Referat Efek Samping Whitening Agent Finish

23
REFERAT DERMATO-VENEREOLOGI EFEK SAMPING PENGGUNAAN SKIN WHITENING AGENTS OLEH : Muamar Amirullah (H1A 007 040) Baiq Trisna Satriana (H1A 008 042) PEMBIMBING : dr. Wiwin Mulianingsih, Sp.KK, M.Kes DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM

description

medical

Transcript of Referat Efek Samping Whitening Agent Finish

REFERAT DERMATO-VENEREOLOGI

EFEK SAMPING PENGGUNAAN SKIN WHITENING AGENTS

OLEH :

Muamar Amirullah (H1A 007 040)

Baiq Trisna Satriana (H1A 008 042)

PEMBIMBING :

dr. Wiwin Mulianingsih, Sp.KK, M.Kes

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2013

PENDAHULUAN

Skin whitening atau bisa juga disebut skin bleaching secara komersil

merupakan suatu metode kosmetik yang digunakan dalam usaha untuk

memutihkan kulit. Secara klinis dapat juga digunakan sebagai pengobatan

kelainan hiperpigmentasi seperti melasma, cafe au lait spot dan solar lentigo.1

Skin whitening agent sudah dipakai berpuluh-puluh tahun untuk

memutihkan kulit di seluruh dunia terutama di negara sub-sahara Afrika, dimulai

dari wanita berkulit hitam, da saat ini penggunaannya juga sudah menyebar pada

wanita berkulit putih untuk mencerahkan kulit mereka. Penggunakan skin

whitening agent merupakan hal yang biasa di Asia dan Afrika, karena memiliki

kulit yang putih erat kaitannya dengan kecantikan dan status sosial tinggi.

Penggunaan skin whitening agent ini merupakan hal umum baik bagi pria maupun

wanita.2,3

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan banyak menunjukkan adanya

komplikasi yang luas dari penggunaan skin whitening agent mulai dari dermatitis

dan kemerahan pada kulit sampai munculnya gangguan renal dan diabetes

melitus. Skin whitening agent terdiri dari berbagai produk, banyak diantaranya

masih belum dapat diidentifikasi. Bahan yang paling sering digunakan dan

memiliki efek berbahaya yaitu hidrokuinon, merkuri dan kortikosteroid. Selain itu

bahan lain seperti asam azeleat, tretinoin dan vitamin C (asam askorbat) juga

sering digunakan dan terkadang memiliki efek samping pada kulit.2

Efek kerja skin whitening agent diperoleh dengan mempengaruhi berbagai

proses diantaranya yaitu mempengaruhi regulasi transkripsi dan aktivitas

tirosinase, menghambat transfer melanosomal, mempercepat turnover epidermal

dan deskuamasi, serta sebagai antioksidan. Dalam referat ini akan dibahas

mengenai beberapa bahan yang digunakan pada produk skin whitening agent

beserta efek samping yang ditimbulkannya.1

2

PEMBAHASAN

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mendapatkan bukti

banyaknya efek samping dari skin whitening agent, bahan yang sering digunakan

yang memiliki efek samping diantaranya : merkuri, hidrokuinon, kortikosteroid,

vitamin C, asam azeleat, dan tretinoin.4

HIDROKUINON

Hidrokuinon merupakan salah satu bahan yang sering digunakan sebagai

obat topikal untuk mengurangi hiperpigmentasi pada kulit seperti pada melasma

dengan efek sitotoksik terhadap melanosit dan dianggap sebagai salah satu

inhibitor melanogenesis yang paling efektif secara in vitro dan in vivo5.

Efek toksik hidrokuinon terjadi karena hidrokuinon berkompetisi dengan

tirosin sebagai substrat untuk tirosinase (enzim yang berperan dalam

pembentukan melanin), sehingga tirosinase mengoksidasi hidrokuinon dan

menghasilkan benzokinon yang toksik terhadap melanosit. Efek samping yang

umum terjadi setelah paparan hidrokuinon pada kulit adalah iritasi, eritema, dan

rasa terbakar. Efek ini terjadi segera setelah pemakaian hidrokuinon konsentrasi

tinggi yaitu di atas 4%. Sedangkan untuk pemakaian hidrokuinon dibawah 2%

dalam jangka waktu lama secara terus-menerus dapat terjadi leukoderma kontak

dan okronosis eksogen5,6,7.

Pada beberapa kasus, pasien mengalami okronosis setelah menggunakan

hidrokuinon dalam konsentrasi rendah sekitar 2% selama 10-20 tahun. Pada kasus

lain, pasien yang menggunakan hidrokuinon dengan konsentrasi tinggi (6%) mulai

mengalami okronosis setelah pemakaian beberapa tahun. Karena hidrokuinon

menyerap sinar ultraviolet, adanya sinar matahari akan memperburuk dan

mempercepat terjadinya okronosis eksogen8,9.

Penggunaan krim untuk menghilangkan pigmen atau mencerahkan kulit

dapat menyebabkan hilangnya pigmen secara keseluruhan di area yang dioleskan.

Kondisi ini menyebabkan noda-noda depigmentasi atau tanpa pigmen dengan area

hiperpigmentasi berupa bintik-bintik hitam (leukoderma-en-confetti)6,7.

3

Efek samping kronik termasuk okronosis eksogen, katarak, pigmented

koloid milia, sklera, dan pigmentasi kuku, hilangnya elastisitas kulit, dan

gangguan penyembuhan luka. Okronosis adalah efek samping kronik terkait

penggunaan hidrokuinon topikal jangka panjang. Hal ini pertama kali dilaporkan

oleh Findlay et al pada wanita Afrika Selatan yang menggunakan hidrokuinon

konsentrasi tinggi selama bertahun-tahun. Secara klinis, okronosis ditandai

dengan hiperpigmentasi asimtomatik, eritema, papul, papulonodul pada bagian

tubuh yang terpapar sinar matahari seperti wajah, dada bagian atas, dan punggung

atas. Terdapat laporan mengenai perubahan warna kuku akibat penggunaan

hidrokuinon secara kronik. Perubahan warna ini terjadi akibat oksidasi dan

polimerasi oleh produk dari hidrokuinon. Perubahan warna ini disebut pseudo

yellow nail syndrome karena menyerupai yellow nail syndrome5,6,8,9.

Sejak tahun 1982, oleh lembaga pengawasan obat dan makanan di Amerika

FDA (Food and Drug Administration), produk obat bebas atau kosmetik

pemutih/pencerah kulit yang mengandung 1,5 – 2 % hidrokuinon dikategorikan

sebagai produk yang secara umum diakui aman dan efektif (Generally Recognized

As Safe and Effective/GRASE). Penggunaan hidrokuinon dalam kosmetik pun

masih berlangsung hingga hampir 30 tahun. Seiring dengan banyaknya efek

samping yang ditimbulkan akibat pemakaiannya, negara-negara lain seperti

Jepang, Kanada, Australia, Inggris dan Uni Eropa telah melarang pemakaian

hidrokuinon sebagai pemutih/pencerah kulit. Di samping itu, terdapat bukti yang

menunjukkan bahwa hidrokuinon dapat menyebabkan kanker pada tikus setelah

pemberian oral dan juga dapat menyebabkan okronosis (kulit gelap dan noda

hitam) jika dioleskan pada kulit. Karena itu, pada tahun 2006, FDA pun

mengusulkan peraturan yang melarang penggunaan hidrokuinon sebagai obat

bebas, namun hingga kini belum ada keputusan untuk menarik peraturan tahun

1982 tersebut5,9.

4

Gambar 1. Makula biru kehitaman pada regio lateral wajah dan dahi10

KORTIKOSTEROID

Penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan saat ini mengalami revolusi

dan bahkan digunakan secara luas sebagai pemutih kulit. Kortikosteroid topikal

pertama kali diperkenalkan tahun 1951, dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan

potensinya oleh British National Formulary (BNF), sedangkan American System

mengkalisifikasi menjadi 7 kelas, dengan kelas 1 sebagai agen yang sangat poten,

super poten atau ultrahigh poten. Walaupun telah dilarang penggunaannya oleh

kementerian pusat kesehatan, namun steroid topikal tetap mudah didapatkan

bahkan tanpa resep dokter di negara-negara Afrika, termasuk Nigeria.11,12

Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik dengan mekanisme

kerja yang berbeda-beda, diantaranya sebagai anti-inflamasi, imunosupresan,

antiproliferatif dan efek vasokonstriksi. Kortikosteroid topikal dapat memutihkan

kulit dengan cara vasokontriksi yang memperlambat pergantian sel kulit,

mengurangi jumlah dan aktivitas melanosit, atau dengan menurunkan produksi

prekursor hormon steroid2.

Penggunaan kortikosteroid memiliki efek samping baik sistemik maupun

lokal. Efek samping lokal lebih sering dijumpai dibandingkan efek samping

5

sistemik. Beberapa efek samping lokal yang dapat muncul dari penggunaan

kortikosteroid topikal diantaranya:2,13

1. Atrofi kulit. Atrofi kulit merupakan efek samping yang paling sering terjadi.

Atrofi kulit terjadi akibat efek antiproliferatif pada fibroblas, dengan inhibisi

sintesis mukopolisakarida dan kolagen, menyebabkan hilangnya bagian

penunjang dermis. Pada lapisan yang lebih atas terjadi penipisan dan

fragmentasi serat elastin dan di bagian yang lebih dalam serat-serat elastin

membentuk hubungan yang padat dan rapat. Sebagai hasil dari perubahan

atrofi ini, terjadi dilatasi vaskular, teleangiektasis, purpura, mudah memar,

pseudoskar stellata (purpura, bentuk iregular, dan skar atrofi hipopigmentasi),

dan ulserasi.

2. Reaksi akneiform. Efek kortikosteroid topikal diantaranya perkembangan

atau eksaserbasi dari dermatosis di wajah termasuk diantaranya rosasea

steroid, akne, dan dermatitis perioral. Walaupun pada awalnya steroid

menyebabkan supresi inflamasi papul dan pustul, namun orang-orang menjadi

cenderung ketagihan dan menggunakan secara terus-menerus. Penggunaan

jangka panjang steroid akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya "akne

steroid" dimana memiliki karakteristik wajah yang dipenuhi papul, bersisik,

merah menyala (red-face syndrome). Lesi ini muncul di wajah, dada dan

punggung.

Gambar 2. Papul hiperpigmentasi post inflamasi dengan makula hiperpigmentasi pada forehead

dan malar area; Gambar papul cluster kecil, pustula (akne steroid) tersebar di seluruh wajah.12

6

Gambar 3. Rosasea pada penggunaan topikal kortikosteroid13

3. Hipertrikosis. Penggunaan steroid topikal poten dapat menyebabkan

pertumbuhan rambut pada daerah yang terpapar. Mekanisme terjadinya

hipertrikosis pada penggunaan kortikosteroid topikal masih tidak diketahui.

4. Perubahan pigmentasi. Penurunan pigmentasi merupakan efek samping yang

sering muncul. Pigmen akan kembali perlahan setelah penghentian

penggunaan steroid.

5. Perkembangan Infeksi. Penggunaan kortikosteroid topikal dapat

menyebabkan eksaserbasi atau menutupi tampakan penyakit infeksi. Insidensi

infeksi kulit pada penggunaan kortikosteroid topikal bervariasi antara 16-

43%. Dapat muncul infeksi tinea versikolor, infeksi alternaria diseminata,

dermatofitosis termasuk juga tinea inkognito.

6. Reaksi Alergi. Reaksi hipersensitivitas akibat kontak dengan kortikosteroid

topikal dapat muncul dan menyebabkan kerusakan kulit yang semakin

memburuk atau persisten. Prevalensi sensitisasi kortikosteroid topikal

berkisar antara 0.2-6.0% dan meningkat dengan penggunaan jangka

panjang2,13.

Beberapa efek samping sistemik penggunaan kortikosteroid diantaranya: 2,13

1. Efek okular. Penggunaan kortikosteroid topikal di sekitar mata dapat

menyebabkan berkembangnya glaukoma. Penggunaan kortikosteroid jangka

panjang dapat juga menyebabkan kehilangan penglihatan.

7

2. Supresi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Penggunaan kortikosteroid

topikal poten dapat menyebabkan supresi aksis HPA. Beberapa penyakit yang

dapat disebabkan diantaranya sindrom cushing iatrogenik, steroid-related

addison crises, dan gangguan pertumbuhan pada anak.

3. Efek samping metabolik. Peningkatan produksi glukosa dan penurunan

penggunaan glukosa dapat menyebabkan hiperglikemi dan dapat

menyebabkan diabetes melitus. 11,13

Untuk pengobatan dermatosis kulit ringan khususnya pada wajah

sebaiknya tidak menggunakan kortikosteroid topikal, dan untuk pengobatan

rosasea yang disebabkan steroid dapat digunakan kombinasi antibiotik oral dan

takrolimus topikal. Penelitian oleh Bath tahun 2011 menunjukkan respon yang

sangat baik untuk kombinasi antibiotik oral dan takrolimus topikal dalam kasus

yang parah dan untuk kasus ringan cukup diberikan takrolimus topikal saja.

Takrolimus memberikan efek imunosupresif dan efek anti-inflamasi dengan

menghambat aktivasi sel-T. Namun berbeda dengan kortikosteroid topikal,

takrolimus tidak menyebabkan vasokonstriksi atau atrofi11.

MERKURI

Merkuri merupakan bahan yang sering ditemukan pada sabun atau krim

pemutih kulit. Bahan ini juga ditemukan di kosemtik lainnya, seperti produk

pembersih makeup mata dan maskara. Garam merkuri digunakan sebagai agen

pemutih kulit dikarenakan mampu menghambat formasi melanin yang

menghasilkan tampakan kulit lebih bercahaya. Merkuri pada kosmetik terdiri dari

dua bentuk yaitu inorganik dan organik. Merkuri inorganik (ammoniated mercury)

biasanya digunakan pada krim dan sabun pemutih kulit. Merkuri organik

(thiomersal [ethyl mercury] dan phenyl mercuric salts) digunakan sebagai produk

pembersih makeup mata dan maskara. Penggunaan merkuri sudah dilarang di

banyak negara oleh undang-undang. Walaupun begitu, masih ada beberapa produk

pemutih yang tetap menggunakan merkuri3,14.

8

Tingkat toksisitas merkuri ditentukan oleh tingkat absorpsinya di kulit,

dipengaruhi oleh konsentrasi merkuri dan hidrasi kulit. Derajat absorpsinya di

kulit juga bervariasi tergantung dari integritas kulit dan solubititas lipid pada

vehicle produk kosmetik. Masuknya merkuri melalui ingesti juga dapat terjadi

setelah penggunaan topikal di sekitar mulut atau kontak mulut dengan tangan.

Setelah absorpsi, merkuri inorganik didistribusi secara luas dan eleminasinya

terutama melalui urin dan feses. Pada paparan jangka panjang, ekskresi urin

merupakan rute utama eliminasi. Waktu paruhnya diperkirakan sekitar 1-2

bulan15.

Kosmetik yang mengandung merkuri seringkali digunakan secara teratur

dan penggunaan dalam periode yang panjang. Penggunaan kronis pemutih kulit

yang mengandung merkuri dapat menyebabkan efek sistemik. Ginjal adalah

tempat utama endapan merkuri anorganik, kerusakan ginjal meliputi proteinuria

reversibel , nekrosis tubular akut dan sindrom nefrotik. Gejala gastrointestinal

meliputi rasa metalik, gingivostomatitis, mual dan hipersalivasi. Meskipun

penetrasi merkuri melewati blood brain barrier minimal, namun kontak yang

lama dapat menyebabkan akumulasi di sistem saraf pusat ( SSP ) dan terjadi

neurotoksisitas. Keracunan merkuri anorganik setelah penggunaan krim pemutih

kulit telah dilaporkan dari Afrika, Eropa, Amerika Serikat, Meksiko, Australia dan

Hong Kong. Sindrom nefrotik (terutama karena perubahan minimal atau nefropati

membranosa) dan neurotoksisitas adalah bentuk tampakan yang paling umum14.

Beberapa kelainan kulit yang disebabkan merkuri yang terdapat pada

produk pemutih kulit diantaranya hiperpigmentasi kutan dan dermatitis kontak.

Bahan merkuri dapat langsung diabsorpsi melalui kulit dan menginduksi

depigmentasi dengan berkompetisi dengan tembaga pada enzim tyrosinase.

Penggunaan jangka panjang produk merkuri dapat menyebabkan kulit dan kuku

menjadi lebih gelap, karena merkuri terakumulasi di epidermis, folikel rambut dan

dermis, akan muncul tanda pigmentasi biru/abu pada lipatan kulit, bisa pada

lipatan kulit hidung, kelopak mata dan leher. Penggunaan krim merkuri jangka

panjang di sekitar mata dapat menyebabkan perubahan warna pada lensa

(mercurialitis). Epidermis dapat memperlihatkan peningkatan produksi melanin.

9

Terapi yaitu salah satunya dengan menghentikan penggunaan krim atau bahan

dengan merkuri14,15.

Merkuri inorganik soluble, umumnya merkuri klorida, dapat mengiritasi

kulit dan membran mukosa. Paparan terhadap 1-5% dapat menyebabkan iritasi,

vesikulasi, dermatitis kontak dan korosi kulit. Merkuri inorganik nonsoluble tidak

secara langsung mengiritasi namun secara perlahan bahan tersebut diabsorbsi dan

terionisasi dalam jaringan15.

Pencegahan dari paparan lebih lanjut adalah langkah pertama untuk

mengatasi toksisitas merkuri. Pengguna krim dan orang-orang yang kontak dekat

dengan mereka harus dievaluasi untuk bukti paparan merkuri, adanya kerusakan

organ target dan kebutuhan untuk pengobatan khelasi. Evaluasi laboratorium pada

subjek yang terkena paparan harus mencakup hitung darah lengkap, elektrolit

serum, tes fungsi ginjal dan hati, urinalisis, konsentrasi merkuri urin dan darah.

Karena konsentrasi merkuri darah cenderung kembali normal dalam beberapa hari

paparan, sampel darah biasanya berguna terutama dalam jangka pendek dan

paparan tingkat yang lebih tinggi. Estimasi konsentrasi merkuri urin adalah

penanda terbaik dari paparan merkuri anorganik dan indikator beban tubuh.

Pengukuran ekskresi merkuri urin 24 jam lebih disukai. Manajemen untuk

toksisitas akibat merkuri yaitu dengan terapi khelasi yang diindikasikan pada

pasien dengan fitur keracunan merkuri dan konsentrasi darah dan/atau urine

merkuri tinggi. Unithiol (2,3- dimercapto-1-propanesulfonic asam, DMPS) adalah

antidot yang lebih disukai, succimer (asam dimercaptosuccinic, DMSA) juga

dapat digunakan14.

VITAMIN C (ASAM ASKORBAT)

Vitamin C adalah antioksidan alami yang berhubungan dengan ion tembaga

pada tempat aktif tirosinase. Vitamin C berperan sebagai penghambat dalam

berbagai tingkatan oksidatif dalam pembentukan melanin sehingga bisa

menghambat melanogenesis. Berbagai studi menunjukkan bahwa pengurangan

aktivitas tirosinase yang diperantarai oleh vitamin C terlihat sebagai aktivitas anti

10

oksidan, dan bukan dari akibat hambatan secara langsung pada aktivitas

tirosinase5,7.

Produk Vitamin C topikal yang berasal dari buah dan tanaman bersifat tidak

stabil, sehingga menimbulkan keraguan akan efikasinya. Sehingga dikembangkan

derivat yang lebih stabil dalam bentuk paling populer adalah magnesium-

ascorbyl-phosphate (MAP) yang diikuti oleh ascorbyl-6-palmitate. Sebuah studi

membandingkan penggunaan asam askorbat 5% dan hidrokuinon 4% pada 16

pasien perempuan dengan melasma dan menemukan perbaikan sebesar 62,5%

untuk asam askorbat dan 93% untuk hidrokuinon. Efek samping terjadi pada

68,7% dengan hidrokuinon dan 6,2% dengan asam askorbat. Meskipun demikian

hidrokuinon menunjukkan respon yang lebih baik sehingga asam askorbat dapat

digunakan sebagai terapi tunggal atau terapi kombinasi karena memiliki sedikit

efek samping5,7.

Karena potensi reduktan yang tinggi, maka asam askorbat dapat berfungsi

sebagai anti oksidan dengan cara menetralisir spesies oksigen reaktif. Karena pH

nya asam dan konsentrasi tinggi, vitamin C topikal dapat menyebabkan rasa

menyengat ringan pada aplikasi pertama. Keluhan ini akan hilang sendiri pada

pemakaian yang terus-menerus. Alergi terhadap vitamin C jarang7.

ASAM AZELEAT

Asam azeleat adalah merupakan asam dikarboksilat yang dihasilkan oleh

Pityrosporum ovale yang bekerja sebagai inhibitor lemah tirosinase. Sebagai

tambahan, asam azeleat memiliki efek antiprolliferatif dan sitotoksik terhadap

melanosit. Meskipun awalnya merupakan obat untuk akne, namun asam azeleat

juga terbukti dapat digunakan untuk mengobati rosasea, melasma dan

hiperpigmentasi pasca inflamasi8,9.

Asam azeleat tidak mampu memicu terjadinya depigmentasi pada kulit

normal yang menunjukkan bahwa asam azeleat memiliki efek antiproliferatif dan

sitotoksik selektif untuk melanosit abnormal. Asam azeleat dilaporkan efektif

untuk hipermelanosis yang disebabkan oleh bahan kimia maupun kelainan kulit

yang ditandai dengan proliferasi abnormal melanosit9.

11

Penggunaan asam azeleat dalam bentuk topikal dapat menimbulkan efek

samping secara lokal terkait penggunaan secara topikal seperti rasa panas, rasa

terbakar, rasa gatal, dan rasa seperti tertusuk. Hal ini biasanya terjadi selama

beberapa minggu pertama penggunaan namun akan segera berkurang/menghilang

setelah adanya penyesuaian oleh tubuh. Efek samping lain yang mungkin dapat

terjadi adalah pertumbuhan rambut berlebihan pada wajah, hipopigmentasi, serta

tanda terjadi reaksi alergi terhadap asam azeleat seperti rash, rasa gatal dan

pembengkakan yang menetap (khususnya pada wajah, lidah, tenggorokan), rasa

pusing, serta kesulitan bernapas8,9.

TRETINOIN

Penggunaan Tretinoin untuk mengobati hiperpigmentasi kulit sudah

diperkenalkan oleh Kligman sejak 1975. Tretinoin menunjukkan penghambatan

formasi melanin. Tretinoin meningkatkan pergantian sel epidermal, menurunkan

waktu kontak antara keratinosit dan melanosit dan memicu hilangnya pigmen

melalui epidermopoiesis1.

Efek samping paling sering yang ditimbulkan yaitu eritema, terkelupas,

kering, bersisik dan sensasi terbakar. Efek samping ini bersifat reversibel.

Retinoid dermatitis juga dapat memicu hiperpigmentasi, terutama pada individu

dengan kulit lebih gelap. Pengurangan frekuensi atau jumlah penggunaan tretinoin

dan penggunaan emollients berespon baik pada efek samping yang muncul

tersebut. Paparan tretinoin sistemik diperkirakan dapat menyebabkan malformasi

kongenital dan kematian embrionik, dan penggunaan topikal jangka panjang

berpotensi teratogenik. Namun dari penelitian lain didapatkan bahwa tidak ada

bukti yang kuat penggunaan tretinoin topikal dapat memberi efek teratogenik1,16.

12

13

KESIMPULAN

Banyak bahan yang digunakan sebagai produk skin whitening agent,

beberapa yang paling sering yaitu hidrokuinon, merkuri dan kortikosteroid,

namun ketiga bahan ini juga memiliki efek samping dan toksisitas yang tinggi

sehingga tidak direkomendasikan untuk penggunaan secara bebas tanpa

pengawasan tenaga profesional, bahkan untuk merkuri sudah dilarang

penggunaannya sebagai skin whitening agent. Ketiga bahan lain (asam azaleat,

vitamin C dan tretinoin) lebih jarang menimbulkan efek samping, dan efek

samping yang muncul tersebut juga minimal. Efek samping dari bahan tersebut

muncul akibat paparan jangka panjang dan penggunaan serta konsentrasi yang

tidak sesuai, dan dampak yang di timbulkan bisa lokal maupun sistemik.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Gillbro JM, Olsson MJ. The melanogenesis and mechanisms of skin-

lightening agents – existing and new approaches. International Journal of

Cosmetic Science, 2011, 33, 210–221. doi: 10.1111/j.1468-

2494.2010.00616.x

2. Alghamdi KM. The Use of Topical Bleaching Agents Among Women: a

Cross-sectional Study of Knowledge, Attitude and Practices. Journal

compilation 2010 European Academy of Dermatology and Venereology.

DOI: 10. 1111/j.1468-3083.2010.03629.

3. WHO. Preventing Disease Through Healthy Environments: Mercury in Skin

Lightening Products. Public Health and Environment. World Health

Organization: Switzerland; 2011.

4. Arbab AHH, Eltahir MM. Review on Skin Whitening Agents. Khartoum

Pharmacy Journal Vol. 13 No. 1 June. 2010.p.5-9

5. Shah R. Hydroquinone: Homoeopathic Pathogenetic Trial. Indian J Res

Homoeopathy 2013;7:47-61

6. Deo KS, Dash KN, Sharma YK, Virmani NC, Oberai C. Kojic acid vis-a-vis

its combinations with hydroquinone and betamethasone valerate in melasma:

A randomized, single blind, comparative study of efficacy and safety. Indian

J Dermatol 2013;58:281-5

7. Sarkar R, Arora P, Garg K V. Cosmeceuticals for hyperpigmentation: What is

available?. J Cutan Aesthet Surg 2013;6:4-11

8. Kanthraj GR. Skin-lightening agents: New chemical and plant extracts -

ongoing search for the holy grail!. Indian J Dermatol Venereol Leprol

2010;76:3-6

9. Solano,F., Bringati,S., Picardo,M., and Ghanem,G., Hypopigmenting agents:

an updated review on biological, chemical and clinical aspects. Pigment

Cell Res. 2007; 19: 550–571.

15

10. Ribas J, Cavalcante MDSM. Case Report: Exogenous ochronosis

hydroquinone induced: a reportfour cases. An Bras Dermatol.

2010;85(5):699-703.

11. Bhat YJ, Manzoor S. Qayoom S. Steroid-Induced Rosacea: A Clinical

Study of 200 Patients. Indian J Dermatol. 2011 Jan-Feb; 56(1): 30–32. doi:

10.4103/0019-5154.77547.

12. Nnoruko E, Okoyo O. Topical Steroid Abuse: Its Use as a Depigmenting

Agent. Journal Of The National Medical Association. Vol.98. No.6, June

2006; p.934-939.

13. Valencia IC, Kerdel FA. Chapter 216: Topical Corticosteroids. In: Wolff

K, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition.

McGraw-Hill : New York; 2008.p.2102-2106.

14. Chan TYK. Inorganic mercury poisoning associated with skin-lightening

cosmetic products. December 2011, Clinical Toxicology, December 2011,

Vol. 49, No. 10 : Pages 886-891

15. Olumide Y.M, Akinkugde A.O, Altraide D. Complications of chronic use

of skin lightening cosmetics.2008. Int J Dermatol 47:344-53.

16. Kang S, Voorhees JJ. Chapter 217: Topical Retinoids. In: Wolff K, et al.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-

Hill: New York; 2008.p.2106-2112

16