REFERAT KARSINOMA NASOFARING
-
Upload
firah-rukman -
Category
Documents
-
view
101 -
download
9
description
Transcript of REFERAT KARSINOMA NASOFARING
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dibawah ini:
Judul : Karsinoma Nasofaring
Penyusun : Ruhmana Firah FR
Telah diterima dan disetuji oleh pembimbing Dr. Anna Maria Suciaty, Sp. THT
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan ilmu THT
di Rumah Sakit Dr. H. Mardzoeki Mahdi, Bogor, periode 9 Desember 2013 – 11
Januari 2014.
Bogor, Januari 2014
Penguji
Dr. Anna Maria Suciaty, Sp. THT
1
BAB I
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena anugerahnya,
referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Dr. Anna Maria Suciaty, Sp. THT atas bimbingan dan arahannya dalam
menyelesaikan referat ini.
Kepada teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini, penulis
juga mengucapkan terimakasi,
Sebelumnya, penulis memohon maaf bila ada kesalahan dalam referat ini. semoga
referat ini dapat berguna dalam bidang kedokteran khususnya bagian ilmu penyakit
THT.
Penulis,
Ruhmana Firah FR
2
BAB II
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. KNF
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia.
KNF disebabkan oleh banyak hal, diantara lain adanya factor genetic, infeksi virus
Epstein-Barr (EBV), dan factor lingkungan.
KNF terjadi lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio pria-
wanita 2-3:1. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prognosis lebih baik
pada wanita dibandingkan pada pria, tetapi penelitian lain belum menunjukkan
perbedaan ini. Usia rata-rata pada presentasi adalah 45-55 tahun. Pasien yang lebih
muda tampaknya memiliki tingkat ketahanan hidup yang lebih baik daripada pasien
yang lebih tua.
3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tumor nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring . Merupakan tumor daerah
kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini cukup sulit
karena letakya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital.(1,2)
Tumor nasofaring juga merupakan tumor ganas di daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan
sinus paranasal, laring dan tumor ganas rongga mulut, tonsil hipofaring dalam
persentase rendah.(1,2)
B. ANATOMI
GAMBAR 1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku diatas, belakang dan lateral. Ke
depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana sehingga sumbatan hidung
4
merupakan gangguan yang sering timbul. Demikian juga penyebaran tumor ke lateral
akan menyumbat muara tuba Eustachius dan akan mengganggu pendengaran serta
menimbulkan cairan di telinga tengah. Kearah belakang dinding melengkung ke atas
dan ke depan dan terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar dari os
oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-tempat tersebut.
Dibelakang atas torus tubarius terdapat resesus faring atau fosa Rosenmuleri dan tepat
di ujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Tumor dapat menjalar kearah
intracranial dalam dua arah, masing-masing menimbulkan gejala neurologik yang
khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fosa
kranii media menyebabkan gangguan saraf otak III, IV, VI, dan kadang-kadang II.
Sebaliknya penyebaran ke kelenjar faring lateral di dan sekitar selubung karotis atau
jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan kerusakan saraf otak ke IX, X,
XI dan XII. Saraf otak ke VII dan VIII biasanya jarang terkena.
Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral
bermuara kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terdapat hubungan bebas
melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum melalui ruang
retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.Pembagian daerah nasofaring :
1. Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole
sampai dasar tengkorak.
2. Dinding lateral: termasuk fosa Rosenmuleri
3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.
Catatan: Pinggir orifisium koana termasuk pinggir posterior septum hidung
dimasukkan sebagai fosa nasal.
C. ETIOLOGI
1. Faktor genetic
Etiologi genetic dapat dilihat dari epidemiologi penyakit ini yang mengenai
kelompok etnis tertentu dan jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki,
5
pasien dengan keluarga yang memiliki penyakit yang sama, pasien dengan A2
HLA haplotype dan abnormalitas sitogenetik yang ditemukan pada sampel
tumor.
2. Virus Epstein-Barr
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab KNF adalah virus Epstein-
Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titetr anti-virus EB
yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor
ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada
kelainan naso faring yang lain sekalipun[2] EBV menginfeksi sel epitel ,
menjadi infeksi laten dan mengekspresikan protein virus termasuk EBNA-1
dan EBNA-2. Aktivasi virus oleh ko-faktor dapat berlanjut menjadi induksi
karsinoma. [3,4]
3. Faktor lingkungan
Factor lingkungan antara lain adanya distribusi penyakit secara geografis,
menurut umur dan korelasi dengan pasien yang mengkonsumsi banyak
makanan yang diawetkan atau diasinkan.[4] juga polusi udara, merokok,
nitrosamine dari ikan ain, asap dari pembakaran dupa dan kayu.[6]
D. EPIDEMIOLOGI
Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga
reisko cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid,
bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai
mengidap penyakit ini.[1]
Penduduk Cina bagian selatan menduduki tempat tertinggi yaitu 2.500 kasus baru
pertahun untuk propinsi Guang-dong atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk.
Penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang
diawetkan(diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai
disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini.[1]
Factor genetic juga berpengaruh, yaitu banyaknya kasus yang ditemukan pada laki-
laki dibanding wanita.
6
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di
seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan Tenggorok
(THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF (Nasir, 2009).
Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000
atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun. Dari data laporan profil KNF di
Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di
bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2002 -2007
ditemukan 684 penderita KNF.
E. MANISFESTASI KLINIK
Pada KNF metastase ke kelenjar leher dilaporkan sebagai gejala yang terlihat pada 29
– 50 % kasus ini menggambarkan perangai diam – diam dari KNF. Jangka waktu
antara dirasakan gejala pertama oleh pasien sampai mendapat pemeriksaan medik
dapat berlangsung 3 – 10 bulan tergantung tempat tinggal dan kemajuan cara berpikir.
I. Gejala setempat yang disebabkan oleh tumor primer :
a) Gejala hidung :
- Pilek-pilek dari salah satu atau kedua lubang hidung yang terus menerus,
lendir dapat campur darah atau nanah yang berbau
- Epistaksis dapat sedikit atau banyak dan biasanya berulang-ulang, dapat pula
berupa riak campur darah
- Buntu hidung unilateral atau bilateral (eksophitik)
b) Gejala telinga :
- Pendengaran kurang (tuli)
- Tinnitus surium
- OMP
II. Gejala-gejala karena tumbuh dan menyebarnya tumor
a) Sifat expansif
- Ke muka tumor ke depan mengisi nasofaring dan menutup koane sehingga
timbul gejala buntu hidung
- Ke bawah tumor mendesak palatum molle, terjadi bombans palatum molle
b) Sifat infiltratif
7
- Ke atas melalui foramen lacerum masuk ke dalam endocranium, maka terkena
dura dan menimbulkan gejala cephalgia yang berat (tidak sembuh dengan
analgetik biasa). Kemudian terkena N.VI. (N. Abducens ,m. Rectus lateralis
bulbi) terjadi diplopia/strabismus. Kemudian terkena N.V. terjadi trigeminal
neuralgia (dengan cabang-cabangnya N.ophtalmicus, N.maxilaris dan
N.mandibularis) dengan gejala- gejala nyeri kepala yang hebat pada daerah
muka sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah, dan lidah. Kerusakan
N.III dan N.IV terjadi gejala ptosis dan opthalmoplegia. Bisa lebih lanjut lagi
bisa terkena N.IX, X, XI, XII.
- Kesamping masuk ke spatium parafaring akan terkena N.IX, N.X terjadi
parase palatum molle, parese faring dan laring (regurgitasi makanan minuman
ke cavum nasi rhinolalia aperta dan suara parau). Bila terkena N.XII terjadi
deviasi lidah kesamping gangguan menelan.
III. Gejala-gejala karena metastase melalui aliran getah bening :
Terjadi pembesaran kelenjar leher yang terletak dibawah ujung planum mastoid,
dibelakang angulus mandibula, medial dari ujung bagian atas m.stornocleido
mastoideus, bisa unilateral dan bilateral
IV. Gejala-gejala karena metastase melalui aliran darah :
Maka akan terjadi metastase jauh antara lain hati, paru-paru, ginjal, limpa, tulang dan
sebagainya.
GEJALA-GEJALA DIATAS DAPAT DIBEDAKAN ANTARA :
- Gejala Dini : ialah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu tumor masih
tumbuh dalam batas-batas nasofaring, jadi berupa gejala-gejala setempat yang
disebabkan oleh tumor primer (gejala-gejala hidung dan gejala-gejala telinga
seperti diatas)
- Gejala Lanjut : ialah segala gejala-gejala yang dapat timbul oleh karena tumor
telah tumbuh melewati batas-batas nasofaring, baik berupa metastase ataupun
infiltrasi dari tumor.
F. PATOGENESIS
Di daerah endemik, infeksi EBV terutama berkaitan dengan KNF subtipe WHO-2 dan
8
WHO-3, sedangkan untuk subtipe WHO-1 masih menjadi perdebatan.
Virus Epstein-Barr yang ditransmisikan melalui saliva yang terinfeksi ke tempat
pertama infeksinya, yaitu sel-sel epitel orofaring akan memasuki sel, bersifat menetap
(persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (long life). Hal ini membuat sel
yang terinfeksi menjadi immortal melalui induksi transformasi pertumbuhan yang
permanen.
GAMBAR 2 Proses infeksi Epstein-Barr virus (EBV)
Infeksi EBV yang laten dan persisten tersebut pada KNF menunjukkan pola laten tipe
II yang ditandai dengan ekspresi EBV nuclear antigen (EBNA) -1, latent membrane
protein (LMP) -1, 2 dan EBV- encoded RNA (EBER). LMP-1 merupakan gen laten
EBV yang pertama ditemukan yang dapat mentransformasi galur sel dan merubah
fenotip sel karena potensial onkogeniknya. LMP-1 merupakan onkogen virus yang
mirip reseptor permukaan sel yang dapat mencegah sel yang terinfeksi EBV dari
apoptosis dengan menginduksi protein anti-apoptotik seperti BCL-2, A20 dan MCL-
1. LMP-1 juga terlibat dalam jalur pensinyalan yang mengatur proliferasi sel dan
9
apoptosis yaitu memicu progresifitas dan proliferasi sel melalui siklus sel (fase G1/S)
dan inhibisi apoptosis.[7, 8, 9]
G. HISTOPATOLOGI
Makroskopik
Kebanyakan tumor muncul di dinding lateral nasofaring, paling utama muncul di
fossa Rossenmuller. Kebanyakan lesi exophytic (sekitar 75%), dengan beberapa jenis
ulserative (sekitar 10%). Biasanya permukaannya rata dan halus, dan terlihat seperti
nodul yang muncul dari mukosa. Metastasis ke nodul limfe cervical juga umum
ditemukan.[10]
World Health Organization (2005)
1. Keratinizing squamous cell carcinoma
(Karsinoma sel skuamosa
berkeratinisasi)
2. Non-keratinizing carcinoma
(Karsinoma tidak berkeratinisasi)
- Differentiated type (tipe
berdiferensiasi)
- Undifferentiated type (tipe tidak
berdiferensiasi)
3. Basaloid squamous cell carcinoma
Mikroskopik
Tipe I Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi
Squamous cell carcinoma digunakan ketika lesi menunjukkan defferensiasi skuamosa
yang jelas dengan hanya dilihat secara mikroskopis, adanya jembatan antas cell dan
keratinisasi pada kebanyakan lesi, dan bisa juga diukur seberapa besar
difesensiasinya. Tumor tumbuh seperti pulau-pulau yang tidak teratur dipisahkan oleh
stroma desmoplastic dan dengan berbagai jumlah limfosit, sel plasma, neutrofil, dan
eosinofil. Perbatasan sel yang berbeda-beda, dipisahkan oleh jembatan antar sel. Area
keratinisasi dapat terlihat. Intinya biasanya hiperkromatik. Jika diinduksi oleh radiasi,
10
maka tidak ada asosiasi dengan EBV. Namun, jika tidak ada hubungan radiasi,
mereka cenderung memiliki jumlah EBV yang lebih rendah.
TIPE II Karsinoma non-keratinisasi
Karsinoma non-keratinisasi adalah KNF klasik . Ada dua jenis: berdiferensiasi dan
tidak berdiferensiasi. Ada lembar solid syncytial muncul, sel-sel tumor besar diatur
dalam pulau-pulau yang tidak teratur dan trabekula karsinoma, dan erat bercampur
dengan unsur inflamasi. Sering ada tumpang tindih seluler. Kromatin nukleus
vesikular, menonjolkan nukleolus menonjol. Kromatin nukleus rasio sitoplasma
dengan sitoplasma amphophilic. Kadang-kadang tumor mungkin memiliki daerah
epitel transisional. Sekelompok epitel didefinisikan dengan baik yang disebut pola
Regaud, sementara sel-sel tunggal dalam tidak jelas lembar disebut pola
“Schmincke”. Mencoba untuk memisahkan non – keratinisasi menjadi tipe
berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi sulit untuk dilakukan dan tidak memiliki
makna klinis atau perkiraan prognosis.[10]
GAMBAR 3 Karsinoma sel skuamosa menunjukkan jembatan antarsel yang menonjol, keratinisasi dan pola pertumbuhan infiltratif. Tumor diklasifikasikan sebagai keratinizing karsinoma sel skuamosa.
11
TIPE III Karsinoma sel skuamosa basaloid
Karsinoma sel skuamosa basaloid berisi neoplasma basaloid dengan area fokus
diferensiasi skuamosa, karsinoma sel skuamosa in situ atau karsinoma sel skuamosa
invasif. Hanya ada beberapa kasus yang dilaporkan , sehingga diskusi bermakna nilai
klinis yang terbatas.
Biasanya EBV ditemukan dalam jenis non - keratinisasi daripada jenis KNF yang
berkeratinisasi. Secara umum, in-situ hibridisasi atau polymerase chain reaction
(PCR) diperlukan untuk mendokumentasikan EBV tersebut, karena EBV - LMP
biasanya tidak cukup untuk menentukan KNF. RNA awal EBV (EBER: Epstein Barr
early RNA) adalah analisis yang paling sensitif dan spesifik yang tersedia saat ini.
H. STADIUM
I. STAGE T N M
0 T1s No M0
I T1 N0 M0
IIA T2a N0 M0
IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
GAMBAR 4 Karsinoma non-
keratinisasi menunjukkan
gambaran sitologi. Inti berkisar
dari ringan sampai vesikular
granular. Nukleolus terlihat
dominan banyak. Ada rasio
tinggi nucleus terhadap
sitoplasma. Sel-sel inflamasi
yang diidentifikasi dalam sel
tumor.
12
IVA T4 N0, N1, N2 M0
IVB Semua T N3 M0
IVC Semua T Semua N M1
System TNM menurut UICC (2002)
T = tumor primer
T0 – tidak tampat tumor
T1 – tumor terbatas di nasofaring
T2 – tumor meluar ke jaringan lunak
T2a: perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring*
T2b: disertai perluasan ke parafaring
T3 – tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 – tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial,
fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator
* = perluasan parafaring menunjukan infiltrasi tumor ke arah postero-lateral melebihi
fasia faring basilar
N = pembesaran kelenjar getah bening regional
NX – pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 – tidak ada pembesaran
N1 – metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6cm di atas fossa supraklavikula
N2 – mesatasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 – metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6cm
atau terletak di dalam fossa supraklavikula
N3a: ukuran lebih dari 6cm
N3b: didalam fossa supraklavikula
Kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral
13
M = metastasis jauh
Mx – metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 – tidak ada metastasis jauh
M1 – terdapat metastasis jauh
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG[11,12]
1. Nasofaringoskopi
2. Biopsy
3. CT scan
4. MRI
5. Foto polos
6. USG
7. Pemeriksaan laboratorium:
- Pemeriksaan darah rutin
- Titer virus Epstein-Barr
- Pemeriksaan serologi IgA dan IgG
Titer IgA VCA (viral capsid antigen dari EBV)
K. DIAGNOSIS
Metode diagnosis[13]
1. Evaluasi klinis dari ukuran dan lokasi kelenjar getah bening leher.
2. Nasopharyngoscopy indirect untuk menilai itu tumor primer.
3. Pemeriksaan neurologis dari saraf kranial.
4. PET / Computed tomography (CT) / Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan
dari kepala dan leher ke bawah clavicula untuk menilai itu dasar erosi
tengkorak.
5. Foto thoraks (anteroposterior dan lateral) untuk melihat apakah NPC telah
menyebar ke paru-paru.
6. Bone scintigrafi oleh Tc 99 diphosphonate untuk menunjukkan apakah kanker
telah menyebar ke tulang.
7. Hitung darah lengkap.
8. Urea, elektrolit, kreatinin, fungsi hati, Ca, PO4, alkali fosfat.
9. EBV virus kapsid antigen dan EBV DNA.
14
10. Biopsi tumor atau kelenjar getah bening primer untuk pemeriksaan histologis.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsy dapat
dilakukan dengan 2 cara, dari hidung atau dari mulut. Biopsy melalui hidung
dilakukan tanpa melihat tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui
rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari
hidung sebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke katas. Kemudian dengan kaca
alring dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca
tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulu, massa tumor
akan terlihat lebih jelas. Biopsy tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan
analgesi topukal dengan xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum
mendapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengenrokan dengan kuret
daerah lateral nasofaring dalam narcosis.[12]
PET scan dengan FDG (2-[Fluorine-18]fluoro-2-deoxy-D-glucose) bisa menunjukkan
adanya tumor primary yang tidak diketahuin pada 30-50% pasien dengan metastasis
ke nodul limfe di leher yang awalnya tidak diketahui tumor primernya. Namun,
ukuran tumor bisa terlihat membesar karena fenomena radiasi menyebar radiasi di
PET scan dengan FDG. Diagnosis yang akurat tumor dapat dilakukan dalam tiga
dimensi konformal radioterapi. Penggunaan citra fusi antara FDG PET dan MRI / CT
dapat memberikan gambaran target yang baik dalam perencanaan radioterapi kanker
kepala dan leher. Hasil negatif palsu dengan FDG PET / CT dapat terjadi dalam
kondisi berikut: [14]
1. Dipindai terlalu dini setelah selesainya dari kemoterapi atau terapi radiasi
2. Keganasan hadir dalam struktur dengan metabolism fisiologi yang
3. Ukuran tumor di bawah resolusi PET / CT scanner
4. Tumor rendah kepadatan sel atau tingkat metabolisme rendah FDG . Tertunda
tampilan dengan lama waktu emisi yang dapat membantu untuk mendeteksi
tumor.
F - FDG PET / CT memiliki keuntungan yang jelas untuk dapat menilai seluruh tubuh
15
untuk metastasis di satu pemeriksaan dan , pada saat yang sama , menilai tumor
primer dan kelenjar getah serviks.[14]
Dengan CT-scan kepala dan leher, dapat terlihat massa. Seberapa besar massa, erosi
dasar tengkorak dan limfadenopati cervical. CT scan thorax juga dapat dilakukan
untuk melihat apakah ada metastasis atau tidak
Dengan pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan Waters
menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring dan bias melihat apakah ada
desakan massa ke tulang. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi
tulang di daerah fossa serebri media. MRI dapat dilakukan apabila ada kecurigaan
adanya penyebaran ke intracranial.[12]
GAMBAR 5 Hasil nasoendoskopi
dan CT scan menunjukkan adanya
massa di nasofaring
16
L. DIAGNOSIS BANDING
1. Juvenile Angiofibroma nasofaring
2. Angiofibroma nasofaring
3. Adenoid persisten
4. TBC nasofaring
M. PENATALAKSANAAN
Stadium I: Radioterapi
Stadium II & III: Kemoradiasi
Stadium IV dengan N <6 cm: Kemoradiasi
Stadium IV dengan N >6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan
kemoradiasi
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan
dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, factor transfer, interferon,
kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus.
Semua pengobatahn tambahan ini masih tetap terbaik sebagai terapu ajuvan
(tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan. Yang terbaik saat ini adalah
kombinasi dengan cis-platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini
sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian
pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin
dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan
harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C
dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat
radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total
pasien KNF.[12]
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau
kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat
17
operasi
Radioterapi pada Kanker Nasofaring [15]
Radioterapi mencegah pertumbuhan dan pembelahan sel dengan sangat cepat.
Radioterapi berbeda dengan radiologi, dimana radiologi hanya sebagai alat bantu
untuk menegakkan diagnosa sedangkan radioterapi sebagai metode pengobatan.
Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan nasofaring dan kelenjar getah bening
pada leher. Daerah kelenjar getah bening juga diradiasi apabila kanker secara klinis
ataupun secara radiologi melibatkan daerah tersebut atau apabila ada resiko terjadi
penyebaran ke daerah tersebut.
1. Mekanisme Kerja
Radioterapi menggunakan radiasi ion. Radiasi ion dibagi menjadi 2 yaitu, corpuscular
dan elektromagnetik. Radiasi corpuscular ini berupa elektron, proton, dan neutron,
sedangkan radiasi elektromagnetik berupa sinar-X dan sinar gamma. Radiasi
elektromagnetik sering disebut dengan photon. Pada praktek klinis, umumnya
radioterapi seluruhnya menggunakan photon.
Radiasi ion bekerja pada DNA sel kanker untuk menghilangkan kemampuan
reproduktifitas sel. DNA sel berduplikasi selama mitosis, sel dengan tingkat aktifitas
mitotik yang tinggi lebih radiosensitif dibandingkan dengan sel dengan tingkat
aktifitas mitotik yang lebih rendah. Radioterapi bekerja dengan merusak sel DNA
kanker. Kerusakan ini disebabkan oleh photon, elektron, proton, neutron, atau sinar
peng-ion yang secara langsung ataupun tidak langsung mengionisasi atom yang
membentuk rantai DNA.
Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh
baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+
dan OH-
yang sangat
reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat
terjadi :
- Rantai ganda DNA pecah
18
- Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
- Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel
Sel-sel yang masih bertahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNAnya
sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari
sel kanker sehingga sel-sel kanker lebih banyak yang tetap rusak dan mati
dibandingkan dengan sel-sel normal. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk
radioterapi pada kanker.
2. Dosis Radiasi
Radiasi kuratif diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, kelenjar getah bening
leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600- 7000 rad
dengan fraksi 200 rad, 5x pemberian per minggu, sekali sehari. Setelah dosis 4000 rad
medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran klavikular
dikeluarkan.
Radiasi paliatif diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal.
Dosis radiasi untuk metastasis tulang adalah 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5x per
minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.
3. Tekhnik Radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif, atau paliatif. Penderita
juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya
diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek
samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan
laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum
yang buruk, gizi kurang atau demam tidak dibolehkan untuk radiasi kecuali pada
keadaan yang mengancam hidup penderita seperti obstruksi jalan makanan,
perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan
19
umum penderita. Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%,
jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3, dan trombosit 100.000 per uL.
Penentuan batas-batas lapangan radiasi merupakan salah satu langkah yang terpenting
untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah
tumor primer dan sekitarnya (daerah yang berpotensi adanya penjalaran) serta
kelenjar-kelenjar getah bening regional.
Ada 2 cara utama pemberian radioterapi, yaitu
- Radiasi eksterna / teleterapi
Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar
tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Radiasi ini ditujukan
pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada
daerah aliran getah bening leher atas dan bawah serta klavikula.
- Radiasi interna / brakiterapi
Sumber radiasi dimasukkan ke dalam rongga nasofaring pada tempat tumor
berada atau berdekatan dengan tumor guna memberikan dosis maksimal pada
tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat
di sekitarnya. Terapi ini diberikan pada kasus yang telah memperoleh dosis
radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau
pada kasus kambuh lokal.
4. Respon Radiasi
Setelah diberikan terapi radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap
radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan
tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO, yaitu
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap- Progressive disease
: ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih
20
Photodynamic therapy (PDT)/Terapi Fotodinamik
Terapi fotodinamik pada KNF dilakukan dengan cara menginjeksi obat fotosensitif
secara intravaskuler. Lalu massanya diiluminasi dengan laser nonthermic sehingga
terjadi produksi radikal oksigen aktif yang akhirnya membunuh sel local. Kedalaman
terapi yang efektif oleh PDT dengan generasi kedua fotosensitizer adalah 10mm.
dengan aplikator khusus, nasofaring dapat diuliminasi secara bersamaan dengan
memproteksi palatum molle. Biasanya satu terapi sudah adekuat, dan bisa dilakukan
pada pasien rawat jalan dengan anastesi local. Karena tidak ada efek yang
terakumulasi dari penggunan PDT, maka terapi ini dapat dilakuakan berulang kali.[16]
Memonitor Terapi dan Follow Up
Terapi radiasi sering diberikan pada pasien rawat jalan. Tindak lanjut diperlukan
setelah semua radiasi dan kemoterapi telah diberikan.
Pasien dievaluasi setiap 3 bulan selama tahun pertama dan setiap 6 bulan selama
tahun kedua dan ketiga setelah perawatan. Setelah itu, tindak lanjut yang diperlukan
setiap tahun.
Pemeriksaan fisik dan sejarah rinci harus dilakukan dengan setiap kunjungan.
Pencitraan dari kepala dan leher (CT atau MRI), CT dada, dan tulang scan/positron
emission tomography (PET), (jika positif di situs metastasis jauh pada diagnosis)
biasanya dilakukan setiap 3 bulan untuk tahun pertama dan kemudian setiap 6 bulan
untuk 2 tahun ke depan setelah terapi selesai untuk menilai respon.
Pemeriksaan gigi sebelum radioterapi dan secara rutin setelah terapi dianjurkan
karena kemungkinan karies dan kesehatan gigi yang buruk. Osteonekrosis mandibula
merupakan komplikasi yang jarang radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat.
Seperti banyak anak-anak yang mengalami kelainan endokrin setelah pengobatan,
skrining pengujian untuk hipotiroidisme, kekurangan hormon pertumbuhan, dan
21
gangguan sumbu adrenal harus terjadi secara sering setelah selesai terapi.[17]
N. KOMPLIKASI
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan
hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi
sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat
terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi
dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada
pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk
menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka
radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat
O. PROGNOSIS
Prognosis KNF secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan metastasenya.
Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada yang non
keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih
sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai
limfadenopati stadium lanjut, tipe histologic karsinoma skuamosa berkeratinasi.
Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut,usia
lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit
putih.[12]
P. PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan- kemungkinan
faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti
EA bermanfaat dalam menemukan KNF lebih dini.[12]
22
BAB IV
PENUTUP
Tumor nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring . Merupakan tumor daerah
kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini cukup sulit
karena letakya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital.
Dengan gejalan yang dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu gejala nasofaring sendiri,
berupa epistaksis ringan, pilek, atau sumbatan hidung, kemudian gejala telinga,
berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga, juga gejala saraf, berupa
gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia daerah pipi, neuralgia trigeminal,
paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering tersedak dan juga
gejala atau metastasisi dileher, berupa benjolan di leher.
Penyakit ini dapat ditatalaksana secara radioterapi yang merupakan pilihan terbaik
sambil ditambah dengan kemoterapi setelah didiagnosis, dengan prognosis baik
apabila pasien masih pada stadium awal dengan factor resiko yang minimal, maka
prognosis akan menjadi sebaliknya bila stadium sudah sampai pada stadium akhir
dengan factor resiko yang banyak.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Japaris, Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam: Onkologi Klinis. Jakarta :
FKUI. 2008. Hal : 263-278
2. Roezin A, Adham M. 2012. Karsinoma Nasofaring. In: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala & Leher. Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. eds. 2012. 7th ed. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p. 158.
3. Paulino AC, Arceci RJ. Nasopharyngeal Cancer.
http://emedicine.medscape.com/article/988165 (accessed 10 December
2013).
4. Water TRVD, Staecker H. Otolaryngology Basic Science and Clinical
Review. New York: Thieme; 2005;95.
5. Water TRVD, Staecker H. Otolaryngology Basic Science and Clinical
Review. New York: Thieme; 2005;141.
6. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 2006;4th ed;232-4.
7. Yenita AA. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1Virus Epstein-Barr
dengan P53 pada Karsinoma NAsofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal
Kesehatan Andalas. 2012; 1(1)
8. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
24
Carcinoma. In: Nasopharyngeal Cancer: Multidisciplinary Management. 2012. Springer. P. 12
9. Chang ET, Adami HO. The Enigmatic epidemiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. Cancer Epidemiology Biomarkers Prevention 2006;15;1765-
1777.
10. Thompson LDR. Update on Nasopharyngeal Carcinoma. Head and Neck
Pathology 2007;1;82-83.
11. Roezin A, Adham M. 2012. Karsinoma Nasofaring. In: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala & Leher. Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. eds. 2012. 7th ed. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p. 163.
12. Paulino AC, Arceci RJ. Nasopharyngeal Cancer.
http://emedicine.medscape.com/article/988165-workup (accessed 10
December 2013).
13. Brennan B. Review Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare
Diseases. 2006;1:23.
14. AD, Ma BB, Yau YY, Zee B, Leung SF, Wong JKT, et al. The impact of 18
F-
FDG PET/CT on assessment of nasopharyngeal carcinoma at diagnosis. The
British Journal of Radiology 2008;81;291–298.
15. Asroel, Harry A. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring.
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf (accessed 23 December
2013).
16. Stoker SD, van Diessen JNA, de Boer JP, Karakullukcu B, Leemans CR, Tan
IB. Current Treatment Options for Local Residual Nasopharyngeal
Carcinoma. Current Treatment Options in Oncology (2013) 14:475–491.
17. Paulino AC, Arceci RJ. Nasopharyngeal Cancer.
http://emedicine.medscape.com/article/988165- -followup#a2645 (accessed
10 December 2013).
25