REFERAT KARSINOMA NASOFARING

36
LEMBAR PENGESAHAN Referat dibawah ini: Judul : Karsinoma Nasofaring Penyusun : Ruhmana Firah FR Telah diterima dan disetuji oleh pembimbing Dr. Anna Maria Suciaty, Sp. THT sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan ilmu THT di Rumah Sakit Dr. H. Mardzoeki Mahdi, Bogor, periode 9 Desember 2013 – 11 Januari 2014. Bogor, Januari 2014 Penguji Dr. Anna Maria Suciaty, Sp. THT 1

description

ca nasofaring

Transcript of REFERAT KARSINOMA NASOFARING

Page 1: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dibawah ini:

Judul : Karsinoma Nasofaring

Penyusun : Ruhmana Firah FR

Telah diterima dan disetuji oleh pembimbing Dr. Anna Maria Suciaty, Sp. THT

sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan ilmu THT

di Rumah Sakit Dr. H. Mardzoeki Mahdi, Bogor, periode 9 Desember 2013 – 11

Januari 2014.

Bogor, Januari 2014

Penguji

Dr. Anna Maria Suciaty, Sp. THT

1

Page 2: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

BAB I

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena anugerahnya,

referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada Dr. Anna Maria Suciaty, Sp. THT atas bimbingan dan arahannya dalam

menyelesaikan referat ini.

Kepada teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini, penulis

juga mengucapkan terimakasi,

Sebelumnya, penulis memohon maaf bila ada kesalahan dalam referat ini. semoga

referat ini dapat berguna dalam bidang kedokteran khususnya bagian ilmu penyakit

THT.

Penulis,

Ruhmana Firah FR

2

Page 3: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

BAB II

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah

nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. KNF

merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di

Indonesia.

KNF disebabkan oleh banyak hal, diantara lain adanya factor genetic, infeksi virus

Epstein-Barr (EBV), dan factor lingkungan.

KNF terjadi lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio pria-

wanita 2-3:1. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prognosis lebih baik

pada wanita dibandingkan pada pria, tetapi penelitian lain belum menunjukkan

perbedaan ini. Usia rata-rata pada presentasi adalah 45-55 tahun. Pasien yang lebih

muda tampaknya memiliki tingkat ketahanan hidup yang lebih baik daripada pasien

yang lebih tua.

3

Page 4: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Tumor nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan

predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring . Merupakan tumor  daerah

kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini cukup sulit

karena letakya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital.(1,2)

Tumor nasofaring juga merupakan tumor ganas di daerah kepala dan leher yang

terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher

merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan

sinus paranasal, laring dan tumor ganas rongga mulut, tonsil hipofaring dalam

persentase rendah.(1,2)

B. ANATOMI

GAMBAR 1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku diatas, belakang dan lateral. Ke

depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana sehingga sumbatan hidung

4

Page 5: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

merupakan gangguan yang sering timbul. Demikian juga penyebaran tumor ke lateral

akan menyumbat muara tuba Eustachius dan akan mengganggu pendengaran serta

menimbulkan cairan di telinga tengah. Kearah belakang dinding melengkung ke atas

dan ke depan dan terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar dari os

oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-tempat tersebut.

Dibelakang atas torus tubarius terdapat resesus faring atau fosa Rosenmuleri dan tepat

di ujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Tumor dapat menjalar kearah

intracranial dalam dua arah, masing-masing menimbulkan gejala neurologik yang

khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fosa

kranii media menyebabkan gangguan saraf otak III, IV, VI, dan kadang-kadang II.

Sebaliknya penyebaran ke kelenjar faring lateral di dan sekitar selubung karotis atau

jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan kerusakan saraf otak ke IX, X,

XI dan XII. Saraf otak ke VII dan VIII biasanya jarang terkena.

Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral

bermuara kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terdapat hubungan bebas

melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum melalui ruang

retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.Pembagian daerah nasofaring :

1. Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole

sampai dasar tengkorak.

2. Dinding lateral: termasuk fosa Rosenmuleri

3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.

Catatan: Pinggir orifisium koana termasuk pinggir posterior septum hidung

dimasukkan sebagai fosa nasal.

C. ETIOLOGI

1. Faktor genetic

Etiologi genetic dapat dilihat dari epidemiologi penyakit ini yang mengenai

kelompok etnis tertentu dan jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki,

5

Page 6: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

pasien dengan keluarga yang memiliki penyakit yang sama, pasien dengan A2

HLA haplotype dan abnormalitas sitogenetik yang ditemukan pada sampel

tumor.

2. Virus Epstein-Barr

Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab KNF adalah virus Epstein-

Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titetr anti-virus EB

yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor

ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada

kelainan naso faring yang lain sekalipun[2] EBV menginfeksi sel epitel ,

menjadi infeksi laten dan mengekspresikan protein virus termasuk EBNA-1

dan EBNA-2. Aktivasi virus oleh ko-faktor dapat berlanjut menjadi induksi

karsinoma. [3,4]

3. Faktor lingkungan

Factor lingkungan antara lain adanya distribusi penyakit secara geografis,

menurut umur dan korelasi dengan pasien yang mengkonsumsi banyak

makanan yang diawetkan atau diasinkan.[4] juga polusi udara, merokok,

nitrosamine dari ikan ain, asap dari pembakaran dupa dan kayu.[6]

D. EPIDEMIOLOGI

Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga

reisko cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, hongkong, Vietnam,

Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid,

bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai

mengidap penyakit ini.[1]

Penduduk Cina bagian selatan menduduki tempat tertinggi yaitu 2.500 kasus baru

pertahun untuk propinsi Guang-dong atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk.

Penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang

diawetkan(diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai

disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini.[1]

Factor genetic juga berpengaruh, yaitu banyaknya kasus yang ditemukan pada laki-

laki dibanding wanita.

6

Page 7: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di

seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan Tenggorok

(THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF (Nasir, 2009).

Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000

atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun. Dari data laporan profil KNF di

Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di

bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2002 -2007

ditemukan 684 penderita KNF.

E. MANISFESTASI KLINIK

Pada KNF metastase ke kelenjar leher dilaporkan sebagai gejala yang terlihat pada 29

– 50 % kasus ini menggambarkan perangai diam – diam dari KNF. Jangka waktu

antara dirasakan gejala pertama oleh pasien sampai mendapat pemeriksaan medik

dapat berlangsung 3 – 10 bulan tergantung tempat tinggal dan kemajuan cara berpikir.

I. Gejala setempat yang disebabkan oleh tumor primer :

a) Gejala hidung :

- Pilek-pilek dari salah satu atau kedua lubang hidung yang terus menerus,

lendir dapat campur darah atau nanah yang berbau

- Epistaksis dapat sedikit atau banyak dan biasanya berulang-ulang, dapat pula

berupa riak campur darah

- Buntu hidung unilateral atau bilateral (eksophitik)

b) Gejala telinga :

- Pendengaran kurang (tuli)

- Tinnitus surium

- OMP

II. Gejala-gejala karena tumbuh dan menyebarnya tumor

a) Sifat expansif

- Ke muka tumor ke depan mengisi nasofaring dan menutup koane sehingga

timbul gejala buntu hidung

- Ke bawah tumor mendesak palatum molle, terjadi bombans palatum molle

b) Sifat infiltratif

7

Page 8: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

- Ke atas melalui foramen lacerum masuk ke dalam endocranium, maka terkena

dura dan menimbulkan gejala cephalgia yang berat (tidak sembuh dengan

analgetik biasa). Kemudian terkena N.VI. (N. Abducens ,m. Rectus lateralis

bulbi) terjadi diplopia/strabismus. Kemudian terkena N.V. terjadi trigeminal

neuralgia (dengan cabang-cabangnya N.ophtalmicus, N.maxilaris dan

N.mandibularis) dengan gejala- gejala nyeri kepala yang hebat pada daerah

muka sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah, dan lidah. Kerusakan

N.III dan N.IV terjadi gejala ptosis dan opthalmoplegia. Bisa lebih lanjut lagi

bisa terkena N.IX, X, XI, XII.

- Kesamping masuk ke spatium parafaring akan terkena N.IX, N.X terjadi

parase palatum molle, parese faring dan laring (regurgitasi makanan minuman

ke cavum nasi rhinolalia aperta dan suara parau). Bila terkena N.XII terjadi

deviasi lidah kesamping gangguan menelan.

III. Gejala-gejala karena metastase melalui aliran getah bening :

Terjadi pembesaran kelenjar leher yang terletak dibawah ujung planum mastoid,

dibelakang angulus mandibula, medial dari ujung bagian atas m.stornocleido

mastoideus, bisa unilateral dan bilateral

IV. Gejala-gejala karena metastase melalui aliran darah :

Maka akan terjadi metastase jauh antara lain hati, paru-paru, ginjal, limpa, tulang dan

sebagainya.

GEJALA-GEJALA DIATAS DAPAT DIBEDAKAN ANTARA :

- Gejala Dini : ialah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu tumor masih

tumbuh dalam batas-batas nasofaring, jadi berupa gejala-gejala setempat yang

disebabkan oleh tumor primer (gejala-gejala hidung dan gejala-gejala telinga

seperti diatas)

- Gejala Lanjut : ialah segala gejala-gejala yang dapat timbul oleh karena tumor

telah tumbuh melewati batas-batas nasofaring, baik berupa metastase ataupun

infiltrasi dari tumor.

F. PATOGENESIS

Di daerah endemik, infeksi EBV terutama berkaitan dengan KNF subtipe WHO-2 dan

8

Page 9: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

WHO-3, sedangkan untuk subtipe WHO-1 masih menjadi perdebatan.

Virus Epstein-Barr yang ditransmisikan melalui saliva yang terinfeksi ke tempat

pertama infeksinya, yaitu sel-sel epitel orofaring akan memasuki sel, bersifat menetap

(persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (long life). Hal ini membuat sel

yang terinfeksi menjadi immortal melalui induksi transformasi pertumbuhan yang

permanen.

GAMBAR 2 Proses infeksi Epstein-Barr virus (EBV)

Infeksi EBV yang laten dan persisten tersebut pada KNF menunjukkan pola laten tipe

II yang ditandai dengan ekspresi EBV nuclear antigen (EBNA) -1, latent membrane

protein (LMP) -1, 2 dan EBV- encoded RNA (EBER). LMP-1 merupakan gen laten

EBV yang pertama ditemukan yang dapat mentransformasi galur sel dan merubah

fenotip sel karena potensial onkogeniknya. LMP-1 merupakan onkogen virus yang

mirip reseptor permukaan sel yang dapat mencegah sel yang terinfeksi EBV dari

apoptosis dengan menginduksi protein anti-apoptotik seperti BCL-2, A20 dan MCL-

1. LMP-1 juga terlibat dalam jalur pensinyalan yang mengatur proliferasi sel dan

9

Page 10: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

apoptosis yaitu memicu progresifitas dan proliferasi sel melalui siklus sel (fase G1/S)

dan inhibisi apoptosis.[7, 8, 9]

G. HISTOPATOLOGI

Makroskopik

Kebanyakan tumor muncul di dinding lateral nasofaring, paling utama muncul di

fossa Rossenmuller. Kebanyakan lesi exophytic (sekitar 75%), dengan beberapa jenis

ulserative (sekitar 10%). Biasanya permukaannya rata dan halus, dan terlihat seperti

nodul yang muncul dari mukosa. Metastasis ke nodul limfe cervical juga umum

ditemukan.[10]

World Health Organization (2005)

1. Keratinizing squamous cell carcinoma

(Karsinoma sel skuamosa

berkeratinisasi)

2. Non-keratinizing carcinoma

(Karsinoma tidak berkeratinisasi)

- Differentiated type (tipe

berdiferensiasi)

- Undifferentiated type (tipe tidak

berdiferensiasi)

3. Basaloid squamous cell carcinoma

Mikroskopik

Tipe I Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi

Squamous cell carcinoma digunakan ketika lesi menunjukkan defferensiasi skuamosa

yang jelas dengan hanya dilihat secara mikroskopis, adanya jembatan antas cell dan

keratinisasi pada kebanyakan lesi, dan bisa juga diukur seberapa besar

difesensiasinya. Tumor tumbuh seperti pulau-pulau yang tidak teratur dipisahkan oleh

stroma desmoplastic dan dengan berbagai jumlah limfosit, sel plasma, neutrofil, dan

eosinofil. Perbatasan sel yang berbeda-beda, dipisahkan oleh jembatan antar sel. Area

keratinisasi dapat terlihat. Intinya biasanya hiperkromatik. Jika diinduksi oleh radiasi,

10

Page 11: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

maka tidak ada asosiasi dengan EBV. Namun, jika tidak ada hubungan radiasi,

mereka cenderung memiliki jumlah EBV yang lebih rendah.

TIPE II Karsinoma non-keratinisasi

Karsinoma non-keratinisasi adalah KNF klasik . Ada dua jenis: berdiferensiasi dan

tidak berdiferensiasi. Ada lembar solid syncytial muncul, sel-sel tumor besar diatur

dalam pulau-pulau yang tidak teratur dan trabekula karsinoma, dan erat bercampur

dengan unsur inflamasi. Sering ada tumpang tindih seluler. Kromatin nukleus

vesikular, menonjolkan nukleolus menonjol. Kromatin nukleus rasio sitoplasma

dengan sitoplasma amphophilic. Kadang-kadang tumor mungkin memiliki daerah

epitel transisional. Sekelompok epitel didefinisikan dengan baik yang disebut pola

Regaud, sementara sel-sel tunggal dalam tidak jelas lembar disebut pola

“Schmincke”. Mencoba untuk memisahkan non – keratinisasi menjadi tipe

berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi sulit untuk dilakukan dan tidak memiliki

makna klinis atau perkiraan prognosis.[10]

GAMBAR 3 Karsinoma sel skuamosa menunjukkan jembatan antarsel yang menonjol, keratinisasi dan pola pertumbuhan infiltratif. Tumor diklasifikasikan sebagai keratinizing karsinoma sel skuamosa.

11

Page 12: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

TIPE III Karsinoma sel skuamosa basaloid

Karsinoma sel skuamosa basaloid berisi neoplasma basaloid dengan area fokus

diferensiasi skuamosa, karsinoma sel skuamosa in situ atau karsinoma sel skuamosa

invasif. Hanya ada beberapa kasus yang dilaporkan , sehingga diskusi bermakna nilai

klinis yang terbatas.

Biasanya EBV ditemukan dalam jenis non - keratinisasi daripada jenis KNF yang

berkeratinisasi. Secara umum, in-situ hibridisasi atau polymerase chain reaction

(PCR) diperlukan untuk mendokumentasikan EBV tersebut, karena EBV - LMP

biasanya tidak cukup untuk menentukan KNF. RNA awal EBV (EBER: Epstein Barr

early RNA) adalah analisis yang paling sensitif dan spesifik yang tersedia saat ini.

H. STADIUM

I. STAGE T N M

0 T1s No M0

I T1 N0 M0

IIA T2a N0 M0

IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0, N1 M0

III T1 N2 M0

T2a, T2b N2 M0

T3 N2 M0

GAMBAR 4 Karsinoma non-

keratinisasi menunjukkan

gambaran sitologi. Inti berkisar

dari ringan sampai vesikular

granular. Nukleolus terlihat

dominan banyak. Ada rasio

tinggi nucleus terhadap

sitoplasma. Sel-sel inflamasi

yang diidentifikasi dalam sel

tumor.

12

Page 13: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

IVA T4 N0, N1, N2 M0

IVB Semua T N3 M0

IVC Semua T Semua N M1

System TNM menurut UICC (2002)

T = tumor primer

T0 – tidak tampat tumor

T1 – tumor terbatas di nasofaring

T2 – tumor meluar ke jaringan lunak

T2a: perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke

parafaring*

T2b: disertai perluasan ke parafaring

T3 – tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 – tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial,

fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator

* = perluasan parafaring menunjukan infiltrasi tumor ke arah postero-lateral melebihi

fasia faring basilar

N = pembesaran kelenjar getah bening regional

NX – pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 – tidak ada pembesaran

N1 – metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau

sama dengan 6cm di atas fossa supraklavikula

N2 – mesatasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau

sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N3 – metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6cm

atau terletak di dalam fossa supraklavikula

N3a: ukuran lebih dari 6cm

N3b: didalam fossa supraklavikula

Kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral

13

Page 14: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

M = metastasis jauh

Mx – metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 – tidak ada metastasis jauh

M1 – terdapat metastasis jauh

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG[11,12]

1. Nasofaringoskopi

2. Biopsy

3. CT scan

4. MRI

5. Foto polos

6. USG

7. Pemeriksaan laboratorium:

- Pemeriksaan darah rutin

- Titer virus Epstein-Barr

- Pemeriksaan serologi IgA dan IgG

Titer IgA VCA (viral capsid antigen dari EBV)

K. DIAGNOSIS

Metode diagnosis[13]

1. Evaluasi klinis dari ukuran dan lokasi kelenjar getah bening leher.

2. Nasopharyngoscopy indirect untuk menilai itu tumor primer.

3. Pemeriksaan neurologis dari saraf kranial.

4. PET / Computed tomography (CT) / Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan

dari kepala dan leher ke bawah clavicula untuk menilai itu dasar erosi

tengkorak.

5. Foto thoraks (anteroposterior dan lateral) untuk melihat apakah NPC telah

menyebar ke paru-paru.

6. Bone scintigrafi oleh Tc 99 diphosphonate untuk menunjukkan apakah kanker

telah menyebar ke tulang.

7. Hitung darah lengkap.

8. Urea, elektrolit, kreatinin, fungsi hati, Ca, PO4, alkali fosfat.

9. EBV virus kapsid antigen dan EBV DNA.

14

Page 15: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

10. Biopsi tumor atau kelenjar getah bening primer untuk pemeriksaan histologis.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsy dapat

dilakukan dengan 2 cara, dari hidung atau dari mulut. Biopsy melalui hidung

dilakukan tanpa melihat tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui

rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke

lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan

melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem

bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari

hidung sebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke katas. Kemudian dengan kaca

alring dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca

tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulu, massa tumor

akan terlihat lebih jelas. Biopsy tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan

analgesi topukal dengan xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum

mendapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengenrokan dengan kuret

daerah lateral nasofaring dalam narcosis.[12]

PET scan dengan FDG (2-[Fluorine-18]fluoro-2-deoxy-D-glucose) bisa menunjukkan

adanya tumor primary yang tidak diketahuin pada 30-50% pasien dengan metastasis

ke nodul limfe di leher yang awalnya tidak diketahui tumor primernya. Namun,

ukuran tumor bisa terlihat membesar karena fenomena radiasi menyebar radiasi di

PET scan dengan FDG. Diagnosis yang akurat tumor dapat dilakukan dalam tiga

dimensi konformal radioterapi. Penggunaan citra fusi antara FDG PET dan MRI / CT

dapat memberikan gambaran target yang baik dalam perencanaan radioterapi kanker

kepala dan leher. Hasil negatif palsu dengan FDG PET / CT dapat terjadi dalam

kondisi berikut: [14]

1. Dipindai terlalu dini setelah selesainya dari kemoterapi atau terapi radiasi

2. Keganasan hadir dalam struktur dengan metabolism fisiologi yang

3. Ukuran tumor di bawah resolusi PET / CT scanner

4. Tumor rendah kepadatan sel atau tingkat metabolisme rendah FDG . Tertunda

tampilan dengan lama waktu emisi yang dapat membantu untuk mendeteksi

tumor.

F - FDG PET / CT memiliki keuntungan yang jelas untuk dapat menilai seluruh tubuh

15

Page 16: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

untuk metastasis di satu pemeriksaan dan , pada saat yang sama , menilai tumor

primer dan kelenjar getah serviks.[14]

Dengan CT-scan kepala dan leher, dapat terlihat massa. Seberapa besar massa, erosi

dasar tengkorak dan limfadenopati cervical. CT scan thorax juga dapat dilakukan

untuk melihat apakah ada metastasis atau tidak

Dengan pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan Waters

menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring dan bias melihat apakah ada

desakan massa ke tulang. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi

tulang di daerah fossa serebri media. MRI dapat dilakukan apabila ada kecurigaan

adanya penyebaran ke intracranial.[12]

GAMBAR 5 Hasil nasoendoskopi

dan CT scan menunjukkan adanya

massa di nasofaring

16

Page 17: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

L. DIAGNOSIS BANDING

1. Juvenile Angiofibroma nasofaring

2. Angiofibroma nasofaring

3. Adenoid persisten

4. TBC nasofaring

M. PENATALAKSANAAN

Stadium I: Radioterapi

Stadium II & III: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N <6 cm: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N >6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan

kemoradiasi

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan

megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan

dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, factor transfer, interferon,

kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus.

Semua pengobatahn tambahan ini masih tetap terbaik sebagai terapu ajuvan

(tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan. Yang terbaik saat ini adalah

kombinasi dengan cis-platinum sebagai inti.

Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini

sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian

pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin

dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan

harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C

dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat

radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total

pasien KNF.[12]

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher

yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah

penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan

dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau

kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat

17

Page 18: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

operasi

Radioterapi pada Kanker Nasofaring [15]

Radioterapi mencegah pertumbuhan dan pembelahan sel dengan sangat cepat.

Radioterapi berbeda dengan radiologi, dimana radiologi hanya sebagai alat bantu

untuk menegakkan diagnosa sedangkan radioterapi sebagai metode pengobatan.

Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan nasofaring dan kelenjar getah bening

pada leher. Daerah kelenjar getah bening juga diradiasi apabila kanker secara klinis

ataupun secara radiologi melibatkan daerah tersebut atau apabila ada resiko terjadi

penyebaran ke daerah tersebut.

1. Mekanisme Kerja

Radioterapi menggunakan radiasi ion. Radiasi ion dibagi menjadi 2 yaitu, corpuscular

dan elektromagnetik. Radiasi corpuscular ini berupa elektron, proton, dan neutron,

sedangkan radiasi elektromagnetik berupa sinar-X dan sinar gamma. Radiasi

elektromagnetik sering disebut dengan photon. Pada praktek klinis, umumnya

radioterapi seluruhnya menggunakan photon.

Radiasi ion bekerja pada DNA sel kanker untuk menghilangkan kemampuan

reproduktifitas sel. DNA sel berduplikasi selama mitosis, sel dengan tingkat aktifitas

mitotik yang tinggi lebih radiosensitif dibandingkan dengan sel dengan tingkat

aktifitas mitotik yang lebih rendah. Radioterapi bekerja dengan merusak sel DNA

kanker. Kerusakan ini disebabkan oleh photon, elektron, proton, neutron, atau sinar

peng-ion yang secara langsung ataupun tidak langsung mengionisasi atom yang

membentuk rantai DNA.

Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh

baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+

dan OH-

yang sangat

reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat

terjadi :

-  Rantai ganda DNA pecah

18

Page 19: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

-  Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA

-  Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel

Sel-sel yang masih bertahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNAnya

sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari

sel kanker sehingga sel-sel kanker lebih banyak yang tetap rusak dan mati

dibandingkan dengan sel-sel normal. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk

radioterapi pada kanker.

2. Dosis Radiasi

Radiasi kuratif diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita

dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, kelenjar getah bening

leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600- 7000 rad

dengan fraksi 200 rad, 5x pemberian per minggu, sekali sehari. Setelah dosis 4000 rad

medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran klavikular

dikeluarkan.

Radiasi paliatif diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal.

Dosis radiasi untuk metastasis tulang adalah 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5x per

minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.

3. Tekhnik Radioterapi

Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis

histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif, atau paliatif. Penderita

juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya

diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek

samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan

laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum

yang buruk, gizi kurang atau demam tidak dibolehkan untuk radiasi kecuali pada

keadaan yang mengancam hidup penderita seperti obstruksi jalan makanan,

perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan

19

Page 20: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

umum penderita. Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%,

jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3, dan trombosit 100.000 per uL.

Penentuan batas-batas lapangan radiasi merupakan salah satu langkah yang terpenting

untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah

tumor primer dan sekitarnya (daerah yang berpotensi adanya penjalaran) serta

kelenjar-kelenjar getah bening regional.

Ada 2 cara utama pemberian radioterapi, yaitu

- Radiasi eksterna / teleterapi

Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar

tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Radiasi ini ditujukan

pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada

daerah aliran getah bening leher atas dan bawah serta klavikula.

- Radiasi interna / brakiterapi

Sumber radiasi dimasukkan ke dalam rongga nasofaring pada tempat tumor

berada atau berdekatan dengan tumor guna memberikan dosis maksimal pada

tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat

di sekitarnya. Terapi ini diberikan pada kasus yang telah memperoleh dosis

radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau

pada kasus kambuh lokal.

4. Respon Radiasi

Setelah diberikan terapi radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap

radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan

tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO, yaitu

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap- Progressive disease

: ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih

20

Page 21: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

Photodynamic therapy (PDT)/Terapi Fotodinamik

Terapi fotodinamik pada KNF dilakukan dengan cara menginjeksi obat fotosensitif

secara intravaskuler. Lalu massanya diiluminasi dengan laser nonthermic sehingga

terjadi produksi radikal oksigen aktif yang akhirnya membunuh sel local. Kedalaman

terapi yang efektif oleh PDT dengan generasi kedua fotosensitizer adalah 10mm.

dengan aplikator khusus, nasofaring dapat diuliminasi secara bersamaan dengan

memproteksi palatum molle. Biasanya satu terapi sudah adekuat, dan bisa dilakukan

pada pasien rawat jalan dengan anastesi local. Karena tidak ada efek yang

terakumulasi dari penggunan PDT, maka terapi ini dapat dilakuakan berulang kali.[16]

Memonitor Terapi dan Follow Up

Terapi radiasi sering diberikan pada pasien rawat jalan. Tindak lanjut diperlukan

setelah semua radiasi dan kemoterapi telah diberikan.

Pasien dievaluasi setiap 3 bulan selama tahun pertama dan setiap 6 bulan selama

tahun kedua dan ketiga setelah perawatan. Setelah itu, tindak lanjut yang diperlukan

setiap tahun.

Pemeriksaan fisik dan sejarah rinci harus dilakukan dengan setiap kunjungan.

Pencitraan dari kepala dan leher (CT atau MRI), CT dada, dan tulang scan/positron

emission tomography (PET), (jika positif di situs metastasis jauh pada diagnosis)

biasanya dilakukan setiap 3 bulan untuk tahun pertama dan kemudian setiap 6 bulan

untuk 2 tahun ke depan setelah terapi selesai untuk menilai respon.

Pemeriksaan gigi sebelum radioterapi dan secara rutin setelah terapi dianjurkan

karena kemungkinan karies dan kesehatan gigi yang buruk. Osteonekrosis mandibula

merupakan komplikasi yang jarang radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan

gigi yang tepat.

Seperti banyak anak-anak yang mengalami kelainan endokrin setelah pengobatan,

skrining pengujian untuk hipotiroidisme, kekurangan hormon pertumbuhan, dan

21

Page 22: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

gangguan sumbu adrenal harus terjadi secara sering setelah selesai terapi.[17]

N. KOMPLIKASI

Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari

leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan

hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi

sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat

terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi

dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada

pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk

menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka

radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat

O. PROGNOSIS

Prognosis KNF secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan metastasenya.

Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada yang non

keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih

sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai

limfadenopati stadium lanjut, tipe histologic karsinoma skuamosa berkeratinasi.

Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut,usia

lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit

putih.[12]

P. PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko

tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak

makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan

sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan- kemungkinan

faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti

EA bermanfaat dalam menemukan KNF lebih dini.[12]

22

Page 23: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

BAB IV

PENUTUP

Tumor nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan

predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring . Merupakan tumor  daerah

kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini cukup sulit

karena letakya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital.

Dengan gejalan yang dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu gejala nasofaring sendiri,

berupa epistaksis ringan, pilek, atau sumbatan hidung, kemudian gejala telinga,

berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga, juga gejala saraf, berupa

gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia daerah pipi, neuralgia trigeminal,

paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering tersedak dan juga

gejala atau metastasisi dileher, berupa benjolan di leher.

Penyakit ini dapat ditatalaksana secara radioterapi yang merupakan pilihan terbaik

sambil ditambah dengan kemoterapi setelah didiagnosis, dengan prognosis baik

apabila pasien masih pada stadium awal dengan factor resiko yang minimal, maka

prognosis akan menjadi sebaliknya bila stadium sudah sampai pada stadium akhir

dengan factor resiko yang banyak.

23

Page 24: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

DAFTAR PUSTAKA

1. Japaris, Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam: Onkologi Klinis. Jakarta :

FKUI. 2008. Hal : 263-278

2. Roezin A, Adham M. 2012. Karsinoma Nasofaring. In: Buku Ajar Ilmu

Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala & Leher. Soepardi EA,

Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. eds. 2012. 7th ed. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p. 158.

3. Paulino AC, Arceci RJ. Nasopharyngeal Cancer.

http://emedicine.medscape.com/article/988165 (accessed 10 December

2013).

4. Water TRVD, Staecker H. Otolaryngology Basic Science and Clinical

Review. New York: Thieme; 2005;95.

5. Water TRVD, Staecker H. Otolaryngology Basic Science and Clinical

Review. New York: Thieme; 2005;141.

6. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 2006;4th ed;232-4.

7. Yenita AA. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1Virus Epstein-Barr

dengan P53 pada Karsinoma NAsofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal

Kesehatan Andalas. 2012; 1(1)

8. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal

24

Page 25: REFERAT KARSINOMA NASOFARING

Carcinoma. In: Nasopharyngeal Cancer: Multidisciplinary Management. 2012. Springer. P. 12

9. Chang ET, Adami HO. The Enigmatic epidemiology of Nasopharyngeal

Carcinoma. Cancer Epidemiology Biomarkers Prevention 2006;15;1765-

1777.

10. Thompson LDR. Update on Nasopharyngeal Carcinoma. Head and Neck

Pathology 2007;1;82-83.

11. Roezin A, Adham M. 2012. Karsinoma Nasofaring. In: Buku Ajar Ilmu

Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala & Leher. Soepardi EA,

Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. eds. 2012. 7th ed. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p. 163.

12. Paulino AC, Arceci RJ. Nasopharyngeal Cancer.

http://emedicine.medscape.com/article/988165-workup (accessed 10

December 2013).

13. Brennan B. Review Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare

Diseases. 2006;1:23.

14. AD, Ma BB, Yau YY, Zee B, Leung SF, Wong JKT, et al. The impact of 18

F-

FDG PET/CT on assessment of nasopharyngeal carcinoma at diagnosis. The

British Journal of Radiology 2008;81;291–298.

15. Asroel, Harry A. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring.

http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf (accessed 23 December

2013).

16. Stoker SD, van Diessen JNA, de Boer JP, Karakullukcu B, Leemans CR, Tan

IB. Current Treatment Options for Local Residual Nasopharyngeal

Carcinoma. Current Treatment Options in Oncology (2013) 14:475–491.

17. Paulino AC, Arceci RJ. Nasopharyngeal Cancer.

http://emedicine.medscape.com/article/988165- -followup#a2645 (accessed

10 December 2013).

25