REFERAT HIPERBARIK

24
REFARAT PENGARUH OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP KARSINOMA NASOFARING Disusun oleh : Nevan Bayu Sunggoro 2008.04.0.0084 Marta Wangsadinata Wong 2009.04.0.0064 KEPANITERAAN KLINIK LAKESLA PERIODE 2 DESEMBER – 15 DESEMBER 2013

description

hiperbarik

Transcript of REFERAT HIPERBARIK

REFARATPENGARUH OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh :Nevan Bayu Sunggoro2008.04.0.0084Marta Wangsadinata Wong2009.04.0.0064

KEPANITERAAN KLINIK LAKESLA PERIODE 2 DESEMBER 15 DESEMBER 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAHSURABAYAA. Karsinoma NasofaringI. PENDAHULUANKarsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besartumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempatpertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). II. ANATOMITumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.

III. EPIDEMIOLOGI dan ETIOLOGI

Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1, dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.Distribusi umurpasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya.Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura,dan Indonesia.Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Selain itu Banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi timbulnya karsinoma nasofaring seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, pekerjaan, lingkungan kebiasaan hidup, kebudayaan, social ekonomi, dan lain-lain.Kebiasaan mengkonsumsi ikan asin, merokok, terkena paparan asap polutan seperti asap rokok, dupa, bahan kimia, ventilasi yang buruk, dan masih banyak lagi merupakan faktor resiko timbulnya karsinoma nasofaring.

IV. PATOFISIOLOGIKarsinoma NasofaringLingkunganGenetikEBV

1. Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkanbeberapa kemungkinan yaitu : Sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau Virus epstein-barr yang menginfeksi sel dapatmengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.2. Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki agregasi familial.3. Ikan asin dan makanan lain yang diawetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP), yang mungkin merupakan faktorkarsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkenapaparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

V. MANIFESTASI KLINISGejala di bagi dalam empat kelompok : 1. Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek, atau sumbatan hidung. 2. Gejala telinga berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga.3. Gejala saraf berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia daerah pipih, neuralgia trigeminal, paresis/paralysis arkus faring, kelumpuhan otot bahu dan sering tersedak.4. Gejala di leher berupa benjolan. Komplikasi berupa metastasis jauh ke tulang, hati, dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang, batuk-batuk dan gangguan fungsi hati

VI. DIAGNOSAPersoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit untuk ditemukan.Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EBV telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama ujung kateter yang ada di hidung. Biopsi carcinoma nasofaring umumnya menggunakan analgesik topikal dengan Xylocain 10%.VII. KLASIFIKASIKlasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi (radiosensitive)

VIII. PROTOKOL PENANGANAN KNFProtokol penanganan KNF yang diajukan oleh Brennan (2003) sebagai berikut: Stadium I : Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di daerah leher Stadium Il : 1. Kemo-radioterapi, atau : 2. Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di leher Stadium III: 1. Kemo-radioterapi, atau : 2. Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (bila ada) : 3. Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan misalnya pada tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. Stadium IV : 1. Kemo-radioterapi, atau : 2. Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (klinis positip) : 3. Diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. : 4. Kemoterapi untuk KNF stadium IV CIX. RADIOTERAPI KNFRadioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan utama untuk penderita KNF (Hsu, 1982, Chew, 1987; Sham, 1990; Susworo, 1990; Fu, 1993; Hussey, 1993; Suhartati, 1999). Radioterapi sebagai terapi utama untuk KNF yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan diharapkan dapat memperbaiki kuaiitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup penderita: KNF termasuk dalam golongan penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran (radiocurable), terutama bila masih dini (stadium I, II).Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk KNF terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis kebanyakan (75%-95%) KNF dari jenis karsinoma undifferensiated (WHO tipe 3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO tipe 2) yang sangat radiosensitif (Shanmugaratnam, 1988).Alasan lainnya adalah faktor anatami nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor (free margin) sangat sulit dikerjakan (Bailet, 1992; Neel, 1993).X. RESPON TUMOR TERHADAP RADIASIRespon tumor terhadap radioterapi yang diberikan bervariasi, rata-rata respon secara keseluruhan (overall response rate / ORR) sekitar 25% - 65%..Respon radioterapi untuk KNF stadium dini sangat baik yaitu complete local clearence (RL) untuk T1 sebesar 96% dan T2 sebesar 88% (Ali dan Al Sarraf, 1999). Pada KNF stadium lanjut, kegagalan radioterapi dalam memberantas sel kanker secara lokal maupun regional (loco-regional failure) sangat tinggi yaitu sekitar 40% - 80% (Sham, 1989; Sarraf, 1990; Ali dan Al Sarraf, 1999).

XI. PROGNOSISAngka ketahanan hidup 5 tahun pasca radioterapi konvensional untuk KNF stadium dini (I, II) cukup tinggi yaitu 76% (Hoppe, 1976). Sedangkan untuk KNF stadium lanjut loko-regional, kurang dari 40% (Tan et al, 1997; Prasad, 2000).

XII. FOLLOW UPTidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, karsinoma nasofaring mempunyai resiko terjadinya rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan sering terjadi antara 5-10 tahun, sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi.

B. PERAN OKSIGEN HIPERBARIK DALAM PENGOBATAN KANKER I. PENDAHULUANKeadaan yang hipoksia adalah suatu ciri khas daripada solid tumor yang menyebabkan tumor mengalami pertahanan diri, angiogenesis, metabolisme glycolytic, dan metastasis.Terapi oksigen hiperbarik (OHB) telah banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit yang disebabkan kondisi hipoksia dan iskemia, dengan merangsang kelarutan oksigen didalam plasma dan meningkatkan pengiriman O2 kedalam jaringan. Tumor yang hipoksia berkembang dikarenakan kelainan struktual dan fungsional dari pembuluh darah tumor sehingga menyebabkan tumor dapat beradaptasi dengan kondisi tersebut untuk meningkatkan pasokan oksigenDulunya hipoksia dipercaya sebagai faktor yang membatasi pertumbuhan tumor dengan mengurangi kemampuan dari sel untuk membelah. Namun, akhir-akhir ini dilaporkan bahwa hipoksia berperan dalam patofisiologi yang menyebabkan pertumbuhan tumor. Hipoksia dilaporkan memberikan respon seluler yang akan meningkatkan oksigenasi viabilitas yang menyebabkan terjadinya angiogenesis, dan perubahan metabolisme dengan meningkatkan glikolisis dan regulasi gen yang berperan dalam apoptosis/pertahanan tumor. Hipoksia juga dilaporkan meningkatkan ketidakstabilan genetik, mengaktifkan pertumbuhan yang invasive, dan menyebabkan kondisi yang tidak stabil dari sel. Pada kondisi hipoksia dilaporkan telah menginduksi transisi sel kanker dari sel epitel ke mesenkimal yang menyebabkan sel kanker menjadi invasive dan metastasis.

II. OKSIGEN HIPERBARIKOksigen hiperbarik (OHB) adalah suatu cara terapi dimana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, bernafas dengan oksigen pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA yang dilakukan didalam suatu ruang udara bertekanan tinggi (Mahdi, 2009). Efek terapeutik oksigen hiperbarik adalah pada tekanan 2-3 ATA. Penelitian dengan hewan coba dengan tekanan > 3 ATA menunjukkan gangguan neurologis berupa kejang (Jain, 1990).Terapi oksigen hiperbarik menyebkan oksigen larut dalam plasma, dengan meningkatkan transfer O2 melalui hemoglobin. Seperti pada jaringan normal, PO2 pada jaringan kanker juga akan meningkat selama paparan OHB. Elevasi dari PO2 secara klinis dapat terlihat 30 menit setelah paparan OHB. Terapi hiperbarik memiliki berbagai macam efek terhadap tubuh manusia. Salah satunya adalah Melancarkan supply oksigen ke berbagai tempat dalam tubuh yang membutuhkan atau bisa juga dengan pembentukan pembuluh darah baru atau disebut juga neovaskularisasi. Hal ini dapat mengubah keadaan hipoksia menjadi hiperoksia dengan terapi hiperbarik. Keadaan hipoksia terjadi pada berbagai proses patologis seperti stroke, jaringan iskemik, inflamasi, serta pertumbuhan tumor. Oksigen juga dipercaya berperan dalam perbaikan luka, sehingga lebih tahan terhadap infeksi, mengaktifkan fibroblast, deposisi kolagen, angiogenesis, dan epitelisasi. Dan yang selama ini masih ditakutkan adalah efek HBO dalam meningkatkan proliferasi sel kanker. Nyatanya, setelah dilakukan penelitian secara eksperimental dan klinis dengan menggunakan berbagai tipe sel kanker yang berbeda dengan atau tanpa terapi tambahan, OHB tidak menyebabkan pertumbuhan sel kanker, dan penggunaan OHB pada pasien dengan keganasan adalah aman.

III. OKSIGEN DAN ANGIOGENESIS TUMOR1) Pada dasarnya oksigen memang berperan dalam proses angiogenesis sehingga mempercepat penyembuhan luka, sehingga kita berpikir bahwa apabila tumor terpapar oksigen maka akan mempercepat angiogenesis pada tumor yang menyebabkan tumor bertambah ganas. Nyatanya proses angiogenesis pada jaringan yang luka dan angiogenesis pada tumor berbeda dalam beberapa jalur.2) Perbedaanya terdapat pada makrofag di jaringan luka vs tumor. Di jaringan luka, makrofag berperan utama dalam menginduksi proses angiogenesis. Di tumor, makrofag hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor yang lain, dimana mayoritas berasal dari populasi sel tumor dan stroma di sekelilingnya.3) Tekanan O2 dalam OHB yang diperlukan untuk sintetis kolagen dan hidroksilasi pada proses penyembuhan luka hipoksia yang kronis hanya berkisar 30-40 mmHg dan disini terapi OHB hanya sebagai adjuvant. Mekanisme yang sama tidak dijumpai pada pembentukan tumor stroma.4) Proses angiogenesis tumor dan jaringan luka biasa berbeda dalam hal : Dimana pada jaringan yang luka terdapat negative space, sehingga pada proses penyembuhannya membutuhkan jaringan baru untuk mengisi negative space tersebut, sedangkan untuk sel tumor biasanya sudah tumbuh pada jaringan yang sudah ada, sehingga pertumbuhan sel tumor membutuhkan kolagen untuk melarutkan membrane basal dan jaringan normal sehinggan sel-sel tumor dapat berkembang dan proliferasi. Proliferasi jaringan baru pada proses penyembuhan luka diatur oleh negative feedback yang membatasi pertumbuhan jaringan baru apabila sudah cukup. Tetapi pada proliferasi sel tumor tidak diatur oleh negative feedback sehingga menyebabkan pertumbuhan sel tumor tidak terkontrol. Proses neovaskularisasi (arteri-arteriol-kapiler-venule-vena) pada sel tumor terganggu dan berbeda dengan jaringan yang mengalami luka biasa. Pada tumor terdapat kapiler dan arteriovenous yang besar tanpa kapiler penghubung, sehingga darah mengalir dari satu vena ke vena yang lain.

IV. OHB dan KARSINOMA NASOFARINGRadioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan utama untuk penderita KNF (Hsu, 1982, Chew, 1987; Sham, 1990; Susworo, 1990; Fu, 1993; Hussey, 1993; Suhartati, 1999). Radioterapi sebagai terapi utama untuk KNF yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan diharapkan dapat memperbaiki kuaiitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup penderita: KNF termasuk dalam golongan penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran (radiocurable), terutama bila masih dini (stadium I, II). Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk KNF terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis kebanyakan (75%-95%) KNF dari jenis karsinoma undifferensiated (WHO tipe 3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO tipe 2) yang sangat radiosensitif (Shanmugaratnam, 1988). Alasan lainnya adalah faktor anatami nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor (free margin) sangat sulit dikerjakan (Bailet, 1992; Neel, 1993). Radiasi eksterna (teleterapi) pada KNF stadium loko-regional harus diberikan dengan dosis yang cukup tinggi (sekitar 7000 cGy), ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan daerah perluasan maupun metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Radioterapi dikatakan berhasil bila tercapai eradiasi semua sel kanker yang viable (Djakaria, 1989; Hussey, 1993).Penggunaan OHB dengan radioterapi dimaksudkan untuk 2 hal : (1) sebagai terapi untuk luka akibat radioterapi (2) sebagai radiosensitizer untuk meningkatkan efek radioterapi.Radioterapi bisa mematikan sel secara langsung dan tidak langsung. Efek radiasi terbagi 3 yaitu : efek segera, intermedia, dan efek lambat. Radioterapi menyebabkan jaringan mengalami jejas termis berulang yang diiringi oleh respon jaringan terhadap jejas berupa repair-redistribusi-repopulasi-reoksigenasi. Jaringan tumor akan mati, sedangkan jaringan normal akan tetap bertahan. Efek sampingnya jaringan yang hidup yang mendapat radiasi dosis tinggi akan mengalami hipoksia, hiposelular, dan hipovaskular.

V. PENELITIAN HUBUNGAN OHB DALAM TREATMENT KARSINOMA NASOFARINGBerbagai penelitian menunjukkan bahwa keadaan hipoksia mengakibatkan tumor menjadi resisten terhadap terapi radiasi dan kemoterapi. Keadaan hipoksia mengakibatkan peningkatan dari metabolism sel tumor, angiogenesis, pertumbuhan serta metatastasis tumor (Jessica Bertout, 2008).Terapi hiperbarik meningkatkan sensitifitas radioterapi untuk membunuh sel kanker. Penelitian menunjukkan bahwa terapi Hiperbarik dapat menurunkan angka mortalitas dan rekurensi pada pasien dengan keganasan pada kepala dan leher (Bennet M, 2005).Radioterapi dapat menyebabkan perubahan suplai oksigen ke jaringan yang terkena efek radioterapi. Hal ini dikarenakan radioterapi member pengaruh tidak hanya pada sel kanker, tapi juga sel normal di sekitar sel kanker. Hal ini menyebabkan terjadinya resiko nekrosis akibat kurangnya pasokan oksigen. Terapi hiperbarik meningkatkan suplai oksigen ke daerah tersebut, sehingga terjadi neovaskularisasi dan jaringan tersebut dapat disembuhkan (Macmillian, 2013).Penelitian membandingkan antara pasien kanker kepala leher post radioterapi yang diberi terapi hiperbarik dengan tidak diberi terapi hiperbarik. Hasilnya terjadi penurunan angka kekambuhan serta berkurangnya efek samping radioterapi pada pasien yang diterapi dengan terapi hiperbarik (Quoc Chuong, 2004). Percobaan pada tikus yang ditanam tumor di daerah abdomen dengan menggunakan terapi hiperbarik tanpa disertai dengan terapi radioterapi dengan tekanan 2,1 ATA dalam waktu 90 menit per hari selama 8 hari menyatakan tidak ada perubahan dari tumor (Schonmeyr, 2008). Penelitian utnuk menyembuhkan salah satu efek samping radioterapi pada pasien carcinoma nasofaring yaitu mandibular necrosis dengan terapi hiperbarik pada tekanan 1,9 2,5 ATA menunjukkan keberhasilan yang tinggi pada tekanan 2,4 ATA dalam waktu 90 menit (Wrefford Brown, 2003).Penelitian untuk melihat efek terapi hiperbarik dikombinasikan dengan kemoterapi (menggunakan obat 5-Fluorouracil) terhadap proliferasi dan metastasis karsinoma nasofaring menunjukkan hasil bahwa pengobatan OHB sederhana setelah 48 jam dan 72 jam dapat menghambat proliferasi sel karsinoma nasofaring, selain itu terdapat sinergisme antara terapi hiperbarik dengan pemberian 5-FU setelah 48-72 jam pengobatan dalam menghambat proliferasi sel kanker nasofaring (Peng Zheng, 2008).

VI. PEMBAHASANSampai saat ini pemberian radioterapi merupakan gold standart bagi pasien yang menderita karsinoma nasofaring, terutama mereka yang menderita stadium dini (stadium 1 dan 2), dikarenakan pada stadium ini, tumor bersifat radiosensitif . Efek radioteapi bagi pasien yang menderita karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi dua; (1) Manfaat pada pasien post radioterapi; kita mengetahui bahwa terkadang jaringan yang awalnya normal dan tumbuh di sekitar sel kanker akan terkena efek radiasi dan menjadi rusak akibat hipoksia, hiposeluler, dan hipovaskular, khususnya bagi pasien yang menjalani radioterapi. OHB disini berperan untuk menyembuhkan luka pada jaringan normal yang rusak akibat radiasi melalui mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel endotel. Padas el endotel ini OHB juga meningkatkan intermediet vascular endothelial growth faktor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH yang memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, yang merupakan salah satu tahap dalam proses penyembuhan luka. Manfaat (2) OBH meningkatkan sensitivitas radioterapi, karena pada saat hipoksia sensitivitas sel tumor menurun, sehingga dengan OHB yang meningkatkan perfusi akan tercipta kondisi hiperoksia yang menyebabkan sensitivitas el tumor meningkat.Pengobatan pasien dengan stadium 3 dan 4, terapinya berbeda dengan pasien stadium 1,2. Tidak hanya berfokus pada pemberian radioterapi, tetapi juga harus dikombinasikan dengan obat-obatan kemoterapi dan pembedahan. Beberapa peneliti melaporkan melakukan nasofaringektomi pada penderita KNF. Menurut Wei (2003) nasofaringektomi terutama di indikasikan untuk KNF stadium dini yang persisten atau mengalami kekambuhan (rekuren) setelah menjalani radioterapi dosis lengkap. Pembedahan berupa diseksi leher radikal (RND) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di nasofaring sudah terkontrol (Brennen, 2002).

VII. KESIMPULAN Pemberian radioterapi masih menjadi pilihan utama bagi penderita karsinoma nasofaring. Berbagai pendapat mengenai pengaruh OHB pada penderita karsinoma sampai saat ini masih belum jelas. Berbagai penelitian yang ada mengatakan penggunaan OHB pada pasien kanker sangat aman. Meskipun penggunaan OHB pada beberapa penelitian berhasil meningkatkan efek untuk membunuh sel kanker, terapi OHB hanya sebagai adjuvant, terapi untuk pasien kanker harus dikombinasikan dengan obat-obatan, kemoterapi, hormonal, dan pembedahan.

VIII. DAFTAR PUSTAKA Majalah Kedokteran Tropis Indonesia Volume 14, Nomor 2, Juli 2003 Mahdi, H. et al. 2009. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik Surabaya Lakesla Jain KK, 1996. Text Book of Hyperbaric Medicine. Toronto : Hogrefe and Huber, p 12-23, p 61-64, p 331-334 Moen Inggrid, E. B. Stuhr Linda. 2012. Hyperbaric oxygen therapy and cancer-a review. Springer. Norway Oktaviani, Tisusilo Salean. 2009. Referat Karsinoma Nasofaring. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Kristen Universitas Indonesia. Jakarta Hockel Michael, Vaupel Peter. 2001. Tumor Hypoxia: Definitions and Current Clinical,Biologic, and Molecular Aspects. Journal of the National Cancer Institute (JNCI) Sasanti, Harum. 2012. Mempertahankan Kualitas Hidup Pasien Radioterapi Kanker Kepala-Leher. PDGI. Jakarta Timur. J.Feldemeier, U.Carl, K. Hartmann, P.Sminia. UHM 2003. Vol. 30 No 1. Hyperbaric oxygen amd cancer growth http://elektromedik.blogspot.com/2012/11/terapi-hbot-hiperbaric-oxygen-theraphy.html. Terapi HBOT (Hiperbaric Oxygen Theraphy)