Referat Hemostasis

34
REFERAT GANGGUAN HEMOSTASIS DALAM KEHAMILAN Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pembimbing : dr. Y.M. Agung Prihatiyanto, Sp.PD Oleh : Hasmeinda Marindratama, S. Ked J500100005 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

description

joss

Transcript of Referat Hemostasis

REFERAT

GANGGUAN HEMOSTASIS DALAM KEHAMILAN

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter UmumFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. Y.M. Agung Prihatiyanto, Sp.PD

Oleh :Hasmeinda Marindratama, S. KedJ500100005

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA2015

REFERAT

GANGGUAN HEMOSTASIS DALAM KEHAMILAN

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter UmumFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh :Hasmeinda Marindratama, S. KedJ500100005

Disetujui dan disahkan pada tanggal :

Pembimbing I:dr. Y.M. Agung Prihatiyanto, Sp.PD(...................................................)

MengetahuiKepala Program Profesi (...................................................)

BAB IPENDAHULUAN

`A. Latar BelakangPerempuan hamil rentan mengalami kejadian tromboemboli karena kehamilan mengakibatkan perubahan komponen-komponen Triad Virchow yang meliputi stasis vena, kerusakan endotel, dan faktor koagulasi. Diperkirakan 1 dari 1000 perempuan hamil mengalami tromboemboli vena dan emboli paru yang dapat mengakibatkan kematian. Stasis vena terjadi karena perubahan distensibilitas vena yang diinduksi oleh hormon-hormon saat hamil dan obstruksi aliran vena karena pembesaran uterus. Kerusakan endotel pelvis dapat terjadi karena trauma saat melahirkan atau hipertensi vena. Beberapa faktor koagulasi mengalami penurunan progresif saat kehamilan seperti kadar protein S, gangguan fibrinolisis dan resistensi protein C teraktivasi didapat.Di samping perubahan fisiologis saat hamil, lebih dari 50% perempuan hamil yang mengalami tromboemboli vena terbukti menderita trombofilia. Trombofilia herediter yang sering ditemukan adalah faktor V Leiden, mutasi gen protrombin 20210, defisiensi antitrombin III, protein C, atau protein S. Faktor V Leiden berhubungan dengan peningkatan risiko trombosis saat hamil atau nifas sebanyak 5-16 kali dibandingkan perempuan tidak hamil tanpa trombofilia. Carrier heterozigot mutasi gen protrombin 20210 meninkatkan risiko tromboemboli vena pada perempuan hamil sebanyak 3-15 kali dibandinkan perempuan tanpa mutasi gen tersebut. Defisiensi antitrombin III akan meningkatkan resiko tromboemboli vena saat hamil dan nifas sebanyak 50 kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan tidak hamil. Sedangkan trombofilia didapat yang sering ditemukan sindrom antifosfolipid dan peningkatan homosistein. Selain tromboemboli vena, trombofilia jua berperan dalam kejadian keguguran berulang, pertumbuhan janin terhambat, solusio plasenta, dan preeklampsia. Hal ini berasosiasi kuat pada kehamilan trimester kedua dan ketiga, tetapi tidak pada trimester pertama. Perempuan dengan faktor V leiden dan mutasi gen protrombin 20210 meningkatkan resiko kehilangan janin 2-3 kalo lebih besar dibandingkan yang tidak.Kejadian tromboemboli vena juga dipengaruhi faktor jumlah kehamilan (lebih dari 4 kali), hamil usia tua, obesitas, persalinan sulit atau operasi, imobilisasi lama, preeklampsia dan riwayat tromboemboli vena sebelumnya.Selanjutnya referat ini akan membahas tentang kelainan hemostasis dan akibatnya pada perempuan hamil baik yang terjadi karena perubahan fisiologis maupun karena adanya faktor lain seperti trombofilia.

B. Tujuan1. Mengetahui beberapa gangguan hemostatis pada kehamilan.2. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, dan penatalaksanaan gangguan hemostatis dalam kehamilan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Anemia Pada KehamilanPada kehamilan dan fetus yang normal, sejak minggu keenam kehamilan terjadi percepatan peningkatan volume plasma yang disproporsional dengan volume sel darah merah (SDM) dan mencapai puncaknya pada minggu ke-24 atau terus meningkat sampai minggu ke-37, dimana volume plasma mencapai + 43% lebih besar dibandingkan perempuan tidak hamil. Di sisi lain, hal ini akan menurunkan nilai hematokrit (Ht) dan Hb (dilutional anemia) sejak minggu keenam seterusnya sampai minggu ke 16 atau 26 kehamilan: yang kemudian mencapai keseimbangan baru (dengan adanya peningkatan massa SDM sebesar 17-25%) pada nilai Hb: 11gr/dl atau Ht: 0,33 L/L.Kebutuhan besi ibu hamil (yang hanya 1 mg/hari pada dewasa normal) akan meningkat mencapai 6 sampai 7 mg/hari pada masa organogenesis (trimester 2 dan 3) dan mencapai 10 mg/hari pada 6-8 minggu terakhir kehamilan. Diperkirakan jumlah besi yang diperlukan untuk perkembangan janin dan kehilangan darah selama melahirkan mencapai + 600 mg Fe yang sepenuhnya diserap dari ibu hamil. Oleh karena itu, meskipun penyerapan besi selama kehamilan meningkat dan bahkan telah diberikan suplemen besi, biasanya pada perempuan dengan cadangan besi yang rendah tetap gagal memenuhi kebutuhan di atas sehingga timbul anemia.Beberapa kondisi yang menyebabkan kehilangan darah seperti lokasi implantasi plasenta yang abnormal, komorbid lain seperti hemoroid akan semakin memperberat anemia defisiensi. Tanpa melihat umur kehamilan, bila dijumpai nilai Hb < 10,4 gr/dl sangat mungkin telah terjadi penurunan yang sebenarnya (true) dari massa SDM atau anemia kehamilan. Pasca melahirkan atau puerpurium, volume darah akan kembali normal dalam waktu 1-3 minggu.

Patofisiologi Dan GejalaSelain berbagai komplikasi pada janin seperti gangguan perkembangan janin (BBLR) dengan segala risiko gangguan perkembangan organ (misalnya otak) dan perkembangan hubungan psikologis ibu dan bayi, risiko Hb yang rendah, risiko infeksi, hasil akhir kehamilan (preterm / aterm), perdarahan dan cara persalinan (kekerapan seksio caesarea) telah diketahui bahwa derajat anemia atau rendahnya Hb secara langsung juga memengaruhi kondisi penderita (tabel 1), dimana tanda dan gejala tersebut terutama terjadi pada anemia defisiensi yang berat dan berkepanjangan. Pada gilirannya ini akan mengganggu metabolisme enzim intrasel yang memerlukan besi (disfungsi enzim) yang kemudian berperan pada stamina yang menurun, fatig, ansietas, kebingungan dan depresi. Komplikasi terakhir ini ternyata terjadi melalui mekanisme yang independen dari anemia itu sendiri.Pada beberapa kasus (anemia berat) dapat timbul gejala yang tak lazim seperti pica, yaitu keinginan memakan misalnya cat, kotoran dan es. Beberapa tanda lain adalah glositis, keilosis, kuku berlekuk (koilonikia) dan disfagia karena web post krikoid esofagus.Tabel : Tanda dan Gejala AnemiaRinganSedangBerat

Tingkat Hb:10-12 g/dlGejala:-Kelelahan-Penurunan perfusi jaringan-Detak jantung meningkat -Ekstraksi O2 jaringan meningkat-dilatasi sistem vaskular perifer9 10 g/dl-Fatig-Sulit konsentrasi-Detak jantung > 100/m-Berdebar-Dispnoe pada aktivitas-Pucat

< 8 g/dl-Overwhelming-Fatig / exhaustion-dizzyness-Vertigo-Depresi, gangguan tidur-dispnoe pada istirakat

Diagnosis:Tabel : Jenis Anemia dan EtiologiMikrositik:ADBTalasemiaAnemia penyakit kronikMakrositik:Megaloblastik:Retikulosit meningkatDefisiensi Vit B12Defisiensi Asam FolatNon Megaloblastik:Myelodisplasia, kemoterapiPenyakit liverRetikulosit meningkatMyxedernaNormositik:

Banyak kausa (anemia aplastik. AIDA, dan lain-lain)

Folat sendiri diperlukan untuk proses pematangan SDM dan sintesis purin-pimidin serta perkembangan sistem saraf fetus sehingga kekurangan selama hamil berisiko terjadinya kerusakan otak atau defek kelahiran neural tube. Defisiensi B12 / Cbl jarang dijumpai pada ibu hamil, kecuali mereka melakukan diet vegetarian. Kerusakan yang dapat terjadi adalah perubahan degeneratif sistem saraf, terutama pada otak dan white matter medula spinalis, juga demyelinisasi atau neuropati perifer akson.Anemia diketahui disebabkan oleh banyak faktor, oleh karena itu dari sudut praktis dimulai langkah pertama dengan menetapkan klasifikasi anemia berdasarkan ukuran / morfologi SDM dan jumlah Hb. Dibagi atas anemia makrositik, anemia mikrositik dan normositik. Indeks eritrosit MCV. MCH (mean corpuscular Hb) dan MCHC (mean corpuscular Hb concentration) meskipun saat ini langsung otomatis keluar sebagai data primer dari berbagai instrumen laboratorium, namun ada baiknya dipahami cara perhitungan manualnya yaitu:MCV(fl) =Hct/RBC x 10(mikrositik < 80fl: makrositik >100fl:normositik 80-100)MCH (pg) = Hb/RBC x 10e6 (hipokromik < 27 pg)MCHC (g/L) = Hb/Ht x 0,1 (hipokromik < 31 g/L)MCHC tak sensitif namun spesifik untuk mengukur anemia defisiensi besi, nilai abnormal hanya muncul pada anemia defisiensi besi yang berat dan jarang karena sebab lain.Berdasarkan indeks eritrosit di atas, pada ADB: MCV merupakan parameter yang paling sensitif. Pemeriksaan morfologi dari usapan darah tepi, merupakan pemeriksaan penting untuk mendeteksi penyebab penyakit lain. Feritin serum merupakan cerminan tidak langsung cadangan besi tubuh, yang juga diketahui pertama kali dimobilisasi bila diperlukan besi yang meningkat (fase defplesi), sehingga nilai yang rendah < 20 ug/L merupakan nilai diagnostik ADB (nilai normal dewasa berkisar 20-500 ug/L). Juga menunjang diagnosis ADB adalah bila dijumpai MCV < 79 fL dan Hct < 30%. % saturasi transferin < 15 %, di samping menurunnya kadar besi serum (9) sejalannya dengan semakin beratnya fase defisiensi besi (fase deplesi fase laten defisiensi fase anemia defisiensi)Anemia defiensi folat terjadi pada sepertiga kehamilan di seluruh dunia dan hanya 1-4 % di Amerika Utara. Folat terdapat di sayuran hijau dan buah buahan (misal: sitrus) dengan kebutuhan per hari adalah 50-100 ug. Pada manusia yang sehat, cadangan folat mencapai 5000 ug yang cukup untuk metabolisme selama 2-3 bulan. Amenia makrositik megaloblastik muncul pada defisiensi sedang sampai berat. Kadar folat serum < 3 ug/L atau folat sel darah merah (SDM) < 150 ng/ml merupakan baku nilai defisiensi folat. Gejala yang timbul dapat berupa glositis, diare, depresi dan rasa bingung, sedangkan pada ibu hamil, janin berisiko mengalami neural tube defect atau kerusakan otak.Vitamin B12 sepenuhnya berasal dari diet yang berasal dari hewan, dengan absorbsi harian adalah 5 ug, yang memerlukan faktor intrinsik (protein) yang disekresi oleh sel parietal gaster. Anemia defisiensi vitamin B12 / cyanocobal amin (Cbl), dengan tipikal pada kasus dewasa adalah anemia pernisiosa (AP), sebenarnya adalah kehilangan kemampuan penyerapan vitamin B12 dikarenakan hilangnya faktor intrinsik yang disebabkan penyakit autoimun metaplastik atrofik gastritis. Namun secara sinonim juga umum merujuk pada defisiensi vitamin B12 disebabkan gangguan penyerapan, misalnya pada gastritis kronik, pasca gastrektomi, gangguan penyerapan di intestinal, parasit, vegetarian dan ibu hamil. Gejala yang khas adalah anemia megaloblastik. Hct dapat mencapai 10-15%, glositis dan gangguan gastrointestinal yang bermanifestasi sebagai anoreksia serta diare. Pada fase awal dimana morfologi masih normal dapat dijumpai hipersegmentasi neutrofil (5 lobus): selain peningkatan LDH dan sedikit bilirubin indirek. (7) Pengukuran B12 serum < 100 pg/ml merupakan baku nilai defisiensi Cbl, sedangkan nilai < 200 pg/ml mengindikasikan adanya defisiensi B12.Pemberian folat pada kehamilan dapat menutupi nilai pengukuran di atas, dengan risiko kerusakan neurologis (demyelinisasi kolumna dorsalis) tetap berjalan bahkan terakselerasi.Pembahasan jenis lain anemia bukan merupakan kajian bab ini, namun secara sekilas bila dijumpai anemia non megaloblastik dengan nilai retikulosit meningkat perlu dipikirkan kemungkinan anemia hemolitik atau perdarahan, sedangkan bila retikulosit normal atau menurun perlu dipikirkan penyakit hati, hipotiroid, penyakit paru obstruksi kronik, myelodisplasia anemia dan alkoholisme.

B. Tromboemboli Vena Pada KehamilanTromboemboli pada kehamilan memiliki keunikan tersendiri dalam hal diagnosis maupun penatalaksanaannya. Beberapa alat diagnostik tidak dapat digunakan pada perempuan hamil karena membahayakan fetus. D-Dimer sebagai alat diagnostik memiliki nilai cut-off sendiri pada perempuan hamil. Coumarin bersifat fetopatik. Penggunaan heparin jangka lama tidak nyaman dan dapat mengakibatkan osteoporosis. Tanda-tanda dan gejala trombosis vena dalam sperti edema tungkai bawah, dan tromboemboli paru seperti dispnea dan takipnea tumpang tindih dengan gejala pada kehamilan normal, sehingga mengakibatkan keterlambatan diagnosis.Trombosis vena dalam pada perempuan hamil kebanyakan terjadi pada tungkai bawah kiri terutama melibatkan vena-vena iliofemoral (80% - 85%). Frekuensi ini berhubungan erat dengan peningkatan kejadian emboli paru. Predileksi tungkai kiri diyakini karena kompresi pada vena iliaka kiri oleh arteri iliaka kiri yang diperberat oleh pembesaran uterus. Trombosis pada betis sendiri jarang ditemukan.Insidens tromboemboli vena pada perempuan hamil 5 10 kali lipat lebih banyak daripada perempuan tidak hamil. Sebaliknya emboli paru justru sering ditemukan 4-6 minggu setelah melahirkan.

Diagnosis D-Dimer negatif dan probabilitas klinik yang rendah dapat menyingkirkan diagnosis trmbosis vena dalam pada perempuan tidak hamil. Tidak demikian pada perempuan hamil karena terjadi peningkatan D-Dimer saat kehamilan. Peningkatan ini sesuai dengan usia kehamilan. Pada kehamilan trimester ketiga, D-Dimer meningkat melebihi nilai cutt-off pada perempuan tidak hamil. Kondisi ini berlangsung hingga 4-5 minggu setelah melahirkan. Kline dkk, mendapatkan dari 50 perempuan yang diteliti, rata-rata konsentrasi D-Dimer perempuan prekonsepsi 0,43 mg/L, 79% nya konsentrasi D-Dimer < 0,5 mg/l, 22% perempuan mengalami peningkatan D-Dimer pada trimester kedua dan tidak ada satupun perempuan hamil trimester ketiga yang memiliki konsentrasi < 0,5 mg/L. Konsentrasi D-Dimer yang lebih tinggi ditemukan pada persalinan prematur, solusio plasenta dan preeklampsia.Oleh karena itu, peningkatan D-Dimer tidak reliabel digunakan untuk petanda diagnosis pada perempuan hamil yang diduga mengalami tromboemboli vena. Ultrasonografi kompresi merupakan alat diagnosis lini pertama untuk mengetahui ada tidaknya trombosis vena dalam karena tidak menggunakan radiasi. Meskipun sangat sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis tombosis vena dalam pada perempuan tidak hamil, namun sayang, bukti-bukti yang ada tidak dapat digunakan untuk perempuan hamil. Ultrasonografi yang normal pada perempuan hamil tidak menyingkirkan trombosis vena dalam betis. Ultrasonografi serial selama 7 sampai 14 hari direkomendasikan untuk menyingkirkan perluasan trombus vena betis yang tidak terdeteksi. Untuk trombosis di vena iliaka atau vena kava inferior, MRI lebih direkomendasikan karena lebih sensitif dan lebih spesifik serta tidak mengakibatkan paparan radiasi (gambar1)Untuk kasus emboli paru timbul masalah yang rumit dalam hal diagnosis karena kekhawatiran akan pajanan radiasi. Dengan kehati-hatian yang sesuai ternyata pemeriksaan radionuklida paru atau pemindaian tomografi komputer helikal, radiasinya jauh di bawah ambang yang berhubungan dengan peningkatan risiko teratogenesis. Pemeriksaan ultrasonografi ekstremitas bawah cocok untuk perempuan yang diduga emboli paru karena bila terbukti berarti tidak perlu pemeriksaan pencitraan lebih jauh lagi. Namun, karena kemungkinan negatif palsu pada pemeriksaan ultrasonografi ektremitas bawah, maka masih perlu dilakukan pemindaian tomografi komputer helikal atau ventilasi/perfusi paru. Sayangnya pemeriksaan ini pun akurasinya belum dievaluasi pada pasien dengan dugaan emboli paru.

Gambar 1. Algoritme Investigasi tersangka Trambosis Vena Dalam (TVD). Saat hamil UK: Ultrasonografi Komprasi. MRV. Pencitraan Resonansi magnetik.*IPG, bisa menggunakan UK, pemeriksaan. **D-dimer dapat dilakukan dan jika normal investigasi lebih lanjut ditunda bila abnormal. *** investigasi lebih lanjut ulangi hari ke-2 dan ke-3 dan 6-8: jika meningkat / tinggi MRV atau venografi

Gambar 2. Algoritme untuk investasi tersangka emboli paru saat hamil V/Q scan, sken ventilasi perfusi paru. UK. Ultrasonogravi kompresi. *Dapat mensubstitusi UK dan juka abnormal, emboli paru terdiagnosis; jika normal, pemeriksaan lebih lanjut dibutuhkan. **paling sedikit satu segmen perfusi. *** tidak normal. Probabilitas tidak tinggi. **** dapat mengganti pemeriksaan D-Dimer sensitif, dan jika negatif, emboli paru ekskulasi.

PenatalaksanaanBerdasarkan berbagai studi, telah ada rekomendasi pemberian antikoagulan pada pasien hamil. Antikoagulan yang diberikan dapat berupa Unfractionated Heparin (UFH) atau Low Molecular Weight Heparin (LMWH).Dosis LMWH yang diberikan disesuai dengan berat badan. Namun demikian, dalam praktiknya lebih banyak direkomendasikan untuk menggunakan dosis LMWH sesuai target kadar heparin secara periodik (tiap 1 sampai 3 bulan) dengan memeriksa kadar anti-Xa. (tabel 1). Kadar anti-Xa yang diinginkan adalah 0,5-1,2 U/ml. Alternatif lain, UFH bolus dilanjutkan dengan infus untuk mempertahankan aPTT dalam rentang terapi (atau UFH dosis disesuaikan subkutan) diberikan selama 5 hari, selanjutnya diberikan UFH dosis disesuaikan subkutan atau LMWH dosis disesuaikan subkutan. Midinterval aPTT harus dimonitor setiap 1-2 minggu karena kebutuhan UFH selalu bervariasi sesuai usia kehamilan.UFH atau LMWH dosis terapi harus dihentikan 24 jam sebelum tindakan persalinan atau seksio sesaria elektif. Pada perempuan hamil dengan risiko tinggi atau mengalami tromboemboli vena berulang (misal: trombosis vena dalam atau emboli paru dalam 4 minggu) dapat diberikan UFH intravena yang dimulai dan dihentikan 4-6 jam sebelum tindakan atau persalinan yang diharapkan.Jika persalinan spontan terjadi pada perempuan hamil yang menggunakan UFH dengan dosis disesuaikan subkutan, diperlukan monitor aPTT dengan hati-hati, dan jika memanjang saat hampir melahirkan mungkin perlu diberikan protamin sulfat untuk mengurangi risiko perdarahan. Untuk perempuan hamil yang menggunakan LMWH, pendekatan yang diambil tergantung jarak pemberian terakhir LMWH dengan persalinan dan kadar anti-Xa, jika bisa diperiksa. Jika jarak pemberian LMWH dengan persalinan yang diharapkan, diperkirakan masih ada efek kerja antikoagulan atau jika kadar anti-Xa menunjukkan masih adanya efek antikoagulan, perlu kehati-hatian dalam 1. Analgesia epidural harus dihindari. 2. Jika harus digunakan, harus dipertimbangkan pemberian protamin sulfat. Ahli kebidanan harus hati-hati dan waspada terhadap perdarahan yang mungkin terjadi dan berusaha mengurangi risiko perdarahan.Heparin pasca persalinan diberikan sesegera seaman mungkin, kira-kira 12 jam setelah persalinan dan bisa dimulai bersama-sama dengan warfarin. Heparin diteruskan sampai INR (International Normalized Ratio) 2 atau lebih. Antikoagulan diberikan minimal selama 4 minggu setelah melahirkan, kecuali pada kasus trombosis vena dalam atau emboli paru yang lambat didiagnosa antikoagulan diteruskan sampai 12 minggu.

Tabel 1. Dosis HeparinDoseRegimen

UFH dosis miniUFH 5000 u Subkutan tiap 12 jam UFH SK tiap 12 jam

UFH dosis moderateDosis disesuaikan sampai target Kadar anti-Xa 0,1-0,3 u/mlUFH SK tiap 12 jam dalam dosis disesuaikan sampai target aPTT

UFH dosis disesuaikanInterval tengah masuk dalam kisaran terapi terapi

LMWH dosis propilaksasiEnoxaparin 40 mg sekali sehari atau 30 mg sehari sekaliEnoxaparin 1 mg/kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg sekali sehari

LMWH dosis disesuaikan berat badanDalterarin 100 u/kg tiap 12 jam atau 200 u/kg tiap 24 jamTinzapararin 175 u/kg sekali sehari

U menunjukkan unit

B. Sindrom Antifosfolipid Saat KehamilanSindrom antifosfolipid (Antiphospholipid syndrome/APS) merupakan kondisi trombofilik autoimun yang ditandai dengan adanya antibodi dalam darah yang dikenal sebagai fosfolipid yang berikatan dengan protein, menjadi faktor risiko tromboemboli vena. Di samping itu, sindrom ini ternyata turut bertanggung jawab terhadap kejadian keguguran berulang. Hal ini pertama kali diutarakan oleh Hughes dkk sekitar tahun 1980-an. Prevalensinya pada populasi sehat kurang dari 1% dan sampai dengan 5% pada usia yang lebih tua. Pada penderita SLE, prevalensinya lebih tinggi. Pada studi multisenter Euro-Phospholipid, dari 1000 pasien yang tidak terseleksi yang memenuhi kriteria sindrom antifosfolipid 53% merupakan APS primer dan 41% APS sekunder atau kondisi lupus-like.

Kriteria DiagnosisBerdasarkan kriteria Sapporo yang direvisi tahun 2006, kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid adalah ditemukannya paling sedikit satu kriteria klinik dan satu kriteria laboratorik di bawah ini :1. Kriteria KlinisTrombosis vaskular :Satu atau lebih episode trombosis arteri, vena, pembuluh darah kecil yang memengaruhi organ atau jaringan. Trombosis harus dikonfirmasi dengan kriteria obyektif yang tervalidasi.Morbiditas kehamilana.Kematian yang tidak dapat dijelaskan dari fetus normal setelah kehamilan 10 minggub.Lahir prematur neonatus normal sebelum kehamilan 34 minggu karena preeklampsia berat atau eklampsia, atau insufisiensi plasenta beratc.Tiga atau lebih aborsi spontan berturut-turut sebelum kehamilan 10 minggu2. Kriteria LaboratoriumDitemukannya pada dua kali pemeriksaan terpisah 12 minggu :a.Antikoagulan lupus diperiksa dengan standar yang ditentukan ISTH (International Society in Thrombosis and Haemostasis)b.Antibodi antikardiolipin IgG dan/atau IgM di serum/plasma, dalam titer medium atau tinggi (misal : > 40 GPL atau MPL atau > persentil ke-99) diukur dengan cara ELISAc.Antibodi 2-GP-1 (IgG dan/atau IgM) pada titer > persentil ke-99.

PatogenesisMekanisme in vivo terjadinya trombosis dan kehilangan janin (keguguran, kematian janin dalam kandungan) pada pasien dengan sindrom antifosfolipid masih belum jelas, meskipun beberapa jalur patogenesis yang potensial telah diketahui.1.Antibodi antifosfolipid berinterferensi dengan kaskade koagulasi yang mendorong kondisi prokoagulasi. Misalnya dengan menginhibisi protein C teraktivasi dan jalur antitrombin III, menghambat fibrinolisis, dan meningkatkan regulasi aktivitas faktor jaringan, 2-glikoprotein I merupakan antigoagulan in vivo, di mana antibodi terhadap molekul ini ikut berinterferensi dalam mekanisme ini. protein lain juga ikut berperan seperti protrombin, protein C dan protein S, dan annexin V juga menjadi target antibodi antifosfolipid. Akhirnya ikatan annexin V dengan permukaan prokoagulan dihambat oleh antibodi antifosfolipid. Antibodi antifosfolipid mendorong aktivasi dan agregasi trombosit.2.Ada interaksi antara antibodi 2-glikoprotein-I dengan fungsi sel endotel in vitro. Ikatan langsung antara 2-glikoprotein-I dengan permukaan sel endotel difasilitasi oleh muatan negatif permukaan sel endotel, yang meningkat saat apoptosis dan fakta bahwa annexin II bekerja sebagai reseptor untuk ikatan 2-glikoprotein-I dengan sel endotel yang dikultur. Kemudian, antibodi antifosfolipid berikatan dengan sel endotel dalam 2-glikoprotein-I mendorong aktivasi sel endotel yang bermanifestasi dengan upregulasi molekul adhesi permukaan sel dan peningkatan sekresi interleukin 6 dan prostagladin. Karena sel endotel yang teraktivasi mendorong koagulasi, maka mekanisme ini menjadi relevan. Antibodi antifosfolipid juga mendorong aktivasi dan agregasi trombosit.3.Eksperimental pada binatang mendukung patogenesis antibodi antifosfolipid terutama yang spesifik terhadap 2-glikoprotein-I, dan keduanya berperan pada kejadian trombosis. Ada bukti bahwa peptida bakteri dan virus dapat menginduksi pembentukan antibodi antifosfolipid pada binatang yang mendorong kejadian trombosis dan kehilangan anak.4.Ada peran sel mononuklear, dimana kultur supermatan yang mengandung sel mononuklear yang distimulus oleh 2-glikoprotein-I akan menghasilkan interferon yang dapat mengaktivasi sel endotel.5.Adanya serangan kedua (second hit) untuk terjadinya trombosis dan kehilangan janin. Meskipun spekulatif, mungkin pencetus itu adalah trauma lapangan vaskular, faktor prokoagulan nonimun, adanya infeksi yang mendorong produksi sitokin dan aktivasi sel endotel. Ada antibodi terhadap nuklear lamin B1 yang mempunyai efek protektif.

Gambar 3. Mekanisme Patogenik Sindrom AntifosfolipidBerdasarkan patogenesis di atas maka pasien yang memiliki hasil pemeriksaan antibodi antifosfolipid yang positif memiliki beberapa kemungkinan:1.Sindrom antifosfolipida.Primer : tanpa lupus (SLE)b.Sekunder : dengan lupus (SLE)2.Antibodi antifosfolipid diinduksi oleh infeksi :a.Tidak diketahui hubungan dengan trombosis (misal : sifilis, CMV, Epstein-Bar Virus)b.Mungkin ada hubungan dengan trombosis (misal : varisela, HIV, hepatitis C)3.Antibodi antifosfolipid diinduksi obat (misal : klorpromazin dan fenotiazin lain)4.Antifosfolipid pada populasi umum yang sehatOleh karena itu, saat ini pemeriksaan antibodi antifosfolipid seharusnya dibatasi untuk pasien-pasien yang mengalami trombosis, emboli, atau komplikasi kehamilan yang mungkin terjadi karena sindrom antifosfolipid dan untuk pasien SLE meski tidak ada manifestasi di atas. Pemeriksaan harus selalu dikerjakan ketika diduga sindrom antifosfolipid karena pemeriksaan bisa negatif palsu. Persistensi abnormalitas pemeriksaan harus dilakukan setelah 12 minggu.

TatalaksanaTerapi utama sindrom antifosfolipid pada kehamilan adalah antikoagulan, namun tidak diindikasikan pada keadaan tanpa adanya manifestasi klinik yang bermakna. Oleh karena itu, pada pasien hamil dengan riwayat multipel (dua atau lebih) kehilangan janin pada awal kehamilan atau satu atau lebih kehilangan janin pada akhir kehamilan, kematian janin dalam kandungan, preeklampsia atau solusio plasenta direkomendasikan untuk mendapat aspirin ditambah dosis rendah sampai menengah UFH atau LMWH. Bagi perempuan dengan sindrom antifosfolipid tanpa ada riwayat kehilangan janin atau tromboemboli vena maka direkomendasikan untuk surveilans, dosis rendah profilaksis UFH atau LMWH dan atau aspirin dosis rendah 75 162 mg. Untuk mencegah kejadian trombosis berulang, maka diberikan antikoagulan jangka panjang pada pasien perempuan yang memiliki riwayat trombosis atau kehilangan janin berulang, yang kemudian disulih dengan heparin saat hamil dan dosis rendah aspirin dan kembali diberikan antikoagulan jangka panjang pasca persalinan. Dosis heparin yang digunakan biasanya adalah 5000 unit dua kali sehari, kecuali terdapat riwayat tromboemboli sebelumnya, sehingga perlu dosis penuh.

C. Sindrom HELLPSindrom HELLP (haemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets) adalah bentuk berat dari preeklampsia dan mengancam jiwa pasien dan janin. Laporan-laporan awal menunjukkan bahwa preeklampsia berhubungan dengan mikrotrombi, trombositopenia, koagulasi dan prognosis yang buruk. Muncul pada pertengahan trimester kedua sampai beberapa hari pasca melahirkan. Insiden meningkat pada perempuan kulit putih dan multipara.

EtiologiSindrom HELLP merupakan preeklampsia yang berat. Patofisiologinya sama dengan preeklampsia. Prinsipnya adalah iskemia plasenta. Hal ini terjadi karena perubahan sirkulasi uteroplasenta menjadi sistem tekanan rendah aliran tinggi. Hal ini terjadi karena penetrasi dari trofoblas ke dalam arteri spiralis yang merusak sehingga terjadi hipoperfusi dan hipoksia lokal yang mengaktifkan endocel dengan ekspresi abnormal integrin, chaderin dan berbagai anggota superfamili imunoglobulin yang terlibat dalam patofisiologi preeklampsia.Kunci abnormalitas pada Sindrom HELLP adalah vasokonstriksi, peningkatan tonus vaskular, agregasi trombosit dan perubahan rasio tromboksan: prostasiklis. Perubahan ini terjadi sebagai bagian dari aktivasi komplemen dan kaskade koagulasi yang berakibat pada injuri multiorgan endotel dan mikrovaskular dan menghasilkan anemia hemolisis mikroangiopatik, peningkatan enzim hati dan trombositopenia.

Gambaran KlinikSindrom HELLP merupakan 20% dari seluruh komplikasi preeklampsia berat. Namun demikian, 15% pasien dengan sindrom HELLP tidak menderita hipertensi atau proteinuria, yang lain mungkin ada hipertensi tanpa proteinuria dan hipertensi berat jarang ditemukan.Gejala sindrom HELLP berkorelasi dengan beratnya penyakit. Umumnya nyeri perut kanan atas. Keluhan ini terjadi pada 65% kasus. Mual dengan atau tanpa muntah tampak pada 35% kasus. Sakit kepala lebih umum tampak pada preeklampsia tanpa sindrom HELLP dan biasanya berhubungan dengan ada hipertensi. Kenaikan berat badan yang bermakna seiring dengan edema.Gejala lain adalah kuning, perdarahan gastrointestinal, nyeri sudut kostovertebra, dada atau bahu. Gejala seperti flu.Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya hemolisis dan kenaikan enzim hati. Hemolisis diidentifikasi dengan adanya gambaran darah tepi yang abnormal, eritrosit yang mengalami fragmentasi atau peningkatan retikulosit. Haptoglobin kadar rendah selalu ditemukan. Peningkatan kadar bilirubin dan kadar laktat dehidrogenase (LDH) merupakan pertanda hemolisis juga. Beberapa penulis tidak setuju memasukkan sindrom HELLP sebagai varian disseminated intravascular coagulopathy (DIC) karena parameter koagulasi selalu normal. Namun, solusio plasenta merupakan komplikasi kehamilan dengan sindrom HELLP yang dapat mengakibatkan koagulasi konsumtif. Pada 20% kasus, DIC dapat ada bersama-sama dengan anemia hemolisis.Beberapa studi mencoba mendefinisikan sindrom HELLP berdasarkan parameter laboratorium (Tabel 2)Tabel 2. Klasifikasi Sindrom HELLP Menurut 2 KlasifikasiSistem klas Mississippi 3Sistem Tennesse

Klas 1Trombosis < 50.000/mm3Sindrom komplit dan/atau SGOT > 401 U/l

Klas 2Trombosit 50.000 - 100.000 / mm3Trombosit < 100.000 mm3

Klas 3Trombosit 100.000 150.000 mm3Hemolisis + peningkatan enzim hatiLDH > 600 IU/LLOH > 600 IU/LSGOT > 70 IU/lSindrom inkomplitAda satu atau dua dari kriteria di atas

Diagnosis BandingSindrom HELLP harus dibedakan dengan berbagai kondisi yang bisa memberikan gambaran yang mirip dengannya.1.Gangguan trombotika.Thrombotic thrombocytopenic purpurab.Haemolytic Uraemic Syndromec.Sepsis dan DICd.Anemia hemolitik diinduksi obat2.Gangguan konsumtifa.Perlemakan hati akut saat hamilb.Sepsis dan DICc.Perdarahan3.Lain-lain :a.Penyakit jaringan ikatb.SLEc.APSd.Gangguan prokoagulan

Tatalaksana1.Stabilisasi kondisi pasien. Hipertensi dikontrol untuk mengurangi risiko kejadian serebrovaskular.2.Koreksi jumlah trombosit dan defek koagulan sebelum tindakan operasi atau seksio sesaria. Termasuk koreksi koagulopati dengan plasma beku segar dan kryopresipitat dan transfusi trombosit untuk mengoreksi jumlah trombosit.3.Saat antepartum, deksametason diberikan tiap 12 jam dengan dosis 10 mg sampai dengan persalinan. Setelah 24 48 jam pembeian steroid dapat terlihat perbaikan kondisi ibu dan juga memperbaiki maturasi janin. Trombosit akan meningkat secara bermakna, dan LDH dan SGOT akan menurun. Urin yang keluar akan bertambah. Suatu studi acak yang membandingkan efikasi deksametason dan betametason untuk terapi sindrom antepartum, tampak penurunan aktivitas enzim aminotransferase yang bermakna, tekanan arteri rata-rata, dan urin yang keluar pada pasien yang diberikan deksametason intravena dibandingkan dengan yang mendapat betametason intramuskular.4. Jika sindrom HELLP terjadi pasca persalinan, kondisi ibu akan lebih baik bila diberikan deksametason intravena. Pemberian deksametason intravena segera pasca persalinan dengan dosis 10 mg, diikuti 12 jam selanjutnya dengan dosis 10 mg dan kemudian 5 mg pada 24 dan 36 jam pasca persalinan, menunjukkan normalisasi cepat jumlah trombosit dan LDH daripada subyek kontrol yang tidak diterapi dengan kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

1.Kujovich Jl. Alving B. Management of thrombophilia and antiphospholipid syndrome during pregnancy In : Kitchens CS. Alving BM. Kesster CM. Eds. Consultative hemostasis and thrombosis. 2nd Ed. Philadelphia : Saunders Elsivier. 2007 p.593 611.2.Macik BG. Rand JH. Konkle BA. Thrombophilia : whats practitioner to do? Hematology 2001 : 322 338.3.Bates SB. Management of pregnant women with thrombophilia or a history of venous thromboembolism. Hematology. 2007 : 143 150.4.Bates SM. Greer IA. Hirsch J. Ginsberg JS. Use of antithrombotic agents during pregnancy. The seventh ACCP conference on antithrombotic and thrombolytic therapy. Chest. 2004 : 6275 6445. 5.Bates SM. Ginsberg JS. How we manage venous thromboembolism during pregnancy. Hematology. 2007 : 3470 3478.6.Tand JH. The antiphopholipid syndrome. Hematology. 2007 : 136 142.7.Glanville T, Walker J. HELLP syndrome. Review obstetr Gynecol. 2003 : 5 : 149 54.8.Rahman TM. Wendon J. Severe hepatic dysfunction in pregnancy. Q.J Med. 2002 : 95 : 343 57.9.Clenney TL, Viera AJ. Corticosteroid for HELLP (haemolysis, elevated liver enzymes. Low platelets) syndrome. BMJ. 2004 : 329: 270-272.