Referat Konvulsi Tonik-klonik
Click here to load reader
-
Upload
izza-munira -
Category
Documents
-
view
82 -
download
5
description
Transcript of Referat Konvulsi Tonik-klonik
GRAND MAL EPILEPSY
I. PENDAHULUAN
Konvulsi (kejang) adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat
timbul karena anoksia serebri, intoksikasi serebri histeria atau berbagai manifestasi epilepsi.
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala
tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron
kortikal secara berlebihan. Tiap neuron melepaskan muatan listriknya. Fenomen elektrik ini
adalah wajar. Manifestasi biologiknya berupa gerak otot atau suatu modalitas sensorik,
tergantung dari neuron kortikol mana yang melepaskan muatan listriknya.
Dengan kata lain, epilepsi didefinisikan sebagai satu kondisi di mana seseorang itu
mengalami episode-episode konvulsi yang rekuren disebabkan oleh proses kronik yang
mendasari gejala tersebut. Definisi ini mengimplikasikan sesorang yang mengalami serangan
(atau serangan-serangan) konvulsi, yang disebabkan oleh penyebab yang bisa diperbaiki atau
dihindari, tidak semestinya mengalami epilepsi. Epilepsi merujuk kepada satu fenomena
klinis dan bukan satu entiti penyakit tersendiri, kerna terdapat banyak bentuk dan penyebab
berlakunya epilepsi. Namun, diantara sekian banyak penyebab berlakunya epilepsi, terdapat
beberapa sindrome epilepsi tertentu di mana karakteristik klinis dan patologinya bersifat
distingtif dan mengarah ke satu etiologi tertentu.
Istilah kejang tonik klonik umum primer atau grand mal ialah serangan epileptik
primer yang berupa gerakan tonik klonik involuntar oto segenap tubuh dengan hilang
kesadaran tanpa suatu tanda yang mendahuluinya. Karena gerakan tonik klonik otot dari
kandung kemih, maka kandung kemih yang penuh dengan urine akan mengeluarkan isinya.
Dalam hal itu penderita grand mal ‘ngompo’ pada waktu diserang tonik klonik umum. Begitu
juga buih tampak keluar dari mulut penderita grand mal, apabila banyak air liur yang
terkumpul di ruang mulut terkocak-kocak oleh udara karena otot pernapasan berkejang tonik
klonik.
II. EPIDEMIOLOGI
Pengetahuan mengenai perkembangan statistik epilepsi pada suatu populasi
merupakan kunci untuk menilai keberhasilan atau kegagalan didalam upaya program
pencegahan dan pengobatan.
Insidensi
Penelitian luas terhadap insidensi epilepsi menunjukkan adanya rentang variasi yang
lebar yakni 11-134/100.000 populasi. Meski terdapat beberapa perbedaan geografi, namun
tampaknya variasi angka tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan studi metodologi yang
digunakan. Juga adanya sistem klasifikasi yang berbeda dan identifikasi kasus yang tidak
adekuat.
Penelitian mengenai insidensi epilepsi terhadap penduduk di Rochester Minnesota AS
dari tahun 1935-1984 mendapatkan angka 44/100.000 penduduk, dimana pria lebih banyak
dibanding wanita secara signifikan, juga insidensi epilepsi lebih tinggi terjadi pada usia anak-
anak dan usia lanjut. Penyakit serebrovaskular didapatkan sebagai penyebab terbanyak yang
menduhului (11%), disusul defisit neurologis sejak lahir, retardasi mental dan / atau cerebral
palsy (8%).
Dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa insidensi serangan oleh karena
traumatic brain injury tertinggi terjadi pada 1 tahun pertama. Angka insiden tersebut rendah
pada kasus cedera ringan (0,3/1000 per tahun), namun tinggi (10/1000 per tahun) pada cedera
berat.
Meski data sebelumnya menyebutkan bahwa insidensi tertinggi epilepsi diantara
pasien dibawah usia 65 tahun terdapat pada anak-anak, namun bukti kuat terakhir tampaknya
mengkonfirmasi kecenderungan insidensi spesifik-umur pada epilepsi dimana penurunan
insidensi terjadi pada kelompok anak-anak dan peningkatan bergeser ke usia lebih tua.
Prevalensi
Seperti halnya insidensi, angka prevalensi epilepsi dari berbagai penelitian berkisar
1,5–31/1000 penduduk. Estimasi prevalensi seumur hidup dari epilepsi (pasien yang pernah
mengalami epilepsi dalam suatu saat sepanjang hidupnya) berbeda di berbagai negara. Di
negara Polandia sebesar 9,2/1000 penduduk, Norwegia 4,3/1000 dan di Islandia 5,2/1000
penduduk.
Adapun rata-rata prevalensi epilepsi aktif (serangan dalam 2 tahun sebelumnya) yang
dilaporkan oleh banyak studi di seluruh dunia berkisar 4-6/1000. Dalam studi selama 10
tahun terhadap 6.000 populasi di Inggris menunjukkan bahwa prevalensi seumur hidup
seluruh pasien dengan 1 atau lebih serangan afebril 20,3/1000 pada tahun 1983 menjadi
21/1000 pada tahun 1993, sedangkan prevalensi aktif dari 5,3/1000 pada tahun 1983 turun
menjadi 4,3 /1000 tahun 1993.
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil
studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat
ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0%, yang berarti
berjumlah 1,5-2 juta orang.
III. ETIOLOGI
Tidak ada penyebab tunggal pada epilepsi. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel saraf
otak atau lintasan komunikasi antarsel otak yanga dapat menyebabkan epilepsi. Hampir 60%
penyebab epilepsi adalah idiopatik. Beberapa faktor penyebab terjadinya epilepsi yaitu
trauma kepala, intoksikasi obat, tumor otak, gangguan keseimbangan elektrolit dan infeksi.12
Idiopatik
Penyebab yang tidak diketahui ini dapat terjadi pada semua usia tapi lebih sering pada kelompok umur 5-20 tahun. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI, biasanya tidak ditemukan kelainan. Penderita juga sering mempunyai riwayat keluarga yang mengidap epilepsi.2,3,12
Kelainan metabolik
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan terjadi akibat komplikasi dari diabetes mellitus, keseimbangan elektrolit, gagal ginjal, defisiensi nutrisi dan intoksikasi alkohol atau obatan. 2,12
Trauma kepala
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur terutama pada dewasa muda. Epilepsi lebih sering terjadi pada kontusio serebri dan biasanya muncul bangkitkan 2 tahun pascacedera. 4,12
Tumor
Tumor adalah penyebab yang bisa terjadi pada semua umur terutama pada umur di atas 30 tahun yang pada awalnya berupa bangkitan parsial dan kemudian berkembang menjadi bangkitan umum tonik-klonik. 3,12
Infeksi
Infeksi juga bisa menyebabkan epilepsi yang biasanya dalam bentuk ensefalitis, meningitis atau abses.2,12
IV. PATOFISIOLOGI
Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini adalah
wajar. Manifestasi biologik merupakan gerak otot atau sesuatu modilitas sensorik dan iyanya
bergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. 1,3
Secara fisiologis, neuron memiliki potensial membran. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah
muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran pada bagian interneuron yang
lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu
cetusan listrik melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi membran yang berlangsung singkat dan proses inhibisi akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai
terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim disepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain. Sel glia mempunyai bagian terbesar dari sel-sel di susunan saraf
pusat dan mempunyai peranan dalam mempertahankan keseimbangan ionisasi agar
depolarisasi yang telah terjadi dapat disusul dengan depolarisasi. Oleh karena itu, sel glia
berperan dalam inhibisi. 1,7,12
Pada keadaan patologik, kejang biasanya memerlukan tiga kondisi:
Neuron yang mengalami eksitasi akibat faktor patologi
Peningkatan aktivitas eksitasi glutamat
Penurunan aktivitas inhibasi GABA
Pada keadaan yang bersifat toksik atau mekanik, keadaan ini dapat menurunkan potensial
membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya. Hal ini sama pada tumor
serebri atau iskemik serebri dimana neuron kortikal mengalami gangguan pada potensial
membrannya sehingga ia melepaskan muatan listriknya. Dalam keadaan peningkatan
aktivitas eksitasi glutamat, bangkitan epilepsi dapat terjadi apabila proses eksitasi di dalam
otak lebih dominan daripada proses inhibasi.1,7
Bangkitkan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron yang abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkaitan dengan cetusan potensial aksi secara
cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengaktifkan neuron-
neuron di sekitarnya untuk ikut serta melepaskan cetusan potensial aksi. Faktor-faktor yang
mendukung pengembangan kejang termasuk perubahan dalam konsentrasi elektrolit (Na +, K
+, Ca2 +), rangsang asam amino (asam glutamat), dan penghambatan asam amino (GABA),
koneksi interneuron yang tidak teratur, dan hubungan aferen yang abnormal dari struktur
subkortikal. 5,12
Gambar 1 : Perubahan neurofisiologi apabila berlakunya kejang epileptik
Dikutip dari Kepustakaan : 5
V. GEJALA KLINIS
Konvulsi tonik-klonik ini selalunya menyerang secara tiba-tiba, walaupun ada
sebagian pasien yang mengaku mengalami simptom pre-konvulsi beberapa waktu sebelum
mengalami konvulsi. Fase awal konvulsi tonik-klonik pada majoritas kasus dimulai dengan
kontraksi otot tonik di seluruh bagian badan. Kontraksi tonik pada otot pernapasan dan larynx
akan menyebabkan pasien kedengaran mengerang. Pernapasan bisa terganggu, sekresi air liur
meningkat di oropharynx, dan akhirnya menimbulkan gejala sianosis. Kontraksi otot rahang
kadang bisa menyebabkan pasien tergigit lidahnya sendiri. Tonus simpatetis meningkat,
menyebabkan nadi, tekanan darah, dan pelebaran diameter pupil turut meningkat.
Setelah 10 hingga 20 detik, fase tonik akhirnya berubah menjadi fase klonik, ditandai
dengan relaksasi otot-otot secara menyeluruh. Periode relaksasi ini bertahan sehingga hampir
1 menit sebelum pasien memasuki fase post-ictal, di mana pasien secara umumnya hilang
kesadaran, tonus otot melemah, dan sekresi saliva yang banyak bisa menyebabkan obstruksi
saluran napas. Inkontinensia kandung kemih atau rektum bisa terjadi pada waktu ini.
Pasien secara perlahan-lahan kembali sadar dalam jangka waktu menit ke jam, dan
seringkali disertai dengan kebingungan. Gejala-gejala post-ictal seperti sakit kepala, capek,
dan nyeri otot biasanya muncul dan bisa bertahan sehingga beberapa jam. Fase kesadaran
menurun bisa berlangsung selama beberapa jam pada pasien dengan penyakit sistem saraf
pusat, seperti pada pasien serebral atropi disebabkan oleh intoksikasi alkohol.
VI. DIAGNOSIS
Elektroensefalografi (EEG) dapat memberikan informasi yang berharga dalam
diagnostik epilepsi, oleh karena pada penderita-penderita epilepsi dapat ditemukan serangan
elektroensefalografik, di luar masa serangan klinis. Adakalanya serangan
elektroensefalografik itu muncul sebagai serangan klinis, sehingga penderita yang sedang
direkam, baik di atas kertas EEG, maupun secara klinis, dapat disaksikan memperlihatkan
gejala epilepsi. Bilamana seseorang sudah pernah mendapat serangan klinis, maka adanya
pola EEG yang bersifat khas epileptik, sudah merupakan informasi yang kuat untuk
memastikan adanya epilepsi.
Menyaksikan sendiri timbulnya serangan epileptik atau alloanamnesis yang sesuai
dengan gejala serangan epileptik termaksud itu merupakan satu-satunya syarat kokoh yang
menentukan diagnosis epilepsi.
VII. PENGOBATAN
Tindakan awal adalah tindakan yang harus dilakukan ketika pasien kejang. Yang
kedua mencari penyebab yang menyebabkan seseorang kejang. Yang ketiga adalah
pengobatan.
Manajemen sewaktu kejang
1. Menjauhkan pasien dari api, lalu lintas, dan air
2. Hindarkan benda-benda yang dapat membahayakan pasien
3. Longgarkan pakaian yang ketat,
4. Letakkan benda yang lembut dibawah kepala pasien
5. Miringkan badannya pasien, sehingga air liur dan lender keluar dari mulut
6. Tetaplah bersama pasien sampai pasien sadar
7. Biarkan pasien istirahat atau lanjutkan aktivitas yang dilakukan oleh pasien
sebelumnya.
Jangan lakukan
1. Jangan masukan apapun kedalam mulut
2. Jangan memberikan minum
3. Jangan mencoba untuk menahan gerakan.
Monoterapi
Ketika pengobatan dimulai juga dengan satu obat saja. Dosis awalnya kecil, diberikan
untuk 3-4 minggu (fenobarbital atau fenitoin) atau selama satu minggu (carbamazepine atau
valproate) kemudian ditingkatkan secara bertahap sampai kejang dikendalikan, atau sampai
efek samping muncul, atau sampai dosis maksimum untuk obat tersebut telah tercapai.
Jika efek samping muncul dan kejang belum terkontrol obat kedua diperkenalkan dan
obat pertama dilanjutkan pada tingkat sebelum efek samping muncul. Ketika obat kedua telah
efektif, obat pertama secara bertahap dosis diturunkan. Jika kejang berulang, obat kedua
meningkat. Hanya ketika kedua obat telah dicoba sendiri sampai ke tingkat di mana efek
samping terjadi mungkin kombinasi dari dua obat dicoba. Dalam sejumlah kecil kasus (sering
otak anak-anak rusak) obat ketiga harus ditambahkan.
Obat anti-epilepsi yang utama:
1. Fenobarbital
Obat ini tidak lagi dianjurkan dalam perkembangan dunia, tapi obat ini merupakan
antikonvulsan yang berguna, efektif dan murah. Tetapi jika tidak ada perbaikan, atau bahkan
kondisinya memburuk dosis tidak harus ditingkatkan di luar 120 mg setiap hari, dan pasien
dirujuk ke klinik atau rumah sakit yang menyediakan antikonvulsan selain fenobarbital. Efek
samping utama dari fenobarbital adalah mengantuk, terutama selama minggu pertama
pengobatan, perlahan-lahan menghilang, dan hanya berulang ketika dosis terlalu tinggi. Pada
beberapa anak mungkin ada pengurangan skolastik kinerja atau perubahan perilaku, seperti
hiperaktif dan kadang-kadang agresivitas. Fenobarbital memiliki waktu paruh yang panjang.
Oleh karena itu, akan memakan waktu beberapa minggu sebelum mencapai efek . Ini juga
berarti bahwa hal itu dapat diberikan hanya sekali sehari, sebaiknya setelah makan malam
sebelum pasien tidur. Indikasi utama adalah epilepsi idiopatik umum. Tetapi juga cukup
efektif dalam kejang umum lainnya dan kejang parsial.
2. Fenitoin
Fenitoin juga merupakan antikonvulsan sangat efektif untuk kejang parsial, GTCS
dan kejang saat tidur. Masalah utama adalah margin kecil antara tingkat terapeutikk dan
tingkat di mana enzim metabolisme jenuh dan tingkat serum meningkat secara bertahap untuk
mencapai nilai-nilai beracun. Peningkatan dosis tidak lebih besar dari 50 mg untuk mencegah
efek samping. Efek samping adalah rasa kantuk, permen hipertrofi dan hirsutisme, dan ketika
dosis adalah ataksia terlalu tinggi dan nystagmus. Selain tanda-tanda cerebellar reversibel
pada dosis tinggi, telah disarankan bahwa sindrom cerebellar permanen mungkin terjadi
akibat dari terapi kronis. Sebuah sub-klinis neuropati ringan sering terjadi setelah terapi
fenitoin berkepanjangan, tetapi dapat terjadi dengan obat lain juga. Jika toksisitas telah
muncul, dosis harus dihilangkan untuk satu hari dan kemudian dimulai kembali pada tingkat
yang lebih rendah. Jika memungkinkan, perubahan-over untuk antikonvulsan lain dapat
dilakukan untuk mencegah kecelakaan lebih lanjut. Fenitoin juga memiliki waktu paruh yang
panjang tergantung dosis, waktu paruh lebih lama pada dosis yang lebih tinggi, dan mungkin
diperlukan waktu hingga dua minggu sebelum menjadi efektif. Hal ini dapat diberikan dalam
dosis sekali sehari. Karena sedikit mengiritasi lambung, harus selalu diberikan setelah makan,
dan ketika dosis tinggi, mungkin lebih baik untuk membaginya menjadi dua dosis.
3. Karbamazepin
Karbamazepin merupakan obat yang dipasarkan setelah 1960. Indikasi utama adalah
untuk kejang parsial kompleks. Tetapi juga efektif untuk sebagian lainnya kejang dan untuk
semua GTCS. Hal ini tidak efektif untuk absen umum dan mioklonik kejang. Pada awal
pengobatan mengantuk, pusing dan terjadi lagi ketika dosis terlalu tinggi. Kemudian mungkin
ada juga penglihatan ganda dan ataksia. Tidak memiliki waktu paruh yang panjang dan
karena itu tidak dapat diberikan sekali sehari. Perlu diberikan dua kali sehari dan bila
dikombinasikan dengan obat lain harus diberikan tiga kali sehari.
4. Valproate
Valproate telah dipasarkan sejak tahun 1966. Indikasi utama adalah ketidakhadiran
umum, kejang mioklonik, dan serangan drop. Hal ini juga digunakan untuk GTCS terjadi
setelah kebangkitan. Dan jika perlu mungkin akan digunakan untuk semua jenis kejang
lainnya. Ketika fenobarbital tidak dapat digunakan sebagai pencegahan kejang demam,
valproate dapat digunakan sebagai pengganti. Ia memiliki waktu paruh pendek. Meskipun
tindakan farmakodinamik dalam sistem saraf pusat melebihi kehadirannya dalam serum,
harus diberikan tiga kali sehari untuk menghindari konsentrasi tingkat tinggi. Efek samping
yang spesifik adalah peningkatan berat badan, kehilangan rambut, dan iritasi lambung. Efek
pada janin lebih serius, seperti spina bifida mungkin terjadi. Risiko spina bifida dikurangi
dengan menambah folat pada semua wanita berisiko hamil.
5. Klonazepam
Klonazepam jarang digunakan sendiri. Hal ini biasanya ditambahkan ketika tidak ada
kontrol yang cukup dari kejang, sering pada anak dengan serangan penurunan dan kejang
mioklonik.
6. Diazepam
Diazepam digunakan untuk status epileptikus atau status kejang demam. Hal ini juga
digunakan untuk membatalkan kejang demam untuk mencegah kejang demam
berkepanjangan. Harus diberikan secara intravena, tetapi jika vena tidak dapat ditemukan,
solusi yang sama dapat diberikan melalui dubur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono M, Sidharta P, editors. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 9. Jakarta: DIAN
RAKYAT;2003.p.439-48
2. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA, editors. Clinical Neurology, 7th Edition,
2009, McGraw Hill Lange
3. Rohkamm R,editor. Color Atlas of Neurology, 2004.p.198-199
4. Shorvon SD, Fish DR, Perucca E, Dodson WE, editors. The Treatment of Epilepsy, 2nd
edition.p.74-82
5. Greenstein B, Greenstein A, editors. Color Atlas of Neuroscience. Thieme Sturrgart;
2000,p362-63
6. David,YK Urticaria- A Review (Online) 2009 August [cited 05/09/2012], (screens 1).
Available from URL: http://www.medscape.com/viewarticle/588551VB
7. Tjahjadi P, Dikot Y, Gunawan D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Tjahjadi
P, Dikot Y, Gunawan D, editors. Kapitas Selekta Neurologi. Edisi 5. Jakarta;2010.
p.119-33
8. Ropper AH, Brown HR, editors. Adams & Victors’ Principles of Neurology. 8th
Edition,2005, McGraw Hill,p.272-96
9. Dekker PA,editor. Epilepsy: A Manual for Medical and Clinical Officers in Africa.
WHO Geneva, 2002.p.57-65
10. Fisher SR, Saul M. How is Epilepsy Diagnosed (Online) 2009 August [cited
05/09/2012], (screens 1). Available from URL: http://epilepsy.com
11. Royal College of Physicians. Diagnose Epilepsy (Online) 2003 August [cited
03/11/2012], (screens 1). Available from URL: http://sign.ac.uk
12. Buku epilepsy tu