Referat Ferda Ciiiin NEW

48
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 1829 Pierre Louis (Prancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti tifus. Baik kata typhoid maupun tyfus berasal dari kata Yunani tyfos. Terminology ini dipakai pada penderita yang menderita demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelpia dapat membedakan typhoid dan tyfus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus Typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjer limfe mesentarial dan limfa. Pada tahun 1884, Gaffky berhasil membiakkan Salmonella Typhi dan memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan

Transcript of Referat Ferda Ciiiin NEW

Page 1: Referat Ferda Ciiiin NEW

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 1829 Pierre Louis (Prancis) mengeluarkan istilah typhoid yang

berarti seperti tifus. Baik kata typhoid maupun tyfus berasal dari kata Yunani tyfos.

Terminology ini dipakai pada penderita yang menderita demam disertai kesadaran

yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelpia dapat

membedakan typhoid dan tyfus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus

Typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjer limfe mesentarial dan

limfa. Pada tahun 1884, Gaffky berhasil membiakkan Salmonella Typhi dan

memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara.

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat

luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat

sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus

kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai

penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang

sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di

Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000

penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita

yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

Demam tifoid merupakan infeksi bakterial sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi (S.typhi). yang masih dijumpai secara luas di

berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.

Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena

Page 2: Referat Ferda Ciiiin NEW

penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan

lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri

pengolahan makanan yang masih rendah. Oleh sebab itu, pada bab berikutnya akan

dibahas lebih lanjut tentang demam tifoid ini.

Page 3: Referat Ferda Ciiiin NEW

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Banyak definisi mengenai tifoid, antara lain sebagai berikut:

1. Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi

Salmonella Typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman

yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang

terinfeksi kuman salmonella (Bruner and Sudart, 1994).

2. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh

kuman Salmonella Typhi (Arief Maeyer, 1999).

3. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh

kuman Salmonella Thypi dan Salmonella Para Thypi A, B, C. Sinonim

dari penyakit ini adalah Typhoid dan Paratyphoid Abdominalis

(Syaifullah Noer, 1996).

4. Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga

paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis

(Soeparman, 1996).

5. Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-

gejala sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhosa, Salmonella

Type A, B, C. Penularan terjadi secara fecal-oral melalui makanan dan

minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief M, 1999).

6. Tifus Abdominalis (demam tifoid, Enteric Fever) adalah penyakit infeksi

akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala

demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan

dan gangguan kesadaran (FKUI,1985).

7. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini ditandai dengan

penyakit berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa

Page 4: Referat Ferda Ciiiin NEW

keterlibatan struktur endotelial dan endokardial dan invasi bakteri

sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,

kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch (agregasi dari jaringan limfoid

yang biasanya ditemukan di bagian terendah dari usus kecil ileum pada

manusia, dengan demikian, mereka membedakan ileum dari duodenum

dan jejunum) (IDAI, 2008).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, Dari

beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah

suatu penyakit infeksi di saluran pencernaaan tertama usus halus dan infeksi

sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi A, B, dan C yang dapat menular

melalui fecal-oral, makanan dan minuman yang terkontaminasi.

2.2. Epidemiologi

Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)

pada tahun 2004, diperkirakan sebesar 21,6 juta kasus demam tifoid terjadi setiap

tahun di seluruh dunia. Sebagian besar kasus terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika

Latin. Insidensi global terjadinya demam tifoid diperkirakan sebesar 0,5% dengan

insidensi tertinggi yang dilaporkan terjadi di Indonesia dan Papua New Guinea

sebesar 2%, dimana demam tifoid menduduki peringkat kelima penyebab kematian

dari keseluruhan penyakit. Di negara tersebut, 91% kasus merupakan anak-anak yang

berusia 3-19 tahun, dan 20.000 kematian terjadi tiap tahunnya.5

Page 5: Referat Ferda Ciiiin NEW

Gambar 2.2. Distribusi Geografis Infeksi S.typhi di dunia

2.3. Etiologi1

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella Typhi, Salmonella Paratyphi A, B

dan C. Salmonella adalah genus yang termasuk famili enterobakteriasiase dan

berisi 3 spesies : S.Typhi, S choleraesuis, S. Entereditis. Dua spesies pertama

masing-masing memiliki 1 serotip, tetapi S. Entereditis mempunyai lebih dari

1800 serotip yang berbeda.

Salmonella adalah motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, batang

gram negatif. Organisme Salmonella tumbuh secara aerobik dan mampu tumbuh

secara anaerobik fakultatif. Mereka resisten terhadap agen fisik tetapi dapat

dibunuh dengan pemanasan sampai 130°F (54,4 °C) selama 1 jam atau 140°F

(60°C) selama 15 menit. Mereka tetap dapat hidup pada suhu lingkungan dan suhu

yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama beminggu-

minggu dalam sampah, makanan kering, dan bahan tinja.

Salmonella Thyposa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak

berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu :

1. Antigen O (somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida, dinding

sel stabil panas)

Page 6: Referat Ferda Ciiiin NEW

2. Antigen H (flagela, labil panas dan dapat muncul pada fase 1 atau 2)

3. Antigen Vi.

Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam

antigen tersebut. Ada dua sumber penularan Salmonella Typhi yaitu pasien dengan

demam typhoid dan pasien dengan karier. Karier adalah orang yang sembuh dari

demam typhoid dan masih terus mengekresi Salmonella Typhi dalam tinja dan air

kemih selama lebih dari 1 tahun.

Gambar 2.1. Salmonella Thyposa

2.4. Patofisiologi1,2

Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui

makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap

sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan

masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat

masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk

kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi

menginvasi tubuh dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin

melalui antigen sample sel yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang

melapisi usus, berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui

rute paraselular. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik

maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke

Page 7: Referat Ferda Ciiiin NEW

lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel

fagosit terutama olah makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke

kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman

yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan

bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman

meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan

bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit

infeksi sitemik.

Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella

terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan

gejala reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit

perut, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.

Hoffman mengemukakan bahwa gambaran klinis yang khas pada demam

tifoid merupakan hasil interaksi antara Salmonella typhi dan makrofag di hati,

limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesentrika. Sejumlah bakteri yang berada

yang berada di jaringan limfoid intestinal, hati, limfa dan sumsum tulang

menyebabkan inflamasi di tempat tersebut dan melepaskan mediator inflamasi dari

makrofag. Makrofag memproduksi sitokin diantaranya tumor necroting factor

(TNF), IL-1 dan interferon. Makrofag juga memproduksi sumber metabolit

arakhidonat dan reactive oxygen intermediates. Produk makrofag tersebut diatas

dapat menyebabkan nekrosis seluler, perangsangan sistem imun, ketidakstabilan

vaskuler, permulaan mekanisme pembekuan, penekanan sumsum tulang, demam,

Page 8: Referat Ferda Ciiiin NEW

dan kelainan yang berhubungan dengan demam tifoid. Tampaknya endotoksin

merangsang makrofag untuk melepaskan produknya yang secara lokal

menyebabkan nekrosis intestin maupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan

gejala klinis demam tifoid.4

Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia

jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis

dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses

patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel

kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,

kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

Gambar 2.3. Patofisiologi Demam Tifoid

Page 9: Referat Ferda Ciiiin NEW

Gambar 2.4. Patogenesis Demam Tifoid

Page 10: Referat Ferda Ciiiin NEW

2.5. Gambaran Klinis1,2

Infeksi demam tifoid umumnya terjadi pada anak-anak atau dewasa muda

berumur 5 – 25 tahun. Manifestasi klinis klasik demam tifoid timbul sekitar 7-14 hari

setelah S. typhi diingesti atau memasuki saluran cerna.1,3 Ada pula sumber pustaka

yang menyebutkan masa inkubasinya 3-60 hari dimana gejalanya rata-rata

berlangsung dalam 1-2 minggu.2 Pola demam biasanya stepwise/ stepladder/naik

perlahan dimana suhu badan meningkat bertahap setiap harinya dan menurun drastis

di pagi hari.1,2,3 Puncak suhu semakin hari semakin meningkat. Selama minggu

pertama sakit, dapat timbul gejala-gejala saluran cerna, antara lain nyeri perut yang

difus, perut yang menegang, dan dalam beberapa kasus, dapat terjadi nyeri perut

kanan atas yang bersifat kolik. Infiltrasi monositik dapat menginflamasi plak Peyeri

dan mempersempit lumen usus sehingga dapat menimbulkan konstipasi yang terjadi

sepanjang perjalanan penyakit.1 Pasien juga dapat mengalami anoreksia, nyeri perut,

malaise, mialgia, sakit kepala, batuk, diare atau konstipasi, dan delirium.6,7,8

37.5

37.838

39

37.5

37.838

39

37.5

38

Gambar 2. 5 Ilustrasi kurva suhu badan pada demam tifoid yang memiliki pola naik

bertahap atau stepwise/stepladder fever.

Pada akhir minggu pertama sakit, plato demam mencapai 39-40oC. Pasien

dapat pula memunculkan rose spot yang berwarna seperti ikan salmon dan mengkilap

Page 11: Referat Ferda Ciiiin NEW

pada batang tubuh berupa makulopapul yang biasanya berukuran 1-4 cm yang

berkumpul sekitar 5 buah dan hanya terjadi selama 2-5 hari.1 Ada pula sumber

pustaka yang menyebutkan rose spot biasanya timbul di bagian anterior toraks dan

menghilang dalam 3-4 hari dengan ukuran diameter 2-4 mm yang berkumpul sekitar

5-20 buah.2 Di sumber pustaka lain, disebutkan bahwa rose spot juga dapat muncul di

punggung, lengan, dan tungkai pada 25% kasus pada akhir minggu pertama.8

Gambar 2.6 . Rose spot merupakan tanda khas pada demam tifoid tetapi

ketiadaannya tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid.8

Rose spot ini merupakan emboli bakteri di dermis dan kadang-kadang terjadi

pada shigelosis atau salmonelosis non-tifoid. Selama minggu kedua sakit, gejala dan

tanda di atas mulai bertambah berat. Abdomen menjadi distensi dan dapat dijumpai

splenomegali dengan konsistensi yang lunak. Dapat pula terjadi bradikardia relatif

dan nadi dikrotik (denyut ganda dimana denyut kedua lebih lemah daripada denyut

Page 12: Referat Ferda Ciiiin NEW

pertama).1,2 Bradikardia relatif merupakan indikator demam tifoid meskipun temuan

ini tidak universal.8

Hingga memasuki minggu ketiga sakit, pasien yang masih mengalami demam

mengalami anoreksia berat hingga terjadi penurunan berat badan yang signifikan.

Konjungtiva dapat terinfeksi dan pasien menjadi takipneu dengan rhonkii basah di

seluruh basal paru. Distensi abdomen bertambah berat. Beberapa pasien mengalami

berak cair (diare seperti sup kacang) berwarna hijau kekuningan. Pasien dapat jatuh

ke status tifoid yang ditandai oleh apatis, kebingungan, bahkan psikosis. Plak Peyeri

yang nekrotik dapat menyebabkan perforasi usus dan peritonitis. Komplikasi ini

seringkali tidak dikenali dan samar akibat penggunaan kortikosteroid. Pada saat ini,

terjadinya toksemia, miokarditis, atau perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan

kematian.6

Penyakit ini dapat berlangsung hingga 4 minggu jika tidak diobati.6,8 Jika

pasien masih bertahan, gejala demam, status mental, dan distensi abdomen perlahan

membaik dalam beberapa hari. Komplikasi saluran cerna dan neurologik dapat terjadi

. Penurunan berat badan dan kelemahan otot dapat terjadi berbulan-bulan. Kemudian

pasien dapat menjadi karier S. typhi yang asimptomatik dan berpotensi

menularkannya ke orang lain.9,10,12,13

Page 13: Referat Ferda Ciiiin NEW

Gambar 2.5. Cuplikan tabel perjalanan klasik manifestasi klinis demam tifoid secara dan 2 sistem

organ. Dapat dilihat bahwa gejala dan tanda demam tifoid banyak didapatkan di minggu pertama.1,11

Page 14: Referat Ferda Ciiiin NEW

Gambar 2.7. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan

gejala serupa infeksi akut pada umumnya yaitu

a) Demam sekitar interminten/remiten

b) Lidah kotor, mulut kering, mual muntah

Page 15: Referat Ferda Ciiiin NEW

c) Gambaran gejala saluran nafas atas

d) Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah

e) Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan

splenomegali/ hepatomegali

f) Raseola mungkin ditemukan

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa:

a) Demam kontinyu

b) Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut

nadi 8 kali permenit)

c) Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung

d) Hepatomegali dan splenomegali,

e) Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan

kehilangan nafsu makan

f) Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:

a) Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi

b) Jika keadaan memburuk:

c) Disorientasi, bingung, insomnia,

d) Komplikasi perdarahan dan perforasi.

2.6.Diagnosis Banding

Demam tifoid harus dibedakan dengan demam akut atau subakut lainnya. Pada

daerah yang tidak endemik demam tifoid, riwayat berkunjung/melakukan perjalanan

perlu diperhatikan. Apabila terdapat gejala klinis misalnya rose spots, demam lama,

bradikardi relatif, dan leukopenia maka diagnosis demam tifoid dapat dengan kuat

ditegakkan. Akan tetapi, pada kebanyakan kasus demam tifoid gejala tersebut tidak

Page 16: Referat Ferda Ciiiin NEW

selalu muncul. Diagnosis banding demam tifoid antara lain adalah infeksi dengan

demam lama contohnya Malaria, abses, tuberkulosis, abses hati akibat amuba,

ensefalitis, influenza, demam dengue, leptospirosis, mononukleosis infeksiosa,

endokarditis, bruselosis, lesmaniasis viseral, toksoplasmosis, penyakit

limfoproliferatif dan beberapa penyakit jaringan ikat.17

2.7. Penegakkan diagnosa3,4

Demam tifoid pada biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan

bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang

timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran

pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap

dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,

anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta

gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal

dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah

dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu

seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri

abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.

Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak

dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat

timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan

berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala

dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala

klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam

menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk

menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang

Page 17: Referat Ferda Ciiiin NEW

diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis.

Darah Tepi

Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum

jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya

eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai

diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid

mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit

oleh toksin dalam peredaran darah. Dapat juga terjaadi anemia karena supresi

sumsum tulang, defisiensi FE, atau perdarahan usus. Trombositopenia terutama pada

demam tifoid berat.

Serologi

Tes Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi.

pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi

dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji

widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah

dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk menentukan adanya agluitinin

dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :

a). agglutinin O (dari tubuh kuman)

b). agglutinin H (flagella kuman)

c). agglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang

digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin

besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai

terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat

dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa

minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti

Page 18: Referat Ferda Ciiiin NEW

dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap

dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara 9-

12 bulan.

Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh

dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer

antibody. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat)

lalu dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :

1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O (≥ 1 : 160)

menunjukkan adanya infeksi aktif.

2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita

itu pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.

3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :

1) Pengobatan dini dengan antibiotik

2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian

kortikosteroid

3) Waktu pengambilan darah

4) Daerah endemik atau non endemik

5) Riwayat vaksinasi

6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada

infeksi bukan demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau

vaksinasi

7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi

silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.

Biakan Salmonella

Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin,

tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan

patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang

Page 19: Referat Ferda Ciiiin NEW

di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil

biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor

tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan

media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek

bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman

pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan

darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik,

karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam

darah.

Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama

sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10%

penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di

dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali.Biakan

sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada

fase penyembuhan.

Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam

setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan.

Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian

antibiotik.

Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun

memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan

kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal

sebagai berikut :

1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah

telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat

dan hasil mungkin negatif.

Page 20: Referat Ferda Ciiiin NEW

2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah

yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil

sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu

(oxgall) untuk pertumbuhan kuman

3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam

darah psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan

darah dapat negatif.

4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin

meningkat.

2.8. Penatalaksanaan

Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian

antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen

cairan, serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi

(perdarahan usus, perforasi dan gangguan hemodinamik).

Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakan diagnosis dilakukan

dengan tepat.6,7

1. Antibiotik

Page 21: Referat Ferda Ciiiin NEW
Page 22: Referat Ferda Ciiiin NEW

Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Samonella dapat

dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut (1) spektrum

sempit, (2) penetrasi ke jaringan cukup, (3) cara pemberian mudah untuk

anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya

bukti efikasi klinis.

Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter

keberhasilan pengobatan, dan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik.

Bila suhu turun, berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi

lain, komplikasi, atau kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant

S.typhi)

Penggunaan antibiotik yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut :

1. Lini pertama

a. Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik,

diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis

selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih

cukup sensitif untuk Salmonella typhi namun perhatian khusus harus

diberikan pada kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada leukosit

<2000/ul)

b. Ampisilin dengan dosis 150-200 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv selama

14 hari, atau

Page 23: Referat Ferda Ciiiin NEW

c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis,

selama 14 hari.

2. Lini ke dua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan

S.typhi yang resisten terhadap berbagai obat (MDR=multidrug resistance),

yang terdiri atas :

a. Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari

Penyembuhan sampai 90% juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.

b. Sefiksim dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis

selama 14 hari, adalah alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal.

c. Florokinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin diatas,

dengan angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan

bakteriologis, di samping kemudahan pemberian secara oral. Namun

pemberian obat ini masih kontroversial dalam pemberian untuk anak

mengingat adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago.

Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk

pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama pemberian obat

dianjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini dianjurkan pada kasus demam

tifoid dengan MDR.

d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa

penelitian dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebelum hari ke 4.

Aztreonam juga diuji pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan

hasil baik, namun tidak dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama.

2. Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan

atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak

masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x

500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg

3. Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau

perforasi, renjatan septik.

Page 24: Referat Ferda Ciiiin NEW

4. Steroid hanya diindikasikan pada kasus toksik tifoid atau demam tifoid yang

mengalami renjatan septik.

5. Istirahat dan perawatan professional; bertujuan mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal

7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan

bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu

jaga sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan

peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun,

posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia

hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-

kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

6. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)

Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya

nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian

menunjukkan bahawa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk

pauk rendah selulosa ( pantang sayuran dengan serat kasar ) dapat diberikan

dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup

untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga

keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan

optimal.

Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan

intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotic maupun kombinasi

beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid

selalu perlu diperhatikan pada renjatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada

kedua keadaan di atas.

2.9. Komplikasi:8,9

Dapat terjadi pada:

1. Usus Halus

Page 25: Referat Ferda Ciiiin NEW

Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:

a. Perdarahan usus.

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan

bensidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila beratdapat

disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi usus.

Timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi pada

bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat

ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati

menghilang dan terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati

menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada rontgen

abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

c. Peritonitis.

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.

Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding

abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri pada tekanan.

2. Komplikasi di luar usus.3,4

Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu

meningitis, kolesistitis, enselopati, dll. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu

bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan

makanan yang kurang dan perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.

Komplikasi extra intestinal antara lain :

Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),

miokarditis, trombosis, tromboplebitis.

Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma

uremia hemolitik.

Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.

Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.

Page 26: Referat Ferda Ciiiin NEW

Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pyelonephritis dan perinephritis.

Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan

arthritis.

Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis,

polineuritis perifer, sindroma Guillain Bare dan sindroma katatonia

2.10. Pencegaahan

Ada 3 strategi pokok dalam memutuskan transmisi tifoid, yaitu :

1. Identifikasi dan Eradikasi S.typhi pada pasien tifoid Asimptomatik,

karier dan Akut

Dalam identifikasi pasien terdapat 2 tipe, yaitu secara aktif dan pasif. Yang

dimaksud aktif disini adalah mendatangi sasaran, sedangkan pasif adalah

menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran

aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pada pengelola sarana

makanan- minuman , pelayanan kesehatan, guru, petugas kebersihan,dsb.

2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S.typhi akut

maupun karier

Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan lingkungan

sekitar orang yang telah mengidap demam tifoid.

3. Proteksi pada orang beresiko terinfeksi4,5

Pada daerah non-endemik :

Sanitasi air dan kebersihan lingkungan.

Penyaringan pengelolaan pembuatan/ distributor/ penjualan makanan

dan minuman.

Pencarian dan pengobatan pada kasus tifoid karier.

Bila terjadi epidemic tifoid :

Pencarian dan eliminasi dari sumber penularan.

Pemeriksaan air minuman dan air mandi-cuci-kakus.

Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut.

Page 27: Referat Ferda Ciiiin NEW

Pada daerah endemic :

Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang

memenuhi standart prosedur kesehatan ( Perebusan > 570 O C,iodisasi,

dan klorinisasi ).

Pengunjung yang mengunjungi daerah ini harus minum air yang telah

melalui pendahuluan dan menjauhi makanan segar ( sayur/ buah ).

Vaksinasi secara menyeluruh kepada masyarakat setempat maupun

pengunjung.

Vaksinasi

Vaksinasi pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960

efektivitas vaksin telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% ( WHO )

dan sebesar 67% ( Universitas Maryland ) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak

mampu proteksi terpapar 107 bakteri.

Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga

didaerah lain. Indikasi vaksinasi ini adalah 1). Hendak mengunjungi daerah endemic,

risiko daerah terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang

( Amerika Latin, Asia, Afrika). 2). Orang yang terpapar dengan penderita karier

tifoid, dan 3). Petugas laboratorium/ mikrobiologi kesehatan.

Jenis Vaksinasi

Vaksin Oral : -Ty21a ( Vivotif Berna ).

Vaksin parenteral : -ViCPS (Typhim Vi/ Pasteur Merieux ), vaksin kapsul

polisakarida

1. Vaksin demam tifoid oral

Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonell Typhi galur non

pathogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami

siklus pembelahan dalam usus dan akan dieleminasi dalam waktu 3 hari

setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteal, respon imun pada

vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektifitas vaksin oral

Page 28: Referat Ferda Ciiiin NEW

sama dengan vaksin parenteral yang diinaktifasi dengan pemanasan namun

vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral

dikenal dengan nama Ty-21a.

Penyimpanan pada suhu 2-8 derajat celcius.

Kemasan dalam bentuk kapsul untuk anak umur 6 tahun atau lebih.

Cara pemeberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1, 3, dan 5, 1 jam

sebelum makan dnegan minuman yang tidak lebih dari 37 derajat celcius.

Kapsul ke-4 pada hari ke 7 terutama bagi turis.

Kapsul harus ditelan utuh dna tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati

oleh asam lambung.

Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotic, sulfonamide atau

anti malaria yang aktif terhadap salmonella.

Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon

mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda 2 minggu setelah

pemberian terakhir dari vaksin tifus ini.

Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus

terekspos dengan infeksi salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul tiap

beberapa tahun.

Daya proteksi vaksin inihanya 50-80% maka yang sudah di vaksinasipun di

anjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam kapsul diberikan 3

dosis dengan interval selang sehari (hari 1, 3 dan 5).

Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya

diperlukan untuk turis yang akan berkunjung kedaerah endemis tifoid.

2. Vaksin Polisakarida Parenteral

Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman salmonella

typhi, polisakarida 0,02 mg, fenol dan larutan buffer yang mengandung

Page 29: Referat Ferda Ciiiin NEW

natrium klorida, disodium fosphat, monosodium fosphat dan pelarut untuk

suntikan.

Penyimpanan dapat suhu 20-8 derajat celcius jangan dibekukan.

Kadaluarsa dalam 3 tahun.

Pemberian secara suntikan IM atau SC pada daerah deltoid atau paha.

Imunisasi ulangan tiap 3 tahun.

Reaksi samping local berupa demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri

otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai. Sangat jarang bisa terjadi reaksi

alergi berupa pruritus, ruam kulit dan urtikaria.

Indikasi kontra: alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin. Juga pada saat

demam penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.

Daya proteksi 60-80% maka yang sudah divaksinasi pun di anjurkan untuk

melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Ulangan dilakukan tiap 3 tahun.

Kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara IM.

Pemilihan Vaksinasi

Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna

menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan ini sebesar 33% selama 3 tahun. Usia

sasaran vaksinasi berbeda efektifitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada anak

>10 tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insiden turun 17%.

Vaksinasi parenteral non-aktif relative lebih sering menyebabkan reaksi efek

samping serta tidak seefektif dibandingkan degan ViCPS maupun Ty21a oral.

Indikasi Vaksinasi

Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada factor risiko yang

berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya :

Page 30: Referat Ferda Ciiiin NEW

Populasi : Anak usia sekolah di daerah endemic, personil militer, petugas

rumah sakit, laboratorium kesehatan dan industry makanan/ minuman.

Induvidual : pengunjung/ wisatawan ke daerah endemic, orang yang kontak

erat dengan penidap tifoid ( karier ).

Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respon imunologisnya sama dengan anak

usia lebih besar.

Kontraindikasi Vaksinasi

Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang

alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan ( karena

sedikitnya data ). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria ( klorokuin,

meflokuin ) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan

vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat

sulfonamide atau antimikroba lainnya.

Efek samping Vaksinasi

Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%,

sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil ( demam

0,25%, malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri local 17% ). Efek

samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu demam,

6,7-24% , nyeri kepala 9-10% dan reaksi local nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi

berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun

sporadis dan sangat jarang terjadi.

Efektivitas Vaksinasi

Serokonversi ( peningkatan titer antibody 4 kali ) setelah vaksinasi dengan

ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari- 3 minggu dan 90% bertahan selama

3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemic ( Nepal ) dan sekitar

60% untuk daerah hiperendemik.

Page 31: Referat Ferda Ciiiin NEW

2.9. Prognosis

Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat

berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 60 %. Prognosis menjadi

kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti :

1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua.

2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium.

3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi, asidosis, peritonitis,

bronkopneumonia, dan lain-lain.

4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).

BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan infeksi bakterial sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi (S.typhi). yang masih dijumpai secara luas di

berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.

Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena

penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan

lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri

pengolahan makanan yang masih rendah.

Page 32: Referat Ferda Ciiiin NEW

Penegakkan diagnosis demam tifoid dapat dibuat dari anamnesis berupa

demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin perubahan atau sampai penurunanan

kesadaran. Untuk memastikan maka diperlukan pemeriksaan laboratorium berupa

darah tepi, serologi, dan bakteriologi.

Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian

antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen

cairan, serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi

(perdarahan usus, perforasi dan gangguan hemodinamik).

DAFTAR PUSTAKA

1. Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of

Thypoid Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase

and Biologicals. WHO.

2. Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and

Treatment of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82

3. Braunwald. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition,

New York,

Page 33: Referat Ferda Ciiiin NEW

4. Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http://

emedicine.medscape.com/article 231135-overview dikunjungi pada 20

Februari 2011.

5. Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho

Edi, Maulani RF. Jakarta EGC

6. Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,

Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272

7. Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI

8. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam

Pediatrics Update. Cetakan pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak

Indonesia: 37-46

9. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jilid 1. Fakultas Kedokteran VI.2001