referat krisis hipertensi
-
Upload
nida-faradisa -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
description
Transcript of referat krisis hipertensi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1, 4, 8, 9
Hipertensi terjadi pada 50 juta orang di Amerika dan berkontribusi lebih
dari 250.000 kematian di tahun 2000 karena kerusakan organ target.1
Tekanan darah normal didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
kurang dari 120 mmHg dan diastolik kurang dari 80 mmHg. Hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg atau
diastolik lebih dari 90 mmHg. Kenaikan tekanan darah meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler.9
Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20%
HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis
hipertensi yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan
pengelolaan yang cepat dan tepat sehingga mencegah kemungkinan kematian
atau kecacatan.4 Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil
penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari populasi HT,
terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur
selama 2 – 10 tahun.4
Di Indonesia, angka kejadian hipertensi berkisar 6-15% dan masih
banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan, terutama
di daerah pedesaan. Sementara itu, di Amerika Serikat, memperlihatkan
bahwa kurang lebih 76,4 juta orang berusia ≥20 tahun adalah penderita
hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi.8
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis
banding, tatalaksana, dan prognosis dari krisis hipertensi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi (tekanan darah sistolik ≥180 mmHg dan atau
diastolik ≥120 mm Hg yang membutuhkan penanganan segera.2
Berdasarkan keterlibatan organ target, krisis hipertensi dibagi menjadi
dua kelompok yaitu: 4, 11
1. Hipertensi darurat (emergency hypertension) : kenaikan tekanan darah
mendadak (sistolik ≥180 mm Hg dan / atau diastolik ≥120 mm Hg)
dengan kerusakan organ target yang bersifat progresif, sehingga tekanan
darah harus diturunkan segera, dalam hitungan menit sampai jam.
2. Hipertensi mendesak (urgency hypertension) : kenaikan tekanan darah
mendadak (sistolik ≥180 mm Hg dan / atau diastolik ≥120 mm Hg) tanpa
kerusakan organ target yang progresif atau minimal. Sehingga penurunan
tekanan darah bisa dilaksanakan lebih lambat, dalam hitung jam sampai
hari.
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain:4
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple
drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai
dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke
fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik
> 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,
peninggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal
ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.
Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi
2
essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang
sebelumnya mempunyai TD normal. Menurut Van den Born et al. istilah
hipertensi maligna diganti dengan krisis hipertensi dengan retinopati.11
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini
dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.
Tabel 1. Hipertensi Emergensi (darurat) 4
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
Pendarahan intra pranial, trombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.
Hipertensi ensefalopati.
Aorta diseksi akut.
Edema paru akut.
Eklampsi.
Feokhromositoma.
Funduskopi KW III atau IV.
Insufisiensi ginjal akut.
Infark miokard akut, angina unstable.
Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- Interaksi obat.
Tabel 2. Hipertensi Urgensi (mendesak) 4
Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
KW I atau II pada funduskopi.
Hipertensi post operasi.
Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.
3
B. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu:1, 10
1. Hipertensi primer (esensial), penyebab hipertensi tidak diketahui (95%
pasien).
2. Hipertensi sekunder, disebabkan oleh:
a. Gangguan Ginjal
b. Gangguan endokrin
c. Obat
d. Kehamilan
e. Co-arctation of the aorta
f. Gangguan neurologi
g. Faktor psikososial
h. Intravascular volume overload
i. Hipertensi sistolik
C. Patofisiologi 4
Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau
kontriksi dalam merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk
mempertahankan aliran (mekanisme autoregulasi) yang tetap terhadap
vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi. Pada krisis hipertensi
terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds (terutama
jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat
perubahan ini akan terjadi efek lokal dengan berpengaruhnya prostaglandin,
radikal bebas dan lain-lain yang mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol,
disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi miointimal, dan efek siskemik
akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin, vasopresin,
antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target.
Jantung, SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang
dapat melindungi organ tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan darah
mendadak turun atau naik. Misalkan individu normotensi, mempunyai
4
autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada tekanan arteri rata-
rata.
Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole)
Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada
tekanan arteri rata-rata (110-180mmHg). Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi
pada tekanan darah yang mendadak naik (krisis hipertensi), akibatnya pada
SSP akan terjadi endema dan ensefalopati, demikian juga halnya dengan
jantung, ginjal dan mata
D. Manifestasi Klinis Krisis Hipertensi
Gambaran klinis krisis hipertensi umumnya adalah gejala organ target
yang terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan
jantung dan diseksi aorta; mata kabur dan edema papilla mata; sakit kepala
hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal
akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada
kenaikan tekanan darah umumnya.6
Tabel 3. Gambaran Klinik Hipertensi Darurat 6
Tekanan
darahFunduskopi Status neurologi Jantung Ginjal Gastrointestinal
> 220/140
mmHg
Perdarahan,
eksudat,
edema papilla
Sakit kepala,
kacau, gangguan
kesadaran,
kejang.
Denyut jelas,
membesar,
dekompensasi,
oliguria
Uremia,
proteinuria
Mual, muntah
E. Diagnosis 3, 7, 10
Diagnosis krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil
terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data
yang minimal kita sudah dapat mendiagnosis suatu krisis hipertensi.
5
1. Anamnesis
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang
penting ditanyakan :
a. Riwayat hipertensi, lama dan beratnya.
b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
c. Usia, sering pada usia 30 – 70 tahun.
d. Gejala sistem saraf (sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas).
e. Gejala sistem ginjal (gross hematuri, jumlah urine berkurang)
f. Gejala sistem kardiovascular (adanya payah jantung, kongestif dan
oedem paru, nyeri dada).
g. Riwayat penyakit glomerulonefrosis, pyelonefritis.
h. Riwayat kehamilan, tanda- tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dikedua
lengan, mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan
neurologi, payah jantung kongestif, diseksi aorta). Palpasi denyut nadi di
keempat ekstremitas. Auskultasi untuk mendengar ada atau tidak bruit
pembuluh darah besar, bising jantung dan ronki paru.
Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan
neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu
dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.
F. Pemeriksaan Penunjang 10
1. Pemeriksaan laboratorium awal : urinalisis, Hb, Ht, ureum, kreatinin,
gula darah dan elektrolit.
2. Pemeriksaan penunjang: elektrokardiografi, foto thorak
3. Pemeriksaan penunjang lain bila memungkinkan: CT scan kepala,
ekokardiogram, ultrasonogram.
6
G. Diagnosis Banding
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis
hipertensi seperti: 4
1. Hipertensi berat
2. Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
3. Ansietas dengan hipertensi labil.
4. Edema paru dengan payah jantung kiri.
H. Tatalaksana 1, 2, 4, 6, 11
1. Dasar-Dasar Penanggulangan Krisis Hipertensi 4
Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis
hipertensi sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan
krisis hipertensi dapat dibagi:
a. Penurunan tekanan darah
Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat
mungkin tapi seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan
dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena akan menyebabkan
hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah
yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan
krisis hipertensi, pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP)
sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi. Penurunan TD pada penderita aorta
diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah lagi
dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi
ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien
dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial,
pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus
dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg.
7
b. Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah
memperbaiki fungsi target organ, pada umumnya masih diperlukan
pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan target
organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal
jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian
diuretik, pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan
afterload. Pada krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut,
diperlukan pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang kadang-kadang
memerlukan hemodialisis.
c. Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan
khusus, terutama yang berhubungan dengan etiloginya, misalnya
eklampsia gravidarum.
2. Penanggulangan Hipertensi Emergensi 4
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu
segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
a. Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari
arterial catether (bila ada indikasi). Untuk menentukan fungsi
kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
b. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik.
1) Tentukan penyebab krisis hipertensi
2) Singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
3) Tentukan adanya kerusakan organ sasaran
c. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD
sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah
klinis yang menyertai dan usia pasien.
1) Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD
sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak
kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada
krisis hipertensi tertentu (misal: disecting aortic aneurysm).
8
Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
2) Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal
pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusi ke otak,
jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari
permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting
anneurysma aorta.
3) TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu
atau dua minggu.
Tabel 4: Algoritma untuk Evaluasi Krisis Hipertensi 6
Parameter Hipertensi Mendesak Hipertensi Darurat
Biasa Mendesak
Tekanan
darah
(mmHg)
> 180/110 > 180/110 > 220/140
Gejala Sakit kepala,
kecemasan;
sering kali tanpa
gejala
Sakit kepala hebat,
sesak napas
Sesak napas, nyeri dada,
nokturia, dysarthria,
kelemahan, kesadaran
menurun
Pemeriksaan Tidak ada
kerusakan organ
target, tidak ada
penyakit
kardiovaskular
Kerusakan organ
target; muncul klinis
penyakit
kardiovaskuler,
stabil
Ensefalopati, edema paru,
insufisiensi ginjal, iskemia
jantung
Terapi Awasi 1-3 jam;
memulai/teruskan
obat oral, naikkan
dosis
Awasi 3-6 jam; obat
oral berjangka kerja
pendek
Pasang jalur IV, periksa
laboratorium standar, terapi
obat IV
Rencana Periksa ulang
dalam 3 hari
Periksa ulang dalam
24 jam
Rawat ruangan/ICU
9
d. Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi 4
Perawatan diruangan intensive (ICU) dan pemberian salah satu
dari obat anti hipertensi intravena (IV) dipilih pada pasien hipertensi
emergensi yang disertai kerusakan target organ.
Tabel 5: Obat hipertensi parenteral 2
Obat Mekanisme Dosis Efek / Dura
si
Spesifik
Indikasi
Sodium
nitroprusside
Arteri, vena
vasodilator
0,25-10 mg /
kg / menit
sebagai infus
IV
langsung/
2-3 menit
setelah
infuse
<
2min
Edema paru akut
Nitrogliserin Venodilator 500-100 mg
sebagai infus
IV
2-5
min /5-10
min
5-10
min
ACS
Nicardipine Dihidropirim
idin calcium
antagonist
5-15 mg / jam
sebagai infus
IV
1-5
min/15-
30 min
4-6
jam
Hiperadregenic
crisis
Labetalol α-β- blocker
(not
cardioselecti
ve)
Bolus 20 mg
diulang tiap
10 menit (20-
80mg)
Infus IV 1-
2mg/min
5-10 min 3-6
jam
Hipertensi
Emergensi,
Stroke
Esmolol β- blocker
(cardioselect
ive)
Bolus
0,5mg/kg
Infuse 25-
300μg/kg/min
1-2 min 10-20
min
ACS
Enalapril ACEI Bolus sampai
1mg
15-60
min
4-6
jam
Hipertensi
ensefalopati
Fenoldopam Dopamine
agonist
Infuse
0,1μg/kg/min
< 5min 30
min
Hipertensi
emergensi
Urapidilo Selective α-
adregenic
Bolus 25-100
mg tiap 5
3-5 min 4-6
jam
Perioperative
hypertension
10
antagonist menit
Phentolamin
e
Β-adregenic
blocker
Bolus 1-5 mg 1-2 min 10-30
min
Pheochromocyto
ma
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan
obat-obat oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi
pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium
nitrotprusside, Nitroglycirine, TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur
tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan
TD dapat naik kembali dalam beberapa menit. Perlu diingat bila
digunakan obat parenteral yang long acting ataupun obat oral,
penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali. 4, 11
e. Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang
tersedia, Sodium nitroprusside merupakan drug of choice pada
kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat ini
haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring
ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan
hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat
baru yang diberikan secara intravena tampaknya memberikan
harapan yang baik.
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang
dianjurkan maupun yang sebaiknya dihindari adalah:
Tabel 6: Obat yang dipilih untuk Hipertensi darurat dengan komplikasi 1,2
Komplikasi Obat Pilihan Target Tekanan
Darah
Obat yang
Dihindari
Diseksi aorta Nitroprusside/
Fenoldopam +
esmolol/Labetalol
SBP 110-120
sesegera mungkin
Hydralazine,
Diaozoxide,
Minoxidil
11
AMI, iskemia Nitrogliserin+labetalol/
esmolol//ACEI
Sekunder untuk
bantuan iskemia
Nitroprusside
Edema paru Nitroprusside/
nitrogliserin + loop
diuretic
10% -15% dalam 1-2
jam
Labetalol
Gangguan
Ginjal
Bolus labetalol/
fenoldopam infuse
20% -25% dalam 2-3
jam
Nitroprusside
Hipertensi
ensefalopati
ACEI and/ or labetalol 20% -25% dalam 2-3
jam
Nitroprusside
Subarachnoid
hemorrhage
Labetalol/ Fenoldopam 20% -25% dalam 2-3
jam
Nitroprusside
Stroke Iskemik Labetalol/ Fenoldopam 0% -20% dalam 6-12
jam
Nitroprusside
Eklampsi Magnesium sulfate +
Labetalol/Methyldopa/
Hydralazine
0-25% dalam 2-3 jam ACEI
KW III-IV
Bolus labetalol+infuse
fenoldopam
<25% TD atau
Diastolik 100-105
mmHg
ACEI
Kelebihan
Katekolamin
Nitrogliserin,
nicardipin/ verapamil +
benzodiazepine iv,
fenoldopam,
nitroprusside dan
phentolamine
0% -20% dalam 6-12
jam
Labetalol
AMI, infark miokard akut; SBP, tekanan sistolik bood.
f. Obat oral untuk hipertensi emergensi
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan
untuk menggunakan obat oral seperti Nifedipine (Ca antagonist),
Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
12
Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan
secara sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima
menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-tanda efek samping
yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD
diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila
TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan
adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran
yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit
respons bila setelah 60 menit pemberian TD masih >120mmHg atau
MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom
dan sign dari organ sasaran.
3. Penanggulangan Hipertensi Urgensi
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di
rumah sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang,
tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap masih
sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya digunakan
obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini
dan hasilnya cukup memuaskan.
Tabel 7: Obat hipertensi urgensi oral 2,4
Obat Dosis Efek / Lama
Kerja
Perhatian khusus
Captopril 12,5 - 25 mg PO;
ulangi per 30
min ; SL, 25 mg
15-30 min/6-8
jam ; SL
10-20 min/2-6
jam
Hipotensi, gagal ginjal,
stenosis arteri renalis
Clonidine PO 75 - 150 ug,
ulangi per jam
30-60 min/8-16
jam
Hipotensi, mengantuk,
mulut kering
Propanolo
l
10 - 40 mg PO;
ulangi setiap 30
15-30 min/3-6
jam
Bronkokonstriksi, blok
jantung, hipotensi
13
min ortostatik
Nifedipin
e
5 - 10 mg PO;
ulangi setiap 15
menit
5 -15 min/4-6 jam Takikardi, hipotensi,
gangguan koroner
SL, Sublingual. PO, Peroral
Pemberian nifedipine sublingual mulai ditinggalkan karena dapat
menyebabkan hipotensif. 2,11 Obat yang dianjurkan adalah obat long half-
life, karena tujuan penurunan tekanan darah dicapai dalam 48-72 jam. 1,2
Captopril adalah obat yang sering digunakan. Akhir-akhir ini Losartan
(Angiotensin II receptor antagonist) mulai sering digunakan juga. 2
I. Prognosis
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival
penderita hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia
(19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%), gagal
jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Miokard (1%), diseksi aorta
(1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif
dan penanggulangan penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi
ginjal. 4
14
BAB III
KESIMPULAN
Krisis hipertensi merupakan keadaan klinis yang perlu penanganan segera
dan tepat. Perlu dibedakan antara hipertensi emergensi dan urgensi. Hipertensi
emergensi disertai dengan kerusakan target organ. Penurunan tekanan darahnya
harus dilakukan dalam waktu menit hingga jam. Namun untuk hipertensi urgensi
tidak terdapat kerusakan target organ/kerusakan minimal. Penurunannya perlahan
dalam hitungan hari. Penurunan terlalu cepat dapat menyebabkan hipoperfusi
target organ. Besarnya penurunan tekanan darah 20-25% dari nilai MAP.
Obat antihipertensi parenteral yang bekerja cepat, dapat dikontrol
penurunan tekanan darahnya dan minimal efek sampingnya merupakan obat
pilihan. Pemakaian obat parenteral untuk hipertensi emergensi lebih aman karena
TD dapat diatur sesuai dengan keinginan, sedangkan dengan obat oral
kemungkinan penurunan TD melebihi diingini sehingga dapat terjadi hipoperfusi
organ. Drug of choice untuk hipertensi emergensi adalah Sodium Nitroprusside,
sedangkan Nifedipine, Clinidine, merupakan oral anti hipertensi yang terpilih
untuk hipertensi urgensi.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Aggarwal M., Khan I. A., 2006. Hypertensive Crisis: Hypertensive Emergencies and Urgencies., Cardio Clin. 24 pp: 135-46
2. Angelats E. G., Baur E. B., 2010. Hypertension, Hypertensive Crisis, and Hypertensive Emergency: Approaches to Emergency Department Care. Emergencias; 22 pp 209-19
3. Ashley E. A., Niebauer, J., 2004. Hypertension. In Ashley E. A., Niebauer, J. Cardiology Explained. United Stated of America: Remedica pp 77-91
4. Majid A., 2004. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. Avaiable from: http://repository.usu.ac.id. [Accessed 2 Juni 2013]
5. Fisher N. D. L., Williams G. H., 2005. Hypertensive Vascular Disease. In Kasper, D. L., Braunwald, E., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Longo, D. L., Jameson, J. L. Harrison’s Principles Internal Medicine. 16th Edition. United State of America: McGraw-Hill pp: 1463-80
6. Roesma, J. 2009. Krisis Hipertensi. Dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan 2. Jakarta: FKUI pp 616-7
7. Rosendorff C., 2005. Hypertension. In Rosendorff, C. Essential Cardiology: Principles and Practice. Second Edition. New Jersey: Humana Press pp 595-600
8. Tedjasukmana P., 2012. Tata Laksana Hipertensi. CDK-192. Vol. 39. No. 4 pp 251-5
9. The Seventh Report of the Joint National Committee. 2004. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. United States: Departement of Health and Human Service
10. Tjokroprawiro A., Setiawan P. B., Santoso D., Soegiarto G., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press. pp: 129-36
16
11. Van den Born B. J. H., Beutler J. J., Gaillard C. A. J. M., De Gooijer A., Van den Meiracker A. H., Kroon A.A., 2011. Dutch guideline for the management of hypertensive crisis – 2010 revision. Netherlands The Journal of Medicine Vol. 69, No. 5 pp 248-55
17