Referat Komplikasi Anestesi

download Referat Komplikasi Anestesi

of 30

description

Komplikasi Anestesi

Transcript of Referat Komplikasi Anestesi

REFRESHINGAnesthetic Complication

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESIPERIODE AGUSTUS 2015

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJURFAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA2015

BAB IPENDAHULUAN

I.1 Latar BelakangAnestesi secara umum berarti membantu pasien menghilangkan rasa nyeri pada saat pemedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostic-terapeutik. Selama proses pembiusan dan setelah pembiusan dapat terjadi komplikasi komplikasi. Selain itu teknik dari pembiusan baik regional maupun umum juga berpotensi mengakibatkan komplikasi Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat anestesi serta jenis dari operasinya.Komplikasi tersering yang dirasakan setelah anestesi dengan teknik regional dan umum antara lain adalah merasa sakit dan muntah, pusing dan lemah. Sedangkan komplikasi yang jarang ditemukan antara lain adalah kerusakan pada mata, alergi obat serius, kerusakan saraf serta kematian.Terjadinya komplikasi dari anestesi sangat merugikan, karena dapat mempengaruhi keadaan umum pasien, memperpanjangang waktu recovery, memberikan pengalaman buruk, rasa tidak nyaman serta masalah biaya karena dapat memperpanjang masa perawatan di rumah sakit. Komplikasi anestesi yang terjadi dapat dicegah tetapi beberapa tidak dapat dihindari. Untuk itu kami mengangkat masalah komplikasi anestesi.

I.2 TujuanReferat ini bertujuan untuk mengetahui komplikasi pada anestesi dan juga cara menangani dan mencegah komplikasi komplikasi yang tejadi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1 Komplikasi AnestesiKomplikasi anestesi dapat terjadi selama/durante anestesi atau pasca anestesiKomplikasi Durante Anestesi1. Respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, singultus, spasme (laryngospasm, bronchospasm)2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai cardiac arrest3. Thermic : hypothermia, hyperthermia4. Kesadaran selama operasiKomplikasi Pasca Anestesi1. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis3. Mata : laserasi kornea, blepharospasm4. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemia5. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer6. Mengigil 7. Malignant hyperthermia8. Mimpi buruk9. Gaduh-gelisah10. Muntah

Komplikasi pada general anestesi terdiri dari :1. Komplikasi respiratori a. Komplikasi dari laringoskopi dan intubasib. Obstruksi respirasic. Hipoksemiad. Hypercapnea dan hypocapneae. Hipoventilasif. Aspirasi pneumonia2. Komplikasi kardiovaskulara. Hipotensi b. Hipertensi c. Aritmia3. Komplikasi neurologi a. Kesadaranb. Tertunda pemulihanc. Perioperatif neurophaty4. PONV5. Perubahan temperaturea. Komplikasi kardiovaskuHypothermiab. Hyperthermia 6. Efek merugikan obat dan hipersensitivitas7. Komplikasi dari posisiKomplikasi Anestesi Regional Spinal (Marwoto, 2006):1. Komplikasi Segeraa. Hipotensi b. Anestesi Spinal Total : Hipotensi, Bradikardi, Apneu c. Reaksi toksik sistemikd. Reaksi alergi : urtikaria, syok anafilatike. Hipotermi2. Komplikasi lanjutana. Nyeri kepalab. Nyeri punggungc. Retensi urind. Infeksie. Cedera sarafII.2 Komplikasi Respiratori1. Komplikasi laringoskopi dan intubasi ( Ismail, 2007/2008)a. Kesalahan posisi ETT Intubasi esofagal Intubasi endobronkial Posisi manset dalam laringb. Trauma jalan nafas Gigi rusak Dislokasi mandibula Sakit tengorokan Tekanan dalam trakea Edema glottis atau trakea Post intubasi granuloma pada pita suarac. Respon fisiologi dalam instrumensasi jalan nafas Stimulasi simpathetik Laryngospasm Bronchospamd. Malfungsi ETT Resiko pencapaian Obstruksi ETT Cuff Perforasi

2. Obstruksi Jalan NafasSumbatan jalan nafas pada pasien tidak sadar adalah tersering karena lidah jatuh ke belakang ke pharing posterior. Penyebab lainnya adalah spasme laring, udema glottis, sekresi, muntahan, darah di jalan nafas, atau tekanan luar dari trakea (tersering karena hematoma di leher). Sumabatan parsial jalan nafas biasanya diketahui dengan adanya respirasi sonor. Sumbatan total menyebabkan aliran udara terhenti, suara nafas menghilang, dan ditandai dengan gerakan paradoksal dada (saat inspirasi dada turun sedang perut naik). Pasien dengan sumbatan jalan nafas harus diberi suplemen oksigen sementara ukuran koreksi dikerjakan. Kombinasi gerakan mendorong rahang dan memiringkan kepala akan menarik lidah ke depan dan membuka jalan nafas. Memasang pipa nasal atau oral sering meringankan masalah. Pipa nasal lebih ditolelir oleh pasien-pasien selama pemulihan dan lebih sedikit kemungkinan trauma pada gigi bila mereka menggigit. Jika manuver diatas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan. Karakteristik dari spasme laring adalah suara tinggi nyaring dan mungkin juga diam jika glottis tertutup. Spasme dari pita suara adalah lebih mudah terjadi pada trauma jalan nafas, atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari secret atau darah di jalan nafas. Manuver jaw thrust (mendorong rahang), terutama bila dikombinasikan dengan tekanan positif jalan nafas lewat face mask, biasanya dapat mengakhiri spasme laring. Memasukkan alat jalan nafas oral atau nasal juga membantu dalam menjamin patensi jalan nafas bawah sampai pada pita suara. Sekret atau darah pada jalan nafas harus disedot untuk mencegah kekambuhan. Spasme laring yang parah harus diterapi agresif.Dengan dosis kecil suksinilkolin (10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif dengan O2 100% untuk sementara waktu guna mencegah hipoksia berat atau udema paru tekanan negatif. Intubasi endotrakea kadang-kadang diperlukan untuk menjaga ventilasi. Crico tirotomi atau jet ventilasi transtrakea diindikasikan jika intubasi tak segera berhasil.Udema glotis setelah instrumentasi jalan nafas adalah penyebab penting sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak-anak muda. Kortikosteroid i.v (dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol rasemik epinephrine (0,5 ml larutan 2,25 % dengan 3 ml NS) mungkin membantu dalam kasus-kasus semacam ini. Luka hematoma post operasi setelah prosedur bedah kepala dan leher, tiroid, dan carotid dapat membahayakan jalan nafas dengan cepat. Pembukaan luka tersebut segera menghilangkan kompresi trakea. Kasa yang tertinggal tak sengaja di hipopharing pada bedah mulut dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas total cepat atau lambat.Etiologi : Obstruksi bisa terjadi pada jaringan lunak, sekret yang berlebihan, darah, isi lambung, spasme laring, tumor, inflamasi, benda asing, hipertrofi tonsil dan adenoid dan kaku atau blokade dari ETT dan yang paling banyak muncul pada periode post operatif adalah jalan napas bagian atas.Tanda-tandanyaObstruksi respirasi termasuk a.) Pertukaran tidal yang inadekuatb.) Retraksi dinding dada dan supraclavikular dan suprasternalisc.) Pergerakan perut yang berlebihand.) Penggunaan otot-otot aksesorise.) SianosisAdanya hentakan trakea selama anestesi pada periode pemulihan dapat diindikasikan sebagai salah satu anestesia dalam, blokade neuromuskular dan atau hipoksia dengan retensi CO2 penyebab terakhir oleh karena respirasi yang inadekuat atau obstruksi ventilasi.

TerapiTermasuk pemasukkan jalan napas hidung atau faring (jika ditoleransi), elevasi mandibula ke depan dan ke atas oleh tekanan dibelakang sudut mandibula dan ventilasi buatan. Itu bisa jadi kebutuhan untuk membebaskan jalan napas dari sekret oleh penghisapan yang sering. Jika jalan napas pasien tidak bisa dijaga, selanjutnya intubasi trakea adalah indikasi. Trakeotomi bila dibutuhkan, tetapi itu sangat jarang sekali.

3. ApneaDapat berkembang karena obstruksi pada jalan napas, depresi respirasi perifer atau pusat. Terapi seharusnya dilakukam segera dengan ventilasi buatan, dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke sungkup, mulut ke jalan napas atau mulut ke ETT. Pemompaan kantung sendiri, kantung penadah dari mesin anestesi. Trakeotomi dapat dibutuhkan sewaktu-waktu.

4. HipercapneaPaCO2 atau ET CO2 > 40 mhg karena peningkatan FiCo2, hipoventilasi, peningkatan ruang mati, peningkatan CO2 yang diproduksi jaringan. Terapi sesuai kasus. (Ismail, 2007/2008)5. HipoventilasiHipoventilasi didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, sering terjadi setelah anestesi umum. Kebanyakan hipoventilasi adalah ringan dan pada beberapa kasus dapat diabaikan. Hipoventilasi yang bemakna secara klinis akan tampak bila PaCO2 > 60 mmHg atau pH darah arteri < 7,25. Tanda-tandanya bervariasi misalnya mengantuk yang berlebihan atau lama, sumbatan jalan nafas, laju nafas pelan, takipnea dengan nafas dangkal, atau sulit bernafas. Asidosis ringan sampai sedang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi, jantung iritabel (lewat stimulasi simpatis), tetapi asidosis yang lebih berat menyebabkan depresi sirkulasi. Jika curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan analisa gas darah arteri untuk menilai keparahan dan pemandu tata laksana selanjutnya.Hipoventilasi di PACU sangat umum karena efek-efek sisa depresi dari agen anestesi terhadap pusat nafas. Karakteristik depresi nafas karena opioid adalah laju nafas yang lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi yang berlebihan juga sering terjadi, tetapi pasien mungkin mendengar dan dapat meningkatkan pernafasan dengan perintah. Biphasik atau berulangnya bentuk-bentuk depresi nafas telah dilaporkan sebagai akibat dari semua opioid. Mekanismenya meliputi variasi-variasi dalam intensitas dari stimulasi selama pemulihan dan pelepasan lambat opioid dari kompartemen perifer seperti otot rangka (atau paru pada fentanyl) selama pasien hangat kembali atau mulai bergerak. Pengeluaran dari pemberian opioid intra vena ke dalam cairan lambung kemudian diserap lagi juga telah dijelaskan tetapi tampaknya tak diakui karena pengambilan oleh hati yang tinggi untuk kebanyakan opioid.Hipoventilasi dapat terjadi pada saat operasi dan selama periode setelah operasi. Hipoventilasi dapat disebabkan oleh obat-obatan pre anestesia dan anestesia, narkotik, pelemas otot atau reduksi dalam suhu tubuh (biasanya pada bayi). Nyeri dari insisi di dada atau perut ditandai dengan menurunnya kapasitas maksimal bernapas, derajat dari hasil hipoksia dan hiperkapnia.

TERAPITerapi dapat diakukan dengan variasi oleh masker atau endo trakeal tube dengan kantung inflasi nya sendiri, kantung bernapas dari mesin anestesia atau ventilator mesin. Jika depresi respirasi oleh karena narkotik, antagonis narkotik seperti nalaxone diindikasikan. Jika hipoventilasi oleh karena tubocurarine atau pancuronium, injeksi neostigmine dengan atropin juga diindikasikan. Pemberian oksigen oleh sungkup muka sekali pakai yang direkomendasikan untuk setiap pasien selama periode post operatif dini.Revers tidak adekuat, overdosis, hipotermi, interaksi farmakologi (misalnya dengan antibiotik mycin atau terapi magnesium), perubahan farmakokinetik (karena hipotermi, perubahan distribusi volume, disfungsi ginjal atau hati) atau factor-faktor metabolic (hipokalemia atau asidosis respiratorik) dapat berespon terhadap sisa-sisa pelumpuh otot di PACU. Tanpa memperhatikan penyebabnya, gerakan nafas yang tak terkoordinasi dengan volume tidal yang dangkal dan takipnea biasanya jelas kelihatan. Diagnosa dapat ditegakkan dengan sebuah stimulator syaraf pada pasien-pasien yang tak sadar, pasien yang sadar dapat disuruh memiringkan kepala. Kemampuan untuk mengangkat kepala selama 5 detik mungkin test paling sensitive untuk menilai keadekuatan dari reversal..Terapi sebaiknya langsung ditujukan pada penyebab yang mendasarinya, tetapi tanda-tanda hipoventilasi selalu memerlukan ventilasi terkontrol sampai factor-faktor yang berperan diidentifikasi dan dikoreksi. Adanya depresi sirkulasi, atau saidosis (pH darah arteri < 7,15) adalah indikasi untuk segera dilakukan intubasi endotrakea. Antagonis dari opioid penyebab depresi dengan naloxone adalah pedang bermata dua. Peningkatan ventilasi alveolar biasanya juga dikaitkan dengan nyeri mendadak dan keluarnya simpatis. Akhirnya dapat mencetuskan krisis hipertensi,udema paru, dan miokard iskemik atau infark. Jika naloxone digunakan untuk meningkatkan pernafasan, titrasi dengan dosis kecil (0,04 mg pada orang dewasa) mungkin menghindari komplikasi-komplikasi oleh revers sebagian dari depresi nafas tanpa revers bermakna dari analgesia. Setelah naloxone sebaiknya pasien dipantau secara cermat akan kekambuhan dari depresi nafas oleh opioid (renarkotisasi),mengingat naloxone berdurasi lebih pendek daripada kebanyakan opioid. Sebagai alternatif doxapram 60-100mg, dilanjutkan dengan 1-2mg/mnt i.v boleh digunakan, doxapram tak merevers analgesia tetapi dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Bila terdapat sisa dari pelumpuh otot dapat diberikan penghambat kolinesterase. Sisa pelumpuh kendati dalam dosis penuh penghambat kolinesterase memerlukan kontrol ventilasi sampai terjadi pemulihan spontan. Kebijaksanaan memilih analgesi opiopid (intravena atau intraspinal), anestesi epidural, atau blok saraf interkostal adalah sering menguntungkan dalam mengurangi pembebatan setelah prosedur bedah perut atas atau dada.

6. HipoksemiaHipoksemia ringan biasa terjadi pada pasien-pasien yang pulih dari anestesi tanpa diberi suplemen oksigen selama pemulihan. Hipoksia ringan sampai sedang (PaO2 50-60 mmHg) pada pasien- pasien muda sehat sejak awal mungkin dapat ditoleransi dengan baik, tetapi dengan peningkatan durasi atau keparahan stimulasi simpatis awal sering terlihat berganti dengan asidosis progresif dan depresi sirkulasi. Sianosis yang jelas mungkin tak ada jika konsentrasi hemoglobin berkurang. Secara klinis hipoksemia mungkin juga dicurigai dari kegelisahan, takikardi, atau iritabel jantung (ventrikel atau atrium). Kebingungan, bradikardi, hipotensi, dan cardiac arrest adalah tanda-tanda belakangan. Penggunaan rutin oksimeter denyut di PACU memfasilitasi deteksi awal. Analisa gas darah sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosa dan pemandu terapi.Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi, peningkatan shunting intra pulmoner dari kanan ke kiri atau kedua-duanya.Penurunan cardiac output atau kenaikan konsumsi oksigen akan menonjolkan hipoksemia. Hipoksia diffusi tidak biasa menyebabkan hipoksemia jika selama pemulihan diberi suplemen oksigen. Hipoksia karena murni hipoventilasi juga tidak biasa jika pasien menerima suplemen oksigen tanpa tanda-tanda hiperkapnea atau bersamaan dengan adanya kenaikan shunting intra pulmoner. Kenaikan shunting intra pulmoner dari penurunan FRC relatif terhadap closing capacity adalah penyebab tersering hipoksemia setelah anestesi umum. Penurunan FRC terbesar terjadi pada bedah perut atas atau dada. Kehilangan volume paru adalah sering dihubungkan dengan mikro atelektasis, karena mikroatelektasis sering tak kelihatan pada foto dada. Posisi semi upright membantu memelihara FRC.Tanda shunting intrapulmoner kanan ke kiri (Qs/Qt>15%) biasanya dihubungkan dengan perbedaan radiografi yang ditemukan seperti atelektasis paru, infiltrat parenkimal, atau pneumothorak yang luas. Penyebab-penyebabnya meliputi hipoventilasi intraoperasi yang lama dengan volume tidal rendah, intubasi endobronkial tak disengaja, kolap lobaris karena bronkus tersumbat oleh sekresi atau darah, aspirasi paru, atau udema paru. Udema paru post operasi sering tampak sebagai wheezing dalam 60 menit pertama setelah pembedahan. Hal itu mungkin disebabkan oleh kegagalan ventrikel kiri, ARDS, atau pembebasan mendadak sumbatan jalan nafas yang lama. Berlawanan dengan udema paru, wheezing karena obstruksi primer penyakit paru, yang mana sering terjadi pada peningkatan besar shunting intrapulmoner, adalah tidak berhubungan dengan auskultasi crackles (gemercik), cairan udema pada jalan nafas, atau infiltrat pada foto dada. Kemungkinan dari pneumothorak post operasi sebaiknya selalu diwaspadai mengikuti pergeseran garis tengah, blok interkosta, patah tulang iga, irisan pada leher, trakeostomi, nephrostomi, prosedur retroperitoneal atau intraabdomen (termasuk laparoskopy) khususnya bila daifragma mungkin tertembus. Pasien-pasien dengan bleb subpleural atau bulla yang besar dapat juga berkembang menjadi pneumothorax selama ventilasi tekanan positif.TERAPITerapi oksigen dengan atau tanpa tekanan positif jalan nafas adalah dasar dari terapi. Pemberian rutin 30-60% oksigen biasanya cukup untuk mencegah hipoksemia dengan hipoventilasi sedang dan hiperkapnea. Pasien-pasien dengan penyakit paru atau jantung yang mendasari memerlukan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi. Terapi oksigen sebaiknya dipandu dengan SpO2 atau analisa gas darah arteri. Konsentrasi oksigen harus dikontrol dengan ketat pada pasien- pasien dengan retensi CO2 untuk menghindari tercetusnya gagal nafas akut. Pasien-pasien dengan hipoksemia berat atau menetap harus diberi 100% oksigen lewat NRM atau ETT sampai penyebabnya diketahui dan terapi lainnya dimulai; Ventilasi mekanik dikontrol atau dibantu mungkin juga diperlukan. Foto dada ( terutama tegak lurus ) adalah amat berguna dalam menilai volume paru dan ukuran jantung serta menunjukkan pneumothorak atau infiltrat paru. Infiltrat pada mulanya tidak tampak pada awal inspirasi.Terapi tambahan sebaiknya langsung pada penyebab dasar. Pipa dada sebaiknya dipasang pada pneumothorax simtomatis atau yang lebih besar dari 15-20%. Spasme bronkus sebaiknya diterapi dengan bronkodilator aerosol dan mungkin aminophilin i.v. Diuretik diberikan bila sirkulasi cairan berlebihan. Fungsi jantung dioptimalkan. Hipoksemia menetap kendati dari 50% oksigen secara umum diindikasikan untuk PEEP atau CPAP. Bronkoskopi sering bermanfaat dalam mengembangkan kembali atelektasis lobaris oleh kotoran bronkus atau partikel aspirasi.

7. Aspirasi PulmonarInhalasi dari material didalam jalan nafas pada bawah pita suara. Material termasuk benda asing, saliva, sekresi nasofaringeal atau component lambung. Aspirasi paru terjadi sebagai reflex saluran napas pelindung, seperti penurunan kesadaran dan gangguan batuk. Pada pasien bedah kemungkinan terjadi ada induksi atau selama muncul anestesi. ManifestasiBervariasi bergantung pada tingkat aspirasi, bisa hipoksi, takikardi dan takipneu. Bronkospasme kadang muncul dan pada auskultasi dada dapat didapakan mengi.Penanganan Awal penanganan Oksigen 100 % mengurangi kontaminasi jalan nafas Jika pasien sadar dan bernapas, orofaring harus di suctioned dan posisi pasien dalam posisi perbaikan Jika pasien tidak sadar dan bernapas, tekanan cricoids sebaiakanya didapatkan, orofaring di suctioned dan posisi pasien dalam lateral kiri head- down posisi. Tekanan cricoids sebaiknya tidak diterima pada pasien yang muntah karena peningkatan tekana intra oesophagal dapat menyebabkan rupture. Jika pasien apneu, intubasi segera dilakukan. Jaan nafas di suctioned melalui tracheal tube sebelum tekanan posited ventilasi dimulai. Penanganan lanjutan : intensive care pasien dengan aspirasi pneumonia. Penilaian termasuk foto rontgen thorax, analisa gas darah, dan kultur sputum. Menggunakan volume tidal 4-6 ml/kg dengan meningkatkan frekuensi ventilasi untuk pemeliharaan volume yang berkurag karena injury pulmo. Bronchodilator seperti salbutamol da ipratropium bromide yang dapat meringankan bronhospasm. Terapi spesifik termasuk fibreoptic bronchoscopy.Komplikasi paru muncul pada 30 % pasien yang pernah melakukan operasi dada atau perut dan ini yang paling banyak menyebabkan kesakitan dan kematian dalam periode post operatif. Fungsi yang abnormal ini adalah sekunder dari pola abnormal paru, nyeri, posisi berbaring, operasi cidera otot yang berhubungan dengan posisi perut bagian atas dan efek agen anestesi serta teknik anestesinya.1.) Hipoksemia arteri adalah yang sering ditemukan setelah pembedahan besar, dan dapat dideteksi dengan mengukur gas darah.2.) Setiap upaya seharusnya dibuat untuk mencegah kemajuan yang lazim dari atelektasis, takipnea, hipoksia, demam dan pneumonitis.

a. Atelektasis Atelektasis adalah hasil dari obstruksi dari jalan napas yang disalurkan dengan mengabsorbsi udara dari bagian distal paru , dan dapat muncul selama anestesi lokal, regional maupun umum.1.) Tanda dan gejalaPergerakkan yang asimetris dan retraksi dada, tidak ada suara napas yang melewati segmen dari area paru, meningkatnya kesulitan dalam bernapas, takikardi, takipnea, demam dan sianosis.2.) Diagnosis dapat dilihat dari hasil x-ray dada dan dugaan dari bukti yang kuat.3.) PengobatanFisioterapi dada, penghisapan bronkus melalui kateter atau bronkoskop, batuk, napas dalam, inflasi tekanan positif dari paru, ekspektoran, surfaktan dan agen mukolitik dan bronkodilator.b. PneumotoraksPneumotoraks dapat disebabkan oleh rupturnya jaringan paru ( seperti emfisema dengan diikuti batuk yang berlebihan). Tekanan positif respirasi yang hebat atau trauma langsung pada apex paru selama trakeotomi, pemotongan leher, pemasangan CVC atau pemblokkan plexus supraclavicular brakialis. Pneumotoraks dapat muncul selama obstruksi jalan napas parsial dengan napas dalam. Selama periode ini, udara dapat terhisap kedalam mediastinum superior dimana karena ruptur satu atau kedua rongga pleura (retriperitoneal atau intraperitoneal yang melewati aorta atau esofagus).1.) Diagnosis dibuat dari pemeriksaan fisik, x-ray dada dan analisis gas darah2.) Pengobatan. Aspirasi udara melewati suatu titik yang dibuat dengan lubang jarum yang besar di dalam pleura di linea mid clavicularis anterior kedua atau ketiga, bersamaan dengan penempatan selang pada dada yang menghubungkan ke air-drain-botol.

c. DemamDemam terjadi dalam 24 jam pertama post-operatif dengan atelektasis dalam 48 jam, infeksi traktus urinaria dan setelah 72 jam, infeksi luka. Demam post-operatif diakibatkan oleh tromboflebitis yang dapat muncul setiap saat. Beberapa post-operatif meningkatkan suhu tubuh, sesedikitnya 1O F diatas normal / > dari 2 hari, harus dipertimbangkan dan dipelajari untuk diatasi penyebabnya.d. Pengembungan lambungPenggembungan lambung bisa karena jalan napas yang sudah payah. Ini bisa terjadi pada pasien yang lumpuh dengan tekanan jalan napas diatas 25 cm H2O, meskipun jalan napasnya bersih, dan itu bisa menyebabkan muntah post- operatif dan kesulitan pembedahan atau cegukan.e. Cegukan1.) Cegukan adalah spasme diafragma yang terputus-putus disertai dengan penutupan glotis secara tiba-tiba.2.) Cegukan dapat terjadi pada saat induksi dan atau pemeliharaan anestesia, dengan inhalasi atau dengan anestesi intravena dan bisa menjadi lebih sulit untuk keduanya, ahli bedah dan ahli anestesinya terutama ketika cegukan menetap.3.) Terapi nya bertujuan untuk menyingkirkan penyebab yang berkaitan, seperti penggembungan lambung, iritasi diafragma atau rangsangan viscera abdominal bagian atas.a. Membantu pernafasan adalah penting dan jika cegukan berlangsung lama, obat relaxan bisa digunakan dengan intubasi trakea dan kontrol ventilasi.b. Metode teraupetik. Stimulasi nasofaring, anestesia umum, obat oelemas otot, inhalasi CO2, dekompresi lambung dan blok nervus phrenic unilateral

II.3 Komplikasi KardiovaskularGangguan sirkulasi yang paling umum di PACU adalah hipotensi, hipertensi dan aritmia. Kemungkinan ketidaknormalan sirkulasi itu adalah sekunder dari gangguan sirkulasi yang mendasar yang selalu harus dipertimbangkan sebelum beberapa intervensi yang lain. 1. HipotensiHipotensi biasanya disebabkan oleh penurunan venous return pada jantung, gangguan fungsi ventrikel kiri, vasodilatasi arteri yang berlebihan yang kurang umum. Hipovolemia adalah penyebab hipotensi paling umum di PACU. Hipovolemia absolut dapat disebabkan oleh penggantian cairan yang tidak adekuat, sekuesterisasi cairan yang terus-menerus oleh jaringan (rongga ketiga), atau drainase luka, serta perdarahan post operasi. Konstriksi vena selama hipotermia mungkin menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik lagi. Kemudian dilatasi vena menghasilkan hipotensi yang tertunda. Hipovolemia relatif adalah bertanggung jawab untuk hipotensi yang dihubungkan dengan spinal atau epidural, venodilator, dan blokade alfa adrenergik; peningkatan kapasitas vena menurunkan venous return kendati volume intra vascular sebelumnya normal. Hipotensi yang berhubungan dengan sepsis dan reaksi alergi biasanya hasil dari kedua-duanya hipovolemi dan vasodilatasi. Hipotensi yang menyertai tension pneumothorax atau tamponade jantung adalah akibat dari pemburukan pengisian jantung.Disfungsi ventrikel kiri pada seseorang yang awalnya sehat adalah tidak biasa tanpa adanya gangguan metabolisme yang berat (hipoksemia, asidosis, sepsis). Hipotensi karena disfungsi ventrikel ditemui terutama pada pasien dengan penyakit arteri koroner atau katup jantung, dan biasanya dicetusksn oleh cairan yang berlebihan, iskemia myokard, peningkatan afterload akut, atau disritmia.Hipotensi dapat disebabkan oleh narkotika, anestesi, hipoksia, refleks, penanganan bedah, perdarahan, insufisiensi adrenokortikal, perubahan posisi, penyakit jantung, transfusi darah yang tidak cocok, hipersensitivitas alergi, atau emboli udara.1.) Narkotika disuntikkan sebelum operasi, intraoperatif, dan / atau pasca operasi dapat menurunkan tekanan darah dengan menekan pusat vasomotor, mengurangi otot, penurunan ventilasi, dan pelebaran pembuluh darah perifer.2.) Overdosis inhalasi dan / atau anestesi IV merupakan salah satu penyebab utama hipotensi selama anestes.ia. Tekanan darah dapat menurun bila diberikan anestesi yang melebihi jumlah yang biasanya ditoleransi, terutama selama induksi anestesi tekanan darah dapat menurun meskipun jumlah yang diberikan adalah dalam kisaran yang dapat diterima. Overdosis relatif seperti dapat menghindari jika dosis minimal anestesi digunakan selama induksi anestesi khususnya pada pasien dengan penyakit jantung, obesitas, hipertensi, penurunan volume darah, kehilangan berat badan, cachexia, atau penyakit kronis yang melemahkan.b. Pengobatan overdosis meliputi penghentian segera dari anestesi inhalasi, dan jika barbiturat telah diberikan, langkah-langkah dukungan umum termasuk jalan napas yang memadai, respirasi yang efisien, infus Solusi RL dan vasopressors.3.) Adrenocortical insufisiensi.hipotensi dan shock akibat insufisiensi adrenokortikal jauh lebih mudah mencegah daripada mengobati. Banyak pasien akan diperlakukan tidak perlu (tapi tidak berbahaya) untuk melindungi beberapa orang yang mungkin beresiko. Hipotensi karena penyebab lain harus disingkirkan. Terapi krisis adrenocortical termasuk IV administrasi hidrokortison dengan baik salin isotonik atau air asin di dekstrosa. Norepinefrin juga digunakan dengan hati-hati4.) Hipotensi berat akibat iskemia miokard atau infark dapat berkembang selama anestesi dan pembedahan. Diagnosis dibuat oleh bukti-bukti dugaan yang kuat dan terapi tidak boleh ditunda sampai diagonis yang definitif ditetapkan dalam beberapa hari.5.) Tanda-tanda transfusi darah yang tidak kompatibel di bawah anestesi adalah hipotensi, umum mengalir dari luka, hemoglobinuria, dan sianosis. Kemudian tanda-tanda penyakit kuning, oliguria, dan anuria6.) Prevention dan pengobatan hipotensia. berlebihan preanesthetics dan obat-obatan anestesi harus dihindarib. manipulasi bedah harus dilakukan selembut mungkinc. administrasi dan penggantian cairan darah harus dilakukan lebih awald. tekanan vena sentral harus dipantaue. obat cepat pengobatan dengan vasopressorsf. jika hypotensioni disebabkan hipoksia, oksigen harus diberikan pertama dan terakhir vasopressors

TERAPIHipotensi ringan selama pemulihan dari anestesi adalah umum dan biasanya mencerminkan penurunan tonus simpatis yang normalnya berhubungan dengan tidur atau efek sisa dari agent anestesi, bentuk seperti ini tak memerlukan terapi. Hipotensi yang bermakna didefinisikan sebagai penurunan tensi 20-30 % dari tensi basal pasien dan diindikasikan sebuah kekacauan serius yang memerlukan terapi. Terapi tergantung pada kemamapuan untuk menilai volume intravaskuler. Peningkatan tensi setelah bolus caiaran (250-500 ml kristaloid atau 100-250 ml koloid) umumnya mendukung hipovolemi. Pada hipotensi berat, suatu vasopressor atau inotropik mungkin diperlukan untuk meningkatkan tensi sampai defisit volume intravaskuler paling tidak terkoreksi sebagian. Tanda-tanda disfungsi jantung sebaiknya diperiksa pada pasien-pasien tua dan pasien-pasien dengan penyakit jantung. Kegagalan pasien untuk segera berespon terhadap terapi mengamanatkan monitoring hemodinamik invasive; manipulasi dari preload, kontraktilitas, dan afterload sering diperlukan. Adanya tension pneumothorax, seperti yang disebabkan oleh hipotensi dengan penurunan suara nafas sesisi, hiperresonanasi, dan deviasi trakea, adalah suatu indikasi untuk segera dilakukan aspirasi pleura bahkan sebelum konfirmasi radiografi. Begitu juga hipotensi karena tamponade jantung, biasanya menyertai trauma dada atau bedah thorax, sering diperlukan pericardiocentesis atau thoracotomi.

2. HipertensiHipertensi post operasi adalah umum di PACU dan khususnya terjadi pada 30 menit pertama setelah tindakan. Rangsangan nyeri dari sayatan, intubasi trakea, atau kandung kemih penuh, biasanya ikut berperan. Hipertensi post operasi bisa juga karena aktivasi reflek simpatis, yang menjadi bagian dari respon neuroendokrin terhadap pembedahan atau hipoksemia sekunder, hiperkapnea, atau asidosis metabolic. Pasien-pasien dengan riwayat hipertensi sistemik mudah berkembang menjadi hipertensi di PACU, bahkan tanpa sebab yang jelas. Derajat kontrol hipertensi berbanding terbalik dengan insiden hipertensi pada beberapa pasien. Cairan berlebihan atau hipertensi intrakranial dapat juga tampak sebagai hipertensi post operasi. Hipertensi dapat terjadi selama anestesi dan periode pemulihan akibat nyeri, hipoksia, hiperkapnia, hipervolemia, dari overtranfusion, stimulasi refleks, peningkatan tekanan intrakranial, pheochromocytoma, dan obat-obatan (ketamin, amina vasopressor, atau succinycholine). Penggunaan infus dari trimethaphan atau nitroprusside, diikuti dengan pemberian obat long-acting antihipertensi, jika diperlukan, harus disediakan untuk yang terakhir-resor-terapi darurat.

TERAPIHipertensi ringan umumnya tidak memerlukan terapi, tetapi penyebab reversible sebaiknya dicari. Petanda hipertensi dapat mencetuskan perdarahan post anestesi, iskemia miokard, gagal jantung atau perdarahan intrakranial. Keputusan tentang derajat hipertensi dan kapan harus diterapi bersifat individual. Pada umumnya tensi meningkat lebih dari 20-30% dari basal normal pasien, atau berkaitan dengan efek samping ( infark miokard, gagal jantung, atau perdarahan) harus diterapi. Peningkatan ringan sampai sedang dapat diterapi dengan beta bloker iv seperti labetolol, esmolol, atau propanalol. Ca chanel blocker nicardipin atau pasta nitrogliserin, serta nifedipine sublingual juga efektif. Hidralazin juga efektif tapi sering menyebabkan takikardi dan dihubungkan dengan iskemik miokard dan infark. Petanda hipertensi pada pasien-pasien dengan cadangan jantung terbatas memerlukan monitor tekanan intra arterial langsung dan harus diterapi dengan nitroprussid, nitrogliserin, nikardipin, atau fenoldopam infus intravena. Titik akhir esuaian terapi sebaiknya di sesuaikan dengan tensi normal pasien itu sendiri.

3. AritmiaGangguan pernafasan yang berperan khususnya hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis dalam memacu aritmia jantung tak dapat dikesampingkan. Efek-efek sisa dari agent anestesi, peningkatan aktivitas sistim saraf simpatis, abnormalitas metabolic lainnya dan adanya penyakit jantung dan paru juga mempengaruhi pasien untuk terjadi aritmia di PACU. Bradikardi sering menunjukkan efek sisa dari kolinesterase inhibitor (neostigmin), opioid sintetis yang poten (sufentanyl) atau beta bloker (propanolol). Takikardi mungkin menunjukkan efek dari agent antikolinergik (atropin) atau vagolitik (pancuronium atau meperidine), beta agonis (albuterol), reflek takikardi (hidralazine), serta penyebab-penyebab umum seperti nyeri, demam, hipovolemia dan anemia. Lebih lanjut, anestesi merangsang depresi dari fungsi baroreseptor membuat frekuensi jantung tak dapat dipercaya memonitor volume intravaskuler di PACU.Atrial dan ventrikel premature beat biasanya menunjukkan hipokalemia, hipomagnesemia, peningkatan tonus simpatis, atau yang kurang umum iskemia miokard. Yang terakhir ini dapat didiagnosa dengan ECG 12 lead. Supra ventrikel takiaritmia meliputi paroksismal supraventrikel takikardi, flutter atrium, dan atrium fibrilasi adalah bentuk-bentuk yang tak terduga pada pasien-pasien dengan riwayat aritmia-aritmia ini dan lebih tak terduga pada bedah thorax.

4. Cardiac arrestInsiden serangan jantung secara signifikan lebih besar dengan anestesi spinal (6,4 + / - 1,2per 10.000 pasien) dibandingkan dengan anestesi epidural dan blok saraf perifer dikombinasikan. Risiko kematian setelah serangan jantung secara bermakna dikaitkan dengan usia dan American Society ofAhli anestesi '(ASA) kelas status fisik. Rata- rata usia korban adalah 50 +/ - 20 th, dan rata- rata usia yang tidak selamat adalah 82 + /- 7 th. (auroy, yves MD; 1997)

II.4 Komplikasi NeurologiInside cedera pada neurologi terlihat lebih tnggi pada setelah spinal anestesi dari pada anestesi kombinasi seperti epidural, peripheral nervus block, intravena regional anestesi. (auroy, yves MD; 1997).1. Kesadaran Implicit memoriInformasi disimpan dalam memori tetapi tidak dapat mengingat kejadian. Contohnya post operasi trauma fisik seperti cemas, insomnia dan sebagainya Explcit memoriInformai disimpan dalam memori diserati kemampuan mengingat kejadian ( kejadian yang tidak menyenangkan seperti presepsi visual, auditiri, sesansi lumpuh dan nyeri.Pencegahan :a. Preoperative :i. Kunjungn preoperativeii. Pengecekan pelaratan dan mein anestesiiii. Informed consentb. Intraoperative i. Monitoring kedalaman anastesiindikasii. Teknik anestesi : hindari uscle relaxan tanpa indikasic. Post operative :i. Visit pasienii. Permintaan maafiii. Psikoterapi2. Penundaan PemulihanPenyebab : 1. masalah metabolit dan elektrolit2. cerebral hyopoperfusi3. depresi cerebral karena obat

3. Perioperatif neuropatiPenyebab : traksi, kompresi, metabolic, trauma operasi langsungFaktor resiko : usia, BMI > 38, Pembedahan yang terlalu lama, sudah ada riwayat disfungsi nervus kronik,Variasi anatomi, Hipotensi, DM, Terlalu lama bed est postoperative.4. Paralisis Nervus UlnarisKelemahan motorik dan parestesia dapat terjadi di nervus ulnaris dari tekanan pada nervus dibawah siku. Hal ini terjadi pada pasien yang sikunya terjepit dengan benda padat. Hal ini juga dapat terjadi jika nervus tertekan oleh tulang dan ujung dari meja operasi, atau jika lengan pasien dalam keadaan abduksi kemudian siku tertekan oleh ujung meja operasi.Pencegahan termasuk menjaga tangan mendekat ke pada sisi tubuh pada posisi horizontal .Ketika timbul rasa lemah, mati rasa, atau paralisis pada nervus ulnaris, pemeriksaan neurologik secara detail harus dilakukan dan pengobatan secepatnya , termasuk fisioterapi.

II.5 Menggigil dan HipotermiaMenggigil dapat terjadi di PACU sebagai akibat dari hipotermia intra operasi atau dari agent anestesi. Hal ini juga biasa terjadi pada pertengahan periode post partum. Penyebab terpenting dari hipotermia adalah redistribusi panas dari bagian tengah tubuh ke bagian tepi tubuh. Suhu sekitar ruang operasi yang dingin, luka besar yang terbuka lama, dan penggunaan sejumlah besar cairan intravena yang tak dihangatkan, serta aliran gas yang tinggi dan tidak dilembabkan juga dapat memberi kontribusi. Hampir semua obat anestesi, terutama yang mudah menguap, menurunkan respon vasokonstriksi terhadap hpotermia. Meskipun agent-agent anestesi juga menurunkan ambang menggigil, menggigil umumnya sering nampak selama atau sesudah pulih dari anestesi umum. Menggigil adalah suatu usaha tubuh untuk meningkatkan produksi panas, meningkatkan suhu tubuh dan mungkin diikuti oleh vasokonstriksi yang hebat. Bahkan pemulihan dari anestesi umum yang singkatpun kadang-kadang juga menggigil. Meskipun menggigil dapat menjadi bagian dari tanda-tanda neurologis non spesifik (postur, clonus atau Babinski`s sign) kadang-kadang dapat terjadi selama pemulihan, hal itu paling sering karena hipotermi dan umumnya dihubungkan dengan obat anestesi yang mudah menguap. Bagaimanapun mekanismenya, timbulnya nampak berhubungan dengan janga waktu dari pembedahan dan penggunaan dari konsentrasi tinggi agen mudah menguap. Menggigil kadangkala cukup hebat sehingga menyebabkan hypertermia (38-39C) dan acidosis metabolic yang signifikan, kedua-duanya terselesaikan ketika menggigil berhenti. Anestesi spinal dan epidural keduanya juga menurunkan nilai ambang menggigil dan respon vasokonstriksi terhadap hipotermi; menggigil mungkin juga ditemui dalam RR setelah anestesi regional. Penyebab lain dari menggigil sebaiknya disingkirkan, seperti sepsis, alergi obat, atau reaksi transfusi.Setelah penghentian thiopental, halothane, atau anestesi enflurane, beberapa pasien mungkin menunjukkan spasme dari beberapa otot somatik dan menggigil seluruh tubuh dengan disertai tremor daerah kepala, bahu, otot tubuh, dan ekstremitas atas maupun bawah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai reaksi termal karena suhu ruangan yang rendah selama anestesi dan operasi di ruang operasi. Hal itu menghasilkan kebutuhan oksigen yang lebih besar. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan, meskipun kecil kemungkinan, adalah kerugian besar kadar panas ventilasi selama anestesi umum dengan aliran tinggi dalam sistem semiclosed-rebreathing atau parsial. Dewasa muda khususnya rentan terhadap kehilangan panas tubuh.Terapi meliputi menyelimuti pasien dengan selimut panas dan menjaga suhu kamar di 24OC. Administrasi 5-10 mg dari Klorpromazin IV akan membantu dalam mengatasi gejala awalnya.Hipotermi diterapi dengan alat penghangat udara, lampu hangat atau selimut hangat untuk meningkatkan suhu tubuh ke normal. Menggigil yang hebat dapat menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen, produksi CO2, dan curah jantung. Efek fisiologis ini sering sulit ditoleransi oleh pasien yang sudah ada gangguan jantung atau paru. Hipotermi telah dikaitkan dengan meningkatnya kejadian iskemia miokard, aritmia, meningkatkan kebutuhan transfusi, dan meningkatkan durasi obat pelumpuh otot. Dosis kecil meperidine i.v, 10-50 mg, dapat menurunkan bahkan menghentikan menggigil. Pasien-pasien yang terintubasi dan memakai ventilator juga dapat di sedasi dan diberi pelumpuh otot sampai normotermia kembali dan efek dari anestesia sudah tiada lagi.II.6 Mual dan MuntahMual dan muntah adalah masalah umum setelah anestesi umum. Mual juga bisa nampak pada hipotensi karena anestesi spinal atau epidural. Peningkatan insiden mual dilaporkan mengikuti pemberian opioid atau mungkin anestesi dengan N2O,pembedahan intraperitoneal (khususnya laparoskopi), dan bedah strabismus. Insiden tertinggi tampak pada wanita muda, penelitian menunjukkan bahwa mual lebih sering terjadi selama menstruasi. Peningkatan tonus vagal dengan manifestasi bradikardi mendadak umumnya didahului atau disertai dengan muntah-muntah. Dapat berasal dari isi lambung dan dapat muncul selama induksi dan pemeliharaan anestesi selama periode pemulihan khususnya pada pasien yang menjalani prosedur abdominalis. Kondisi ini bisa menimbulkan bencana dan harus diatasi segera.Tanda dan gejalaa. Aspirasi pada volume yang besar dapat berakibat kematian biasanya pada kasus tenggelam, volume yang lebih kecil menimbulkan batuk, spasme laring, bronkospasme dan edema paru yang berakibat hipoksia.b. Aspirasi pada cairan asam di dalam isi lambung dalam pneumonitis kimia, padahal aspirasi material dapat menyebabkan atelektasis, pneumonia atau abses paru. Lesi karena ph kurang dari 2,5. Pneumonitis kimia seharusnya dapat dicurigai ketika terdapat sianosis persisten, takikardi dan takipnea beriringan dengan berkembangnya mengi diikuti muntah atau regurgitasi. X-ray dada diindikasikan untuk mendukung diagnosis klinis.c. Jika aspirasi muncul, terapi termasuk ETT, penghisapan pada trakea, oksigenasi, hidrokortison 500-1000 mg, aminofilin, dan antibiotik. Respirasi seharusnya di kontrol untuk memblok dari bronkus segmental nya, terapi bronkoskopi diindikasikan.

Anestesi propofol menurunkan insiden mual dan muntah post operasi. Droperidol i.v 0,65-1,25 mg (0,05-0,075 mg/kg pada anak-anak) bila diberikan intra operesi menurunkan mual post operasi secara bermakna tanpa memperpanjang masa pemulihan; dosis kedua mungkin diperlukan bila mual masih terjadi di PACU. Metoclopramid 0,15 mg/kg i.v mungkin seefektif droperidol dan lebih sedikit menyebabkan kantuk. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika propofol tidak digunakan selama anestesi, droperidol mungkin lebih efektif daripada metoklopramid. Selektif 5-hydroxytriptamin (serotonin) reseptor 3 (5HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kb pada anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg dan dolasetron 12,5 mg (0,035 mg/kg pada anak)juga amat efektif. 5HT3 antagonis adalah tidak menimbulkan sedasi, ekstra pyramidal akut (dystonik), dan reaksi diphoric yang mungkin terjadi dengan agent lainnya. Ondansetron mungkin lebih efektif daripada agent lainnya pada anak-anak. Dexamethason 8-10 mg (0,1 mg/kg pada anak) jika dikombinasikan dengan anti muntah lainnya sangat efektif untuk mual muntah yang sukar disembuhkan. Propofol dosis rendah (20 mg bolus atau 10 mg bolus dilanjutkan dengan 10mcg/kg/mnt) juga dilaporkan efektif untuk mual muntah post operasi.

II.7 Komplikasi pada Sistem PengelihatanSelama anestesi, pada beberapa pasien kelopak mata tidak menutup secara penuh, terutama jika pelemas otot sudah digunakan. Karenanya, jika tidak ada pencegahan yang diambil, cidera pada mata poleh trauma langsung, kornea menjadi kering- iritasi pada cairan- uap dari obat anestesi dapat terjadi dengan pemberian anestesia umum.1) Abrasi kornea adalah komplikasi pada mata yang paling umum yang terjadi selama anestesi umum dan pemulihan. Gejala ini menyakitkan dan dapat berkembang menjadi inflamasi di traktus uvea, dan jika terkontaminasi dapat mengarah ke infeksi serius.a. Abrasi kornea dapat terjadi, salah satunya oleh karena penempatan sungkup muka yang kurang hati-hati pada mata yang sedang terbuka atau oleh tangan dan kuku jari ahli anestesi selam proses pemasangan laringosko dan intubasi. Kebanyakan tejadi pada operasi kepala dan leher, terutam pada saat craniotomi dan dalam prosedur ahli bedah saraf dan ahli ortopedi yang wajib menengkurapkan pasien.b. Abrasi kornea dapat terjadi selamaoperasi yang melibatkan nervus facialis seperti mastoidektomi, timpanoplasti atau parotidektomi.c. Selama prosedur pembedahan, lengan asisten, instrumen, handuk kepala dapat mengakibatkan konjungtivitis, abrasi kornea, ulserasi.2) Jika mata hanya terbuka sebagian selama anestesi, produksi air mata tidak ada, kornea menjadi kering dan epitel rusak.3) Posisi anatomis dari mata adalah faktor lain. Resiko kekeringan pada mata adalah baik pada orang dengan mata yang menonjol (proptosis dan eksoftalmus). Cidera pada mata dapat disebabkan oleh sekret yang masuk kedalam mata atau oleh tumpahnya cairan steril selam persiapan operasi.Tahanan pada bola mata dapat mengakibatkan kebutaan dengan tidak adanya suplai dari arteri ke mata, terutama selama teknik induksi hipotensi. Selama masa pemulihan ,mata dapat terkena cidera oleh sprei, sungkup muka atau jari pasien.Diagnosis Abrasi kornea menyebabkan nyeri, lakrimasi, dan blefarospasme, nyeri berat dan diperburuk saat pasien berkedip dan gerakan bola mata. Pasien mengeluhkan adanya sensasi benda asing dimatanya. Dengan pemeriksaan pada kornea menggunakan lup mata di bawah sinar yang baik, kassa steril dengan pewarnaan flourescein digunakan untuk menggambarkan cidera epitel. Kornea yang abrasi memberikan hasil warna yang lebih hijau dibandingkan kornea yang tidak rusak. Pengobatan. Penggunaan salep antibiotik secara lokal dan dengan memberikan penekanan pada mata, cycloplegik dan cairan midriatik diberikan untuk mencegah sinekia dan meredakan nyeri yang berhubungan dengan spasme iris dan otot siliaris.ProfilaksisKomplikasi pada mata dapat dicegah dengan memastikan bahwa mata pasien tertutup selama anestesi. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara memegang kelopak mata dengan cairan adesif dan plester.

II.8 Hipertermia Malignant Hipertermia malignant adalah krisis hipermetabolik fulminan yang dipicu oleh obat-obatan anestesi.1.) Hypertermia malignant jarang terjadi tetapi berpotensi mengancam nyawa dan terjadi selama anestesi umum, dengan angka kematian 60%. semakin tinggi suhu maksimum dan semakin lama durasi anestesi, semakin tinggi angka kematian tersebut. Oleh karena itu deteksi dini dan pengobatan yang cepat adalah kunci sukses reversal.2.) Kejadian telah dilaporkan 1 dalam 15.000 administrasi anestesi pada anak-anak, dan 1 dalam 50.000 pada orang dewasa. Sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Laki-laki lebih sering daripada perempuan.3.) Penyebabnya masih belum jelas dan kontroversial. Faktor predisposisi diwariskan oleh 50% pada keturunan korban. Meskipun reaksi dikenal turun-temurun, tempat dan sifat kerusakan belum dapat dijelaskan sepenuhnya. 50% dari pasien memiliki kerabat yang juga mengalami hipertermia malignant yang dipicu di bawah anestesi umum, yang mengarahkan kepada sifat dominan autosomal. Kekakuan otot terjadi dalam tiga-perempat dari pasien, sejumlah besar pasien yang memanifestasikan kekakuan otot sebelumnya sudah memiliki penyakit muskuloskeletal.a. Hipertermia malignant yang paling sering berkembang setelah pemberian halothen dan succinycholine. mungkin terjadi, bagaimanapun, dengan hampir semua bentuk anestesi umum. belum dilaporkan selama anestesi lokal atau regional.b. Pengalaman anestesi sebelumnya yang tanpa komplikasi tidak mengesampingkan kemungkinan terjadinya hipertermia malignant selama anestesi umum berikutnya.Tanda-tanda klinis dan temuan laboratorium1. Tanda-tanda klinis termasuk takikardia, takipnea, demam lebih dari 40oC, aritmia, sianosis, darah vena gelap di bidang bedah, urin merah, kulit panas, dan kekakuan otot berkepanjangan umum rangka.2. Takikardia dan takipnea adalah tanda-tanda awal dan karena metabolisme intens dan acidocis pernapasan. asidosis pernapasan hadir karena peningkatan tajam dalam produksi karbondioksida. Aritmia berasal dari hiperkalemia yang berhubungan dengan sindrom ini.3. Temuan laboratorium termasuk asidosis metabolik dan respiratorik, hipoksemia, hiperkalemia, hypermagnesemia, myoglobinemia, dan laktat tinggi dan piruvat tinggi.4. Gagal ginjal akut, hemolisis, dan kerusakan otak dapat terjadi kemudian dalam perjalanan dari sindrom ini.

Diagnosis. Pentingnya diagnosis dini dan terminasi dini anestesi terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan runtuhnya cardiopulmonary dan akhirnya statistik kematian meningkat sebanding dengan durasi anestesi.Seseorang harus menduga komplikasi dengan adanya takikardia, takipnea, aritmia, respon abnormal terhadap succinylcholine, kekakuan otot umum atau lokal, dan / atau kenaikan suhu tubuh cepat. Rutinitas pemantauan aktivitas listrik jantung dan suhu tubuh dianjurkan untuk semua pasien anestesi, terutama anak-anak dan dewasa muda. Termometer elektronik untuk pemantauan suhu tubuh terus-menerus lewat dubur, kerongkongan, atau timpani. Setelah diagnosis dibuat, indeks yang akan dipantau termasuk EKG, suhu, gas darah arteri, elektrolit, hematrokrit, output urin, dan tekanan vena sentral.TerapiPenekanan ditempatkan pada betapa pentingnya deteksi dini, penghentian awal anestesi (dan operasi, jika mungkin), dan aplikasi awal tindakan terapi, yang meliputi;1.) Hiperventilasi dengan oksigen 100% melalui tabung endotraceal.2.) Dantrolene (dantrium), 1-2 mg / kg IV. Ini dapat diulang setiap 5-10 menit untuk dosis total 10 mg / kg. Setiap vial dantrolene untuk IVdiencerkan dengan menambahkan 60 ml injeksi cairan untuk infus3.) IV administrasi bikarbonat (2 sampai 4 mEq / kg) untuk mengoreksi asidosis metabolik4.) Langkah-langkah cepat untuk mengontrol suhu dengan pendinginan eksternal dan internal yang cepata. eksternal metode pendinginan, dengan menutupi pasien dengan es dan/atau menggunakan selimut dinginb. metode pendinginan internal, termasuk infus yang cepat IV cairan dinginc. IV obat-obatan diureticd. IV procainamide (1 gr diencerkan dalam 500 ml NaCl)e. Hiperkalemia ditatalaksana menggunakan dextrose dengan insulin

II.9 Reaksi alergi obatAnafilaksis Reaksi alergi antigen antiodi ( hipersenstifitas tipe 1) reaksi dimulai pengikatan antigen immunoglobulin E pad permukaan el mast dan basofil, menyebabkan pengeluaran mediator kimia termasuk leukotrien, histamine, protsglanding, kinin, platelet activating faktor.

Manifestasi : Kardivaskular : hipotensi, takikardi, disritmia Pulmo : broncospase, batuk, dispneu, edeapulmonary, edema laring, hipoksemiaologi Dermatologi : urtika, pruritusm facial edemaPenanganan : Terapi awal : Jauhi allergen, Oksigen 100 %, Cairan intravena 1-5 liter LR, Epinephrine (10-100 mcg IV bolus untuk hipotensi, 0.1-0.5 mg IV untuk kolaps cardiovascular)Penanganan sekunder : Antihistamin intra vena, Epinephrine 2-4 mcg/min, norepinephrine 2-4 mcg/min, Aminophylline 5-6 mg/kg IV setelah 20 menit, 1-2 grams methylprednisolone atau 0.25-1 gm hydrocortisone.55. Sodium bicarbonate 0.5-1 mEq/kg.66. Evaluasi jalan napas (sebelumnya ekstubasi).BAB III KESIMPULAN

1. Komplikasi anestesi dapat terjadi selama proses pembiusan dan setelah pembiusan. Teknik dari pembiusan baik regional maupun umum juga berpotensi mengakibatkan komplikasi.2. Faktor faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat anestesi serta jenis dari operasinya.3. Komplikasi selama anestesi yaitu:a. respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, singultus, spasme (laryngospasm, bronchospasm)b. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai cardiac arrestc. Thermic : hypothermia, hyperthermiad. Kesadaran selama operasi4. Komplikasi Pasca Anestesi, yaitu :a. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitisb. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordisc. Mata : laserasi kornea, blepharospasmd. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemiae. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf periferf. Mengigil g. Malignant hyperthermiah. Mimpi buruk, gaduh-gelisahi. Muntah

DAFTAR PUSTAKA

Miller, RD., 2000. Anesthesia, 5 th. Ed. Churchill Livingston. New York. USAMorgan, GE., et al. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA28