Referat GAKI
-
Upload
ronald-sitompul -
Category
Documents
-
view
156 -
download
16
description
Transcript of Referat GAKI
BAB I
PENDAHULUAN
Empat masalah klasik persoalan gizi di Indonesia yang masih berlangsung
yaitu kekurangan energi protein (KEP), anemia karena kekurangan zat besi,
gangguan akibat kekurangan iodium ( GAKI ) sampai kekurangan vitamin A.
Sebagian besar masalah ini terjadi karena kekurangan zat gizi mikro, sehingga
tidak selalu tampak secara fisik dan sering disebut sebagai hidden hunger atau
kelaparan tersembunyi.
Iodium merupakan unsur gizi kelumit (“micronutrient”) yang penting untuk
pembentukan hormon tiroid. Defisiensi iodium dapat menyebabkan timbulnya
gondok (pembesaran kelenjar tiroid) yang merupakan mekanisme adaptasi
terhadap kurangnya pasokan iodium dan terganggunya hormogenesis tiroid.
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium(GAKI) merupakan gangguan yang
telah lama diketahui, namun secara jelas baru dibakukan dalam tahun 1970-an.
Pada mulanya defisiensi iodium atau gondok endemik berat dihubungkan dengan
hipotiroidisme dan kretin endemik saja.
Sebetulnya, masalah GAKI merupakan suatu fenomena gunung es dimana
gondok endemik, kretin endemik dan hipotiroidisme muncul di permukaan secara
klinis, sedangkan yang tersembunyi jauh lebih banyak, terutama yang tergolong di
dalam “minimal brain damage”. Maka dari itu observasi selanjutnya
menggarisbawahi pendapat bahwa kretin endemik merupakan puncak dari gunung
es dampak defisiensi iodium pada perkembangan fetus, khususnya perkembangan
susunan syarafnya.
Hubungan kretin endemik dengan gondok sudah dipastikan oleh Sardinia
Commission th 1887. Seperti halnya dengan data di Indonesia pada awal tahun
1970-an, kretin endemik ditemukan di daerah dengan prevalensi gondok yang
tinggi dalam masyarakat (>30%). Iodium sebagai penyebab terjadinya kretin
endemik ditunjukkan dengan pasti pada penelitian buta-ganda dengan suntikan
lipiodol di Papua Nugini, di mana iodium berperan pada perkembangan fetus2.
1
Secara ringkas dikatakan bahwa spektrum GAKI ini ada hubungannya dengan
gondok endemik dan defisiensi iodium; dan apabila suplementasi iodium
dilaksanakan dengan memadai maka gambaran klinis GAKI tadi akan hilang.
Sudah pasti semua sindrom yang terkait dengan kelainan saraf bersifat menetap.
Survei pemetaan Gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) 1998
menunjukan 87 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah risiko kekurangan
iodium. Diperkirakan 20 juta penduduk menderita gondok dan 290.000 menderita
kretin (kerdil) dan terbelakang mental akibat kekurangan iodium. Hingga saat ini,
angka gondok nasional Indonesia masih mencapai 9,8% jauh diatas standar
organisasi kesehatan dunia (WHO) yang mensyaratkan angka gondok dibawah
5%.
Untuk menanggulangi GAKI baik jangka pendek maupun jangka panjang
harus ada keterkaitan antara komponen yang saling berkaitan, yaitu komponen
pemantauan konsumsi garam beriodium di masyarakat, peningkatan konsumsi
garam beriodium, peningkatan pengadaan garam beriodium dan distribusi kapsul
iodium pada daerah endemik serta pemantapan koordinasi lintas sektor ( Dinkes
Jabar, 2005 ).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
GAKI ( Gangguan Akibat Kekurangan Iodium ) adalah sekumpulan gejala
yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan unsur Iodium secara terus
menerus dalam jangka waktu yang cukup lama seperti: gondok endemik,
kretin, tingginya angka lahir mati dan angka kematian bayi serta menurunnya
tingkat kecerdasan.(DepKes RI, 2003)
2.2 Iodium
Iodium adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah sedikit
(mikro) tetapi fungsinya sangat penting bagi pertumbuhan kecerdasan.
(DinKes Jabar, 2000)
2.2.1 Fungsi iodium
Merupakan bagian integral dari kedua macam hormon tiroksin
triiodotironin (T 3) dan tetraiodotironin (T4). Fungsi utama hormon-hormon ini
adalah mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Hormon tiroid mengontrol
kecepatan tiap sel untuk menggunakan oksigen. Dengan demikian, hormon
tiroid mengontrol kecepatan pelepasan energi dari zat gizi yang menghasilkan
energi. Tiroksin dapat merangsang metabolisme sampai 30 %. Disamping itu
kedua hormon mengatur suhu tubuh, reproduksi, pembentukan sel darah
merah serta fungsi otak dan saraf. (Almatsier, 2003)
3
2.2.2. Sumber Iodium
Bahan makanan yang mengandung iodium adalah bahan makanan
yang berasal dari laut seperti ikan, udang dan ganggang laut. Sedangkan
bahan makanan yang menghambat penyerapan iodium yaitu : kol, lobak,
daun singkong (DinKes Jabar, 2000).
2.2.3 Patofisiologi Defisiensi Iodium
Iodium merupakan zat gizi kelumit yang terdapat sebanyak 15 – 20 mg
di dalam tubuh. Zat gizi ini penting untuk sintesis hormon tiroid.
Defisiensi iodium dapat berakibat hipotiroidi oleh karena terganggunya
hormogenesis.
Menurut WHO, kebutuhan harian akan iodium adalah 50 mg/hari pada
umur 0 – 12 bulan, 90 – 120 mg/hari pada umur sampai 11 tahun, 150
mg/hari pada remaja dan dewasa dan 200 mg/hari pada ibu hamil atau
laktasi.
Oleh karena ekskresi iodium di feses dapat diabaikan (5mg/hari),
pasokan iodium melalui diet dapat diperhitungkan sama dengan jumlah
ekskresi iodium di urine. Ekskresi iodium di urine di daerah non endemik
adalah 100 mg/hari, sedangkan di daerah endemik berkisar antara 3
mg/hari sampai 45 mg/hari.
Apabila kebutuhan fisiologis tidak terpenuhi di populasi tertentu maka
akan terjadi kelainan perkembangan dan fungsionil seperti kelainan fungsi
tiroid, gondok dan kretin endemik, penurunan fertilitas, peningkatan
kematian perinatal atau bayi yang semuanya termasuk dalam spektrum
GAKI.
Iodium merupakan komponen struktural dari hormon THYROXIN
yang dihasilkan oleh kelenjar gondok (TETRAIODOTHYRONIN (T4)).
Iodium yang terdapat di dalam makanan, setelah dari usus dialirkan ke
4
dalam sirkulasi darah, masuk ke dalam sel kelenjar gondok. Disini sel
mempunyai kemampuan untuk menyerap zat iodium secara aktif sehingga
mencapai konsentrasi sebesar 25 X konsentrasinya di dalam plasma darah.
Di dalam sel kelenjar Iodida dioksidasi menjadi elemen iodium. Elemen
ini bereaksi dengan asam amino THYROSIN menjadi MONOIODO
THYROSIN (T1) kemudian bereaksi lagi menjadi DIIODO THYROSIN
(T2). Reaksi berjalan lebih lanjut membentuk TRIIODO TRYONIN (T3)
dan akhirnya menjadi TETRAIODO TYRONIN (T4) atau THYROXIN,
yang merupakan molekul hormon thyroid. T3 dan T4 disimpan di dalam
folikel.
Kelenjar gondok berkonjugasi dengan suatu protein jenis globulin,
sehingga disebut THYROGLOBULIN. Baik Triiodo tyronin maupun
Tetraiodo tyronin mempunyai bioktivitas hormon. Thyroid Stimulating
Hormone (TSH) yang dihasilkan oleh Hypophysys anterior merangsang
syntesis dan sekresi T3 dan T4 dari ikatannya pada globulin dan kedua zat
tersebut disekresikan dari folikel kelenjar gondok masuk ke dalam saluran
darah.
Bila hormon thyroxin meningkat di dalam darah, terjadi pengaruh
penghambat terhadap sekresi TSH, sehingga sekresi oleh hypophysys
menurun. Penurunan kadar TSH menghambat sekresi hormon thyroxin,
sehingga kadarnya di dalam darah menurun pula. Demikianlah terjadi
saling mempengaruhi antara TSH dan hormon thyroxin yang selalu tetap
dalam range yang sempit sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Thyroxin bebas sangat sedikit terdapat di dalam plasma. Kadar T3 dan
T4 di dalam plasma sebesar 7 ug/dl, dinyatakan dalam % iodium plasma,
PBI adalah 99,5 %.
Pada defisiensi iodium pembentukan hormon thyroxin terhambat,
sehingga tidak mencukupi kebutuhan. Maka kelenjar thyroid berusaha
terjadi hyperthopi kelenjar gondok dan karena terjadi di daerah tertentu
secara endemic (endemic goiter).
5
2.2.4 Angka Kecukupan Iodium
Kebutuhan iodium sehari sekitar 1-2 µg per kg berat badan.
Widyakarya pangan dan gizi (1998) menganjurkan AKG untuk iodium
sebagai berikut :
Bayi : 50-70 µg
Balita remaja dan Dewasa : 70-120 µg
Ibu hamil : + 25 µg
Ibu menyusui : + 50 µg
2.3 Pemetaan GAKI di Indonesia
Masalah GAKI di Indonesia berdasarkan hasil pemetaan pada tahun 1998:
( DepKes RI, 2003 )
1. Hasil pemetaan TGR ( Total Goiter Rate ) per anak Sekolah Dasar
TGR 1980 : 37,7 %
TGR 1990 : 27,7 %
TGR 1998 : 09,8 %
2. Hasil pemetaan dari 1300 kecamatan ( 33 % ) termasuk daerah endemic
GAKI
272 kecamatan ( 7 % ) termasuk dalam Endemik Berat
197 kecamatan ( 5 % ) termasuk dalam Endemik Sedang
831 kecamatan ( 21 % ) termasuk dalam Endemik Ringan
3. Hasil perolehan dari populasi penduduk ditemukan:
53,8 juta penduduk tinggal di daerah resiko kekurangan Iodium
20 juta menderita gondok
290 ribu menderita kretin dan diperkirakan 9 ribu bayi lahir kretin
setiap tahun
2.4 Penyebab GAKI
6
Defisiensi iodium terdapat di banyak daerah di seluruh Indonesia secara
endemik, terutama di kepulauan yang besar dan terpencil di pegunungan. Ini
karena air dan tanah di daerah tersebut miskin akan kandungan zat iodium,
sedangkan bahan makanan yang berasal dari laut biasanya kaya akan zat
iodium tidak dapat mencapai daerah-daerah tersebut (Sediaoetama, 1999).
Semakin jauh tanah itu dari pantai semakin sedikit pula kandungan
iodiumnya, sehingga tanaman yang tumbuh di daerah tersebut termasuk
rumput yang dimakan hewan sedikit sekali / tidak mengandung iodium
(Almatsier, 2003). Selain itu masih banyaknya garam konsumsi yang beredar
belum memenuhi persyaratan yang dianjurkan pemerintah. Persyaratan yang
ditentukan melalui DepKes RI adalah 40 – 200 ppm KIO3. 36 % produk
garam konsumsi mengandung iodium dibawah 30 ppm dan 6 % sama sekali
tidak mengandung iodium dari 1717 sampel yang diproduksi dari 238
perusahaan garam beriodium yang ada di Indonesia. Khusus di pulau Jawa,
sekitar 50,6 % mengandung iodium dibawah 30 ppm dan 8,6 % sama sekali
tidak mengandung iodium dari 1057 sampel yang berasal dari 124 perusahaan
garam beriodium.
2.5 Gambaran Klinik GAKI
Defisiensi iodium memberikan berbagai gambaran klinik yang semuanya
disebut Iodium Deficiency Disease (IDD) atau GAKI (Gangguan Akibat
Kekurangan iodium). Hendaknya kita bedakan antara istilah lama Gondok
Endemik (dengan sebab yang multifaktorial) dengan GAKI (dengan sebab
defisiensi iodium). Dari tahun ke tahun spektrum klinik yang kita
kelompokkan dalam GAKI merupakan satu evolusi perkembangan iptek juga.
Sebagai contoh perubahan yang terlihat dari Tabel Spektrum GAKI tahun
1983, 1987 dan 1993 di bawah ini.
Tabel 2.1. Spektrum GAKI tahun 1983, 1987 dan 1993
7
Hetzel BS, Lancet 1983, ii; 1126 Hetzel BS, ‘Prevention and control ofIodine Deficiency Disorders’ 1987, 10
Hetzel BS, ‘The damaged brain ofiodine deficiency, 1993 page 3
FetusAbortions, StillbirthIncreased perinatal/infant mortalityNeurologic e.c Mental deficiencyDeaf mutismSpastic diplegia, SquintMyxedematous.ec Mental deficiencyHypothyroidismDwarfism
FetusAbortions, StillbirthCongenital anomaliesIncreased perinatal/infant mortalityNeurological cretinism :Mental deficiency, deaf-mutism,spastic diplegia, squintMyxedematous cretinism : dwarfism,mental deficiencyPsychomotor defects
FetusAbortions, StillbirthCongenital anomaliesIncreased perinatal/infant mortalityNeurological cretinism :Mental deficiency, deaf-mutism,spastic diplegia, squintMyxedematous cretinism : dwarfism,mental deficiencyPsychomotor defects
NeonateGoiterOvert or subclinical hypothyroidism
NeonateNeonatal goiterNeonatal hypothyroidism
NeonateNeonatal goiter, Neonatal hypothyroidismIncreased susceptibility to nuclearradiation
Infant, ChildGoiterAdolescentJuvenile hypothyroidismImpaired mental physical development
Child and AdolescentGoiterJuvenile hypothyroidismImpaired mental functionRetarded physical development
Child and AdolescentGoiterJuvenile hypothyroidismImpaired mental functionRetarded physical developmentIncreased susceptibility to nuclearradiation
AdultGoiter and its complicationsHypothyroidismEndemic mental retardationDecreased fertility rate
AdultGoiter with its complicationsHypothyroidismImpaired mental function
AdultGoiter and its complicationsHypothyroidismImpaired mental functionIodine Induced Hyperthyroidism(IHH)Increased susceptibility to nuclearradiation
Dari gambaran spektrum di atas akan dibahas beberapa aspek, dimulai
dengan aspek demografik (angka kematian), aspek klinik yang mudah dilihat
(gondok, kretin endemik, hipotiroidisme) dan aspek lain yang memerlukan
perhatian maupun pemeriksaan khusus (gangguan perkembangan saraf dan
mental).
2.5.1 Aspek Demografik
8
Data yang menarik dan jelas datang dari Zaire, dimana : (a). berat
badan neonatus berkorelasi dengan terkoreksinya defisiensi iodium pada
pertengahan gestasi, (b). pada berat badan sama maka Infant Mortality
Rate anak-anak dari ibu yang defisiensi iodiumnya belum dikoreksi akan
lebih tinggi, (c).IMR menurun dengan koreksi defisiensi iodium khusus
pada ibu dengan defisiensi iodium berat.
2.5.2 Aspek Klinik
Dalam aspek klinik ini dimasukkan : gondok endemik, kretin
endemik dan hipotiroidisme dan aspek lainnya.
2.5.2.1 Gondok Enemik
Pada awalnya gondok endemik disamaartikan dengan GAKI, namun
kini orang telah jelas memisahkannya sebab gondok hanya merupakan
sebagian kecil saja dari spektrum GAKI. Penyebab utama gondok
memang defisiensi iodium, tetapi sebab lain juga dikenal yaitu:
goitrogen, kelebihan (excess) iodium, unsur kelumit dan status nutrisi
pada umumnya. Dengan memberikan iodium cukup memang prevalensi
gondok menjadi menurun, namun tidak terlihatnya gondok tidak berarti
GAKI telah tiada. Meskipun prevalensi di Jawa Barat cukup baik namun
status GAKI ibu hamil masih rawan (57% ibu dengan UEI<100 ug/l,
dan15% dengan TSH>5uU/ml)11. Pada waktu ini dianjurkan untuk
memeriksa pembesaran tiroid dengan USG yang untuk kita rasanya
belum praktis.
Pada GAKI tingkat ringan hambatan untuk penderita terutama dari
sudut kosmetik, tapi bila gondoknya cukup besar dapat memberikan
berbagai tekanan mekanis kepada organ-organ lain disekitarnya, seperti
terdesaknya trachea dan oesophagus sehingga menyebabkan kesulitan
9
bernafas dan menelan, dapat pula menjepit saluran darah dan menekan
saraf yang terdapat disekitar leher. Pada gondok retrosternal dapat
mengganggu kerja jantung (Sediaoetama, 1999)
Pembesaran Kelenjar Gondok dibagi dalam empat tingkatan :
1. Tingkat 0 : Normal
Dengan perabaan pembesaran klenjar tidak teraba.
2. Tingkat I :
Dengan perabaan sudah mulai teraba pembesaran kelenjar
gondok, kira-kira sebesar ibu jari tangan orang yang diperiksa,
tidak tampak jelas bila posisi leher tidak ditengadahkan.
3. Tingkat II :
Pembesaran kelenjar mulai dapat dilihat dengan jelas, pada posisi
leher biasa (dari jarak kurang dari 2 meter).
4. Tingkat III :
Pembesaran kelenjar jelas terlihat dari jarak 3 meter atau lebih.
Terjadinya gondok endemik merupakan mekanisme adaptasi fungsi
kelenjar tiroid terhadap defisiensi iodium akibat pasokan iodium yang
kurang melalui makanan. Akibat pasokan iodium yang kurang, terjadi
modifikasi aktifitas kelenjar tiroid sehubungan dengan meningkatnya
TSH akibat penurunan produksi hormon tiroid. TSH akan meningkatkan
mekanisme “Trapping” iodium dan memacu fase-fase berikut dalam
hormo-genesis termasuk memacu pembesaran kelenjar. Telah banyak
laporan menyatakan bahwa kadar TSH yang tinggi berkaitan dengan
defisiensi iodium. Kadar TSH dapat bervariasi dan tidak berhubungan
dengan adanya gondok, akan tetapi terjadinya gondok lebih berhubungan
dengan lamanya peningkatan TSH, respon sel tiroid terhadap
peningkatan TSH dan faktor-faktor lain seperti “growth hormone”,
“Growth Factors” (GF), insulin, kartisol dan c GMP.
Prevalensi gondok endemik dari grade 1 sampai grade 3 dinamakan
Total Goiter Rate (TGR) sedangkan grade 2 dan 3 dinamakan Visible
10
Goiter Rate (VGR). Dengan telah digunakannya peralatan ultrasonografi
yang dapat “mobile”, ternyata metode pemeriksaan inspeksi sangat tidak
tepat terutama pada gondok yang kecil pada anak-anak kecil. WHO dan
International Council of Iodine Deficiency (ICCIDD) menetapkan nilai
normal volume tiroid pada anak-anak usia 6 – 15 tahun yang ditentukan
berdasarkan jenis kelamin, umur dan luas permukaan tubuh.
Menurut WHO, UNICEF dan ICCIDD suatu daerah dinamakan
endemik apabila lebih dari 5% anak-anak usia 6 – 12 tahun menderita
gondok. Endemisitas suatu daerah ditetapkan berdasarkan prevalensi
gondok dan beratnya defisiensi iodium.
Pada tabel 2 terlihat klasifikasi endemisitas gondok berdasarkan
beratnya defisiensi iodium.
Prevalensi gondok endemik sangat dipengaruhi jenis kelamin dan
usia. Pada endemi berat, gondok muncul sangat dini. Prevalensinya
meningkat sangat tajam sampai puncaknya di masa pubertas dan usia
subur. Mulai usia 10 tahun frekuensinya meningkat pada anak wanita
dibandingkan pada anak pria. Selanjutnya pada usia dewasa, pada kedua
jenis kelamin terjadi penurunan prevalensi gondok dengan penurunan
lebih tajam pada pria.
Tabel 2.2. Klasifikasi endemisitas gondok berdasarkan beratnya
Variabel Penduduk
Sasaran
GAKI
Ringan
GAKI
Sedang
GAKI
Berat
Prevalensi gondok (%) Anak sekolah 5.0-19.9 20.0-29.9 >30.0
Frekuensi volume tiroid >97%
til dgn USG (%)
Anak sekolah 5.0-19.9 20.0-29.9 >30.0
Iodium urine median (mg/l) Anak sekolah 50-99 20-49 <20
Iodium ASI (kg/l) Ibu laktasi 5 hari 35-50 20-34 <20
Iodium urine median (kg/l) Neonatus 36-50 15-35 <15
Frekuensi TSH >5mu/l dalam Neonatus 3.0-19.9 20.0-39.9 ≥40
11
darah
Tiroglobulin median (ng/ml
serum)
Anak dan
dewasa
10.0-19.9 20.0-39.9 ≥40
Secara morfologis pada mulanya terjadi gondok yang difus. Dengan
bertambahnya usia, sejalan dengan berlanjutnya perangsangan oleh TSH
(dan “Growth Factors” lainnya) akan terbentuk nodul-nodul kecil yang
kemudian dapat membesar. Nodul dapat berfungsi secara otonom dan
timbul hipertiroidi terutama apabila mendapat replesi iodium.
2.5.2.2 Kretin Endemik
Kretin adalah akibat kondisi hypothyroid neonatal, bahkan
sebetulnya sudah dimulai sejak phase intrauterine dilanjutkan postnatal
secara kronis.
Gambaran klinik kretin terjadi karena hambatan pertumbuhan dan
perkembangan fisik maupun mental. Penderita bertubuh pendek
(cebol) dan menderita berbagai tingkat hambatan mental, dimana
tingkat perkembangan mental itu tertinggal terhadap umur. Penderita
umur 15 tahun dapat mempunyai perkembangan mental seperti umur
dua tahun. Penderita ini tidak dapat mengikuti kemajuan sosial dari
masyarakatnya, sehingga harus diurus dan dijaga, sehingga menjadi
beban permanen dari keluarga dan masyarakat.
Diagnosis Kretin secara klinik ditegakkan berdasarkan 2 komplek
gejala-gejala :
1. Kerusakan pada susunan syaraf pusat (SSP), yang dasar
penyebabnya tidak diketahui. Terdapat :
Retardasi mental.
Tuli perseptif (perceptive deafness), biasanya bilateral.
12
Gangguan neuromotor, terutama kelemahan otot pangkal lengan
dan paha, sedangkan otot-otot ujung jari masih baik tenaga
maupun daya koordinasinya.
2. Kondisi hypothyroidi, dimana produksi hormon thyroxin tidak
mencukupi kebutuhan tubuh, terjadi :
Hambatan pertumbuhan tinggi dan berat badan
Tingkat ringan, tidak terdapat Myxoedema, hanya ada hambatan
pertumbuhan serta hambatan ossifikasi
Tingkat berat, terdapat kondisi Myxoedema, yaitu gejala non-
pitting oedem pada tungkai, muka dan sekitar mata terlihat
sembab
Gambaran klinik Kretin ini baru akan jelas bila bayi telah berumur
12 bulan atau lebih. Bila anak diberi makanan PASI sejak dilahirkan,
gejala-gejala Kretin akan tampak lebih dini lagi (umur 3 bulan atau
kurang). Pada yang mendapat ASI gejala akan terlihat lebih lambat
karena hormon thyroxin dari ibu dapat masuk ASI dan membantu bayi
tersebut memenuhi kekurangan hormon yang diproduksi oleh bayi itu
sendiri.
Gambaran klinik kretin ini didahului dengan sifat lethargia (lemas
dan mengantuk berkepanjangan), pertumbuhan kurang maju dan
menderita konstipasi. Gejala selanjutnya : muka yang sembab dan
ekspresi muka memberi kesan “bodoh”, mata sipit dengan celah mata
horizontal tidak dapat naik ke arah lateral seperti pada Mongoloid.
Lidah besar dan tampak menjulur keluar mulut, kulit kasar dan kering,
terdapat timbunan jaringan lemak di daerah fossa supraclavicularis dan
sekitar pangkal leher. Sehingga memberikan kesan leher yang pendek,
perut terlihat buncit dengan hernia umbilicalis, extremitas pendek dan
gemuk serta kulit yang kering dan suhu badan rendah. Kalau sudah
lebih besar anak tampak cebol.
Dibedakan 2 tipe Kretin :
13
1. Tipe Myxoedema,
Menderita defesiensi metabolisme pada tingkat berat, sehingga
penderita jelas menunjukkan adanya hambatan pertumbuhan
tinggi dan berat badan (tampak cebol), pertumbuhan dan
ossifikasi kerangka tertinggal terhadap umur, alat
pendengarannya biasanya tidak banyak terganggu
Non-Pitting oedema tampak pada tungkai dan muka yang
sembab. Oedem terdapat di perifer, tidak terjadi pengumpulan
cairan di dalam rongga badan (acites dan sebagainya)
Laboratorium = Iodium uptake menurun
Gejala-gejala tidak menonjol
2. Tipe Neurologik
Gejala-gejala saraf lebih menonjol
Gejala-gejala mental retardation “muka memperlihatkan
ekspresi muka bodoh”, cara berjalan yang khas “scuffing
gaint”, atau anak tidak dapat berjalan sama sekali karena
kelumpuhan otot-otot ekstremitas, khususnya daerah paha.
Terdapat pula spasta diplegia (kelumpuhan mengejang
ekstemitas atas atau bawah bilateral simetris, gejala kaku otot
lain, gambaran tubuh yang pendek, cebol terlihat struma yang
berbenjol-benjol.
Tuli bilateral dan mengalami kesulitan untuk berbicara, bahkan
sering terjadi bisu sama sekali (hambatan pendengaran
mungkin tidak total tetapi terdapat kesulitan untuk
mengeluarkan suara bernada tinggi / frekwensi tinggi).
2.5.2.3 Kretin Subklinik
Istilah ini diperkenalkan oleh Cina yang melihat ada kelompok
anak sekolah yang bodoh sekali namun tidak menunjukkan gejala dan
tanda kretin klasik. Ia kemudian membagi kelompok ini menurut IQ-
14
nya berkisar antara :amat berat (IQ:0-20), berat (IQ:20-35), sedang
(IQ:35-50) dan ringan (IQ:50-75). IQ mereka ternyata membaik
dengan pemberian iodium, tetapi kelompok subklinik ini juga
menunjukkan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor dan
pendengaran. Pada waktu ini sudah jelas dari data epidemiologi yang
dikumpulkan dari Indonesia dan Spanyol, bahwa defisiensi iodium
meskipun ringan mempengaruhi perkembangan neuropsikologik
populasi. Kalau kita kembali pada definisi kami sendiri sebagaimana
tercantum di atas, maka kelompok ini masih dikelompokkan kretin
endemik (tipe neurologik : retardasi mental, gangguan pendengaran
serta psikomotor).
Kretin endemik sesungguhnya hanya merupakan puncak dari
fenomena gunung es. Di bawahnya tersembunyi sejumlah yang lebih
besar dari gangguan-gangguan neuropsikologis yang lebih ringan.
Pada kelompok ini walaupun tidak terdapat gejala-gejala kretin
yang klasik akan tetapi terdapat penurunan IQ dan gangguan ringan
pada perkembangan psikomotor dan pendengaran.
Hartono mendapatkan hubungan antara “Minimal Brain Damage
(MBG)”, dengan gangguan kognitif dan psikomotor pada murid-murid
sekolah dasar di daerah endemik berat di Jawa Tengah. Dari penelitian
tersebut dapat disimpulkannya bahwa kretin endemik bukanlah
fenomena “all or none” namun terdapat spektrum gangguan
perkembangan dari yang paling ringan (MBD) sampai berat (kretin).
2.5.2.4 Hipotoroidisme
Hipotiroidisme memang terlihat jelas pada kretin tipe
miksudematosa, tetapi ternyata juga ditemukan pada populasi normal,
sehingga hipotiroidisme dapat mengenai siapa saja asal ia kekurangan
iodium berat. Apabila digunakan kriteria biokimiawi maka prevalensi
hipotiroidisme di daerah Sengi akan naik 2 kali. Berdasar kriteria
15
klinik hipotiroidisme kami temukan pada 13% orang normal dan 29%
kretin, dan dengan kriteria TSH>50uU/ml angka meningkat menjadi
berturut-turut 27 dan 49%. McMichael (1980) menunjukkan,
berdasarkan studi retrospektif maupun prospektif, bahwa ibu hipotiroid
yang hamil resiko aborsi meningkat, IMR meningkat, retardasi mental
dan kelainan kongenital bisa terjadi. Dengan demikian faktor
hipotiroidisme ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan fetus
dan seterusnya. Data yang baru-baru ini dikumpulkan oleh Bambang-
Hartono (1999) di Ngantang Jawa Timur juga menggarisbawahi hal
ini, meskipun kadar TSH ibu hanya sedikit di atas 5 uU/ml.
Yang paling banyak ditemukan adalah hipotiroidi serebral dimana
yang kelihatan cuma gejala letargi atau apati yang terlihat di daerah
endemik. Hal tersebut disebabkan oleh kekurangan tiroksin (T4) di
otak, sebab sel otak hanya mendapat sumber T3 dari T4 dengan
perantaraan deiodinase II di sel otak.
2.6 Kendala Untuk Mewujudkan Indonesia Bebas dari GAKI (Cahyadi,
2002)
2.6.1 Kendala yang dihadapi pemerintah
Masih terbatasnya jangkauan sasaran, pengawasan, pembinaan,
dan penyuluhan bagi produsen serta masyarakat. Selain itu belum
tersedia perangkat peraturan sebagai pelaksanaan tindak lanjut
keputusan presiden No. 69/1994 tentang pengadaan garam beriodium.
2.6.2 Kendala yang dihadapi produsen
Lemahnya modal dan kwalitas bahan baku yang rendah, kurangnya
pengetahuan dan pemahaman mengenai iodisasi garam, belum
tersedianya fasilitas pengujian / alat tes KIO3
Kalaupun ada pengujian masih bersifat tradisional / konvensional
yang mempunyai sensivitas sangat rendah terhadap kandungan iodium
16
dalam garam. Pemahaman dan kesadaran produsen tentang akibat
kekurangan iodium masih kurang, belum ada sangsi yang tegas bagi
produsen garam jika melakukan pelanggaran dan salah satu
persyaratan fortifikasi belum dipenuhi, yaitu proses pengadaan yang
terpusat di satu lokasi.
2.6.3 Kendala yang dihadapi Konsumen
Penggunaan garam beriodium yang kurang kontinyu, akibat rasa
garam beriodium agak pahit. Harga garam beriodium dianggap mahal,
karena daya beli masyarakat kurang atau kecil.
2.7 Masalah Penyediaan Garam Beriodium (DepKes RI, 2003)
1. Kondisi alam atau iklim wilayah Indonesia mempengaruhi produksi garam
(pada penghujan produksi garam dalam negeri tidak cukup).
2. Adanya sejumlah produsen yang memproduksi garam yang tidak
beriodium atau cukup mengandung iodium kurang dari 30 ppm.
Pemantauan garam beriodium tahun 2002 :
- Tingkat produksi -85, 4 % garam konsumsi mengandung kadar
iodium cukup.
- Tingkat distribusi / pasar -66,65 % garam konsumsi mengandung
kadar iodium cukup.
- Tingkat rumah tangga -68,53 % rumah tangga mengkonsumsi
garam mengandung kadar iodium cukup.
3. Adanya garam impor yang masuk dipasarkan, sebelum diiodisasi.
4. Rendahnya kualitas garam rakyat.
5. Kurangnya pengawasan perdagangan antar pulau dan perbatasan daerah.
6. Harga garam beriodium relatif mahal.
7. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi garam beriodium.
17
2.8 Pencegahan dan Penanggulangan GAKI (DinKes Jabar, 2005)
Untuk menjamin kecukupan asupan iodium, perlu secara khusus dilakukan
penambahan bahan iodium dalam berbagai cara. Secara universal telah diterima
bahwa garam yang harganya cukup murah, nyaman dan paling banyak digunakan,
paling layak sebagai wahana fortifikasi iodium sampai akhir tahun 1950-an.
Kemudian diperkenalkan minyak beriodium yang dapat disuntikkan secara intra
muskuler sehingga iodiumnya dapat diserap secara perlahan oleh tubuh.
Permulaan penggunaan suntikan minyak beriodium secara massal untuk
penanggulangan kekurangan iodium dilakukan di Papua New Guinea. Pemberian
iodium dengan suntikan minyak beriodium hanya dilakukan sekali saja dan
kemudian diteruskan dengan garam beriodium. Mulai tahun 1970-an program
suntikan minyak beriodium dalam skala besar dilaksanakan di Zaire, Indonesia,
Nepal, China dan Myanmar.
Minyak beriodium yang umum digunakan, Lipiodol dan Ethiodol Ultrafluide,
mengandung 38% iodium (480 mg iodium per ml). Satu mililiter minyak
beriodium (Lipiodol) mengandung sekitar 30 kali jumlah iodium yang ada
dalam tubuh). Dengan mengunakan semprit, untuk anak kecil, minyak beriodium
disuntikan ke otot pantat atau ke lengan bagian atas untuk anak sudah besar dan
dewasa. Dosis 1 ml untuk umur diatas 1 tahun dan 0.5 ml untuk 0-1 tahun).
Satu kapsul minyak beriodium mengandung 200 mg iodium). Dengan
menggunakan minyak beriodium bentuk kapsul, masalah nyeri dan kemungkinan
komplikasi yang disebabkan oleh cara suntikan dapat dihindari.
Sejak dimulainya program penanggulangan masalah GAKI di Indonesia,
ditetapkan 2 strategi: i) strategi jangka pendek dengan distribusi kapsul minyak
beriodium pada penduduk yang tinggal didaerah endemic sedang dan berat sampai
usaha iodisasi garam konsumsi dapat dipasarkan ke masyarakat, ii) strategi
18
jangka panjang dengan iodisasi peningkatan garam beriodium yang dikonsumsi
bagi masyarakat.
2.8.1 Iodium Dosis Tinggi
Iodium akan berada dalam otot di sekitar tempat dimana iodium
disuntikkan, secara perlahan dilepaskan ke sirkulasi darah dan akhirnya akan
sampai kelenjar tiroid dan digunakan untuk memproduksi hormon tiroid.
Sebagian iodium akan disimpan dalam jaringan lemak. Faktor yang
mempengaruhi lamanya jaminan pasokan iodium dengan suntikan ini adalah:
dosis iodium, kecepatan pelepasan iodium dari otot, daur ulang iodium oleh
kelenjar tiroid dan simpanan dalam jaringan lemak.
2.8.2 Program Pemberian Iodium Dosis Tinggi
Pemberian iodium dosis tinggi untuk penanggulangan GAKI di Indonesia
adalah dengan suntikan dan kemudian diganti dengan kapsul minyak
beriodium. Program suntikan minyak beriodium, mulai dilaksanakan
pertengahan tahun 1970-an di daerah gondok endemik sedang dan berat.
Lipiodol Ultrafluide digunakan untuk program suntikan minyak beriodium.
Sasaran program suntikan minyak beriodium adalah wanita umur 0 – 35 tahun
dan laki-laki umur 0 – 14 tahun yang bertempat tinggal di daerah gondok
endemik sedang dan berat. Rincian umur dan dosis ditunjukkan pada Tabel 3.
Suntikan minyak beriodium diberikan 4 tahun sekali.
Sekitar 10 juta suntikan minyak beriodium telah diberikan selama periode
1980-1990. Selama periode 1984-1989 (Pelita IV) saja sebanyak 4.7 juta
(80%) suntikan diberikan dari 5.7 juta yang direncanakan. Rencana 5.7 juta
suntikan sebenarnya hanya sekitar 65% dari total sasaran yang tinggal di
daerah gondok endemik sedang dan berat yang jumlahnya 8.8 juta. Dengan
demikian pencapaian 4.7 juta adalah hanya 51% dari total yang seharusnya
19
mendapatkan suntikan. Secara keseluruhan, selama pelaksanaan program
suntikan minyak beriodium yaitu periode 1974 – 1992 telah lebih dari 17 juta
suntikan diberikan. Secara matematik kasar, tentu saja jumlah itu jauh dari
yang seharusnya diberikan. Tetapi dari sudut pandang kesehatan masyarakat
tentu ada dampak positif sekecil apapun dari program tersebut. Program
kapsul minyak beriodium mulai dilaksanakan tahun 1992 yang juga terbatas
untuk daerah gondok endemik sedang dan berat.
Selain kapsul minyak beriodium produksi dalam negeri juga digunakan
kapsul minyak beriodium buatan luar negeri (impor). Pada awalnya, sasaran
program kapsul minyak beriodium adalah: wanita umur 0 – 35 tahun termasuk
wanita hamil dan ibu menyusui dan laki-laki umur 0 – 20 tahun seperti
ditunjukkan pada Tabel 4. Dosis yang diberikan 100 mg (setengah kapsul)
untuk bayi, 1 kapsul untuk anak balita, 2 kapsul untuk kelompok laki-laki: 6 –
20 tahun dan wanita: 6 – 35 tahun, 1 kapsul masing-masing untuk wanita
hamil dan ibu menyusui. Kapsul minyak beriodium diberikan 1 tahun
sekali10). Mulai tahun 1997, kelompok sasaran dirubah yaitu wanita usia
subur (15 – 49 tahun), wanita hamil dan ibu menyusui di daerah gondok
endemik sedang dan berat serta murid sekolah dasar di daerah gondok
endemik berat. Anak balita tidak lagi menjadi sasaran program pemberian
kapsul minyak beriodium.
Pada tahun 1999, dari sasaran sebanyak: 4.265.137 wanita usia subur
hanya tercakup 35% dan dari 630.800 anak sekolah dasar hanya tercakup
32%. Sedangkan pada tahun 2002, dari sasaran sebanyak: 13.851.583 wanita
usia subur hanya tercakup 28% dan dari 5.117.431 anak sekolah dasar hanya
tercakup 27%3. Program pemberian kapsul minyak beriodium terkesan tidak
menentu setelah tahun 2001 diberlakukan desentralisasi di bidang kesehatan.
Dampak pemberian suntikan minyak beriodium pernah diteliti di
Magelang, Jawa Tengah. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada lagi kasus
anak kretin dari ibu yang mendapat suntikan beriodium saat sebelum hamil.
Juga tidak ada kasus anak kretin dari ibu yang mengkonsumsi garam
beriodium walaupun tidak mendapat suntikan beriodium.
20
Tabel 2.3. Sasaran dan dosis suntikan minyak beriodium
Sasaran RincianUmur Dosis
Wanita 0-35 tahun 0 – 6 bulan 0.2 mlPria 0 – 14 tahun 7 – 12 bulan 0.3 ml
1 – 6 tahun 0.5 ml> 6 tahun 1.0 ml
Tabel 2.4. Sasaran dan dosis kapsul minyak beriodium
Sasaran 1992-1996 Rincian
Kelompok Dosis
Wanita 0-35 th < 12 bulan ½ kapsul (6 tetes=100 mg)
Pria 0 – 20 th 1 – 5 tahun
> 6 tahun
Hamil Menyusui
1 kapsul (200 mg)
2 kapsul (400 mg)
1 kapsul (200 mg)
Sasaran 1997- Rincian
Kelompok Dosis
Wanita 15 – 49 th Wanita Usia Subur
Ibu Hamil
Ibu Nifas
1 kapsul
1 kapsul
1 kapsul
2.8.3 Iodisasi garam / peningkatan garam beriodium yang dikonsumsi bagi
masyarakat.
Ditempuh melalui fortifikasi garam. Garam yang sudah difortifikasi
dengan iodium (KIO3 / Kalium Iodat) disebut garam beriodium. Garam
21
beriodium yang boleh digunakan untuk makanan harus memenuhi syarat,
yaitu mengandung 30 – 80 ppm (satu bagian persatu juta / dalam satu ton
garam terdapat 30– 80 iodium).
Fortifikasi iodium pada bahan pangan dengan mengacu terhadap beberapa
persyaratan antara lain konsumsi dalam jumlah yang cukup dan secara teratur
bagi masyarakat penderita, produksi secara terpusat sehingga mutunya dapat
dikontrol dan dipantau dengan mudah, stabil selama penyimpanan dengan
tidak memperhatikan kondisi penyimpanannya.
Ciri garam beriodium :
- Plastik pembungkus atau kemasan tertutup rapat, cukup tebal
- Garam dalam pembungkus kering (tidak basah / lembab)
- Garam berwarna putih, bentuknya halus
- Pada plastik, tertera merek dagang, berat isi, alamat produsen dan
keterangan lain dari pabrik pembuatnya.
- Perhatikan berat isi (besarnya kantong plastic berisi garam) harga
bias lebih murah tetapi beratnya kurang dari 250 gram.
Garam beriodium dianjurkan
Satu sendok teh (6 -10 gram) perhari untuk semua masakan dalam satu
hari, kecuali untuk penderita penyakit tertentu.
Cara menyimpan garam beriodium :
- Disimpan dalam wadah yang kering dan tertutup rapat.
- Diletakkan ditempat yang sejuk, jauh dari panas api dan sinar
matahari langsung.
- Gunakan sendok yang kering untuk mengambil garam.
- Tutup kembali wadah dengan rapat setelah mengambil garam.
Agar iodium yang ada di dalam garam tidak berkurang atau hilang :
22
Bubuhkan garam beriodium pada masakan sesudah masakan diangkat
dari api, atau masakan diatas meja. Jangan membubuhkan garam
beriodium pada saat masakan mendidih atau diatas api.
Uji mutu garam beriodium :
Menggunakan cairan uji iodida tes :
- Garam yang bertuliskan garam yang beriodium
- Ambil setengah sendok teh garam yang akan diuji dan
diletakan pada piring kecil
- Teteskan cairan uji iodida sebanyak 2-3 tetes pada garam
tersebut
- Perhatikan apakah garam berubah warna
- Hasil:
Bila garam tetap putih, berarti tidak beriodium
Bila berwarna ungu ( biru tua ) berarti garam mengandung
iodium sesuai persyaratan.
Bentuk-bentuk garam yang beredar di pasaran:
- Garam halus / garam meja: kandungan iodium merata
- Garam gandu / briket / bata: kandungan iodium tidak merata
- Garam krosok / hantu : tidak beriodium sama sekali
2.9 Terapi dan Prevensi
Terapi penyakit kretin tidak memberikan hasil yang memuaskan karena yang
penting dan memberikan hasil baik ialah upaya prevensi diketahui bahwa sebab
dari kretin endemik adalah difisiensi iodium pada ibu hamil, jadi upaya preventif
yang harus dilakukan adalah pemberian iodium secara profilaktik kepada ibu
hamil di daerah endemik. Sedangkan pada anak-anak yang telah dilahirkan dapat
dijadikan dosis therapeutik hormon thyroxin (preparat hormon thyroxin) dan
didukung dengan dosis iodium sebagai tindakan follow up.
23
Upaya preventif dilakukan dengan cara :
1. Penyuntikan Lipiodol
Penyuntikan Lipiodol (Preparat iodium dalam minyak secara
intramuskuler) dengan dosis penyuntikan sebagai berikut :
0 – 6 bulan : 0,2 ml
6 – 12 bulan : 0,3 ml
1 – 6 tahun : 0,5 ml
6 – 35 tahun : 1,0 ml
Penyuntikan lipiodol merupakan upaya preventif sementara untuk
penanggulangan secara tepat. Dosis penyuntikan ini dapat menyediakan
kebutuhan iodium untuk waktu cukup lama (6 bulan).
Kelemahan dari upaya prevensi dengan penyuntikan Lipiodol ialah
biaya yang relatif mahal, perlu dukungan logistik (alat suntik, tenaga
pelaksana yang terlatih dan trampil, cara transport obat yang harus
menjamin tidak menyebabkan penurunan kekuatan kadar preparat)
(Sediaoetama,1999)
2. Distribusi garam dapur yang difortifikasi dengan iodium (KIO3)
Harus dilaksanakan di pabrik karena memerlukan kontrol produksi
yang ketat.
24
BAB III
GAKI DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS WANAJAYA
Untuk mengetahui daerah endemik GAKI berat, sedang maupun ringan
berdasarkan TGR (Total Goiter Rate) yaitu angka prevalensi gondok yang
dihitung berdasarkan semua stadium pembesaran kelenjar gondok tingkat I,
tingkat II dan tingkat III dari sejumlah orang yang diperiksa di suatu daerah
dikatakan :
Endemik berat : bila TGR lebih dari atau sama dengan 30%
Endemik sedang : bila TGR 20% - 29,9%
Endemik ringan : bila TGR 5% - 19,9%
Non endemik : bila TGR kurang dari 5%
Table 3.1 Daerah Endemik GAKI Berat dan Sedang di Propinsi Jawa Barat
NO Kabupaten KecamatanTingkat
Endemik GAKI
1. LEBAK 1. Maja Sedang
2. PANDEGLANG 2. Cikeusik Sedang
3. SERANG 3. Tirtayasa Berat
4. Ciomas Berat
5. Kopo Berat
6. Carenang Sedang
7. Kragilan Sedang
4. SUKABUMI 8. Cidahu Sedang
9. Nagrak Sedang
10. Kadudampit Sedang
5. CIANJUR 11. Pagelaran Berat
12. Kadupandak Berat
13. Karang Tengah Sedang
6 MAJALENGKA 14. Maja Sedang
25
15. Argapura Sedang
7 KARAWANG 16. Pangkalan Berat
17. Pakis Jaya Sedang
8. BEKASI 18. Cibarusah Berat
9. PURWAKARTA 19. Bojong Berat
20. Pasawahan Sedang
10. SUBANG 21. Cisalak Sedang
11. BANDUNG 22. Kertasari Berat
23. Sindangkerta Sedang
12. GARUT 24. Wanaraja Sedang
25. Leuwi Goong Sedang
13. SUMEDANG 26. Tanjungsari Sedang
27. Rancakolong Sedang
Di wilayah kerja UPTD Wanajaya tidak ditemukan kasus atau bukan daerah
endemik GAKI berat, sedang maupun ringan sehingga tidak ada pementauan
garam beriodium di tingkat masyarakat.
26
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia,
penanggulangan kekurangan gizi mikro perlu mendapat perhatian, sebab dampak
yang ditimbulkannya memberikan gejala klinik yang irreversibel, baik mengenai
KEP, GAKI maupun Anemia Gizi Fe.
Pengertian tentang defisiensi iodium tidak terbatas pada gondok dan
kretinisme saja, tetapi ternyata defisiensi iodium berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk
perkembangan otak. Defisiensi iodium dinyatakan sebagai gangguan akibat
kekurangan iodium (GAKI) yang menunjukkan luasnya pengaruh defisiensi
iodium tersebut.
Untuk penanggulangan GAKI baik jangka pendek maupun jangka panjang
harus ada keterkaitan antara komponen yang saling berkaitan, yaitu komponen
pemantauan konsumsi garam beriodium di masyarakat, peningkatan konsumsi
garam beriodium, peningkatan pengadaan garam beriodium dan distribusi kapsul
iodium pada daerah endemik serta pemantapan koordinasi lintas sektor.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman kerja Puskesmas, 2005 Dinas Kesehatan Jawa Barat
2. Pedoman distribusi kapsul iodium kepada WUS dan uji mutu garam, 2000
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat
3. Almatsier Sunita, 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta EGC
4. Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002. Penilaian Status Gizi, Jakarta EGC
5. Sediaoetama Achmad Djaeni, 1999. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan
Profesi di Indonesia, jilid I dan II. Jakarta Dian Rakyat
6. www.gizi.net-iodium.com Interaksi Iodium dengan zat gizi lain
7. Pusat Informasi Kompas. Upaya Penanggulangan GAKI. Tanggal 15
September2007
8. Pusat Informasi Kompas. Kekurangan Iodium Saat Hamil ganggu
Perkembangan Otak. Tanggal 15 September 2007
9. www. Pikiranrakyat.com Peranan Iodium Dalam Tubuh. Tanggal 15
September 2007
10. www.kompas.com. Anak Indonesia ditengah Egoisme Elit Politik.
Tanggal 15 September 2007
11. [email protected]. Informasi. Tanggal 16 September
2007
12. [email protected]. Penegakan norma sosial. Tanggal 16
September 2007
13. http://www.idd-indonesia.net/jurnal/jurnal21.pdf . Masalah Gaki. Tanggal
17 September 2007
14. http://www.idd-indonesia.net/jurnal/jurnal31.pdf Gaki dan Usia. Tanggal
17 September 2007
15. http://www.idd-indonesia.net/jurnal/jurnal34.pdf Evaluasi Gaki. Tanggal
17 September 2007
16. http://www.idd-indonesia.net/jurnal/jurnal62.pdf Penggunaan Iodium
Dosis Tinggi. Tanggal 17 September 2007
28