Referat GGK

49
BAB I PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif dan menahun, umumnya bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit ginjal terminal yang menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan transplantasi ginjal. 1 Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular dan diabetes). Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang abnormal, diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk. 2 GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney disease) memiliki prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak, kecuali dengan kelainan genetic, seperti misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit ginjal polikistik autosomal resesif. 3,4 Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya data-data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa dari 1

description

Urogenital

Transcript of Referat GGK

BAB I

PENDAHULUANGagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif dan menahun, umumnya bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit ginjal terminal yang menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan transplantasi ginjal.1Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular dan diabetes). Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang abnormal, diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk.2GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney disease) memiliki prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak, kecuali dengan kelainan genetic, seperti misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit ginjal polikistik autosomal resesif.3,4 Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya data-data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa dari penyakit tersebut. Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20% diatas nilai normal, sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi ginjal menjadi 30% dari nilai normal.2 GGK sering berhubungan dengan anemia. Anemia pada GGK muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan menjadi lebih berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah mencapai stadium akhir, anemia akan secara relatif menetap. Anemia pada GGK terutama diakibatkan oleh berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit gagal ginjal kronik.

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit gagal ginjal kronik. Kriteria penyakit ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test).

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Tabel 1. Kriteria penyakit ginjal kronik.5 Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.II. EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di Malaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.III. ETIOLOGI

Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu : 1. Kelainan parenkim ginjal Penyakit ginjal primer

Glomerulonefritis Pielonefritis Ginjal polikistik TBC ginjal Penyakit ginjal sekunder

Nefritis lupus Nefropati analgesic Amiloidosis ginjal2. Penyakit ginjal obstruktif

Pembesaran prostat batu Batu saluran kencing, dll. IV. PATOFISIOLOGIPatofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut.

Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolisme protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30 35 ml/menit. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat. Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium

1. Hemolisis

Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal.

Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.

Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna2. Defisiensi Eritropoetin.

Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.

3. Penghambatan eritropoesis

Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakan bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.

4. Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.

Manifestasi GGK dan Uremia:

1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa

a. Homeostasis Natrium dan Air

Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami kekurangan CES

b. Homeostasis Kalium

Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal

c. Metabolik Asidosis

Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.

2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.

Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan menimbulkan retensi PO43-(2). Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel kelenjar para tiroid.

(3). Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 dihidroksi oleh kalsiferol)

(4). Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+ dari traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan gagal ginjak kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes. Penyakit tulang adinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume tulang dan mineralisasi dan merupakan hasil supresi produksi PTH denagn terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

3. Kelainan kardiovaskuler.

a. Penyakit Jantung Iskemik. Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko nontradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan Creaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan koroner dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida merupakan mediator yang penting dalam pada dilatasi vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin

b. Gagal jantung kongestif. Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.

c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering. Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi ventrikel.

4. Kelainan hematologi

a. Anemia. Anemia terjadi pada 80 90 % pasien penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan aluminium, dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopaties. Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi. Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g % atau hematokrit 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber paerdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

b. Gangguan pembekuan. Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan konsumsi protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro intestinal,dll.

5. Kelainan neuromuskular

Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan astherixis, mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik, ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian proximal.

6. Kelainan gastrointestinal. Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insiden terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan terjadinya pankreatitis.

7. Gangguan metabolik endokrin

Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan pada wanita terjadi penurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi, oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkan kadar testosteron plasma8. Kelainan dermatologi.

Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan hematoma akibat gangguan pembekuan, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium fosfat dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.

V. KLASIFIKASIKlasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik.Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu: LFG (ml/menit/1,73m2) = 1,86 x ( P cr) - 1,154 x (umur) - 0,023

Keterangan: wanita x 0,742 Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut : Creatinin Clearance Test (ml/mnt) = (140 - umur) x BB 72 x kreatinin plasma (mg/dl)

Keterangan: wanita x 0,85 Klasifikasi menurut NICE 20081. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK

2. Proteinuria:

a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih.

b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih.(dengan perkiraan urinary protein excreation 0,5 g/24jam atau lebih)

3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori

a. LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3A

b. LFG 30 44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3B)

4. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia. Pada orang dengan usia > 70 tahun dengan LFG 45 59 ml/min/1,73 m2, apabila keadaan tersebut stabil seiring dengan waktu tanda ada kemungkinan dari gagal ginjal, biasanya hal tersebut tidak berhubungan dengan komplikasi dari GGK

VI. MANIFESTASI KLINIS1. Kardiovaskuler:a. Hipertensib. Pembesaran vena leher

c. Pitting edema

d. Edema periorbital

e. Friction rub pericardial2. Pulmoner:

a. Nafas dangkalb. Krekelsc. Kusmaul

3. Gastrointestinal :a. Konstipasi / diareb. Anoreksia, mual dan muntahc. Perdarahan saluran GId. Ulserasi dan perdarahan pada mulut4. Muskuloskeletal:

a. Kehilangan kekuatan ototb. Kram ototc. Fraktur tulang5. Integumen:

a. Kulit kering, bersisikb. Warna kulit abu-abu mengkilatc. Kuku tipis dan rapuhd. Rambut tipis dan kasare. Pruritusf. Ekimosis6. Reproduksi:

a. Atrofi testis

b. Amenore7. Sindrom uremia:

a. Lemah letargib. Anoreksiac. Mual dan muntahd. Nokturiae. Kelebihan volume cairan (volume overload)

f. Neuropati periferg. Uremic frost

h. Perikarditis

i. Kejang

j. KomaVII. PEMERIKSAAN PENUNJANGA. Gambaran laboratorium Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus, hipertensi, dll) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria. B. Gambaran radiologi Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi: Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi. USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. Indikasi USG (NICE 2008): Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5 tahun). Adanya hematuria Ada gejala obstruksi saluran kencing Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20 tahun. GGK stadium 4 dan 5 Memerlukan biopsi ginjal. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity.6 IX. PENATALAKSANAANFarmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)11A. Kontrol tekanan darah Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg (dengan kisaran target 120 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg. Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik < 130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHgB. Pemilihan agen antihipertensi 1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir). ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada:1. Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK. Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan proteinuria. Potensi manfaat ACE inhibitor dalam konteks ini sangat meningkat jika seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah diterapkan.2. GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih).3. GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardivaskular.4. GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30 mg/mmol (kira-kira ekuivalen dengan PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria < 0,5 gr/24jam. Saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs, upayakan agar mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan terapi 2nd line (spironolakton)5. Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs: Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis. Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi serum potassium secara signifikan > 5,0 mmol/L. Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan hiperkalemia. Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang dapat juga mencetuskan hiperkalemia, bukan kontraindikasi penggunaan terapi tersebut, tapi harus menjaga konsentrasi serum potassium. Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat > 6,0 mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah tidak digunakan. Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas awal kurang dari 30%. Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin plasma 30% atau lebih: Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs. Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis harus diturunkan dan alterlatif antihipertensi lain bisa digunakanC. Pemilihan statins dan antiplatelet Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.7 Pada orang dengan GGK, penggunaannya-pun tidak berbeda.

Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipid-nya.

Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan GGK yang diberikan antiplatelet multipel.

D. Komplikasi lainnya Metabolisme tulang dan osteoporosis1. Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone (PTH) dan level vitamin D pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B, tidak tirekomendasikan2. Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG < 30 ml/min/1,73m2).3. Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah dan mengobati osteoporosis pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B.4. Pemberian suplemen vitamin D: GGK stadium 1, 2, 3A/3B diberikan cholecalciferol atau ergocalciferol. GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).5. Monitor konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang mendapatkan terapi diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).E. Anemia8 Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10 g/dl pada usia < 2 tahun). Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2. Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:1. Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100 mikrogram/L2. Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin < 100 mikrogram/L Penanganan anemia91. Suplementasi eritropoetinTerapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Pada gambar.3, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat.Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia.Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO:1) Indikasi: Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah: Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%. Tidak ada infeksi yang berat.2) Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan: Hipertensi tidak terkontrol Hiperkoagulasi.

Beban cairan berlebihan / fluid overload.Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup, terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada GGK: 1. Anemia dengan status besi cukup.

2. Anemia defisiensi besi:

a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L

b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L

Saturasi Transferin < 20 %

Terapi Eritropoietin Fase koreksi:

Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai

Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu

Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.

Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL).

Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%.

Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.

Pemantauan status besi: Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.

Terapi EPO fase pemeliharaan:

Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL). Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu. Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa status besi setiap 3 bulan.

Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping diantaranya:

i. Hipertensi:

tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase koreksi.

pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis obat antihipertensi.

peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak berhubungan dengan kadar Hb.ii. Kejang:

Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi.

Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak terkontrol. Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekwat. Respon EPO tidak adekwat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu.

Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekwat yaitu:

Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering).

Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS).

Kehilangan darah kronik.

Malnutrisi.

Dialisis tidak adekwat.

Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis).

Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium, hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).

Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yang berupa pemberian:

asam folat : 5 mg/hari

vitamin B6: 100-150 mg

vitamin B12 : 0,25 mg/bulan

vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO

vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid

vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi intravena.

Preparat androgen (2-3 x/minggu):

Dapat mengurangi kebutuhan EPO

Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati

Tidak dianjurkan pada wanita2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialysis

Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangannya lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektifan pada terapi pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum diketahui.3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine

Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi dapat selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia dengan gagal ginjal selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal atau peningkatan feritin serum pada pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan denan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik oral maupun dialisat, gejala intoksikasi aluminium seperti ensekalopati penyakit tulang aluminium , dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator deferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi atau CAPD. Range dosis 0,5 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang dengan terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi, toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi sementara waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis, yang menggambarkan perubahan nilai hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin. Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada nilai diatas normal, hemoglobin meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.4. Mengkoreksi hiperparatiroidism

Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid dengan 1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan peningkatan anemia.5. Terapi Androgen.

Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron propionat, enanthane, cypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone, methyl testosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Respon nya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio anabolik : androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17- methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat menimbulakan gejala prostatism atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada terapi ini.6. Suplementasi besi

Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk emngurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.Terapi besi fase pemeliharaan: Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama terapi EPO Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L < 500 mcg/L Saturasi transferin > 20 % < 40 % Dosis :

IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu iron dextran : IV : 50 mg/minggu iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu

Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari Status besi diperiksa setiap 3 bulan Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%, suplementasi besi distop selama 3 bulan. Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.7. Transfusi darah

Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah:

a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamikb. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dLc. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamikd. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hatie. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari.F. Nutrisi

Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia dan menunda percepatan penurunan fungsi ginjal atau memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah terjadinya proses katabolik. Bila asupan peroral tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak dan karbohidrat sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam amino esensial dan non esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat adalah 5 g/kgBB. Sedangkan lipid diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20% sebanyak 500 mL. Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,6 0,75% g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki nilai biologic tinggi, sebesar 0,35 g/kgBB/hari tergantung dari beratnya gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal kronis harus mengurangi asupan proteinnya karena protein berlebih akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia. Dua penelitian meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein memperlambat progresivitas penyakit ginjal diabetik dan non-diabetik. Asupan kalori yang cukup sekitar 35 kkal/kgBB.LFG (ml/min)Protein (g/kgBB/hari)Fosfor (g/kg/hari)

> 60 Tidak perlu restriksi proteinTidak perlu restriksi

25 60 0,6 g/kgBB/hari termasuk 0,35 g/kgBB/hari protein dengan nilai biologik tinggi. 10

5 25 0,6 g/kgBB/hari termasuk 0,35 g/kgBB/hari protein dengan nilai biologic tinggi. 0,3 g/kgBB/hari dengan suplementasi asam amino esensial ketoanalog. 10 9

< 60 (sindrom nefrotik) 0,8 g/kgBB/hari (+1 g protein/ g proteinuria) arau 0,3 g/kgBB/hari dengan suplementasi asam amino esensial atau ketoanalog (+1 g protein/ g proteinuria) 12

9

Tabel 3. Restriksi protein pada pasien dengan GGK.3 Berbagai formula cairan parenteral untuk pasien dengan GGK:10 Formula Kopple: Air 1000 2000 ml/hari

Glukosa 500 600 g/hari Asam amino 35 45 g/hari

Kalori 35 50 kkal/kgBB/hari

NPC/N 300 (GGK) 500 (GGA)

Elektrolit Na, K, Ca, Mg, Zn, Cu, et al.

Vitamin dan lipid

Formula Teraoka:

50% glukosa 1000 ml

10% NaCl 40 ml

K asparte 1 mEq

8,5% Ca gluconate 6 mEq

Mg Sulfat 6 mEq

K2PO4 1 mEq

Kidmin 400 600 ml

Lipid 400 ml/w

Vitamin dan trace elemen

Pemakaian kidmin:

- Partial parenteral nutisi : 200 ml, sekali sehari selama 2 jam atau pada waktu dialisis.- Total parenteral nutrisi : 400 ml, dengan 300 kkal/100 ml melalui vena sentral.XI.PROGNOSISPenyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penanganannya seringkali terlambat.DAFTAR PUSTAKA

1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang:Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2003:13-22

2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Gagal ginjal kronik. Dalam Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI,2001:531-534.

3. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. Dalam Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, et al (eds): Harissons Principles od Internal Medicine, 16th ed. New York, McGraw Hill, 2005:1653-1663.

4. Gold, NS. Chronic Renal Failure. http://www.5mcc.com/content.html.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Dalam Ilmu Penyakit Dalam Vol.1, ed.4. Jakarta: FKUI, 2007:570

6. Nasution MY, Prodjosudjadi W. pemeriksaan penunjang pada penyakit ginjal. Dalam Noer S. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2001:299-306

7. Baigent C, Landry M (2003) Study of heart and renal protection. Kidney International 63: S207-S210.

8. National institutes for health and clinical excellences guidelines 39. Anemia management in people with chronic kidney disease.Develop by the national collaborating centre for chronic condition. 2006,September.

9. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen Anemia Pada pasien Gagal Ginjal Kronik: 2001

10. Ali Z. Nutrisi parenteral pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Dalam Nefrologi Klinik, Tatalaksana Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang: perhimpunan nefrologi Indonesia, 2003: 39-34.

11. National institutes for health and clinical excellences guidelines 73.Early identification and management of chronic kidney disease in adult in primary and secondary care.Develop by the national collaborating centre for chronic condition. 2008,September.

1