referat digest
-
Upload
andri-feisal-nasution -
Category
Documents
-
view
238 -
download
0
Transcript of referat digest
-
8/13/2019 referat digest
1/21
REFERAT MEGAKOLON KONGENITAL
BLOK DIGESTIVE SYSTEM
Asisten :
Amrina Ayu Floridiana G1A009078
Oleh:
Zhita Wahyu A. G1A010060
Eviyanti Ratna Suminar G1A010063Meta Mukhsinina P. G1A010064
Mey Harsanti G1A010065
Agista Khoirul G1A010067
Atep Lutpia P. G1A010069
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
-
8/13/2019 referat digest
2/21
LEMBAR PENGESAHAN
REFRAT PATOLOGI ANATOMI
MEGAKOLON KONGENITAL
Penyusun:
Zhita Wahyu A. G1A010060
Eviyanti Ratna Suminar G1A010063
Meta Mukhsinina P. G1A010064Mey Harsanti G1A010065
Agista Khoirul G1A010067
Atep Lutpia P. G1A010069
Disusun untuk memenuhi persyaratan nilai mengikuti
ujian praktikum Patologi Anatomi Kedokteran Blok Digestive System pada
Fakultas Kedoteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Jurusan Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
Diterima dan disahkan
Purwokerto, Juni 2012
Asisten
Amrina Ayu Floridiana
-
8/13/2019 referat digest
3/21
G1A009078
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Pengesahan..................................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ISI.........................................................................................................1
A. Definisi Megakolon Kongenital........................................................................2B. Epidemoilogi................................................................................................2C. Faktor Resiko..............................................................................................4D. Patogenesis.................................................................................................7E. Patofisiologi...............................................................................................8F. Gambaran Histopatologi..............................................................................11G. Penegakan Diagnosis..................................................................................14
1. Anamnesis...........................................................................................142. Pemeriksaan fisik.......................................................................153. Pemeriksaan penunjang.............................................................15
H. Penatalaksanaan................................................................................17I. Komplikasi........................................................................................20J. Prognosis...........................................................................................21
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA
-
8/13/2019 referat digest
4/21
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit Hirschprung (Megakolon kongenital) dapat dikatakan sebagai kasus bedah
yang jarang dijumpai dalam praktek medis sehari-hari, megakolon kongenital adalah suatu
kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal
dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian
rektum dengan gejalaklinis berupa gangguan usus fungsional (Hidayat, 2009).
Sembilan pulun persen (90%) terletak pada rectosigmoid), akan tetapi dapat mengenai
seluruh kolon bahkan seluruh usus. Tidak hanya ganglion seli ini mengakibatkan hambatan
pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon yang proksimal (Swenson, 2002).
-
8/13/2019 referat digest
5/21
BAB II
ISI
A. DefinisiMegakolon Kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasikolon karena
tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmendistal (aganglionosis).
Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksiritmik yang diperlukan untuk
mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini
menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga
terjadi kesulitan defekasi dan fesesterakumulasi menyebabkan Megaklon. Kondisi ini
dpat segera terliht seger setelah lair ditandai dengan dengan gagalnya penundaan pasase
awal darimekonium sehingga terjadi distensi abdominal, yang disertai dengan muntah
dalam waktu 48 jam sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic terdapat
pada rectum dan kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada kelainan ini
adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan elektrolit serta perforasi
pada kolon yang membesar dan tegang atau pada apendiks dengan peritonitis (Hidayat,
2009).
B. EpidemiologiInsiden penyakit Hirschprug adalah sekitar 1 diantara 4400 sampai 7000
kelahiran hidup. Rata-rata 1:5000. Dalam kepustakaan disebutkan lelaki lebih banyak,
dengan rasio lelaki 4:1 perempuan, di Jakarta perbandingan ini adalah 3:1. Untuk
penyakit Hiscprung segmen panjang rasio lelaki perempuan adalah 1:1. Tidak terdapat
distribusi rasial untuk penyakit ini. Penyakit ini jarang mengenai bayi dengan riwayat
prematuritas (Lee, 2009)
C. Faktor ResikoFaktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan terkenanya penyakit Hircspurg
ialah riwayat keluarga terkena penyakit tersebut, lebih sering pada pria dairpada wanita
dan dapat berhubungan degan penyakit kongenital lain (Lee, 2009).
D. Patogenesis
-
8/13/2019 referat digest
6/21
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan
sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal
akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan
mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapt dibagian
distal rectum (Warner, 2004).
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan
aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar (Holschneider,
2000).
1. HipoganglionosisPada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali
dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada
colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari normal.
Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang colon namun ada pula yang
mengenai seluruh colon (Holschneider, 2000).
2. Imaturitas dari sel ganglionSel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi
diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel
ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH).
Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel
ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh
selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis (Holschneider, 2000).
3. Kerusakan sel ganglionAganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari
vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah
infeksi Trypanosoma cruzi(penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi
kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran
darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull
through secara Swenson, Duhamel, atau Soave (Holschneider, 2000).
-
8/13/2019 referat digest
7/21
E. PatofisiologiPenyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital pada
saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan
bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang
bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan submucosal (Meissner) yang tidak
terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan
gerakan peristaltik. Hingga saat ini, mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit
Hirschsprung masih belum diketahui (Swenson, 1990).
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang apabila
berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada mingguke 7 kehamilan
dan mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah satu etiologi penyakit
Hirschsprung ini adalah adanya gangguan migrasi darineuroblast yang menuju ke distal
usus. Adapun etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun
ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di
bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan
komponenkomponennya membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara
neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan
faktor-faktor neurotropik (Swenson, 1990).
Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal (Meissner),
plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih kecil. Ketiga plexus
ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segalaaspek dari fungsi bowel, termasuk
absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah (Swenson, 1990).
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron intrinsic.
Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang. Ganglia ini
mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan dominasi relaksasi.
Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat
kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat adrenergik utamanya menimbulkan
inhibisi (Swenson, 1990).
Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk, sehingga
terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik kolinergik maupun
adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergic (excitator) diduga lebih
mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja
otot polos. Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang
meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas
-
8/13/2019 referat digest
8/21
otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional (Swenson,
1990).
F. Gambaran Histopatologi H ir schprung DiseaseHirschprung Disease adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpainya
pleksus Auerbach dan pleksus Meissner pada kolon. Kemungkinan salah satu etiologi
Hirschprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast dalam jalurnya menuju
usus bagian distal. Migrasi neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya
kegagalan neuroblast dalam bertahan, berpoliferase atau berdifferensiasi pada segmen
aganlionik distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan
perkembangan neuronal terjadi pada usus yang aganglionik. Komponen tersebut adalah
fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecul, dan faktor neurotrophic (Kumar,
2007).
Gambar 1. Colon Normal danAganglionosis of the Colon
Sumber: http://daveproject.org/colon-hirschsprungs-disease/2005-01-28/#path_img
Secara mikroskopik Hirschprungs disease (megakolon kongenital) terjadi saat
perkembangan, migrasi sel berasal dari neural crestke arah kaudal di sepanjang saluran
cerna terhenti di suatu titik sebelum mencapai anus. Membentuk suatu segmen
aganglionik yang tidak memiliki pleksus submukosa Meissner dan pleksus mienterikus
Auerbach. Hal ini menyebabkan obstruksi fungsional dan peregangan progesif kolon
yang terletak proksimal dari segmen yang terkena. Sebagian besar hanya rektum dan
sigmoid yang aganglionik, tetapi pada sekitar seperlima kasus yang terkena adalah
segmen yang lebih panjang, dan bahkan keseluruhan kolon (Kumar, 2007).
-
8/13/2019 referat digest
9/21
Evaluasi biopsi rektal untuk mengetahui ada atau tidak adanya sel ganglion
dilakukan pada pasien dicurigai Hirschsprung penyakit. Pada saat ini identifikasi sel
ganglion sulit, terutama pada populasi yang paling berisiko terhadap penyakit
Hirschsprung yaitu bayi baru lahir. Pada pasien ini, sel ganglion belum matang dapat
bingung dengan sel endotel, sel mesenchymal lain, dan sel-sel inflamasi. Untuk alasan
ini, banyak institusi menggunakan pewarnaan histokimia acetylcholinesterase pada
jaringan rektum beku sebagai tambahan untuk diagnosis aganglionosis. Namun,
diagnosis yang akurat dalam noda bagian beku membutuhkan tingkat keahlian yang
tinggi, terutama dalam kasus samar-samar (Holland, 2010).
Gambar 2. Hirschprungs disease
Sumber:http://www.nature.com/modpathol/journal/v23/n9/fig_tab/modpathol2010104f2.html
Keterangan :
a. Pada pewarnaan S-100 imunohistolitika memperlihatkan hipertrofi sarafb. Peningkatan muskularis mukosa dan lamina propria saraf fibrilc. Adanya sitoplasma biru terang sel ganglion pada pewarnaan Diff Quickd. Pewarnaan Heosin & Eosin kontrol dari bagian beku
(Holland, 2010).
G. Penegakan Diagnosis1. Anamnesis
-
8/13/2019 referat digest
10/21
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya
mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini
biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat
adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus,poor feeding, vomiting. Apabila
penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan
kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan
periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita
harus mencurigai adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit
hirschsprung akan sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan enkoperesis.
Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus.
Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu awal
kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik
ditandai dengan adanya gambaran spastic pada segmen distal intestinal dan
dilatasi pada bagian proksimal intestinal (Ziegler, Azizkhan,Weber, 2003).
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.
Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda
yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru lahir
dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis (Warner, 2004).
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami
kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat
konstipasi.Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti
adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis
(Warner, 2004).
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi
intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen
dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien
dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi
intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu
atau bulan pertama kehidupan (Holschneider, 2000).
-
8/13/2019 referat digest
11/21
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola
makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.
Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat
konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan
sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala
dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada
pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya
kosong (Holschneider, 2000).
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang
berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis dimana
merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun hubungan antara
penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana
beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan
(Holschneider, 2000).
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit
hirschsprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan
invasi bakteri juga translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan
pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas
prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficileatauRotavirus.
Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala walaupun
telah dilakukan colostomy. Enterocolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon
yang mengancam jiwa. Yang ditandai dengan demam, muntah berisi empedu,
diare yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan
nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan
perforasi. Hal ini harus dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis
necrotican. Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit
hirschsprung. Ada hubungan erat antara panjang colon yang aganglion dengan
perforasi (Holschneider, 2000).
2. Pemeriksaan FisikPada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncitseluruhnya,
didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau
jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepitlumen rektum yang
sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akanmenyemprot keluar dalam
-
8/13/2019 referat digest
12/21
jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk
sementara (Holschneider, 2000).
3. Pemeriksaan penunjang :Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:
a. Barium enemaPada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal rectum
memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon
sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu
diagnosis penyakit hirschprung.Segmen aganglion biasanya berukuran
normal tapi bagian proksimal usus yang mempunyai ganglion mengalami
distensi sehingga pada gambaran radiologis terlihat zona transisi. Dilatasi
bagian proksimal usus memerlukan waktu, mungkin dilatasi yang terjadi
ditemukan pada bayi yang baru lahir. Radiologis konvensional
menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus kecil dan besar
(Leonidas,Singh,Slovis, 2004).
Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang dapat ditemukan
pada pemeriksaan barium enema, yang paling penting adalah zona transisi.
Posisi pemeriksaan dari lateral sangat penting untuk melihat dilatasi dari
rektum secara lebih optimal. Retensi dari barium pada 24 jam dan disertai
distensi dari kolon ada tanda yang penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis
pada Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang
ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang
disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan
tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema. Nilai prediksi biopsi
100% penting pada penyakit Hirschsprung jika sel ganglion ada. Tidak
adanya sel ganglion, perlu dipikirkan ada teknik yang tidak benar dan
dilakukan biopsi yang lebih tebal. Diagnosis radiologi sangat sulit untuk
tipe aganglionik yang long segmen, sering seluruh colon. Tidak ada zona
transisi pada sebagian besar kasus dan kolon mungkin terlihat normal/dari
semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang paling mungkin berkembang
dari hari hingga minggu. Pada neonatus dengan gejala ileus obstruksi yang
tidak dapat dijelaska.Biopsi rectal sebaiknya dilakukan. Penyakit
hirschsprung harus dipikirkan pada semua neonates dengan berbagai bentuk
-
8/13/2019 referat digest
13/21
perforasi spontan dari usus besar/kecil atau semua anak kecil dengan
appendicitis selama 1 tahun (Leonidas, Singh, Slovis, 2004).
b. Anorectal manometryAnorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter
ani interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini
adalah dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak
dilakukan anestesi umum.Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien
yang lebih besar dibandingkan pada neonatus (Warner, 2004).
c. Biopsy rectalBiopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy
rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea
dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal
ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan
anestesi umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal
(Warner, 2004).
H. Penatalaksanaan1. Terapi lama
a. Tindakan non bedahPengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta
komplikasikomplikasi yang mungkin terjadi dan untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai operasi definitive dapat dikerjakan.
Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa
dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya
perforasi ususserta terjadinya sepsis. Tindakan non bedah yang dapat
dilakukan :
1) Pemasangan pipa nasogastrik2) Pemasangan pipa rectum3) Pemberian antibiotic4) Lavase kolon dengan irigasi cairan5) Koreksi elektrolit6) Pengaturan nutrisi
-
8/13/2019 referat digest
14/21
(Warner, 2004).
2. Tindakan bedaha. Tindakan bedah sementara
Dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat
kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal.
Tindakan ini dimaksudkan untuk menghilangkan obstruksi usus dan
mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama
kematian pada penderita penyakit Hirschsprung (Leonidas, 2004).
b. Tindakan bedah definitive :1) Prosedure Swenson
Prosedure ini merupakan procedure pertama untuk operasi penyakit
Hirschsprung dengan metode pull-through :
a) Prosedure swenson IDilakukan pemotongan segmenkolon aganglionik
direseksi dan punctum rectum ditinggalkan 2-4 cm dari garis
mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar
rongga peritoneal. Pada procedure ini, enterokolitis kemungkinan
dapat terjadi akibat spasme punctum rectum yang ditinggalkan.
b) Prosedure swenson IIDilakukan pemotongan segmen kolon yang
aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di b a g i a n
a n t e r i o r d a n 0 , 5 c m d i b a g i a n p o s t e r i o r
k em u d i a n langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung.
Prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani
dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca
bedahdan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran
anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I.
Prosedure Swenson dimulai dengan melakukan biopsi
eksisi otot rektum, diseksi rektum kebawah hingga dasar pelvik
dengan cara diseksi serapat mungkin kedinding rektum,
kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran
anal ke luar sehingga saluran anal menjadi terbalik. Selanjutnya
dilakukan reperitonealisasi, dan cavum abdomen ditutup.
2) Prosedure Duhamel
-
8/13/2019 referat digest
15/21
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956
untuk mengatasi kesul itan diseks i pelvik pada prosed ur
Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon
pr ok simal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior
rectum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik
sehingga membentuk ronggga baru dengan anastomose. Prosedure
Duhamel memiliki beberapa kelemahan diantaranya sering
menyebabkan stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di
dalam punctum rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.
Sehingga dilakukan beberapa modifikasi prosedure Duhmel,
diantaranya :
a) Modifikasi GrobAnastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan
endo anal setinggi 1,52,5 cm untuk mencegah inkontinensia
b) Modifikasi Talbert dan RavitchModifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose
yang panjang
c) Modifikasi IkedaDengan cara membuat klem khusus untuk melakukan anastomose
yang terjadi setelah 68 hari kemudian
d) Modifikasi AdangKolon ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose
dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke 7 14 paska
bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2
buah klem. Ke dua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan
klem lebih dititik beratkan pada fungsi hemostatis.
(Ziegler, 2003).
3. Terapi Farmakologia. Penggunaan Laksatif
b. Modifikasi dietc. Kortikosteroidd. Obat antiinflamatorie. Antibiotik spektrum luas, dan
-
8/13/2019 referat digest
16/21
f. Mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena.(Ziegler, 2003).
I. KomplikasiSecara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung
dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan
fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit
pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat
operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah,
jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah (Ziegler, 2003).
1. Kebocoran AnastomoseKebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada
kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma
colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak
hati-hati. Kartono mendapatkanangka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan
menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur
Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami
kebocoran. Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejalapeningkatan suhu
tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi
demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum, sepsis dan kematian.
Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen
proksimal (Ziegler, 2003).
2. StenosisStenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis
sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein,
stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila
stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi
dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis
hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung
-
8/13/2019 referat digest
17/21
penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior (Ziegler,
2003).
3. EnterokolitisEnterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkanangka 14,5% dan 18,5%
masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan
angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita
dengan tanda-tanda enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolitb. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresic. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perharid. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur operasi
yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk
spasme spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur
Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu
spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi,
penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna
sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang (Ziegler, 2003).
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada
pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakanpenyebab
kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya
enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus
pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masihspastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa
distensi abdomen diikutitanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses
keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan
komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang
sulit pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah (Ziegler, 2003).
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
-
8/13/2019 referat digest
18/21
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima
universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit
merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi
anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama.
Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat
dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai
kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen
dkk,1997; Lister,1996; Heij dkk,1995). Swenson memperoleh angka 13,3%
terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan
prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson
dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga
memberikan angka 0%.Pembedahan dikatakan berhasilbila penderita dapat
defekasi teratur dan kontinen (Heikken, 1997).
J. PrognosisSecara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90% pasien
dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami
penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan
saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian
akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% (Hidayat, 2009).
-
8/13/2019 referat digest
19/21
BAB III
KESIMPULAN
1. Megacolon Congenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi colon karena tidakadanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal (aganglionosis).
2. Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat dibedakan berdasarkan usia gejala klinismulai terlihat dimana pada periode neonatal terdapat tris gejala klinis yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
3. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dangizi buruk (failure to thrive).
4. Diagnosis megakolon congenital ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaanfisik dan penunjang.
5. Penatalaksanaan megakolon congenital terdiri dari tindakan non bedah dan tindakanbedah.
6. Tindakan bedah terdiri dari tindakan bedah sementara, dan tindakan bedah definitivedengan beberapa prosedur yaitu Prosedur Swenson, Prosedur Duhamel, Prosedur
Soave atau Endorectal Pull Through, Prosedur Rehbein.
7. Komplikasi yang dapat terjadi dari megakolon kongenital adalah kebocorananastomose, stenosis, enterokolitis, gangguan fungsi spinkter.
-
8/13/2019 referat digest
20/21
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, M, Farid Nurmantu, and Burhanuddin Bahar. 2009. Anorectal Function of
Hirschprungs Patients After Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medicine
Science. Volume 2 April-June.
Holland, Susan K. 2010. Utilization of peripherin and S-100 immunohistochemistry in the
diagnosis of Hirschprung disease. Modern Phatology : United States and Canadian
Academy of Phatology. Avaliable at:
http://www.nature.com/modpathol/journal/v23/n9/full/modpathol2010104a.html.
Kumar, Vinay, dkk. 2007.Buku Ajar Patologi . Edisi 7 : Volume 2. Jakarta: EGC.
Woosley, John. 2005. Colon-Hirschprungs Disease. Colon, Pathology Slidebox. University
of North Carolina. Avaliable at: http://daveproject.org/colon-hirschsprungs-
disease/2005-01-28/#path_img.
Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in: Ashcraft Pediatric
Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-468.
Heikken M., Rintala R, Luukonen. 1997. Longterm anal spinchter perfoemance after surgery
for Hirschprungs disease.J Pediatric Surgery; 32:1443-6.
Lee, Steven L. 2005. Hirschprung Disease. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.
Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The
Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition. Elsevier-
Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
-
8/13/2019 referat digest
21/21
Swenson O, Raffensperger JG. 2002. Hisrchprungs Disease : A Review. J Pediatric.
109:914-918.
Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprungs disease. In: Raffensperger JG, editor.
Swensonspediatric surgery. 5th ed. Connecticut: Appleton & Lange: 555-77.
Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON TEXTBOOK
of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114.
Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In:
Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.