referat gastro

40
BAB I PENDAHULUAN Kolangitis akut merupakan keadaan inflamasi dan infeksi akut dari saluran empedu. Kolangitis akut mempunyai spektrum klinis yang bervariasi mulai dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai kondisi berat yang dapat mengancam nyawa. 1 Pertama kali kolangitis akut ini dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot. Saat itu Charcot menggunakan istilah hepatic fever dalam laporan yang diterbitkannya. Adanya demam intermiten disertai dengan menggigil, nyeri abdomen kuadran kanan atas, dan ikterik, ketiga gejala ini kemudian dikenal sebagai triad Charcot. Charcot mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri. 2 Kolangitis obstruktif akut selanjutnya didefinisikan oleh Reynolds dan Dargan pada tahun 1959 sebagai suatu sindrom yang terdiri dari penurunan kesadaran, syok, demam, ikterik, nyeri abdomen kuadran kanan atas yang disebabkan oleh obstruksi empedu. Kelima gejala ini kemudian disebut pentad Reynolds. 3 Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan insidensi yang berbeda-beda di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, kolangitis akut relatif jarang, dan 1

Transcript of referat gastro

Page 1: referat gastro

BAB I

PENDAHULUAN

Kolangitis akut merupakan keadaan inflamasi dan infeksi akut dari saluran

empedu. Kolangitis akut mempunyai spektrum klinis yang bervariasi mulai dari

ringan dan dapat sembuh sendiri sampai kondisi berat yang dapat mengancam

nyawa.1

Pertama kali kolangitis akut ini dikemukakan pada tahun 1877 oleh

Charcot. Saat itu Charcot menggunakan istilah hepatic fever dalam laporan yang

diterbitkannya. Adanya demam intermiten disertai dengan menggigil, nyeri

abdomen kuadran kanan atas, dan ikterik, ketiga gejala ini kemudian dikenal

sebagai triad Charcot. Charcot mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan

dengan proses patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri.2

Kolangitis obstruktif akut selanjutnya didefinisikan oleh Reynolds dan

Dargan pada tahun 1959 sebagai suatu sindrom yang terdiri dari penurunan

kesadaran, syok, demam, ikterik, nyeri abdomen kuadran kanan atas yang

disebabkan oleh obstruksi empedu. Kelima gejala ini kemudian disebut pentad

Reynolds.3

Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan insidensi yang berbeda-

beda di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, kolangitis akut relatif jarang, dan

kejadiannya sering berhubungan dengan dilakukannya prosedur ERCP (1-3%),

dimana sering terjadi akibat injeksi zat kontras secara retrograd. Sedangkan di

negara-negara Asia Tenggara, Cina, dan Taiwan penyakit ini diwaspadai karena

insidensi batu empedu cukup tinggi.4 Di Turki dilaporkan antara tahun 1987-1995

koledokolitiasis (56 %) merupakan penyebab dari kolangitis akut sedangkan dari

tahun 1996-2004 penyakit yang mendasari kolangitis akut adalah tumor

periampular (80%).5

Di Indonesia sendiri dilaporkan kasus-kasus kolangitis akut yang ditemui

di kota Bandung dalam periode tahun 1983 sampai dengan 1998. Dari 1574 kasus

operasi pada saluran empedu yang dilakukan di RS besar di Bandung seperti

RSUP Dr. Hasan Sadikin, RS St. Borromeus, RS Advent, RS Immanuel, dan RS

1

Page 2: referat gastro

Kebonjati ditemukan 308 kasus (19.56%) kolangitis akut. Dari semua kasus

kolangitis akut tersebut 171 (55.51%) kasus disebabkan oleh adanya batu di

saluran empedu.6

Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin di dalam insidensi penyakit ini.

Mayoritas pasien berusia antara dekade keempat dan lima, serta pada usia yang

lebih tua akan lebih banyak disertai penyakit penyerta lainnya dan tingkat

mortalitasnya pun lebih tinggi.4

Sebelum tahun 1970-an angka kematian pasien dengan kolangitis akut

dilaporkan lebih dari 50%, tapi dengan kemajuan perawatan intensif, penemuan

antibiotik baru dan majunya teknik drainase empedu, secara dramatis mengurangi

angka kematian menjadi kurang dari 7% di tahun 1980-an. Walaupun demikian

tingkat kematian dilaporkan dalam kasus kolangitis akut yang berat masih

berkisar antara 11-27 % pada tahun 1990-an. Bahkan sampai sekarangpun bentuk

kolangitis akut yang berat tetap merupakan penyakit yang fatal dan mengancam

jiwa.2,4

Untuk itulah referat ini dibuat agar kita dapat menegakkan diagnosis

kolangitis akut berdasarkan temuan klinis, data laboratorium dan pemeriksaan

penunjang sehingga kita dapat menatalaksana pasien dengan tepat dan dapat

menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini.

2

Page 3: referat gastro

BAB II

KOLANGITIS AKUT

2.1. Etiologi

Kolangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang

semuanya akan berakhir dengan stasis aliran empedu dan akhirnya terjadi infeksi

oleh bakteri akibat adanya multiplikasi yang meningkat pada saluran empedu.

Berbagai jenis etiologi terhambatnya aliran cairan empedu dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Tabel1. Etiologi terhambatnya aliran cairan empedu7

No Penyebab kolangitis1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.

CholedocholithiasisStriktur sistem bilierNeoplasma pada sistem bilierKomplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensisPankreatitis kronisPseudokista atau tumor pankreas Stenosis ampulla Kista Choledochus kongenital atau penyakit CaroliSindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi Diverticulum Duodenum

Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (30-70%), yang

kemudian disusul oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier (10-30%)

seperti yang dapat kita lihat pada tabel 2 dibawah. Di negara-negara Asia

Tenggara dan Cina, cacing tidak jarang ditemukan sebagai penyebab, walaupun

jenis cacing yang ditemukan berbeda-beda.7

Tabel 2. Penyebab kolangitis akut dari berbagai penelitian.2

3

Page 4: referat gastro

2.2. Patogenesis

Saluran empedu bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap

steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi

antibakteri seperti immunoglobulin A dalam empedu serta berfungsi dengan

baiknya sfingter Oddi untuk mencegah bakteri masuk ke saluran empedu.2,8

Faktor utama dalam patogenesis dari kolangitis akut adalah obstruksi

saluran empedu, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu.

Saluran empedu yang terkolonisasi oleh bakteri namun tidak mengalami stasis

pada umumnya tidak akan menimbulkan kolangitis. Saat ini dipercaya bahwa

obstruksi saluran empedu menurunkan pertahanan antibakteri. Walaupun

mekanisme masih belum jelas, dipercaya bahwa bakteri memperoleh akses

menuju saluran empedu secara retrograd melalui duodenum atau melalui aliran

darah dari vena porta.

Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cmH2O. Pada keadaan

baktibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatika dan nodus

limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat obstruksi parsial atau

total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai 18-29 cmH2O, dan organisme

akan muncul secara cepat di darah dan limfa. Peningkatan tekanan bilier akan

mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier, vena hepatika, dan saluran limfatik

perihepatik, yang akan menimbulkan bakteriemia (25%-40%). Infeksi dapat

bersifat supuratif pada saluran empedu.6.7

Demam dan menggigil yang timbul pada kolangitis merupakan hasil dari

bakteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks kolangiovenososus dan

kolangiolimfatik.6,7

Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu

syok septik, gagal organ multipel yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang

disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel) dan

4

Page 5: referat gastro

bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi

lebih buruk. 7

Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah

Escherischia coli. Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan

yang ditemukan dalam empedu. Sebagai tambahan, infeksi polimikrobial sering

ditemukan pada kultur empedu (30-87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur

darah (6-16%).6.7

Tabel 3. Bakteri yang diisolasi dari empedu, batu empedu dan darah7

2.3. Diagnosis

2.3.1 Anamnesis dan Pemeriksaan fisik

Dari anamnesis didapatkan adanya demam yang bersifat intermiten, nyeri

perut kanan atas dan timbulnya kuning diseluruh tubuh. Hal ini pertama kali

5

Page 6: referat gastro

dideskripsikan pada tahun 1877 oleh Charcot. Charcot menjelaskan kolangitis

sebagai “triad” yang ditemukan berupa: nyeri kuadran kanan atas, demam, dan

ikterik. Pentad Reynolds menambahkan perubahan status mental dan sepsis pada

triad tersebut.9

Banyak pasien yang datang dengan kolangitis akut tidak memiliki gejala-

gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen

kuadran lateral atas.

Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam,

menggigil dan kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau

hypocholis, dan malaise.

Pada tabel 4 dibawah ini kita dapat melihat persentase dari gejala klinis

pasien yang datang dengan kolangitis akut. Terlihat bahwa trias Charcot dimiliki

oleh sekitar 50-70% pasien, sedangkan pentad Reynold hanya dimiliki sekitar 7-

50% pasien.9

Tabel4. Manifestasi klinik dari kolangitis akut9

Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Adanya riwayat dari

keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko kolangitis:6,7,9

Batu kandung empedu atau batu saluran empedu

Pasca cholecystectomy

6

Page 7: referat gastro

Manipulasi endoskopik atau ERCP, kolangiogram

Riwayat kolangitis sebelumnya

Riwayat HIV atau AIDS: kolangitis yang berhubungan dengan AIDS

memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan obstruksi bilier.

Etiologinya masih belum jelas namun dapat berhubungan dengan

cytomegalovirus atau infeksi Cryptosporidium

Terdapat berbagai spektrum kolangitis, mulai dari gejala yang ringan

sampai sepsis. Apabila terdapat syok septik, diagnosis kolangitis mungkin dapat

tidak terduga. Pikirkan kolangitis pada setiap pasien yang nampak septik,

terutama pada pasien-pasien tua, mengalami ikterik, atau yang mengalami nyeri

abdomen. Riwayat nyeri abdomen atau gejala kolik bilier dapat merupakan

petunjuk bagi penegakkan diagnosis.7,9

2.3.2 Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan terjadinya leukositosis

dengan pergeseran ke kiri. Pada pasien dengan kolangitis, 79% memiliki sel darah

putih melebihi 10.000/mL, dangan angka rata-rata 13.600. Namun pada pasien

kolangitis akut dengan sepsis dapat terjadi juga leukopenia.4,9

Tes fungsi hati kemungkinan besar konsisten dengan keadaan kolestasis,

hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien dan peningkatan kadar alkali

fosfatase terjadi pada 78% pasien. SGOT dan SGPT biasanya meningkat dalam

24-48 jam setelah onset kolangitis akut.

Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan. Pemeriksaan

kadar kalsium darah diperlukan untuk memeriksa kemungkinan pankreatitis, yang

dapat menimbulkan hipokalsemia. PT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali

bila terdapat sepsis yang menimbulkan Disseminated Intravascular Coagulation

(DIC) atau apabila terdapat sirosis hepatis pada pasien tersebut. Kadar C-reactive

protein (CRP) dan Laju Endap Darah (LED) pada umumnya meningkat. 10

Keterlibatan duktus koledokus bagian bawah dapat menimbulkan

pankreatitis dan peningkatan kadar lipase. Sepertiga dari pasien mengalami sedikit

peningkatan pada kadar lipase. Peningkatan enzim pankreas umumnya

7

Page 8: referat gastro

menunjukkan bahwa batu saluran empedu yang menimbulkan kolangitis, dengan

ataupun tanpa gallstone pancreatitis (pankreatitis yang disebabkan oleh batu

empedu). 10

Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah memberikan hasil

yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi polimikrobial. Kultur

cairan empedu dilakukan apabila pasien dilakukan drainase bilier dengan

interventional radiology atau endoskopi.

Tabel 5. Hasil data laboratorium pada kolangitis akut9,10

2.3.3 Pemeriksaan penunjang

Studi pencitraan penting untuk mengkonfirmasi keberadaan dan penyebab

obstruksi bilier dan untuk menyingkirkan kondisi yang lain. Ultrasonografi dan

CT scan merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan.

Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan kolesistitis.

Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik untuk memeriksa kandung empedu

dan menilai dilatasi saluran empedu, namun pemeriksaan ini sering melewatkan

batu yang terdapat pada duktus biliaris distal.

Ultrasonografi transabdominal merupakan pemeriksaan awal pilihan.

Ultrasonografi dapat membedakan obstruksi intrahepatik dari obstruksi

ekstrahepatik dan memperlihatkan dilatasi duktus bilier. Pada sebuah penelitian,

8

Page 9: referat gastro

hanya 13% koledokolitiasis dapat diamati pada USG, namun dilatasi CBD

terdapat pada 64% kasus.11 Keuntungan USG adalah dapat dilakukan secara cepat

di UGD, kemampuan untuk melihat struktur lain (aorta, pankreas, hati),

kemampuan untuk mengidentifikasi komplikasi misalnya perforasi, empyema dan

abses.11, 12

Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang bergantung pada

kemampuan operator dan pasien, dimana pada pasien obesitas dan banyaknya

udara di dalam usus akan mempengaruhi hasil, tidak mampu untuk melihat duktus

sistikus, dan penurunan sensitivitas bagi batu saluran empedu distal. Hasil USG

yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis kolangitis.12

Pemeriksaan CT scan bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG. CT

scan helical atau spiral dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. Pada CT

scan cholangiography yang mempergunakan zat kontras, dimana zat tersebut akan

diuptake oleh hepatosit dan disekresi menuju saluran bilier. Hal ini meningkatkan

kemampuan untuk memvisualisasikan batu radiolusen dan meningkatkan tingkat

deteksi dari patologi bilier lain. Batu intrahepatik dan ekstrahepatik serta

inflamasi saluran empedu dapat terlihat pada CT scan. Batu empedu dengan

ukuran yang kecil tidak dapat terlihat dengan baik pada CT Scan biasa,13

Keuntungan dari CT Scan adalah kemampuannya untuk melihat proses

patologis lain yang merupakan penyebab ataupun komplikasi dari kolangitis akut.

Diagnosis banding juga kadang dapat terlihat misalnya divertikulitis kolon kanan,

nekrosis papilla, pyelonephritis, iskemia mesenterium, dan appendix yang ruptur. 13

Kerugian dari CT scan meliputi kemampuan pencitraan batu empedu yang

buruk, reaksi alergi terhadap kontras, paparan terhadap radiasi, dan kurangnya

kemampuan untuk memvisualisasikan saluran bilier dengan kadar bilirubin serum

yang meningkat.

Endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) merupakan

pemeriksaan yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan merupakan kriteria

standar bagi pencitraan sistem bilier. ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang

memerlukan intervensi terapeutik. Pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi

9

Page 10: referat gastro

bagi kolangitis sebaiknya segera dilakukan ERCP. ERCP memiliki tingkat

keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap lebih aman daripada intervensi

bedah dan perkutaneus.14

Penggunaan ERCP sebagai alat diagnostik memiliki tingkat komplikasi

sebesar 1,38% dan tingkat mortalitas sebesar 0,21%. Komplikasi utama dari

ERCP terapeutik sebesar 5,4% dan tingkat mortalitasnya sebesar 0,49%.

Komplikasinya meliputi pankreatitis, perdarahan, dan perforasi.15

Magnetic resonance cholangio pancreatography (MRCP) merupakan

studi noninvasif yang semakin sering dipergunakan untuk diagnosis batu bilier

dan patologi bilier lain. MRCP akurat untuk mendeteksi choledocholithiasis,

neoplasma, striktur, dan dilatasi sistem bilier. MRCP memiliki sensitivitas > 90%

untuk mendeteksi adanya batu pada saluran empedu. Keterbatasan MRCP

meliputi ketidakmampuan untuk melakukan tes diagnostik invasif seperti

pengambilan sampel empedu, uji sitologis, pengambilan batu, ataupun stenting.

Pemeriksaan MRCP memiliki keterbatasan dalam melihat batu dengan ukuran

kecil (< 6 mm)16,17

Kontraindikasi absolutnya sama dengan MRI tradisional, termasuk

keberadaan alat pacu jantung (pacemaker), klip aneurisma serebral, implan okuler

atau cochlear, dan benda asing pada okuler. Kontraindikasi relatif meliputi

terdapatnya prosthesa katup jantung, neurostimulator, prosthese logam dan implan

pada penis. Resiko MRCP pada kehamilan masih belum diketahui.16,17

Pada umumnya, foto polos abdomen tidak banyak membantu pada

diagnosis kolangitis akut. Ileus dapat diamati pada kasus tersebut. Antara 10-30%

batu empedu memiliki cincin kalsium, sebagai akibatnya bersifat radioopak. Foto

abdomen dapat menunjukkan udara dalam saluran bilier setelah manipulasi

endoscopik apabila pasien mengalami cholecystitis emphysematosa, kolangitis,

ataupun fistula cholecystic-enteric. Udara dalam dinding kandung empedu

mengindikasikan cholecystitis emphysematosa.18

Skintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA] dan

diisopropyl iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA merupakan

uji fungsional dari kandung empedu. Obstruksi CBD menimbulkan nonvisualisasi

10

Page 11: referat gastro

dari usus halus. Scan HIDA pada obstruksi total dari saluran bilier tidak

memperlihatkan saluran bilier. 19,20

Kerugiannya adalah apabila terdapat kadar bilirubin yang tinggi (>4,4)

dapat menurunkan sensitifitas pemeriksaan ini. Keadaan baru makan atau tidak

makan selama 24 jam juga dapat mempengaruhi pemeriksaan ini, selain itu

pencitraan anatomis bagi struktur-struktur lain selain saluran bilier tidak

memungkinkan. Pemeriksaan ini memerlukan waktu beberapa jam, sehingga tidak

direkomendasikan pada pasien kritis atau pada pasien yang tidak stabil.19,20

2.3.4 Kriteria diagnosis

Kriteria diagnosis kolangitis akut berdasarkan Tokyo Consensus Meeting

pada tahun 2006. Konsep dari kriteria ini adalah adanya triad Charcot sebagai

kriteria diagnosis kolangitis akut. Jika pada pasien tidak ditemukan semua

komponen dari triad Charcot maka diagnosis pasti bisa ditegakkan jika ditemukan

tanda-tanda inflamasi akut dan obstruksi saluran empedu yang didapatkan dari

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Untuk lebih ringkasnya

dapat kita lihat pada tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6. Kriteria diagnosis untuk kolangitis akut21

Setelah tiga tahun dipublikasikan, pada tahun 2010 dilakukan sebuah

penelitian di Jepang untuk menilai akurasi dari Tokyo guidelines ini. Dari 74

pasien yang pada awalnya didiagnosis dengan kolangitis akut ternyata hasil

penelitian ini menunjukkan sensitivitas dari Tokyo guidelines ini adalah 72.1%

11

Page 12: referat gastro

dan spesifisitasnya adalah 38.5%. Akurasi dari Tokyo guidelines secara statistik

berbeda bermakna  (p < 0.001) dibandingkan dengan hanya berdasarkan triad

Charcot saja. Sehingga hasil akhir dari penelitian ini adalah dianjurkan untuk

pemakaian secara luas Tokyo guidelines untuk mendiagnosis kolangitis akut. 22

2.3.4 Penilaian keparahan kolangitis akut23

Pasien dengan kolangitis akut bisa tampil dalam bentuk klinis apapun

mulai dari ringan, sembuh sendiri sampai kondisi parah yang dapat mengancam

jiwa. Pada umumnya pasien respon dengan terapi inisial berupa terapi suportif dan

pemberian antibiotik intravena. Tetapi beberapa kasus tidak respon dengan terapi

inisial, yang terlihat dari tidak adanya perbaikan klinis maupun laboratoris.

Bahkan pasien dapat jatuh pada keadaan sepsis, dan timbulnya gagal organ yang

membutuhkan manajemen yang intensif dan drainase empedu emergensi. 21, 23

Untuk menilai kriteria keparahan kolangitis akut diperlukan 2 penilaian

yaitu penilaian terhadap respon terapi inisial dan penilaian terhadap adanya

disfungsi organ. Pasien yang respon dengan dengan terapi inisial diklasifikasikan

sebagai kolangitis akut ringan (grade I). Pasien yang didiagnosa kolangitis akut

yang tidak mempunyai komplikasi disfungsi organ namun tidak respon dengan

terapi inisial diklasifikasikan menjadi kolangitis akut moderat (grade II).

Sedangkan jika sudah terjadi disfungsi organ maka diklasifikasikan menjadi

kolangitis akut berat (grade III). Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 7. Defenisi penilaian keparahan kolangitis akut.23

12

Page 13: referat gastro

BAB III

PENATALAKSANAAN KOLANGITIS AKUT

Kolangitis akut jika tidak ditangani dengan tepat akan berakibat fatal.

Diagnosis dini kondisi yang mendasarinya sangat penting terutama pada pasien

usia lanjut. Antibiotik spektrum luas dan dekompresi saluran empedu adalah

prinsip dari penatalaksanaan kolangitis akut ini. Berdasarkan algoritma

penanganan kolangitis akut pada gambar dibawah tindakan yang pertama kita

lakukan adalah manajemen konservatif pada pasien yang meliputi :

Pasien dipuasakan

Dekompressi dengan NGT ("Naso Gastric Tube")

Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi

Dilakukan koreksi kelainan elektrolit21

13

Page 14: referat gastro

Gambar 1. Algoritma manajemen pasien dengan kolangitis akut.10

Kira-kira 80% dari pasien akan membaik dengan manajemen konservatif dan

terapi antibiotik. Pada 20 % kasus terapi medikamentosa tidak berhasil

memperbaiki keadaan umum penderita, sehingga tindakan dekompresi emergensi

diperlukan. 10,21

3.1 Pemilihan antibiotik pada kolangitis akut.

Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai apakah antibiotik yang

paling efektif untuk kolangitis akut karena antibiotik ini harus memiliki

konsentrasi yang tinggi di empedu. Selain itu pada kolangitis akut terjadi

peninggian tekanan intrabiliar karena adanya obstruksi empedu, sehingga

diragukan apakah ada antibiotik yang efektif yang diekskresikan ke empedu.24

Pemilihan antibiotik secara empiris didasarkan pada :

1. Patogen yang paling sering diduga menyebabkan kolangitis akut.

2. Aktivitas antibiotik pada saluran empedu.

3. Pola resistensi kuman berdasarkan hasil kultur. 25

Terapi antibiotik empiris harus mencakup terhadap bakteri gram-negatif

enterik aerobik (misalnya, E coli, Klebsiella spesies, Enterobacter spesies), bakteri

gram-positif (misalnya, Enterococcus dan spesies Streptococcus), dan anaerob

(misalnya, Bacteroides fragilis, Clostridium perfringens).

Oleh karena itu, terapi tradisional dengan ampisilin dan aminoglikosida

yang sekarang menjadi rejimen kurang ideal karena lemahnya kerja ampisilin

terhadap kedua bakteri gram negatif aerobik dan anaerobik, dan terdapatnya efek

nefrotoksisitas dari aminoglikosida.26

Banyak kombinasi yang lebih baru telah terbukti efektif baik sebagai agen

tunggal atau terapi kombinasi. Ureidopenislin seperti mezlocillin dan piperacillin

meliputi bakteri gram negatif dan secara efektif disekresikan ke empedu tidak

14

Page 15: referat gastro

hanya pada subjek yang sehat tetapi juga pada keadaan kolangitis dan juga

kadarnya didalam empedu lebih tinggi dibandingkan golongan aminopenicillin.26

Sefalosporin dapat dikombinasikan dengan metronidazole, dan ampisilin.

rejimen tunggal dapat diberikan termasuk piperasilin dan tazobactam, mezlocillin,

imipenem, meropenem, tikarsilin dan klavulanat, atau ampisilin dan sulbaktam,

yang juga dapat dikombinasikan dengan metronidazol.

Pada pasien dengan komorbiditas sedikit dan kedaan klinis ringan, dapat

digunakan rejimen tunggal seperti cefoxitin (sefalosporin generasi kedua).

Namun, cakupan anaerobik cefoxitin adalah kurang. Generasi baru

fluoroquinolones (misalnya, moksifloksasin) juga memiliki aktivitas anaerobik

luas gram positif dan gram negatif cakupan dan lebih baik, tetapi mereka kurang

efektif terhadap spesies Pseudomonas.27Pada pasien dengan komorbiditas yang

multipel dan tampilan klinis berat, spektrum antimikroba luas dengan cakupan

pseudomonal dan enterococcal direkomendasikan. Setelah kultur darah

didapatkan hasilnya, regimen antibiotik dapat dipersempit berdasarkan hasil

kultur tersebut. Pada tabel dibawah kita bisa melihat pilihan antibiotika yang

dapat kita berikan pada pasien dengan kolangitis akut. 24,26

Tabel 8. Pemilihan antibiotik pada kolangitis akut.26

Derajat keparahan kolangitis akut

Golongan Antibiotik Contoh Antibiotik

Grade 1 Generasi 1 sefalosporinGenerasi 2 sefalosporin

Penisilin/β laktamase inhibitor

CefazolineCefmetazole, cefotiam, oxacephem, flomoxefAmpicillin/Sulbactam

Grade 2 dan 3Lini Pertama

Lini kedua

Penisilin/β laktamase inhibitorGenerasi 3 dan 4 sefalosporin

Monobaktam3 golongan di atas ditambah metronidazol

Fluoroquinolon

Carbapenem

golongan di atas ditambah

Piperacillin/TazobactamCefoperazone, ceftriaxone, ceftazidin, cefepime, cefozopranAztreonam

Ciprofloksasin, levofloxacin, moxifloxacin,Meropenem, imipenem, doripenem

15

Page 16: referat gastro

metronidazol

Pada penelitian yang dilakukan oleh Negm A pada tahun 2010 tentang

pola resistensi kuman empedu yang didapatkan dari endoscopic retrograde

cholangiography (ERCP) dan percutaneous transhepatic cholangiography (PTC)

menunjukkan bahwa 69% kuman resisten terhadap cefuroxim, 51% pasien

resisten terhadap ampicillin/ sulbactam dan 47% resisten ampicillin/asam

clavulanat seperti yang dapat kita lihat pada gambar 2. 28

Gambar 2. Pola resistensi kuman yang berasal dari empedu.28

Dari penelitian ini juga didapatkan bakteri dengan tingkat resistensi yang

tinggi yang tetap berkembang dibawah pemberian antibiotik emperis yaitu

Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus faecium dan Enterobacter cloacae.28

Antibiotik dapat diberikan selama 7-10 hari. Jika drainase saluran empedu

secara endoskopis adekuat. Antibiotik dapat dilanjutkan cukup 3 hari saja. Sebuah

penelitian prospektif oleh van Lent pada 89 pasien yang dilakukan ERCP karena

kolangitis akut terbukti bahwa tidak terdapat perbedaaan yang bermakna antara

kelompok yang diberikan antibiotik selama ≤3 hari, 4-5 hari dan > 5 hari.29

16

Page 17: referat gastro

3.2 Drainase saluran empedu

Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki

keadaan umum, maka tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara

elektif dan pada umumnya dilakukan dengan 3 teknik :

1. Drainase secara endoskopik

2. Drainase perkutan sistem bilier

3. Pembedahan terbuka8,18,19,21

3.2.1 Drainase secara endoskopik30

Drainase saluran empedu transpapilar untuk kolangitis akut berdasarkan

kanul selektif yang yang dimasukkan dalam saluran empedu dengan teknik ERCP.

Bagaimanapun prosedur drainase dibedakan berdasarkan adanya tambahan

aplikasi alat yaitu endoscopic sphincterotomy (EST) dan endoscopic nasobiliary

drainage (ENBD) atau pemasangan stent.

ERCP merupakan prosedur pemasukan kateter ke papilla menggunakan

scope duodenum untuk melihat saluran empedu. Untuk membuat rute drainase

berhasil jika ingin dilakukan pemasangan stent dengan ENBD maka penempatan

kateter sangat berperan. Jika kanulasi ke dalam saluran empedu mengalami

kesulitan maka dilakukan pemotongan sfingter dengan teknik EST. Namun jika

kanulasi gagal maka diperlukan teknik lain seperti percutaneous

transhepatic biliary drainage (PTBD)

1. Endoscopic sphincterotomy (EST)30

EST dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik standar dan teknik

yang lain yaitu teknik precutting. EST dengan teknik standar menggunakan

teknik inisisi bedah papilla duodenum dengan listrik frekuensi tinggi (kauter).

Untuk tujuan drainase, insisi papilla duodenum lebih kecil dibandingkan jika

bertujuan untuk mengeluarkan batu di duktus koledokus. Pankreatitis akut

merupakan kejadian yang paling sering terjadi karena tindakan EST dengan

teknik standar. Sedangkan teknik precutting dilakukan jika kanulasi ke saluran

17

Page 18: referat gastro

empedu tidak berhasil dilakukan. Teknik ini menggunakan sphincterotome

yang akan memotong sedikit ujung papilla. Komplikasi yang paling sering

terjadi dengan teknik precutting ini adalah perdarahan dan pankreatitis akut.

Kedua teknik diatas dapat kita lihat pada gambar 3.

Teknik EST ini mempunyai keuntungan yaitu :

1. Bukan hanya drainase empedu saja dapat dilakukan tetapi pengeluaran

batu di duktus koledokus dapat dilakukan juga dalam sekali tindakan.

2. Dengan teknik precutting bisa memastikan rute drainase empedu jika

pemasangan kanulasi mengalami kesulitan.

Gambar3. Teknik EST.

2. Endoscopic nasobiliary drainage (ENBD)30.31

ENBD merupakan prosedur drainase eksternal dengan menggunakan

kateter berukuran 5-7 Fr dengan teknik guidewire setelah proses kanulasi pada

saluran empedu. ENBD digunakan untuk drainase komplit dari saluran

empedu. ENBD mempunyai keuntungan yaitu :

a. Tidak diperlukan EST jika dibutuhkan

b. Penyumbatan pada kateter dapat dicuci.

c. Kultur empedu dapat dilakukan.

Sedangkan kerugiannya adalah ketidaknyamanan pasien karena adanya

kanul pada hidung, kanul mengalami dislokasi karena tertarik oleh pasien dan

sering kanul terpuntir. Pada gambar dibawah kita bisa melihat teknik

pemasangan ENBD.

18

Page 19: referat gastro

Gambar 4. Teknik pemasangan ENBD30

Lee dkk membuktikan bahwa prosedur ENBD efektif untuk pasien dengan

kolangitis akut dengan angka mortalitas yang rendah yaitu 2.5% dibandingkan

dengan 12% pada pasien dengan pemasangan Plastic stent placement.31

3. Plastic stent placement30

Plastic stent placement merupakan prosedur drainase internal

menggunakan stent plastik berukuran 7-10 Fr pada saluran empedu

menggunakan guidewire setelah dilakukan kanulasi pada saluran empedu.

Terdapat dua tipe jenis stent yaitu stent yang kaku dan stent dengan tipe pigtail

untuk mencegah dislokasi stent. Dibandingkan dengan ENBD

ketidaknyamanan pasien bisa dikurangi namun sangat riskan terjadi dislokasi

dan penyumbatan stent.

19

Page 20: referat gastro

Gambar 5. Teknik pemasangan Plastic stent placement

3.2.2. Technique of percutaneous transhepatic cholangial drainage (PTCD)

PTCD pada prinsipnya dilakukan jika drainase secara endoskopis tidak

bisa dikerjakan. Karena PTCD mempunyai komplikasi yang serius yaitu

pendarahan intraperitoneal dan peritonitis bilier serta lamanya perawatan dirumah

sakit. Jika terdapat gangguan pembekuan darah merupakan kontraindikasi relatif

namun jika tidak terdapat metode lain untuk drainase empedu maka teknik ini

dapat digunakan. 30

Prosedur ini menggunakan ultrasonografi untuk memandu tempat tusukan.

Kemudian dilakukan penusukan dengan jarum 18-22 G melalui hati menuju

saluran empedu. Kemudian dipasang kateter berukuran 7-10 Fr dengan kontrol

fluoroskopi dengan menggunakan teknik Seldinger. Menurut Quality

Improvement Guidelines yang dikeluarkan oleh ahli radiologis Amerika angka

keberhasilan teknik ini adalah 95% jika terdapat dilatasi saluran empedu dan 70%

jika tidak terdapat dilatasi saluran empedu. 32

20

Page 21: referat gastro

Gambar 6. Teknik PTCD30

3.2.3. Drainase dengan pembedahan.

Pasien dengan kolangitis akut sebaiknya ditatalaksana dengan prosedur

drainase endoskopis dan PTCD dan sangat sedikit dilakukan drainase dengan

pembedahan. Drainase dengan pembedahan diindikaasikan pada pasien yang tidak

bisa dilakukan prosedur drainase endokopis maupun PTCD, terdapatnya kelainan

anatomi dan struktural saluran empedu. Prosedur yang sering dilakukan adalah

pemasangan T-tube tanpa koledokolitotomi karena sebaiknya tindakan operasi

dipersingkat pada pasien dengan penyakit berat seperti kolangitis akut ini.30

Berdasarkan Tokyo guideline kolesistektomi secara laparoskopi elektif

direkomendasikan pada pasien yang telah dilakukan drainase baik secara

endoskopis maupun perkutan. Keuntungan dilakukan kolesistektomi secara

laparoskopi elektif dini adalah dapat mencegah terjadinya komplikasi kolangitis

berulang. Namun jika kolesistektomi secara laparoskopi elektif terlalu cepat

dilakukan akan menyulitkan proses operasi karena proses inflamasi masih

berjalan sehingga akan meningkatkan morbiditas.21

Li pada tahun 2010 meneliti 112 pasien yang telah dilakukan drainase

salauran empedu dan selanjutnya dilakukan kolesistektomi secara laparoskopi

elektif. Li menemukan bahwa waktu kolesistektomi secara laparoskopi elektif

sebelum 6 minggu mempunyai komplikasi intraoperatif dan postoperatif jauh

lebih rendah dibandingkan setelah 6 minggu dilakukan drainase saluran empedu,

seperti kita lihat pada tabel 9 berikut.33

Tabel 9. Perbandingan Komplikasi operasi dini dan operasi yang ditunda.33

21

Page 22: referat gastro

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Kolangitis akut merupakan keadaan inflamasi dan infeksi akut dari saluran

empedu yang dapat diakibatkan oleh berbagai keadaan patologis yang

menyebabkan stasis aliran empedu.

2. Penyebab terserang kolangitis akut adalah batu kandung empedu atau batu

saluran empedu.

3. Diagnosis kolangitis akut berdasarkan kriteria Tokyo guidelines yaitu

adanya triad Charcot atau ditemukan tanda-tanda inflamasi akut dan

obstruksi saluran empedu yang didapatkan dari pemeriksaan laboratorium

dan pemeriksaan penunjang.

4. Penilaian keparahan kolangitis akut didasarkan pada respon terhadap

terapi inisial dan adanya disfungsi organ.

5. Penatalaksanaan kolangitis akut meliputi manajemen konservatif dan

pemberian antibiotika serta drainase saluran empedu. Drainase saluran

22

Page 23: referat gastro

empedu terpilih yaitu drainase endoskopi diikuti percutaneous

transhepatic cholangial drainage (PTCD) dan drainase dengan

pembedahan

4.2 Saran

1. Pada pasien yang didiagnosis dengan kolangitis akut diperlukan

kewaspadaan yang tinggi bagi dokter yang merawatnya karena kondisi

klinis pasien dapat berubah menjadi berat sehingga memerlukan tindakan

drainase saluran empedu emergensi.

2. Dilengkapinya sarana dan prasarana untuk dapat dilakukannya drainase

empedu secara endoskopis di RS. M. Djamil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

jilid 1 edisi V, Interna Publishing, p. 725-726, 2009

2. Kimura Y, Takada T, Yoshifumi K et al. Definition, Pathophysiology, and

Epidemiology of Acute Cholangitis and Cholecystitis : Tokyo Guidelines. J

Hepatobiliary Pancreat Surg 2007; 14: 15-26

3. Reynolds BM, Dargan EL. Acute Obstructive Cholangitis. A distinct

syndrome. Ann Surg 1959; 150: 299–303

4. van Erpecum KJ. Gallstone disease. Complications of bile-duct stones: Acute

Cholangitis and Pancreatitis. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2006; 20(6) :

1139-52

5. Ozden I, Tekan Y, Bilge O, et al. Endoscopic and radiologic interventions as

the leading causes of severe cholangitis in a tertiary refeeral center. The

American Journal of Surgery 2005;189:702-6

23

Page 24: referat gastro

6. Karnadihardja W, Lukman K. Penanganan Bedah Kholangitis dalam Update

on Cholangitis. PP IKABDI, 1999

7. Kuntz E, Kuntz H-D. Cholangitis in Hepatology Textbook and Atlas 3rd

edition, Springer, p. 671-5, 2008

8. Chang S, Leung J. Acute Cholangitis in Disease of Gallbladder and Bile Ducts

: Diagnosis and Treatment 2nd edition, Blackwell publishing, p 265-72, 2006

9. Wada K, Takada T, Yoshifumi K et al. Diagnostic criteria and severity

assessment of acute cholangitis : Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat

Surg 2007; 14: 52-58

10. Attasaranya S, Fogel EL, Lehman GA. Choledocholithiasis, ascending

cholangitis and gallstone pancreatitis. Med Clin North Am. Jul 2008 ; 92 (4 ) :

925-60

11. Kendall JL, Shimp RJ. Performance and interpretation of focused right upper

quadrant ultrasound by emergency physicians. J Emerg Med 2001;21:7–13.

12. Yeh YH, Yang CC, Huang MH, et al. Urgent ultrasonography in the detection

of choledocolithiasis with or without acute cholangitis. Gastrointest Endosc

2000;62:457

13. Lee NK, Kim S, Lee JE, et al. Discrimination of suppurative cholangitis from

nonsuppurative cholangitis with computed tomography (CT). European

Journal of Radiology 2009;69:528-35

14. Kondo S, Isayama H, Akahane M et al. Detection of common bile duct stones:

comparison between endoscopic ultrasonography, magnetic resonance

cholangiography, and helical-computedtomographic cholangiography. Eur J

Radiol 2005;54:271–275.

15. Loperfido S, Angelini G, Benedetti G et al. Major early complications from

diagnostic and therapeutic ERCP: a prospective multicenter study.

Gastrointest Endosc 1998; 48: 1e10.

16. Topal B, Van de MM, Fieuws S et al. The value of magnetic resonance

cholangiopancreatography in predicting common bile-duct stones in patients

with gallstone disease. Br J Surg 2003; 90: 42e47.

24

Page 25: referat gastro

17. Romagnuolo J, Bardou M, Rahme E, Joseph L, Reinhold C, Barkun

AN. Magnetic resonance cholangiopancreatography: a meta-analysis of test

performance in suspected biliary disease. Ann Intern Med. Oct

7 2003;139(7):547-57. 

18. Yusoff IF, Barkun JS, Barkun AN. Diagnosis and management of

cholecystitis and cholangitis. Gastroenterol Clin North

Am. Dec 2003;32(4):1145-68. 

19. Lee JG. Diagnosis and management of acute cholangitis. Nat Rev

Gastroenterol Hepatol. Sep 2009;6(9):533-41. 

20. Qureshi WA. Approach to the patient who has suspected acute bacterial

cholangitis. Gastroenterol Clin North Am. Jun 2006;35(2):409-23. 

21. Miura F, Takada T, Yoshifumi K et al. Flowchart for the diagnosis and

treatment of acute cholangitis and cholecystitis : Tokyo Guidelines. J

Hepatobiliary Pancreat Surg 2007; 14: 27-34

22. Yokoe M, Takada T, Mayumi T, et al. Accuracy of the Tokyo Guidelines for

the diagnosis of acute cholangitis and cholecystitis taking into consideration

the clinical practice pattern in Japan. Journal of Hepato Biliary-Pancreatic

Sciences 2010;17;52-9

23. Wada K, Takada T, Kawarada Y, et al. Diagnostic criteria and severity

assesment of acute cholangitis : Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat

Surg 2007; 14: 27-52-58

24. Keaveny AP. Infections of the bile ducts. In Afdahl NH (ed.). Gallbladder and

Biliary Tract Diseases. 1st edn. Basel: Marcel Dekker, Inc.; p 773-821. 2000

25. Westphal JF, Brogard JM. Biliary tract infections: a guide to drug treatment.

Drugs 1999; 57 :81–91.

26. Wada K, Takada T, Kawarada Y, et al. Antimicrobial therapy for acute

cholangitis : Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg 2007; 14: 27-

59-67

27. Schwab D, Grauer M, Hahn EG et al. Biliary secretion of moxifloxacin in

obstructive cholangitis and the non-obstructed biliary tract. Aliment

Pharmacol Ther 2005;22: 417–422.

25

Page 26: referat gastro

28. Negm AA, Schott A, Vonberg RP, et al. Routine Bile Collection for

Microbiological Analysis during Cholangiography and Its Impact on the

Management of Cholangitis. Gastrointestinal Endoscopy 2010;72:284-291

29. van Lent AU, Bartelsman JF, Tytgat GN et al. Duration of antibiotic therapy

for cholangitis after successful endoscopic drainage of the biliary tract.

Gastrointest Endosc 2002;55: 518–522.

30. Tsuyuguchi T, Takada T, Kawarada Y, et al. Techniques of biliary drainage

for acute cholangitis : Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg 2007;

14: 335-45

31. Lee DWH, Chan ACW, Lam Yuk-hoy, et al. Biliary Decompression by

Nasobiliary Catheter or biliary stent in acute suppurative cholangitis: a

prospective randomized trial. Gastrointestinal Endoscopy 2002;3:361-5

32. Takada T, Yasuda H, Hanyu F. Technique and management of

percutaneous transhepatic cholangial drainage for treating an obstructive

jaundice. Hepatogastroenterology 1995;42:317–22

33. Li VKM, Yum JLK, Yeung YP. Optimal Timing of Elective Laparascopic

Cholecystectomy after Acute Cholangitis and Subsequent Clerance of

Choledocholithiasis. The American Journal of Surgery 2010;200:483-8

26