Referat Full Kanker Rektum

59
REFERAT KANKER REKTUM DISUSUN OLEH : Ni Putu Surya Diana 0961050128 Pembimbing : dr. Henry Boyke Sitompul, Sp.B 1

Transcript of Referat Full Kanker Rektum

REFERAT

KANKER REKTUM

DISUSUN OLEH :

Ni Putu Surya Diana

0961050128

Pembimbing :

dr. Henry Boyke Sitompul, Sp.B

BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

PERIODE 18 NOVEMBER 2013 – 18 JANUARI 2014

1

JAKARTA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-

Nya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kanker Rektum”. Tugas referat ini

saya buat dengan tujuan sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah

serta bertujuan agar para dokter muda mengetahui dan memahami tentang materi ini lebih

mendalam.

Saya ucapkan banyak terimakasih kepada kedua orangtua saya, yang selalu

mendukung saya dalam segala kondisi yang saya alami dalam menjalankan kepaniteraan ini,

juga kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan referat ini, khususnya dr. Henry

Boyke Sitompul, Sp.B yang telah berkenan membimbing dan menguji referat ini.

Akhir kata saya mohon kritik dan saran yang membangun untuk Penulis pada

khususnya dan kemajuan dunia kedokteran pada umumnya.

Jakarta, Desember 2013

Penulis

2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................................. i

Daftar Isi ...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3

II. 1 Anatomi Rektum ......................................................................................... 3

II. 2 Embriologi Rektum..................................................................................... 5

II. 3 Histologi Rektum ........................................................................................ 7

II. 4 Fisiologi Rektum ........................................................................................ 7

II. 5 Etiologi Dan Faktor Resiko Kanker Rektum .............................................. 8

II. 6 Patofisiologi Kanker Rektum ................................................................... 14

II. 7 Gejala Klinis & Stagging .......................................................................... 15

II. 8 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 21

II. 9 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 22

II. 10 Penatalaksanaan ...................................................................................... 29

II. 11 Prognosis ..................................................................................................33

BAB III PENUTUP ....................................................................................................34

Daftar Pustaka ............................................................................................................ iii

3

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang

tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya,

baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau

dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur

ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol

pembagian sel dan fungsi lainnya.

Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas

saluran cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60%

tumor kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis

kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun

penyakit ini bukan tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara

dini, maka kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%.

Pada tahun 2009 diperkirakan 40.870 kasus baru dari kanker rektum di

Amerika Serikat (23.580 kasus pada laki-laki, 17.290 kasus pada wanita). Selama

pada tahun yang sama, diperkirakan 49.920 orang meninggal karena rektm dan kolon.

Kanker kolorektal menduduki peringkat keempat dari kanker yang paling sering

terjadi dan kedua penyebab kematian. Di Amerika Serikat, kematian akibat kanker

kolorektal telah menurun selama 30 tahun terakhir, penurunan ini karena diagnosis

dini melalui pemeriksaan dan pengobatan yang lebih baik..

Insidensi kanker rektum di Indonesia cukup tinggi, demikian juga dengan

angka kematiannya. Pada tahun 2002, kanker rektum menduduki peringkat ketiga dari

semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan

di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker rektum dimana data dari

Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.

4

Diagnosis kanker rektum pada umumnya tidaklah sulit, namun kenyataanya

penderita sering terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga pembedahan kuratif

seringkali tidak dapat dilakukan. Padahal jika penderita telah terdeteksi secara dini

menderita kanker rektum sebelum stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh dapat

mencapai 50%. Pemeriksaan colok dubur sebenarnya merupakan sarana diagnosis

yang paling tepat, dimana 90% diagnosis kanker rektum dapat ditegakkan dengan

colok dubur. Namun pada kenyataanya hanya sekitar 13% dokter Puskesmas dan

dokter umum yang melakukan colok dubur dengan keluhan BAB berdarah.

Tingginya angka kematian akibat kanker rektum mendorong upaya untuk

menurunkan angka kematian tersebut. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan

deteksi kanker rektum secara dini. Dari hasil penelitian, 58,9-78,8% penderita kanker

rektum stadium dini dapat bertahan hidup dalam 5 tahun dan angka ini akan

berkurang seiring dengan meningkatnya stadium. Pada penderita kanker rektum

stadium akhir, angka kemungkinan bertahan hidup dalam 5 tahun hanya sebesar 7%

saja.

Oleh karena hal tersebut, penyusun mengambil judul “Kanker Rektum”

sebagai judul referat dengan tujuan untuk menambah pengetahuan tentang kanker

rektum sehingga dokter-dokter terkhusus dokter muda dapat mengenali penyakit ini

dan dapat menanganinya sesuai kompetensinya.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI REKTUM

Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ketiga sampai ke

garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian

ampula dan spinchter. Bagian spinchter atau disebut juga annulus hemoroidalis

dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian

ampula terbentang dari vertebrae sakrum ketiga sampai diafragma pelvis pada insersio

muskulus levator ani. Panjang rektum sekitar 10-15 cm dengan keliling 15 cm pada

bagian rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada

manusia, dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel

kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muskularis propia, dan serosa.

6

Gambar 1. Anatomi Rektum

Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior,

media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektal superior) merupakan

kelanjutan dari arteri mesenterika inferior. Arteri hemoroidalis media (arteri rektal

media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior (arteri

rektal inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna.

Gambar 2. Vaskularisasi Arteri Rektum

7

Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan

berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui

vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup sehingga tekanan

dalam rongga perut atau intra abdominal sangat menetukan tekanan di dalam vena

tersebut. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna yang

kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem vena cava.

Gambar 3. Vakularisasi Vena Rektum

Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang

mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke

kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat

mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum

berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe

mesenterika inferior dan aorta.

Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut

simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan

4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut

parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi

penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan

terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien dengan kanker rektum,

yaitu disfungsi ereksi dan tidak dapat mengontrol buang air kecil.

8

 Gambar 4. Persyarafan Rektum

II.2 EMBRIOLOGI REKTUM

Akibat pelipatan mudigah ke arah sefalokaudal dan lateral, sebagian dari

rongga yolk-sac yang dilapisi oleh endoderm masuk ke dalam mudigah untuk

membentuk usus primitif. Dua bagian lain dari rongga yang dilapisi oleh endoderm

ini, yolk sac dan alantois tetap berada di luar mudigah.

Dibagian sefalik dan kaudal mudigah, usus primitif membentuk sebuah

saluran buntu, masing-masing adalah usus depan (foregut) dan usus belakang (hind

gut). Bagian tengah, usus tengah (mid gut), untuk sementara tetap berhubungan

dengan yolk sac melalui duktus vitelinus atau yolk stalk.

Usus depan terletak kaudal dari tabung faring dan berjalan ke kaudal sejauh

tunas hati. Usus tengah dimulai dari sebelah kaudal tunas hati dan meluas ke

pertemuan dua pertiga kanan dan sepertiga kiri kolon transversum pada orang dewasa.

Usus belakang berjalan dari sepertiga kiri kolon transversum hingga ke membrana

kloakalis.

Usus belakang menghasilkan sepertiga distal kolon transversum, kolon

desendens, kolon sigmoideum, rektum, dan bagian atas kanalis analis. Bagian

terminal usus belakang masuk ke dalam daerah posterior kloaka, kanalis anorektalis

primitif; alantois masuk ke dalam bagian anterior, sinus urogenitalis primitif. Kloaka

itu sendiri adalah suatu rongga yang dilapisi oleh endoderm dan dibungkus di batas

9

ventralnya oleh ektoderm permukaan. Batas antara endoderm dan ektoderm ini

membentuk membrana kloakalis. Suatu lapisan mesoderm, septum urorektale,

memisahkan regio antara alantois dan usus belakang. Septum ini berasal dari

penyatuan mesoderm yang menutupi yolk sac dan alantois di sekitarnya. Seiring

dengan pertumbuhan mudigah dan berlanjutnya lipatan di kaudal, ujung seprum

urorektale akhirnya berada dekat dengan membrana kloakalis, meskipun kedua

struktur tidak pernah berkontak.

Pada akhir miniggu ketujuh, membrana kloakalis pecah, menciptakan lubang

anus untuk usus belakang dan lubang ventral untuk sinus urogenitalis. Di antara

keduanya, ujung septum urorektale membentuk badan perineal. Pada saat ini,

proliferasi ektoderm menutup bagian paling kaudal kanalis analis. Selama minggu ke

sembilan, regio ini mengalami rekanalisasi. Karena itu, bagian kaudal kanalis analis

berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh arteri rektalis inferior, cabang dari arteri

pudenda interna. Bagian kranial kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi

oleh arteri rektalis superior, suatu lanjutan dari arteri mesenterika inferior. Taut antara

regio endoderm dan ektoderm kanalis analis ditandai oleh linea pektinata, tepat di

bawah kolumna analis. Di garis ini, epitel berubah dari epitel silindris menjadi epitel

gepeng berlapis.

II.3 HISTOLOGI REKTUM

Histologi potongan melintang melalui rektum bagian atas tampak serupa

dengan kolon, lapisan dindingnya sama, termasuk unsur-unsur dalam lapisan. Kecuali

lapisan otot longitudinal yang mengelilingi lumen.

Epitel permukaan lumen dilapisi sel-sel silindris dengan mikrovili dan sel

goblet. Kelenjar intestinal, sel lemak dan limfonoduli di lapisan lamina propria serupa

dengan yang ada di kolon, namun kelenjar-kelenjarnya lebih panjang, lebih rapat, dan

terutama terdiri atas sel goblet. Di bawah lamina propria terdapat mukosa muskularis

otot polos.

Lapisan memanjang pada rektum bagian atas dan kolon bersifat sementara.

Lapisan ini berpusatkan submukosa dan ditutupi mukosa. Lapisan transversal

permanen rektum, jika terlihat pada sediaan mengandung serat otot polos lapisan

10

sirkular dalam muskularis eksterna. Lipatan memanjang permanen terdapat pada

rektum bagian bawah.yaitu saluran atau liang anus.

Dianataa kedua lapisan otot terdapat ganglia parasimpatis pleksus

mesenterikus Auerbach. Adventisia menutupi bagian rektum dan serosa menutupi

sisanya. Banyak pembuluh darah terlihat di submukosa dan adventisia.

Gambar. Rektum Dalam Potongan Melintang

II.4 FISIOLOGI REKTUM

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah

kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat

penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena feses disimpan di

tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh

dan feses masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar.

Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan

memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika

defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar dimana

penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang

lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.

Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum,

terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding

rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus

internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemas dan rektum serta kolon sigmoid

untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus (yang terdiri dari otot

11

rangka) juga melemas, terjadi defekasi. Karena otot rangka, sfingter anus eksternus

berada di bawah kontrol kesadaran. Peregangan awal dinding rektum menimbulkan

perasaan ingin buang air besar. Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi, defekasi

dapat dicegah dengan penguatan kontraksi sfingter anus eksternus secara sengaja

walaupun terjadi refleks defekasi. Apabila defekasi ditunda, dinding rektum yang

semula teregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar

mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak feses ke dalam

rektum, yang kembali meregangkan rektum dan memicu refleks defekasi. Selama

periode non aktif, kedua sfingter anus tetap berkontraksi untuk menghasilkan tidak

terjadinya pengeluaran feses.

Apabila terjadi, defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter

yang melibatkan kontraksi simultan otot-otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan

glotis dalam posisi tertutup. Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intra-

abdomen yang membantu pengeluaran feses.

II.5 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO KANKER REKTUM

1. Polip

Konsep tentang kanker kolorektal merupakan perkembangan dari polip

pertama kali dideskripsikan oleh Duke pada tahun 1926. Evolusi dari kanker itu

sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari

hiperplasia sel mukosa, formasi adenoma, perkembangan dari displasia menuju

transformasi maligna dan invasif kanker. Waktu yang dibutuhkan untuk

perkembangan polip menjadi kanker itu sekitar 5-10 tahun. Kebanyakan adenoma

tetap jinak, namun, jenis histologis, ukuran polip, dan bukti adanya displasia

berhubungan dengan transformasi menjadi kanker. Data dari National Polyp Study

dan St. Mark’s Hospital menunjukkan hampir 75-85% adenoma adalah adenoma

tubular; 8-15% tubulovillous; dan 5-10% adalah villous. Adenoma tubular

biasanya membentuk tangkai sedangakan adenoma villous mempunyai dasar yang

luas. Hanya 1% polip yang diameternya kurang dari 1 cm menunjukan

transformasi menjadi ganas, sedangkan 50% polip yang diameternya lebih dari 2

cm melindungi daerah dari karsinoma.

12

2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

2.1 Ulseratif Kolitis

Ulseratif kronis merupakan faktor resiko yang jelas untuk kanker

kolorektal sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif

kolitis. Resiko perkembangan kanker pada pasien berbanding terbalik pada

usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan

dari ilseratif kolitis. Resiko kumulatif sebesar 2% pada 10 tahun, 8% pada 20

tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk

seseorang dengan resiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kronis

dengan menggunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total

proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.

Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa

dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif

menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat

esensial untuk semua pasien yang didiagnosis dengan displasia yang

berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa

mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya

invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada

pergumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para

ahli patologi anatomi.

2.2 Crohn’s Disease

Pasien yang menderita Crohn’s Disease mempunyai resiko tinggi

untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan

dengan ulseratif kronis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada

Crohn’s Disease sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai

insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis.

Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty dimana biopsi dari

dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah

dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat

pada fistula kronik pasien dengan Crohn’s Disease

3. Faktor Genetik

3.1 Riwayat Keluarga

13

Sekitar 15 % dari seluruh kanker rektum muncul pada pasien dengan

riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga

terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk

menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan

seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

3.2 Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal

menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma

dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang

paling penting dalam menegakkan diagnosis dari sindrom kanker herediter

yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada

adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada

¾ dari seluruh kanker kolon dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3

dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dari

sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua

sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal

memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu Familial Adenomatous Polyposis

(FAP) dan Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC).

3.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis)

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC yang berlokasi

pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat

menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada usia 40

sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan

polip yang sangat banyak untuk dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang

aman dan adekuat dan ketika hal itu terjadi, direkomendasikan untuk

melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada

bagian yang tersisa.

Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu

banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif

harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip

harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg

14

celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata-rata jumlah

polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP

adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, kanker

pankreas, dan medulloblastoma otak. Varian dari FAP termasuk Gardner’s

Syndrome dan Turcot’s Syndrome.

3.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan

II. Dua generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul

pada usia yang muda (± 45 tahun), dengan predominan lokasi kanker.

Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang

bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari

DNA yang dikenal sebagai mikrosatelit (mikrosatelite instability). Retensi dari

squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator yang

dikarakteristikan oleh frekuensi DNA dan replikasi error (RER + Phenotype)

dimana predisposisi tersebut menyebabkan seseorang memiliki multitude dari

malignasi primer.

Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenomasebaceous,

dan carsinoma sebaceous) dan multipel keratocanthoma, termasuk kanker dari

endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung, dan traktus biliaris.

Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC

seringkali poorly differentiated dengan gambaran mukosa dan signet-cell,

reaksi yang mirip dengan Crohn’s Disease (nodul limfoid, germinal centers,

yang berlokasi pada perifer infiltrasi kanker koloraktal), kehadiran infiltrasi

limfosit diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada

HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi

karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata

kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita

kanker kolorektal pada usia yang sangat muda dan sreening harus dimulai

pada usia 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang

pertama kali terdiagnosis kanker kolorektal yang berhubungan dengan

HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosis menderita

kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan

15

HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal pada usia 44 tahun,

dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada

usia 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada

pasien dengan sporadik kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa

pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi

berdasarkan kombinasi fluorourasil dari pada pasien tanpa kelainan ini.

4. Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging, dan diet rendah serat

berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan

penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya

hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan

mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama

adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi

insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah

mengkonsumsi diet yang berenergi tinggi yang mengakibatkan perkembangan

resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam

lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon

untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.

Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan

kanker kolorektal. Hipotesis keduanya adalah identifikasi berkelanjutan dari agen

yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental.

Dari pengamatan tersebut, dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya

fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang

lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi

fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifitasnya enzim COX2 dan stress

oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal

dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenomadan aberrant crypt

foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki

permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi’ atau (c) anti-oksidan. Kedua

mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan

kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan

hubungan antara diet dan resiko kolorektal.

16

5. Gaya Hidup

Pria dan perempuan yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai resiko

tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.

Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan resiko dua setengah

kali untuk 7000 kematian karena kolorektal di Amerika dihubungkan dengan

pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan

meningkatnya risiko kanker kolorektal.

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktivitas,

obesitas, dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap

hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker.

Interaksi antara obesitas dan aktivitas fisik menunjukkan penekanan pada aktivitas

prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan resiko kanker kolorektal. The

Nurse Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara

aktivitas fisik dengan terjadinya adenoma yang dapat diartikan penurunan

aktivitas fisik akan meningkatkan resiko terjadinya adenoma.

 6. Usia

Proporsi dari semua kanker pada usia lanjut (≥65 tahun) laki-laki dan

perempuan adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria usia lanjut hampir 7

kali (2158 pe 100.000 orang per tahun) dan pada perempuan berusia lanjut sekitar

4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang

berusia lebih muda (30-64 tahun). Resiko dari kanker kolorektal meningkat

bersamaan dengan usia, terutama pada laki-laki berusia 50 tahun atau lebih dan

hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40

tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka

insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun dan 337 per

100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.

Kriteria tingkat risiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita kanker

kolon dan rektum (Kriteria Amsterdam):

Tingkat Risiko Kriteria

Tinggi Paling sedikit 3 anggota keluarga menderita kanker

kolon rektum atau paling sedikit 2 generasi. Satu dari

anggota keluarga telah menderita dibawah usia 50

17

tahun salah satu anggota yang didiagnosis adalah

silsilah pertama dari keluarga

Ditemukannya pembawa (carier) gen HNPCC

Anggota keluarga yang tidak diuji

Sedang Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita

kanker kolon rektal pada usia <45 tahun atau

2 anggota keluarga silsilah pertama menderita kanker

kolon rektal (seorang pada usia <55 tahun atau

2 atau 3 anggota keluarga (salah seorang pada usia <55

tahun) dengan kanker kolon rektal atau karsinoma

endometrial yang merupakan silsilah pertama

Rendah Seseorang yang tidak memenuhi kriteria tinggi dan

sedang

Tabel. Kriteria Tingkat Resiko Kanker Kolon Rektum

II.6 PATOFISIOLOGI KANKER REKTUM

Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami

regenerasi setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma, terjadi perubahan

genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang

dimulai dengan inaktivasi gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) yang

menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat

replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi yang akan

mengaktivasi K-ra onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah terjadinya

apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Kanker kolon dan rektum terutama (95%)

adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi

dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke

dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar

ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).

18

Gambar . Patofisiologi Kanker Rektum

II.7 Gejala Klinis & Stagging

Kanker rektum tidak menimbulkan gejala selama bertahun-tahun, gejala

timbul perlahan-lahan dan sering telah ada sejak berbulan-bulan, kadang-kadang

bertahun-tahun, sebelum terdiagnosis.

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektum antara lain adalah:

1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu

darah segar maupun yang berwarna hitam.

2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar-benar kosong

saat BAB.

3. Feses yang lebih kecil dari biasanya.

4. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa

penuh pada perut atau nyeri.

5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.

6. Mual dan muntah.

7. Rasa letih dan lesu.

8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri

pada daerah gluteus.

Penyabaran karsinoma rektum dapat melalui;

19

1. Penyebaran langsung: penyebaran longitudinal tidak melebihi 6 cm.

Penyebaran kolateral menembus dinding rectus dan menginfiltrasi vagina,

prostat, vesica urinaria atau os. sacrum

2. Penyebaran hematogen: penyebaran melalui vena porta ke hepar. Penyebaran

melalui hipgastrika ke jantung, paru dan tempat lainnya

3. Penyebaran limfogen: penyebaran tumor dekat anus ke lnn. Inguinalis

Stadium kanker rektum yaitu:

1. Stadium 0 (carcinoma in situ)

Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum

Gambar. Stadium 0 (Carcinoma In Situ)

2. Stadium I/Duke A

Sel kanker dapat ditemukan di sel mukosa di dinding rektum dan menyebar ke

sel sub mukosa.

20

Gambar. Stadium I

3. Stadium II/Duke B

Stage II A. Sel kanker menyebar ke sel otot menuju sel serosa

Stage II B. Sel kanker menyebar ke sel serosa tetapi belum menembus dinding

Stage II C. Sel kanker menembus statum serosa menuju dinding organ terdekat

Gambar. Stadium IIA, IIB, dan IIC

4. Stadium III/Duke C

Stage III A

-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa dan sel otot. Sel kanker dapat

menyebar 1-3 kelenjar getah bening

-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa. Sel kanker dapat menyebar

4-6 kelenjar getah bening

21

Gambar. Stadium IIIA

Stage III B

-Sel kanker menyebar sampai sel otot, serosa tetapi tidak sampai ke organ

terdekat. Sel kanker menyebar 1-3 kelenjar getah bening organ terdekat atau

sel kanker terbentuk disekitar kelenjar getah bening

-Sel kanker menyebar sampai sel otot atau sel serosa. Sel kanker menyebar 4-

6 kelenjar getah bening terdekat

-Sel kanker menyebar dari sel mukosa sampai sel submukosa dan mungkin

dapat menyebar ke permukaan sel otot. Sel kanker menyebar lebih dari 7

kelenjar getah bening

Gambar. Stadium IIIB

22

Stage III C

-Sel kanker menyebar sampai ke sel serosa tetapi tidak menyebar ke organ

terdekat. Sel kanker menyebar 4-6 kelenjar getah bening.

-Sel kanker menyebar dari sel otot sampai sel serosa atau sel serosa tetapi

tidak menyebar ke organ terdekat. Sel kanker menyebar ke 7 kelenjar getah

bening

-Sel kanker menyebar sampai sel serosa dan organ terdekat. Sel kanker

menyabar ke >1 kelenjar getah bening atau sel kanker terbentuk di jaringan

terdekat kelenjar getah bening

Gambar. Stadium IIIC

5. Stadium IV/Duke D

-Stage IVA Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ

terdekat atau kelenjar getah bening. Kanker menyebar ke satu organ yang jauh

dari rektum seperti hepar, paru-paru, ovarium, kelenjar getah bening yang

jauh.

-Stage IVB Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ terdekat

atau kelenjar getah bening. Sel kanker menyebar >1 organ yang jauh dari

rektum atau masuk ke lapisan dinding abdomen.

23

Gambar. Stadium IVA dan IVB

Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC):

Stadium T N M Duke

0 Tis N0 M0 -

I T1

T2

N0

N0

M0

M0

A

IIA

IIB

T3

T4

N0

N0

M0

M0

B

IIIA

IIIB

IIIC

T1-T2

T3-T4

Any T

N1

N1

N2

M0

M0

M0

C

IV Any T Any N M1 D

Keterangan:

T : Tumor primer

Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer

Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada lamina

propia

T1 : Tumor menyebar pada submukosa

T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria

24

T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau ke

dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai peritoneal.

T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi

peritoneum viseral.

N : Kelenjar getah bening regional/node

Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai

N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening

N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional

N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening

M : Metastasis

Mx : Metastasis tidak dapat di nilai

M0 : Tidak terdapat metastasis

M1 : Terdapat metastasis

II.8 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastasis seperti

pembesaran kelenjar getah bening atau adanya hepatomegali. Sekitar 75% kanker

rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal touche. Pemeriksaan rectal touche

akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba

keras dan menggaung.

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:

- Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah

terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os.

Coccygeus.

- Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi

pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan

otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam

umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke

struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina,

atau dinding anterior uterus.

- Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik

pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.

25

Dari pemeriksaan colok dubur (Rectal Touche) dapat diketahui:

- Adanya tumor rektum

- Lokasi dan jarak dari anus

- Posisi tumor, melingkar atau menyumbat lumen

- Perlengketan dengan jaringan sekitar

II.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum,

antara lain:

1. Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika

ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan, Secara

patologi anatomi, adenokarsinoma merupakan jenis yang paling sering, yaitu sekitar

90-95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid

tumors, adenosquamouscarsinomas, dan undifferentiated tumors.

2. Pemeriksaan Tumor Marker

CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-9. CEA berkolerasi

dengan volume tumor dan berhubungan dengan sisa tumor setelh reseksi. CEA akan

menurun sampai normal setelah 4-8 minggu post reseksi kuratif. 20-30%

kekambuhan tidak disertai dengan peningkatan CEA. CEA normal < 5ngr.

3. Uji FOBT (Faecal Occult Blood Test)

Untuk melihat perdarahan di jaringan. FOBT baik digunakan untuk screening,

meskipun spesifik dan sensitivitasnya terbatas.

4. Foto rontgen

Foto rontgen dengan barium enema, yaitu cairan yang mengandung barium

yang dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foto rontgen. Barium

enema dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin sebelum dilakukan pemeriksaan lain.

26

Pada pemeriksaan ini akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5 – 6 cm

berbentuk anular atau apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa

rusak.

Setelah penderita menelan barium, maka barium akan tampak putih pada foto

rontgen dan membatasi saluran pencernaan, Barium yang terkumpul di daerah

abnormal menunjukkan adanya ulkus, erosi, tumor dan varises kerongkongan. Barium

juga dapat diberikan dalam bentuk enema untuk melapisi usus besar bagian bawah.

Kemudian dilakukan foto rontgen untuk menunjukkan adanya polip, tumor atau

kelainan struktur lainnya. Prosedur ini bisa menyebabkan nyeri kram serta

menimbulkan rasa tidak nyaman.

Barium yang diminum atau diberikan sebagai enema pada akhirnya akan

dibuang kedalam tinja, sehingga tinja tampak putih seperti kapur. Setelah

pemeriksaan, barium harus segera dibuang karena bisa menyebabkan sembelit yang

berarti. Obat pencahar bisa diberikan untuk mempercepat pembuangan barium.

Keuntungan dari pemeriksaan rontgen dengan barium enema yaitu sensitivitas

untuk kanker kolon 65-95%, tidak memerlukan sedasi, keberhasilan sangat tinggi,

tersedia diseluruh rumah sakit, dan cukup aman. Kelemahannya berupa lesi T1 sering

tidak terdiagnosis

Gambar. Foto Rontgen Dengan Barium Enema

5. Endoskopi

a. Sigmoidoscopi

Merupakan sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid,

apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope

27

dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan

dapat diambil untuk biopsi. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada

usia 50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening

seseorang yang asimptomatik yang berada pada tingkatan resiko menengah untuk

menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible

sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena

meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya

berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.

Gambar 6. Sigmoidoscopy

b. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukkan gambaran seluruh mukosa

kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160

cm. Kolonoskopi merupakan cara paling akurat untuk dapat menunjukkan polip

dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi

sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya

sebesar 67%.

Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi,

menontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur

yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi, dan

perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan

cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory

28

bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding,

megakolon non toksik, striktur kolon, dan neoplasma. Komplikasi lebih sering

terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan

merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi

merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.

Gambar 7. Colonoscopy

6. Virtual Colonoscopy (CT colonography)

Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru,

menggunakan X-ray dan software komputer, untuk melihat dua dan tiga dimensi dari

seluruh usus dan rektum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal.

7. Imaging Technique

MRI, CT Scan, Transrectal Ultrasound merupakan bagian dari tekhnik

imaging yang digunakan untuk evaluasi, stagingm dan tindak lanjut pasien dengan

kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan screening test.

a. CT Scan

CT Scan dapat mengevaluasi kavitas abdomen dari pasien kanker kolon

preoperatif. CT Scan dapat mendeteksi metastasis ke hepar, kelenjar adrenal,

ovarium, kelenjar limfa, dan organ lainnya di pelvis. CT Scan sangat berguna

untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah

pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT Scan mencapai 55%. CT Scan

memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya

29

dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT Scan dapat

mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90% dan

mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening >1 cm pada 75%. Penggunaan CT

dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastasis pada

hepar dan daerah intraperitoneal.

Gambar. CT-scan Kanker Rektum

b. MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar dari pada CT Scan dan sering

digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT

Scan. Karena sensitifitasnya yang lebih tinggi daripada CT Scan, MRI digunakan

untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar. Selain itu, MRI dapat menentukan

dengan akurasi yang tinggi atau yang menginvasi CRM (Circumferential

Resection Margin) yang melibatkan fasia mesorektal.

Keuntungan MRI berupa tidak memakai sinar x, tidak merusak kesehatan

pada penggunaan yang tepat, banyak pemeriksaan yang dapat dikerjaan tanpa

memerlukan zat kontras. Kekurangan MRI berupa alat mahal, waktu pemeriksaan

cukup lama, pasien yang mengandung metal tidak dapat diperiksa terutama alat

pacu jantung, sedangkan pasien dengan wire dan sten maupun pen boleh

diperiksa, pasien claustrofobi (takut ruang sempit), dan perlu anestesi umum.

30

Gambar. MRI Kanker Rektum

c. Endoscopy Ultrasound (EUS)

EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalam

invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%,

70% untuk CT dan 60% untuk rectal touche. Pada kanker rektum, kombinasi

pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan rectal touche untuk menilai

mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi

pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari

preoperatif kemoradiasi. Selain itu EUS lebih akurat dalam menentukan stadium

terutama untuk tumor rektum berukuran kecil. Akurasinya untuk stadium T 76-

93%, stadium N 61-88%. Tetapi EUS kurang akurat dalam mengevaluasi sisi

secara sirkumferensial. EUS lebih bermanfaat untuk tumor yang relatif lebih kecil

dan stadium awal. Transrectal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan

di bawah bimbingan EUS.

Gambar. Endoscopy Ultrasound Pada Kanker Rektum

31

Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk screening pada penderita yang

berisiko tinggi:

Tingkat Resiko Kriteria Usia Screening

Tinggi Kolonoskopi setiap 2 tahun

Tawarkan upper G.I endoskopi

setiap 2 tahun

Pertimbangkan deteksi dini

untuk kanker lainnya yang

mungkin berhubungan dengan

HNPCC

Usia 30-70 tahun

Untuk kanker gaster

antara usia 50-70 tahun

Sedang Kolonoskopi tunggal

Kolonoskopi ulang satu kali

jika kolonoskopi sebelumnya

normal

Usia 30-35 tahun dan 55

tahun

Rendah Penyuluhan pada penderita untuk

mendorong gaya hidup sehat

Tidak diperlukan

Alur screening dalam pemeriksaan pasien dengan kanker rektum:

32

II.10 PENATALAKSANAAN

Beberapa jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektum. Beberapa adalah

terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi

standar untuk kanker rektum yang digunakan, antara lain ialah:

1. Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk

stadium I dan II kanker rektum, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga

dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode

penetuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektum dilakukan pre-surgical

treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum

pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektum,

neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien

lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker

sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau

radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal.

Tiga pembedahan yang dipakai, antara lain:

o Eksisi Lokal

Jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat

dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker

ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy.

o Reseksi

Jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan

anastomosis. Dilakukan juga pengambilan limfonodus di sekitar rektum

lalu diidentifikasi apakah limfonodus tersebut juga mengandung sel

kanker.

Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi

abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rektum, mesorektum, dan bagian

dari otot levator ani dan dubur. Proses ini merupakan pengobatan yang efektif namun

mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.

33

Gambar 9. Reseksi dan Anastomosis

Gambar 10. Reseksi dan Kolostomi

Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan

sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan

retroperitoneal sampai kelenjar limfe retroperitoneal. Kemudian melalui insisi

perineal, anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen.

Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan

menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal

rendah. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas.

Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan

menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran di

dalam dinding rektum dan adanya kelenjar ganas pararektal.

Indikasi dilakukannya eksisi lokal kanker rektum adalah:

Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate.

T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound.

34

Termasuk well-differentiated atau moderately well differentiated

secara histologi.

Ukuran kurang dari 3-4 cm.

Kontraindikasi dilakukannya eksisi lokal pada kanker rektum adalah:

Tumor tidak jelas

Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound.

Termasuk poorly differentiated secara histologi

2. Radiasi

Sebagaimana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut,

radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain

radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal

yang sudah diangkat melalui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis

jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi,

radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko

kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada

penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari

metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai

terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.

3. Kemoterapi

Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki

penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan) dipertimbangkan pada

pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol

(Stadium II lanjut dan stadium III). Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-

FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas

bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen

lainnya, levamisole, meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi

leucovorin. Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira 15% dan

menurunkan angka kematian kira-kira sebesar 10%.

Pemberian capetabine sebagai prodrug 5-FU mendapat perhatian khusus

karena selain praktis juga ekonomis. Dalam pertemuan ASCO (American Society of

Clinical Oncology) pada bulan Juni 2004 dilaporkan bahwa pemakaian capetabine

dengan dosis 1250mg/m2 2x/hari siberikan hari 1-14 berturut-turut disusul masa

35

istirahat 1 minggu dan kemudian dilanjutkan siklus berikutnya mempunyai efek sama

dengan protokol Mayo dalam harapan hidup tetapi efek sampingnya lebih sedikit

seperti diare, stomatitis, nausea/muntah, ntropenia. Efek samping lain dari capetabine

yang sering dijumpai adalan Hand foot syndrome

Indikasi pemberian kemoterapi untuk mencegah kekambuhan dengan kriteria:

Derajat keganasan III-IV

Invasi tumor ke limfatik dan pembuluh darah

Adanya obstruksi usus

Kelenjar yang diperiksa kurang dari 12 buah

Stadium T4, N0, M0 atau T3 dengan perforasi terlokalisasi

Tepi sayatan dengan positif untuk tumor

Tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor

atau sulit ditentukan

Beberapa protokol atau cara pemberian sitostatika pada kanker kolon dan

rektum yang saat ini digunakan:

Capetabine tunggal 2500mg/m2/hari dibagi 2 dosis, hari 1-14 diikuti

istirahat. Ulangi setiap 3 minggu

Protokol Mayo: Leucovorin 20 mg/m2 IV bolus, hari 1-5; 5-FU 425

mg/m2 IV bolus 1 jam setelah leucovorin hari 1-5; ulangi setiap 4

minggu

Protokol Roswell Park: Leucovorin 500 mg/m2 IV selama 2 jam/hari

1,8,15,22,29, dan 36; 5-FU 500 mg/m2 IV selama 1 jam setelah

leucovorin hari 1,8,15,22,29, dan 36; ulangi dosis setiap 6 minggu

Protokol deGramont: dekstro-leucovorin 200 mg/m2 (100 mg/m2 bila

digunakan levo-leucovorin atau ca-levofolinat) IV selama 2 jam, hari 1

dan 2 5-FU 400 mg/m2 IV bolus, kemudian 600 mg/m2 IV selama 22

jam kontinu, hari 1 dan 2; ulang setiap 2 minggu

Protokol gabungan/modifikasi dengan obat tambahan seperti

Oxaliptalin (FOLFOX), irenotecan (FOLFIRI), XELOX dan

bevacizumab

Cetuximab

36

II. 11 PROGNOSIS

Secara keseluruhan, 5-year survival rates untuk kanker rektum adalah sebagai

berikut:

a. Stadium I – 72%

b. Stadium II – 54%

c. Stadium III – 39%

d. Stadium IV – 7%

Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat

berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering

terjadi pada penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama

setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk

kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemampuan untuk memperoleh

batas-batas negatif tumor.

37

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi

di dunia. Di seluruh dunia, 9,5% pria penderita kanker terkena kanker kolorektal,

sedangkan pada perempuan angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita

kanker.

2. Kanker rektum umumnya didahului oelh kondisi pramaligna seperti adenomatous,

villous polyp, familial adenomatous polyposis, dan kolitis ulseratif.

3. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarsinoma

(90-95%), adenocarsinoma mucinous (17%), signetring cell carsinoma (2-4%), dan

sarcoma (0,1-3%).

4. Screening awal untuk mengarahkan diagnosis kanker kolorektal penting dilakukan

untuk meningkatkan survivalnya. Screening awal yang dapat dilakuka yaitu

pemeriksaan darah samar di feses, sigmoidoskopi, kombinasi darah samar feses dan

sigmoidoskopi, kolonoskopi, double contrast barium enema.

5. Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah dijumpai

penyebaran tumor, maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk mencegah

obstruksi, perforasi, dan perdarahan.

38

DAFTAR PUSTAKA

1. Hassan, Isaac. Rectal Carsinoma. 2006. Available from: www.emedicine.com.

(Download: 25 Desember 2013)

2. Sadler TW. Langman embriologi kedokteran. 10th ed. Jakarta: EGC, 2009.

3. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC, 2010.

4. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta: EGC, 2007.

5. Manuaba TW. Panduaan penatalaksanaan kanker solid peraboi 2010. Jakarta: Sagung

seto, 2010.

6. Meredith et al. The multidisciplinary management of rectal cancer. Surg Clin N Am.

2009. Available from: http://www.sassit.co.za/Journals/Colorectal/Colorectal

%20Ca/Rectal%20Ca/MDT%20Mx%20rectal%20Ca%20SCNA.pdf. (Download 25

Desember 2013)

7. College of oncology national guidelines. Rectum cancer. 2007. Available from:

http://www.collegeoncologie.be/files/files/Richtlijnen/Rectal_Cancer_10646440_nl.p

df. (Download 25 Desember 2013)

8. Schwartz SI. Schwartz’s principles of surgery. 9th ed. United States of America: The

McGraw-Hill companies, 2010.

9. Cagir B. Rectal cancer. 2012

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/281237-overview. (Download 30 April 2013)

10. Dalal KM, Bleday R. Cancer of the rectum. In: Zinner MJ, Ashley SW, editors.

Maingot’s abdominal operations. The United States of America: The McGraw-Hill

companies: 2007. P. 693-725.

11. Sabiston DC. Sabiston buku ajar bedah (Essentials of surgery). 19th ed. Jakarta: EGC.

2012.

12. Engstrom FP, Arnoletti PJ. Rectal Cancer. J Natl Compr Canc Netw 2009;7:838-881

Available from: http://www.jnccn.org/content/7/8/838.full.pdf+html (Download 30 Desember 2013)

13. Cutsem1 EV, Dicato M. The diagnosis and management of rectal cancer: expert

discussion and recommendations derived from the 9th World Congress on

39

Gastrointestinal Cancer, Barcelona, 2007. Annals of Oncology 19 (Supplement 6):

vi1–vi8, 2008

Available from: http://annonc.oxfordjournals.org/content/19/suppl_6/vi1.full.pdf+html (Download 30 Desember 2013)

14. Khuhaprema T, Srivatanakul P. Colon and Rectum Cancer in Thailand: An

Overview. Jpn J Clin Oncol 2008;38(4)237–243

Available from: http://jjco.oxfordjournals.org/content/38/4/237.full.pdf+html (Download 30 Desember 2013)

15. Smith N, Brown G. Preoperative staging of rectal cancer. Acta Oncologica, 2008; 47:

20-31. Available from:

http://informahealthcare.com/doi/pdf/10.1080/02841860701697720 (Download 30

Desember 2013)

16. Law LW, Lee MY. Impact of Laparoscopic Resection for Colorectal Cancer on

Operative Outcomes and Survival. Ann Surg 2007;245: 1–7. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1867940/pdf/20070100s00001p1.pdf

(Download 30 Desember 2013)

40