuman gram

positif biasanya timbul dari infeksi kulit atau saluran respirasi, juga bisa dari luka

terbuka misalnya pada luka bakar. Penyebab yang lebih jarang adalah: jamur

terutama Candida dan virus (Baxter, 1997; Light, 1998).

Toksin bakteri memegang kunci dalam kejadian sepsis bahkan cukup

dengan toxin bakteri tanpa kehadiran bakteri secara sistemik secara klinik dapat

menimbulkan syok sepsis.

Peradangan yang tercetus sebenarnya berfungsi untuk membatasi, melawan

proses penyebarannya, menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Tapi

bila respon peradangan ini berkepanjangan dan berlebihan akan merugikan. Demam

dan radang berlangsung diperantarai oleh mediator inflamasi termasuk berbagai

sitokin. Di antara semua sitokin, TNF-α dianggap sebagai mediator yang paling

poten dalam patofisiologi sindrom sepsis gram negatif. Secara umum perubahan ini

meliputi: perubahan endotel, kebocoran kapiler, tachikardi, hipotensi dan depresi

myokard. Perubahan yang terjadi berakibat perubahan aliran darah dimikrosirkulasi

dan kerusakan yang progresif pada endotel kapiler dan jaringan (Patrick, 2006).

TNF-α memicu timbulnya demam, tachikardi, tachypnea, myalgia,

leukositosis dan somnolensi. Pemberian infus TNF-α dalam dosis besar pada

binatang percobaan, dapat menyebabkan syok, DIC dan kematian. TNF-α

menstimulasi leukosit dan endotel vaskuler melepaskan sitokin-sitokin lain (selain

TNF-α sendiri), dan meningkatkan perubahan asam arakhidonat (Suharto, 2000;

Carcille, 2005).

Asam arakhidonat yang dibebaskan dari fosfolipid oleh phospholipase A2

akan diubah dalam jalur siklooksigenase menjadi prostaglandin dan tromboksan.

Prostaglandin dan prostasiklin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sedangkan

tromboksan menyebabkan vasokonstriksi dan memacu agregrasi trombosit.

Leukotrien juga merupakan mediator yang kuat pada iskemia dan syok. Bahan

fosfolipid yang lain adalah PAF yang dapat menyebabkan agregasi leukosit serta

jejas jaringan (Carcille, 2005).

Pada pasien sepsis terdapat gangguan keseimbangan antara koagulasi dan

fibrinolisis yang berakibat adanya keadaan prokoagulan, yang ikut berperan dalam

4

Page 5: Referat Manajemen Sepsis

timbulnya kegagalan organ dan kematian. Deposisi fibrin intravaskuler, trombosis

dan DIC merupakan gambaran penting yang dijumpai pada sepsis. TNF-α memicu

terjadinya koagulasi intra vaskuler dengan cara menginduksi ekspresi faktor jaringan

monosit. Bila faktor jaringan diekspresikan oleh monosit, ia akan mengikat F VIIa

untuk membentuk kompleks aktif yang akan mengubah F X dan XI menjadi enzim

aktif. Akibatnya adalah akan terjadi aktifasi koagulasi dengan hasil akhir

terbentuknya fibrin (Carcille, 2005).

Komplemen C5a dan produk lain hasil aktivasi komplemen akan

meningkatkan aktifasi reaksi neutrofil misalnya kemotaksis, agregrasi, degranulasi

dan produksi radikal oksigen. Bila diberikan pada binatang, terbukti akan

menginduksi terjadinya vasokontriksi pulmoner, neutropenia dan kebocoran vaskuler

karena kerusakan endotel.

Banyak alat tubuh mengalami kerusakan akibat sepsis. Mekanisme yang

mendasari sangat mungkin adalah terjadinya jejas endotel vaskuler yang sangat

luas, di samping ekstravasasi cairan dan mikrotrombi yang akan menurunkan

penggunaan oksigen dan bahan lain oleh jaringan yang bersangkutan. Integritas

kapiler akan rusak oleh pengaruh enzim neutropil (misalnya elastase) dan bahan

metabolit toksik lainnya, sehingga timbul perdarahan lokal (Carcille, 2005).

Perubahan hemodinamik dimana dikeluarkan nitrooksida yang menyebabkan

vaskuler sistemik resistensi (SVR) menurun, peningkatan permeabilitas kapiler

akibat gangguan pada endotel berakibat ekstravasasi, udema interstitiel bahkan

udema intraseluler. Udema pada dua kompartemen tersebut berakibat terjadinya

gangguan metabolisme sel, oksigen yang tersedia menurun di bawah level kritis,

kegagalan penggunaan oksigen, jaringan melakukan metabolisme anaerob, terjadi

akumulasi laktat, asidosis metabolik dan pada gilirannya menyebabkan Multiple

Organ Dysfunction Syndrome (MODS) (Suharto, 2000; Patrick, 2006).

5

Page 6: Referat Manajemen Sepsis

PRINSIP DASAR PENATALAKSAAN SEPSIS

A. Resusitasi Awal

1 Resusitasi pada pasien sepsis berat atau hipoperfusi jaringan yang

diinduksi sepsis (hipotensi atau asidosis laktat) harusnya dimulai sesegera mungkin

setelah sindrom tersebut diketahui dan tidak seharusnya tertunda karena menunggu

masuk ICU.

Peningkatan kadar laktat serum menunjukkan hipoperfusi jaringan pada

pasien yang tidak hipotensif. Selama 6 jam pertama, tujuan resusitasi awal pada

hipoperfusi yang terinduksi sepsis termasuk semua kriteria dibawah ini sebagai satu

bagian dari protokol penatalaksanaan :

1. Tekanan vena sentral : 8-12 mmHg

2. Tekanan arteri rata-rata > 65 mmHg

3. Produksi urin > 0,5 mm/kgBB/jam

4. Saturasi oksigen ≥ 70 %

Penatalaksanaan awal tersebut menunjukkan perbaikan harapan hidup

pasien UGD yang menderita sepsis. Resusitasi yang bertujuan pada kriteria tersebut

diatas pada periode 6 jam pertama resusitasi mampu menurunkan angka mortalitas

hari-28. Meskipun pengukuran laktat mungkin berguna, presisinya sebagai pengukur

status metabolisme jaringan masih kurang. Pada pasien yang menggunakan

ventilator mekanik, target CVP direkomendasikan 12-15 mmHg sebagai kompensasi

peningkatan tekanan intrathorakal. Meskipun penyebab takikardi pada pasien sepsis

bersifat multifaktorial, penurunan frekuensi nadi setelah resusitasi cairan merupakan

petunjuk penting perbaikan pengisian intravaskuler.

2. Selama 6 jam pertama resusitasi, jika saturasi 70 % tidak tercapai dengan

resusitasi cairan yang menunjukkan CVP 8-12 mmHg, diperlukan tranfusi PRC untuk

mencapai hematokrit ≥ 30 % dan/atau pemberian dobutamin infus (sampai maksimal

20 μg/kg/menit) untuk mencapai tujuan ini.

6

Page 7: Referat Manajemen Sepsis

B. Diagnosis

1. Kultur seharusnya selalu dilakukan sebelum dimulai terapi anbtimikrobial.

Diperlukan setidaknya 2 kultur darah yang diambil salah satunya lewat perkutan dan

satunya lagi diambil melalui peralatan akses vaskuler yang ada, kecuali jika alat

tersebut dipasang kurang dari 48 jam. Kultur dari tempat lainnya seperti urin, LCS,

luka, sekret respirasi, atau cairan tubuh lainnya harus diambil sebelum dimulai terapi

antibiotik.

2. Pemeriksaan diagnostik seharusnya dilakukan secepatnya untuk

menentukan sumber infeksi dan organisme penyebab. Pemeriksaan radiografis

seharusnya juga dilakukan, meskipun terkadang pasien tidak stabil untuk menjalani

prosedur invasif tertentu atau ditransport keluar dari ICU.

C. Terapi Antibiotik

1. Terapi antibiotik intravena seharusnya dimulai dalam 1 jam pertama

setelah diketahui terjadinya sepsis berat, setelah kultur diambil.

2. Terapi antibiotik awal secara empiris seharusnya termasuk 1 atau lebih

obat yang mempunyai aktifitas melawan patogen yang dicurigai (bakterial atau

fungal) dan memungkinkan menembus kedalam sumber sepsis yang dicurigai.

Pemilihan obat seharusnya berdasarkan pola kuman di masyarakat dan di rumah

sakit.

3. Pemberian antimikrobial seharusnya selalu ditinjau kembali setelah 48–72

jam yang tujuannya dapat dipilihnya antibiotik spektrum sempit untuk mencegah

terjadinya resistensi, mengurangi toksisitas, dan mengurangi biaya. Apabila patogen

penyebab telah teridentifikasi, tidak ada bukti yang menunjukkan terapi kombinasi

lebih efektif dibandingkan monoterapi. Durasi terapi antibiotik seharusnya berjalan

selama 7-10 hari dan berdasarkan respon klinis.

Banyak klinisi menggunakan terapi kombinasi untuk pasien sepsis berat atau

syok septik dengan netropenia. Pada kasus ini terapi antibiotik berlanjut sepanjang

terjadinya netropenia.

7

Page 8: Referat Manajemen Sepsis

4. Apabila sindrom klinis menunjukkan penyebabnya adalah non infeksi,

terapi antimikroba seharusnya dihentikan secepatnya untuk meminimalkan

terjadinya patogen resisten dan superinfeksi oleh organisme patogen lainya.

D. Kontrol Sumber Infeksi

1. Setiap pasien sepsis seharusnya dievaluasi terdapatnya fokus infeksi,

terutama dari drainase abses atau fokus infeksi lokal, debridement jaringan nekrotik

terinfeksi, pelepasan peralatan yang memungkinkan terinfeksi, atau kontrol definitif

sumber kontaminasi mikroba yang masih ada.

2. Pemilihan cara mengontrol sumber infeksi harus memperhatikan untung

ruginya. Intervensi kontrol sumber infeksi dapat menyebabkan komplikasi seperti

perdarahan, fistula, atau cedera jaringan yang tidak dikehendaki.

3. Apabila sumber infeksi ternyata seperti abses intrabdomen, perforasi

gastrointestinal, kolangitis, atau iskemia intestinal, pengontrolan sumber infeksi tetap

harus secepatnya dilakukan setelah resusitasi awal.

4. Apabila peralatan akses intravena dicurigai sebagai sumber infeksi, maka

harus secepatnya dilepas setelah dipasang akses vaskular lainnya.

Tabel 1. Tindakan untuk mengontrol sumber infeksi

8

Page 9: Referat Manajemen Sepsis

E. Terapi Cairan

1. Resusitasi cairan dapat berupa koloid alami atau buatan, atau kristaloid.

Tidak ditemukan bukti bahwa suatu jenis cairan lebih baik dari jenis cairan lainnya.

2. Uji cairan pada pasien yang dicurigai hipovolemia (dicurigai terdapat

sirkulasi arterial yang tidak adekuat) dapat diberikan 500-1000 cc kristaloid atau 300-

500 cc koloid dalam 30 menit dan diulang berdasarkan respon klinis (peningkatan

tekanan darah dan produksi urin), dan dimonitor adanya kelebihan cairan

intravaskuler.

F. Vasopresor

1. Apabila uji cairan tidak mampu menghasilkan tekanan darah dan perfusi

organ yang adekuat, terapi dengan obat vasopresor harus segera dimulai. Terapi

vasopresor dapat juga diperlukan untuk memelihara perfusi pada kasus hipotensi

yang mengancam jiwa, meskipun uji cairan sedang berlangsung dan hipovolemia

dapat dikoreksi.

2. Norepinefrin atau dopamin (melalui CVC yang sesegera mungkin

dipasang) merupakan obat vasopresor pilihan utama untuk mengatasi hipotensi

pada syok septik.

3. Dopamin dosis rendah tidak seharusnya digunakan untuk proteksi renal

sebagai bagian pengobatan sepsis berat.

4. Semua pasien yang memerlukan vasopresor seharusnya dipasang kateter

arterial sesegera mungkin.

5. Penggunaan vasopresin dapat dipertimbangkan diberikan pada pasien

dengan syok refrakter setelah pemberian resusitasi cairan dan penggunaan

vasopresor konvensional dosis tinggi.

G. Terapi Inotropik

1. Pada pasien dengan curah jantung rendah meskipun sudah dilakukan

resusitasi cairan yang adekuat, dobutamin dapat digunakan untuk meningkatkan

curah jantung. Jika digunakan pada kondisi tekanan darah yang rendah, dobutamin

seharusnya dikombinasi dengan terapi vasopresor.

9

Page 10: Referat Manajemen Sepsis

2. Strategi meningkatkan indeks kardial untuk memperoleh level yang lebih

tinggi tidak direkomendasikan.

H. Steroid

1. Kortikosteroid intravena (hidrokortison 200-300 mg/hari, selama 7 hari

dalam 3-4 dosis terbagi atau dengan infus kontinyu) direkomendasikan pada pasien

dengan syok septik yang memerlukan terapi vasopresor untuk mempertahankan

tekanan darah yang adekuat setelah penggantian cairan yang adekuat.

a) Beberapa penelitian menggunakan tes stimulasi ACTH 250 μg untuk

mengidentifikasi pasien yang responsif (peningkatan > 9 μg/dL kortisol

setelah 30-60 menit pemberian ACTH) dan menghentikan terapi pada

pasien tersebut. Klinisi tidak harus menunggu hasil stimulasi ACTH untuk

memberikan kortikosteroid

b) Beberapa ahli menurunkan dosis steroid setelah pebaikan syok septik.

c) Beberapa ahli mempertimbangkan menurunkan secara bertahap dosis

kortikosteroid pada akhir terapi.

d) Beberapa ahli menambahkan fludrokortison ( 50 μg peroral 4 kali sehari)

pada terapi steroid tersebut.

2. Dosis kortikosteroid hidrokortison > 300 mg dalam sehari tidak boleh

digunakan pada sepsis berat atau syok septik, jika tujuannya untuk memperbaiki

syok septik.

3. Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada penatalaksanaan sepsis jika

tidak terdapat syok septik. Tidak ada kontraindikasi untuk melanjutkan terapi steroid

pemeliharaan atau menggunakan steroid dosis tertentu jika pasien mempunyai

riwayat pemberian kortikosterid atau riwayat gangguan endokrin.

I. Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC)

rhAPC direkomendasikan pada pasien yang beresiko tinggi meninggal

(APACHE II > 25, gagal organ multipel terinduksi sepsis, syok septik, atau ARDS

terinduksi sepsis) dan tidak ada kontraindikasi absolut atau kontraindikasi relatif

yang berhubungan dengan resiko perdarahan.

10

Page 11: Referat Manajemen Sepsis

J. Pemberian Produk Darah

1. Apabila hipoperfusi jaringan ditemukan dan tidak terdapat penyakit arteri

koroner, perdarahan akut, atau asidosis laktat, tranfusi sel darah merah harus

diberikan hanya jika hemoglobin turun kurang dari 7 gr/dL untuk mencapai target

hemoglobin 7-9 gr/dL.

2. Eritropoetin tidak direkomendasikan sebagai terapi spesifik untuk anemia

yang berhubungan dengan sepsis berat, tapi mungkin bisa diberikan apabila pasien

sepsis mempunyai alasan kuat pemberian eritropoetin seperti gagal ginjal disertai

produksi sel darah merah yang kurang.

3. Tidak direkomendasikan pemberian rutin plasma segar yang dibekukan

untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan darah tanpa disertai perdarahan atau

direncanakan tindakan invasif.

4. Pemberian antitrombin tidak direkomendasikan dalam pengobatan sepsis

berat atau syok septik.

5. Trombosit seharusnya diberikan apabila AT < 50000 /mm3 meskipun tidak

muncul perdarahan. Tranfusi trombosit dipertimbangkan apabila AT

5000-30000/mm3 dan terdapat resiko perdarahan. Angka trombosit yang lebih tinggi

(>50000 /mm3 ) diperlukan untuk operasi atau tindakan invasif.

11

Tabel 2. Kontraindikasi penggunaan rhAPC

Page 12: Referat Manajemen Sepsis

K. Ventilasi Mekanik pada ARDS/ ALI Terinduksi Sepsis.

1. Volume tidal yang tinggi dengan tekanan tinggi harus dihindari pada

ARDS/ALI. Titik awalnya adalah pengurangan volume tidal dalam 1-2 jam sampai

volume tidal rendah ( 6 ml/kg) bersamaan dengan mempertahankan tekanan akhir

ekspirasi < 30 cmH2O .

2. Hiperkapnia dapat ditoleransi pada pasien ARDS/ALI jika diperlukan untuk

meminimalkan volume tidal dan tekanan plateu.

3. PEEP dapat diberikan untuk mencegah menutupnya alveoli pada akhir

ekspirasi. Pengaturan PEEP berdasarkan derajat defisit oksigenasi dan ditentukan

oleh FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi.

4. Pada fasilitas ICU yang berpengalaman dapat dipertimbangkan

penggunaan posisi tengkurap pada pasien ARDS untuk mendapatkan perbaikan Fi

O2 atau tekanan plateu yang tidak memiliki resiko tinggi untuk perubahan posisi

tersebut.

5. Jika tidak dikontraindikasikan, pasien dengan ventilasi mekanis

dipertahankan pada posisi semirecumbent, dengan kepala tempat tidur dinaikkan

sampai 45o untuk mencegah pneumonia terkait ventilator (VAP).

6. Protokol penyapihan ventilasi mekanis dilakukan sampai pernafasan

spontan untuk menilai kemampuan penghentian ventilasi mekanis apabila

menunjukkan kriteria:

a. dapat dibangunkan

b. hemodinamik stabil (tanpa vasopresor)

c. tanpa kondisi yang berpotensial serius

d. kebutuhan ventilasi dan tekanan akhir ekspirasi yang rendah

e. memerlukan FiO2 yang dapat diberikan secara baik dengan sungkup

muka atau nasal kanul.

Jika nafas spontan berhasil, dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pilihan

pernafasan spontan termasuk bantuan tekanan level rendah dengan CPAP 5 cm

H2O atau dengan T-piece.

12

Page 13: Referat Manajemen Sepsis

L. Sedasi, Analgesi, dan Pelumpuh Otot pada Sepsis

1. Sedasi diperlukan pada pasien dengan ventilasi mekanis berdasarkan

skala sedasi subyektif yang terstandarisasi.

2. Sedasi dengan bolus intermiten atau infus kontinyu diberikan dengan

interupsi atau pengurangan sedasi setiap hari dengan disertai membangunkan

pasien dan titrasi kembali (jika diperlukan) merupakan metode yang

direkomendasikan untuk pemberian sedasi.

3. Pelumpuh otot dihindari jika memungkinkan pada pasien sepsis karena

resiko pemanjangan efek pelumpuh otot. Jika pelumpuh otot harus diberikan harus

diberikan lebih lama dari pada 1 jam pertama ventilasi mekanis diperlukan dosis

bolus intermiten atau infus kontinyu.

M. Kontrol Glukosa

1. Dipertahankan kadar glukosa darah kurang dari 150 mg/dL (8,3 mmol/L)

pada stabilisasi awal pasien sepsis berat. Penelitian yang bertujuan mengendalikan

glukosa menggunakan infus kontinyu insulin dan glukosa. Berdasarkan protokol ini

glukosa harus dimonitor secara ketat pada awal pemberian (setiap 30-60 menit) dan

kemudian monitor secara teratur setiap 4 jam apabila konsentrasi gula darah telah

stabil.

2. Pada pasien sepsis berat pengendalian glukosa harus disertai pemberian

nutrisi yang diprioritaskan melalui jalur enteral.

13

Tabel 3. Manajemen ventilator ARDSNET

Page 14: Referat Manajemen Sepsis

N. Penggantian Ginjal

Pada gagal ginjal akut tanpa disertai stabilitas hemodinamik, hemofiltrasi

veno-venosa kontinyu sama baiknya dengan hemodialisis intermiten. Hemofiltrasi

kontinyu memudahkan management keseimbangan cairan pada pasien sepsis yang

hemodinamiknya tidak stabil.

O. Terapi Bikarbonat

Terapi bikarbonat yang bertujuan memperbaiki hemodinamik atau

menurunkan kebutuhan vasopresor tidak direkomendasikan untuk mengobati

asidosis laktat terinduksi hipoperfusi dengan pH > 7,15.

P. Pencegahan Trombosis Vena Dalam (DVT)

Pasien sepsis berat seharusnya mendapatkan profilaksis DVT dengan

heparin dosis rendah atau heparin dengan berat molekul rendah. Pada pasien

sepsis dengan kontraindikasi penggunaan heparin (misalnya trombositopenia,

koagulopati berat, perdarahan aktif, perdarahan intraserebral yang masih baru),

dianjurkan menggunakan pencegahan secara mekanis (stocking) yang menekan

secara bertahap atau alat yang menekan secara intermiten, kecuali apabila terdapat

kontraindikasi seperti penyakit vaskuler perifer. Pada pasien yang beresiko tinggi

seperti sepsis berat dan memiliki riwayat DVT, direkomendasikan menggunakan

terapi farmakologis yang dikombinasi dengan terapi mekanis.

Q. Pencegahan Stress Ulcer

Pencegahan stress ulcer seharusnya diberikan pada semua pasien dengan

sepsis berat. Inhibitor reseptor H2 lebih bermanfaat bila dibandingkan dengan

sukralfat. Inhibitor pompa proton belum pernah dibandingkan dengan antagonis

reseptor H2, sehingga efikasinya masih belum diketahui. (Dellinger, et. al., 2004)

14

Page 15: Referat Manajemen Sepsis

DAFTAR PUSTAKA

Angus DC, Linde WT, Lidicker J,: Epidemiology of Severe Sepsis in The United

States. Crit Care Med 2001, 29; 1303-1310.

Baxter, F., Septic Shock. Can J Anaesth 1997, 44; 59-72;

Carcille J., John, A.H., 2005. Sepsis and Multiple Organ System Failure dalam

Children Textbook of Critical Care. 5th ed; 211-234; Pennsylvenia: Mitchell P. Finle.

Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for

Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Crit Care Med 2004; 32:858-873.

Edbrooke, DL, Hibbert CL, Kingsley JM, et. Al.: The Patient Related Costs of Care

for Sepsis Patients in England Adult General Intensive Care Unit. Crit Care Med

1999; 27;1760-1767

Hoyert DL, Anderson RN: Age-adjusted Death Rate. Natl Vital Stat Rep 2001, 49:1-6

Light, R.B., 1998. Approach to Sepsis of Unknown Origin dalam Principle of Critical

Care; 2nd ed, McGraw-Hill, New York, p 719-745.

Patrick J.N, 2006. Infectious Disease and Bioterrorism dalam Anaesthesia and

Uncommon Disease, 5th ed; 377-410; Philadhelpia; Saunder Elsevier.

Suharto, 2000. Patofisiologi Syok Septik. Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah

Terpadu I FK UNAIR; p 57-68

15

Page 16: Referat Manajemen Sepsis

REFERAT

MEI 2006

PRINSIP DASAR

PENATALAKSANAAN SEPSIS

Disusun oleh:

Akhmad Yun Jufan

PESERTA PPDS I ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FK UGM / RS Dr. SARDJITO

Pembimbing Moderator

Dr.Med. dr. Untung Widodo, Sp.An. KIC dr. Bambang Suryono S., Sp.An, KIC, KNA, MKes

BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA / RS DR. SARDJITO

YOGYAKARTA

2006

16