REFERAT FISIOLOGI-NIFAS

35
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kehamilan dan kelahiran dianggap sebagai suatu kejadian fisiologis yang pada sebagian besar wanita berakhir dengan normal dan tanpa komplikasi. Pada akhir masa puerperium, pemulihan persalinan secara umum dianggap telah lengkap. Pandangan ini mungkin terlalu optimis. Bagi banyak wanita, pemulihan adalah sesuatu yang pasti terjadi dan menjadi seorang ibu adalah proses fisiologis yang normal. Namun, beberapa studi terbaru mengungkapkan bahwa masalah-masalah kesehatan jangka panjang yang terjadi setelah melahirkan adalah masalah yang banyak ditemui dan dapat berlangsung dalam waktu lama. Pengetahuan menyeluruh tentang perubahan fisiologis dan psikologis pada masa puerperium adalah sangat penting jika bidan menilai status kesehatan ibu secara akurat dan memastikan bahwa pemulihan sesuai dengan standar yang diharapkan. Hal yang sama pentingnya adalah menyadari potensi morbiditas pascapartum dalam jangka panjang dan faktor-faktor yang berhubungan dengannnya seperti 1

description

makalah

Transcript of REFERAT FISIOLOGI-NIFAS

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kehamilan dan kelahiran dianggap sebagai suatu kejadian fisiologis

yang pada sebagian besar wanita berakhir dengan normal dan tanpa

komplikasi. Pada akhir masa puerperium, pemulihan persalinan secara umum

dianggap telah lengkap. Pandangan ini mungkin terlalu optimis. Bagi banyak

wanita, pemulihan adalah sesuatu yang pasti terjadi dan menjadi seorang ibu

adalah proses fisiologis yang normal. Namun, beberapa studi terbaru

mengungkapkan bahwa masalah-masalah kesehatan jangka panjang yang

terjadi setelah melahirkan adalah masalah yang banyak ditemui dan dapat

berlangsung dalam waktu lama.

Pengetahuan menyeluruh tentang perubahan fisiologis dan psikologis

pada masa puerperium adalah sangat penting jika bidan menilai status

kesehatan ibu secara akurat dan memastikan bahwa pemulihan sesuai dengan

standar yang diharapkan. Hal yang sama pentingnya adalah menyadari

potensi morbiditas pascapartum dalam jangka panjang dan faktor-faktor yang

berhubungan dengannnya seperti obstetrik, anestesi dan faktor sosial.

2. Tujuan

1. Mengetahui perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem reproduksi

pada ibu nifas.

2. Mengetahui perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem perkemihan

pada ibu nifas.

3. Mengetahui perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem pencernaan

pada ibu nifas.

4. Mengetahui perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem

musculoskeletal pada ibu nifas.

1

BAB II

KONSEP DASAR NIFAS

1. Definisi Masa Nifas

Masa Nifas ialah masa 2 jam setelah plasenta lahir (akhir kala IV)

sampai 42 hari (Manuaba: 2001).

Masa Nifas adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin

(menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus

reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil (Hellen Varney dkk :2007).

Periode pascapartum adalah masa pulih kembali alat-alat kandungan

kembali seperti sbelum hamil (Mochtar :1999).

Dapat disimpulkan bahwa masa nifas adalah masa setelah lahirnya

hasil konsepsi sampai pulihnya organ reproduksi seperti sebelum hamil.

2. Pembagian Masa Nifas

Nifas dibagi dalam 3 periode :

1. Puerperium dini, yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri

dan berjalan-jalan. Dalam agama Islam dianggap telah bersih dan boleh

bekerja setelah 40 hari.

2. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalis

yang lamanya 6 – 8 minggu.

3. Remote puerperium, waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat

sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai

komplikasi.

2

BAB III

PERUBAHAN FISIOLOGI IBU NIFAS

1. Sistem Reproduksi

Perubahan alat-alat genital baik interna maupun eksterna kembali

seperti semula seperti sebelum hamil disebut involusi. Adapun perubahan-

perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi ibu nifas adalah sebagai

berikut:

a. Uterus

1) Involusi Uterus

Meskipun istilah involusi telah digunakan untuk menunjukkan

perubahan yang retrogresif yang terjadi di semua organ dan struktur

saluran reproduksi, istilah ini lebih spesifik menunjukkan adanya

perubahan retrogresif pada uterus yang menyebabkan berkurangnya

ukuran uterus. Involusi uterus dapat diartikan juga sebagai pengerutan

uterus yang merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi

sebelum hamil. Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:

a) Iskemia Miometrium – Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan

retraksi yang terus menerus dari uterus setelah pengeluaran

plasenta sehingga membuat uterus menjadi relatif anemi dan

menyebabkan serat otot atrofi.

b) Atrofi jaringan – Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi

penghentian hormon estrogen saat pelepasan plasenta.

c) Autolysis – Merupakan proses penghancuran diri sendiri (zat

protein) yang terjadi di dalam otot uterus. Sisa dari penghancuran

ini diabsorbsi dan kemudian dibuang dalam urine. Sebagai bukti

dapat dikemukakan bahwa kadar nitrogen sangat tinggi. Enzim

proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur

hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5

kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini

disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan progesteron.

3

d) Efek Oksitosin – Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi

dan retraksi otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah

yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses

ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi

plasenta serta mengurangi perdarahan.

Uterus pada bekas implantasi plasenta merupakan luka yang

kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri. Segera setelah plasenta

lahir, dengan cepat luka mengecil, pada akhir minggu ke-2 hanya

sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. Penyembuhan luka bekas

plasenta khas sekali.

Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak

pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Luka bekas

plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena diikuti

pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka.

Regenerasi endometrium terjadi di tempat implantasi plasenta

selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar endometrium ini

berlangsung di dalam decidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini

mengikis pembuluh darah yang membeku pada tempat implantasi

plasenta hingga terkelupas dan tak dipakai lagi pada pembuangan

lokia.

Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi

situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar

bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan desidua

inilah yang dinamakan lokia.

Lokia adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan

mempunyai reaksi basa/alkalis yang membuat organisme berkembang

lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal.

Lokia mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun tidak terlalu

menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Lokia

mengalami perubahan karena proses involusi. Pengeluaran lokia dapat

4

dibagi menjadi lokia rubra, sanguilenta, serosa dan alba. Perbedaan

masing-masing lokia dapat dilihat sebagai berikut:

Lokia Waktu Warna Ciri-ciri

Rubra 1-3 hari Merah kehitaman Terdiri dari sel desidua,

verniks caseosa, rambut

lanugo, sisa mekoneum

dan sisa darah

Sanguilenta 3-7 hari Putih bercampur

merah

Sisa darah bercampur

lender

Serosa 7-14

hari

Kekuningan/

kecoklatan

Lebih sedikit darah dan

lebih banyak serum, juga

terdiri dari leukosit dan

robekan laserasi plasenta

Alba >14 hari Putih Mengandung leukosit,

selaput lendir serviks dan

serabut jaringan yang

mati.

Umumnya jumlah lokia lebih sedikit bila wanita postpartum

dalam posisi berbaring daripada berdiri. Hal ini terjadi akibat

pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi

berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total

jumlah rata-rata pengeluaran lokia sekitar 240 hingga 270 ml.

Banyaknya lokia dan kecepatan involusi tidak dipengaruhi oleh

pemberian preparat ergot (ergotrate, Methergine), yang hanya

memiliki efek jangka pendek. Akan tetapi menyusui akan

mempercepat proses involusi.

Segera setelah melahirkan, serviks menjadi lembek, kendor,

terkulai dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan korpus uteri

berkontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga

5

perbatasan antara korpus dan serviks uteri membentuk cincin. Serviks

mungkin memar dan edema, terutama jika ada tahanan anterior saat

persalinan, Warna serviks merah kehitam-hitaman karena penuh

pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa

masih dapat dimasukan 2–3 jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari saja

yang dapat masuk.

Oleh karena hiperplasi dan retraksi serviks, robekan serviks

dapat sembuh. Namun demikian, selesai involusi, ostium eksternum

tidak sama waktu sebelum hamil. Pada  umumnya ostium eksternum

lebih besar, tetap ada retak-retak dan robekan-robekan pada

pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya. Oleh karena robekan

ini terbentuk bibir depan dan bibir belakang dari serviks.

Setelah bayi lahir, ligamen dan diafragma pelvis fasia yang

meregang sewaktu kehamilan dan saat melahirkan, kembali seperti

sedia kala. Perubahan ligamen yang dapat terjadi pasca melahirkan

antara lain: ligamentum rotundum menjadi kendor yang

mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi; ligamen, fasia,

jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendor.

Ukuran uterus pada masa nifas akan mengecil seperti sebelum

hamil. Perubahan-perubahan normal pada uterus selama postpartum

adalah sebagai berikut:

Involusi Uteri Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus Diameter

Uterus

Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 gram 12,5 cm

7 hari

(minggu 1)

Pertengahan pusat dan

simpisis

500 gram 7,5 cm

14 hari

(minggu 2)

Tidak teraba 350 gram 5 cm

6 minggu Normal 60 gram 2,5 cm

6

Penurunan ukuran uterus yang cepat ini direfleksikan dengan

perubahan lokasi uterus, yaitu uterus turun dari abdomen dan kembali

menjadi organ panggul. Segera setelah pelahiran, tinggi fundus uteri

(TFU) terletak sekitar dua per tiga hingga tiga per empat bagian atas

antara simfisis pubis dan umbilikus. Letak TFU kemudian naik,

sejajar dengan umbilikus dalam beberapa jam. TFU tetap terletak kira-

kira sejajar (atau satu ruas jari di bawah) umbilikus selama satu atau

dua hari dan secara bertahap turun ke dalam panggul sehingga tidak

dapat dipalpasi lagi di atas simfisis pubis setelah hari kesepuluh

pascapartum.

Walaupun terdapat variasi lokasi umbilikus terhadap simfisis

pubis pada setiap individu dan variasi ukuran ruas jari di antara

pemeriksa dengan pemeriksa lain sehingga membuat adanya rentang

normal dalam penurunan dan lokasi TFU harian, terdapat

keseragaman untuk memfasilitasi generalisasi penurunan uterus, yang

diilustrasikan pada gambar 3.1.

Gambar 3.1. Tinggi fundus uteri pada masa nifas

7

b. Perubahan Pada Vulva, Vagina dan Perineum

Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan

serta peregangan, setelah beberapa hari persalinan kedua organ ini kembali

dalam keadaan kendor. Rugae timbul kembali pada minggu ke tiga. Himen

tampak sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukan berubah

menjadi karankulae mitiformis yang khas bagi wanita multipara. Ukuran

vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan saat sebelum

persalinan pertama.

Perubahan pada perineum yaitu terjadinya edema pasca persalinan

dan nyeri akibat robekan perinium. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara

spontan ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Dapat

dilakukan kompres dingin selama 24 jam pasca persalinan dan seterusnya

mandi dengan menggunakan air hangat. Medikamentosa dapat diberikan

obat anti nyeri yaitu obat anti inflamasi non steroid, NSAID. Latihan otot

perineum dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan

vagina hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir

puerperium dengan latihan harian.

c. Laktasi

Keadaan buah dada pada 2 hari pertama nifas sama dengan keadaan

dalam kehamilan. Pada waktu ini buah dada belum mengandung susu,

melainkan kolostrum yang dapat dikeluarkan dengan memijat aerola

mammae.

Kolostrum adalah cairan berwarna kuning tua  seperti jeruk nipis

yang disekresi  payudara pada awal masa nifas

Kolostrum lebih banyak mengandung protein dan mineral tapi lebih

sedikit mengandung gula dan lemak daripada ASI

Cairan kolostrum terdiri dari albumin, yang membeku kalau

dipanaskan.

Kolostrum mengandung Euglobulin/antibodi ( IgA ), sehingga

menambah kekebalan tubuh bayi.

8

Sebab-sebab  laktasi :

Estrogen dan progesteron dari plasenta merangsang pertumbuhan

kelenjar-kelenjar susu, sedangkan progesteron merangsang

pertumbuhan saluran kelenjar. Kedua hormon ini menghambat

LTH (Prolactin). Setelah plasenta lahir, maka LTH dengan bebas

merangsang laktasi.

Lobus posterior hypohyse mengeluarkan oxytocin yang

merangsang pengeluaran air susu. Pengeluaran air susu adalah

refleks yang ditimbulkan oleh rangsangan penghisapan putting susu

oleh bayi. Rangsangan ini menuju ke hypohyse  dan menghasilkan

oxytocin yang menyebabkan buah dada  mengeluarkan air susunya.

Prolactin

9

Hari ke 3 post partum :

Mammae besar, keras,nyeri. Ini menandai permulaan sekresi air susu.

Pemberian ASI sebaiknya dilakukan segera setelah melahirkan dengan

waktu tiap 2-3 jam untuk menstimulasi produksi asi. Pemberian asi dalam jangka

waktu panjang tidak memberi efek, namun harus diberikan secara berulang ulang.

Produksi asi yang baik seharusnya telah terjadi dalam 36-96 jam mulai dari

stimulasi pertama kali.

Bagi ibu yang tidak ingin menyusui, dapat dilakukan metode kompres

dingin mamae atau memakai beha (bra) yang ketat atau pengikat untuk

mengelakkan terjadi breast engorgement. Acetaminophen atau NSAID dapat

mengurangi gejala pembengkakan payudara (misalnya, nyeri, bengkak, demam).

Bromocriptine sebelumnya diberikan untuk menekan produksi ASI, namun

10

penggunaannya telah berkurang karena memerlukan 2 minggu administrasi, tidak

selalu bekerja, dan dapat menghasilkan reaksi yang merugikan.

Kondisi – kondisi  ibu dilarang menyusui anaknya:

Mastitis purulenta

Ibu dengan penyakit menular

Keadaan umum ibu kurang baik

Bayi prematur / imatur

2. Sistem Perkemihan

Pada masa hamil, perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang

berperan meningkatkan fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pada pasca

melahirkan kadar steroid menurun sehingga menyebabkan penurunan fungsi

ginjal. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita

melahirkan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-

36 jam sesudah melahirkan.

Ibu post partum dianjurkan segera buang air kecil, agar tidak

mengganggu proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Namun demikian,

pasca melahirkan ibu merasa sulit buang air kecil.

Hal yang menyebabkan kesulitan buang air kecil pada ibu post

partum, antara lain:

a. Adanya udema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi

retensi urin.

b. Diaforesis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretansi

dalam tubuh, terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.

c. Depresi dari sfingter uretra oleh karena penekanan kepala janin dan

spasme oleh iritasi muskulus sfingter ani selama persalinan, sehingga

menyebabkan miksi.

11

Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun,

hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya

peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme

tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengan diuresis

pasca partum. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6

minggu.

Kehilangan cairan melalui keringat dan peningkatan jumlah urin

menyebabkan penurunan berat badan sekitar 2,5 kg selama masa pasca

partum. Pengeluaran kelebihan cairan yang tertimbun selama hamil kadang-

kadang disebut kebalikan metabolisme air pada masa hamil (reversal of the

water metabolisme of pregnancy).

Resiko inkontinensia urine pada pasien dengan persalinan pervaginam

sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan resiko serupa pada persalinan dengan

Sectio Caesar. Sepuluh persen pasien pasca persalinan menderita

inkontinensia (biasanya stres inkontinensia) yang kadang-kadang menetap

sampai beberapa minggu pasca persalinan.

Secara fisiologis, kontinensia urin dipertahankan dengan tiga cara:

Tonus otot vesica urinaria (musculus detrusor), yang mengendalikan

tekanan intra vesical.

Tekanan intra uretral yang diberikan oleh musculus pubococcygeus dan

campuran serabut-serabut yang saling menyilang pada sepertiga bagian

tengah uretra.

Pengendalian sphincter yang merupakan sudut urethrovesical pada cervix

vesicae. Sudut ini yang menutup meatus internus yang dikendalikan oleh

otot-otot dasar pelvis.

Ketiga faktor tersebut tadi secara bersama-sama mencegah keluarnya

urin secara involunter pada saat tekanan intra abdominal meningkat karena

tertawa, bersin, atau batuk.

Otot-otot ini beserta dengan saraf yang menginervasi otot-otot tadi

(nervus pudendus dan cabang-cabang fleksus sakralis) sangat peka terhadap

stres dan trauma selama melahirkan pada saat otot-otot dan saraf-saraf tadi

12

teregang dan mengalami desakan. Trauma pada saraf tadi akan mengurangi

kekuatan otot-otot yang diinervasi yang telah mengalami regangan berlebihan

dan telah melemah.

Walaupun pada kebanyakan wanita yang sehat yang melakukan latihan

secara teratur, tonus otot tadi akan segera membaik. Pasien primigravida yang

memulai persalinan dengan seluruh ototnya mempunyai tonus yang bagus,

akan sangat kecil kemungkinan terganggunya karena terjadi inkotinensia

stres. Tetapi pada persalinan berikutnya otot tadi akan mengalami stres yang

berulang, dan insidensi inkontinensia stres akan meningkat dengan

meningkatnya paritas. Insidensi tadi juga meningkat pada wanita yang lebih

tua (sebagian karena perubahan hormonal) dan wanita yang mengalami

persalinan lama dan kelahiran dengan alat bantu.

Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam

pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower

kateter selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam

waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka

kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang

dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan

pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa.

Untuk mempercepat penyembuhan keadaan ini dapat dilakukan latihan

pada otot dasar panggul. Latihan-latihan tersebut antara lain berenang, senam,

mempertahankan kesehatan, aerobik dan sebagainya.

13

3. Sistem Pencernaan

Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa

hal, diantaranya tingginya kadar progesteron yang dapat mengganggu

keseimbangan cairan tubuh, meningkatkan kolestrol darah, dan melambatkan

kontraksi otot-otot polos. Pasca melahirkan, kadar progesteron juga mulai

menurun. Namun demikian, faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk

kembali normal.

Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada sistem

pencernaan, antara lain:

a. Nafsu Makan

Pasca melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan

untuk mengkonsumsi makanan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu

3–4 hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron

menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga mengalami penurunan

selama satu atau dua hari.

Wanita mungkin kelaparan dan mulai makan satu atau dua jam

setelah melahirkan. Kecuali ada komplikasi kelahiran, tidak ada alasan

untuk menunda pemberian makan pada wanita pasca partum yang sehat

lebih lama dari waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengkajian awal.

b. Motilitas

Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna

menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan

analgesia dan anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan

motilitas ke keadaan normal.

14

c. Pengosongan Usus

Pasca melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini

disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan awal

masa pascapartum, diare sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan,

kurang makan, dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir. Sistem

pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu untuk kembali normal.

Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur, antara lain:

1) Pemberian diet / makanan yang mengandung serat.

2) Pemberian cairan yang cukup.

3) Pengetahuan tentang pola eliminasi pasca melahirkan.

4) Pengetahuan tentang perawatan luka jalan lahir.

5) Bila usaha di atas tidak berhasil dapat pemberian huknah atau obat

yang lain.

d. Konstipasi

Konstipasi mungkin menjadi masalah pada puerperium awal karena

kurangnya makanan padat selama persalinan dan karena wanita menahan

defekasi. Wanita mungkin menahan defekasi karena perineumnya

mengalami perlukaan atau karena ia kurang pengetahuan dan takut akan

merobek atau merusak jahitan jika ia melakukan defekasi. Jika penderita

hari ketiga belum juga buang air besar, maka diberi obat pencahar, baik

peroral ataupun supositoria.

15

4. Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal terjadi pada saat umur kehamilan

semakin bertambah. Adaptasi muskuloskelatal ini mencakup: peningkatan

berat badan, bergesernya pusat akibat pembesaran rahim, relaksasi dan

mobilitas. Namun demikian, pada saat post partum sistem muskuloskeletal

akan berangsur-angsur pulih kembali. Ambulasi dini dilakukan segera setelah

melahirkan, untuk membantu mencegah komplikasi dan mempercepat

involusi uteri.

Adaptasi sistem muskuloskeletal pada masa nifas, meliputi:

a. Dinding perut dan peritoneum

Dinding perut akan longgar pasca persalinan. Keadaan ini akan pulih

kembali dalam 6 minggu. Pada wanita yang asthenis terjadi diastasis dari

otot-otot rektus abdominis, sehingga sebagian dari dinding perut di garis

tengah hanya terdiri dari peritoneum, fasia tipis dan kulit.

b. Kulit abdomen

Selama masa kehamilan, kulit abdomen akan melebar, melonggar

dan mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari dinding abdomen

dapat kembali normal kembali dalam beberapa minggu pasca melahirkan

dengan latihan post natal.

c. Striae

Striae adalah suatu perubahan warna seperti jaringan parut pada

dinding abdomen. Striae pada dinding abdomen tidak dapat menghilang

sempurna melainkan membentuk garis lurus yang samar. Tingkat diastasis

muskulus rektus abdominis pada ibu post partum dapat dikaji melalui

keadaan umum, aktivitas, paritas dan jarak kehamilan, sehingga dapat

membantu menentukan lama pengembalian tonus otot menjadi normal.

16

d. Perubahan ligamen

Setelah janin lahir, ligamen-ligamen, diafragma pelvis dan fasia

yang meregang sewaktu kehamilan dan partus berangsur-angsur menciut

kembali seperti sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi

kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi.

e. Simpisis pubis

Pemisahan simpisis pubis jarang terjadi. Namun demikian, hal ini

dapat menyebabkan morbiditas maternal. Gejala dari pemisahan simpisis

pubis antara lain: nyeri tekan pada pubis disertai peningkatan nyeri saat

bergerak di tempat tidur ataupun waktu berjalan. Pemisahan simpisis dapat

dipalpasi. Gejala ini dapat menghilang setelah beberapa minggu atau bulan

pasca melahirkan, bahkan ada yang menetap.

Adapun gejala-gejala sistem muskuloskeletal yang biasa timbul pada

masa pasca partum antara lain:

Nyeri punggung bawah

Nyeri punggung merupakan gejala pasca partum jangka panjang yang

sering terjadi. Hal ini disebabkan adanya ketegangan postural pada sistem

muskuloskeletal akibat posisi saat persalinan.

Penanganan: Selama kehamilan, wanita yang mengeluh nyeri punggung

sebaiknya dirujuk pada fisioterapi untuk mendapatkan perawatan. Anjuran

perawatan punggung, posisi istirahat, dan aktifitas hidup sehari-hari

penting diberikan. Pereda nyeri elektroterapeutik dikontraindikasikan

selama kehamilan, namun mandi dengan air hangat dapat menberikan rasa

nyaman pada pasien.

Sakit kepala dan nyeri leher

Pada minggu pertama dan tiga bulan setelah melahirkan, sakit kepala dan

migrain bisa terjadi. Gejala ini dapat mempengaruhi aktifitas dan

17

ketidaknyamanan pada ibu post partum. Sakit kepala dan nyeri leher yang

jangka panjang dapat timbul akibat setelah pemberian anestasi umum.

Nyeri pelvis posterior

Nyeri pelvis posterior ditunjukan untuk rasa nyeri dan disfungsi area sendi

sakroiliaka. Gejala ini timbul sebelum nyeri punggung bawah dan

disfungsi simfisis pubis yang ditandai nyeri di atas sendi sakroiliaka pada

bagian otot penumpu berat badan serta timbul pada saat membalikan tubuh

di tempat tidur. Nyeri ini dapat menyebar ke bokong dan paha posterior.

Penanganan: pemakaian ikat (sabuk) sakroiliaka penyokong dapat

membantu untuk mengistirahatkan pelvis. Mengatur posisi yang nyaman

saat istirahat maupun bekerja, serta mengurangi aktifitas dan posisi yang

dapat memacu rasa nyeri.

Disfungsi simfisis pubis

Merupakan istilah yang menggambarkan gangguan fungsi sendi simfisis

pubis dan nyeri yang dirasakan di sekitar area sendi. Fungsi sendi simfisis

pubis adalah menyempurnakan cincin tulang pelvis dan memindahkan

berat badan melalui pada posisi tegak. Bila sendi ini tidak menjalankan

fungsi semestinya, akan terdapat fungsi/stabilitas pelvis yang abnormal,

diperburuk dengan terjadinya perubahan mekanis, yang dapat

mempengaruhi gaya berjalan suatu gerakan lembut pada sendi simfisis

pubis untuk menumpu berat badan dan disertai rasa nyeri yang hebat.

Penanganan: tirah baring selama mungkin; pemberian pereda nyeri;

perawatan ibu dan bayi yang lengkap; rujuk ke ahli fisioterapi untuk

latihan abdomen yang tepat; latihan meningkatkan sirkulasi; mobilisasi

secara bertahap; pemberian bantuan yang sesuai.

Diastasis rekti

Diastasis rekti adalah pemisahan otot rektus abdominis lebih dari 2,5 cm

pada tepat setinggi umbilikus sebagai akibat pengaruh hormon terhadap

linea alba serta akibat perenggangan mekanis dinding abdomen. Kasus ini

18

sering terjadi pada multi paritas, bayi besar, poli hidramnion, kelemahan

otot abdomen dan postur yang salah. Selain itu, juga disebabkan gangguan

kolagen yang lebih ke arah keturunan, sehingga ibu dan anak mengalami

diastasis.

Penanganan: melakukan pemeriksaan rektus untuk mengkaji lebar celah

antara otot rektus; memasang penyangga tubigrip (berlapis dua jika perlu),

dari area xifoid sternum sampai di bawah panggul; latihan transversus dan

pelvis dasar sesering mungkin, pada semua posisi, kecuali posisi

telungkup-lutut; memastikan tidak melakukan latihan sit-up atau curl-up;

mengatur ulang kegiatan sehari–hari, menindaklanjuti pengkajian oleh ahli

fisioterapi selama diperlukan.

Osteoporosis akibat kehamilan

Osteoporosis timbul pada trimester ketiga atau pasca natal. Gejala ini

ditandai dengan nyeri, fraktur tulang belakang dan panggul, serta adanya

hendaya (tidak dapat berjalan), ketidakmampuan mengangkat atau

menyusui bayi pasca natal, berkurangnya tinggi badan, postur tubuh yang

buruk.

Disfungsi Dasar Panggul

Disfungsi dasar panggul, meliputi :

1) Inkontinensia urin

Inkontinensia urin adalah keluhan rembesan urin yang tidak disadari.

Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pasca

partum adalah inkontinensia stress.

Terapi : selama masa antenatal, ibu harus diberi pendidikan mengenai

dan dianjurkan untuk mempraktikan latihan otot dasar panggul dan

transversus sesering mungkin, memfiksasi otot ini serta otot

transversus selama melakukan aktivitas yang berat. Selama masa

pasca natal, ibu harus dianjurkan untuk mempraktikan latihan dasar

19

panggul dan transversus segera setelah persalinan. Bagi ibu yang tetap

menderita gejala ini disarankan untuk dirujuk ke ahli fisioterapi yang

akan mengkaji keefektifan otot dasar panggul dan memberi saran

tentang program retraining yang meliputi biofeedback dan stimulasi.

2) Inkontinensia alvi.

Inkontinensia alvi disebabkan oleh robeknya atau merenggangnya

sfingter anal atau kerusakan yang nyata pada suplai saraf dasar

panggul selama persalinan (Snooks et al, 1985).

Penanganan : rujuk ke ahli fisioterapi untuk mendapatkan perawatan

khusus.

3) Prolaps

Prolaps genetalia dikaitkan dengan persalinan per vagina yang dapat

menyebabkan peregangan dan kerusakan pada fasia dan persarafan

pelvis. Prolaps uterus adalah penurunan uterus. Sistokel adalah

prolaps kandung kemih dalam vagina, sedangkan rektokel adalah

prolaps rektum kedalam vagina (Thakar & Stanton, 2002).

Gejala yang dirasakan wanita yang menderita prolaps uterus antara

lain: merasakan ada sesuatu yang turun ke bawah (saat berdiri), nyeri

punggung dan sensasi tarikan yang kuat.

Penanganan: prolaps ringan dapat diatasi dengan latihan dasar

panggul.

20

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Masa nifas adalah masa setelah lahirnya hasil konsepsi sampai

pulihnya organ reproduksi seperti sebelum hamil. Pada masa ini banyak

terjadi perubahan yang dialami oleh wanita post partum. Pada sistem

reproduksi terjadi Involusi uterus, involusi tempat plasenta, perubahan

ligamen, perubahan pada serviks, keluarnya lokia, perubahan pada vulva,

vagina dan perineum. Terjadi juga perubahan pada sistem perkemihan seperti

kesulitan buang air kecil dan inkontinensia urin. Pada sistem pencernaan

terjadi perubahan nafsu makan, motilitas organ-organ pencernaan,

pengosongan usus, dan konstipasi. Sistem muskuloskeletal pun mengalami

perubahan seperti pada dinding perut dan peritoneum, kulit abdomen,

timbulnya striae, perubahan ligamen dan simpisis pubis

Perubahan-perubahan tersebut ada yang bersifat fisiologis dan

patologis. Oleh karena itu, tenaga kesehatan terutama bidan harus memahami

perubahan-perubahan tersebut agar dapat memberikan penjelasan dan

intervensi yang tepat kepada pasien.

2. Saran

a. Masyarakat

Bagi suami maupun keluarga diharapkan agar lebih aktif, tutut serta

dalam menjaga kesehatan ibu. Dan dapat memberikan dukungan secara

psikis maupun moril terhadap ibu yang menghadapi masa post partum.

Mendukung kinerja pemerintah dalam menurunkan AKI.

b. Pemerintah

Bagi pemerintah diharapkan agar berupaya meningkatkan

pemberdayaan tenaga kesehatan khususnya bidan, agar persalinan dapat

ditangani oleh tenaga ahli secara komprehensif untuk menurunkan angka

kematian ibu dan bayi agar terlaksana dengan baik.

21

c. Tenaga kesehatan

Bagi tenaga kesehatan, khususnya bidan diharapkan agar

meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan asuhan kebidanan, serta lebih

peka untuk mengidentifikasi tanda bahaya dalam persalinan agar dapat

segera ditangani.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran Bandung. 1983. Obstetri Fisiologi. Bandung : Percetakan /

Penerbitan Eleman.

2. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan

Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : Buku

Kedokteran EGC.

3. Varney, Helen, Dkk. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

4. Verralls, Sylvia. 1997. Anatomi dan Fisiologi Terapan Dalam Kebidanan.

Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

5. Prawirohardjo, dkk.1985.Ilmu Kebidanan Edisi Pertama Cetakan Kedua.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

6. Medscape Reference. Normal and Abnormal Puerperium. Access at

http://emedicine.medscape.com/article/260187-overview#showall. On 31/7/13

at 1430

23