Referat DHF DD

22
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain: 1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, 3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan 4. Peningkatan sarana transportasi. Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Definisi Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue. Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue

Transcript of Referat DHF DD

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, 3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan4. Peningkatan sarana transportasi.Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.DefinisiDemam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1):1. Demam tidak terdiferensiasi2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.3. DBD (dengan atau tanpa renjatan) PatogenesisDua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.

Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunderMenurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.DiagnosisBerdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.3. Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasiperdarahan adalah uji torniquet.Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2. Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigennonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.

Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.PenatalaksanaanPada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat ataubumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4).2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 5).3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6).4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7).

Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat===================================================================Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%===================================================================

Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa===================================================================

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efekpenambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.

Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.KesimpulanDemam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini.Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.

PendahuluanInfeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus, Family Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Virus dengue menyebabkan spektrum penyakit yang bervariasi dari infeksi yang tidak menimbulkan gejala sampai demam ringan dan dapat menyebabkan gejala yang lebih berat seperti demam berdarah dengue (DBD) dan dengue syok sindrom (DSS).Viremia atau adanya virus dalam aliran darah akan berlangsung selama 1 minggu. Pada awal penyakit akan dibentuk imunoglobulin M (IgM) anti dengue, tetapi hanya dalam waktu singkat. Selanjutnya akan dibentuk imunoglobulin G (IgG).Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemis, timbul sepanjang tahun dengan ledakan epidemi hebat setiap 5 tahun. Angka kejadian penyakit DBD masih cenderung meningkat dari tahun ke tahun sebaliknya angka kematian telah menurun sejak tahun delapan puluhan, akan tetapi angka kematian DBD berat/DSS masih tetap tinggi. Meskipun penyakit DBD bersifat self limitting disease, akan tetapi perjalanan penyakitnya sukar diramalkan sehingga pengamatan klinik yang jeli mutlak diperlukan untuk mengenal secara dini penyakit ini. Penderita yang diduga demam dengue atau DBD biasanya dianjurkan melakukan pemeriksaan hematologi secara serial untuk mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya renjatan atau perdarahan yang lebih lanjut.Di Indonesia penderita DBD terbanyak adalah anak berumur 5-14 tahun.DefinisiDemam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan rejatan yang dapat menyebabkan kematian.Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam berdarah mendadak 2-7 hari disertai dengan keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot tulng atau sendi, mual dan muntah.Gambar 1. Perjalanan Penyakit DBDDBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok umur dewasa.Penegakkan diagnosis DBD (secara klinis) sesuai dengan kriteria WHO, sekurang-kurangnya memerlukan pemeriksaan laboratorium, yaitu pemeriksaan trombosit dan hematokrit secara berkala. Sedangkan untuk penegakkan diagnosis laboratoris DBD diperlukan pemeriksaan serologis (uji HI [haemaglutination inhibition test]) atau ELISA (IgM/IgG) yang pada saat ini telah tersedia dalam bentuk dengue rapid test (misalnya dengue rapid strip test), PCR (polymerase chain reaction) atau isolasi virus.

Gambar 2. Nyamuk Aedes aegyptiTable 1. Kriteria Diagnosis Klinis DBD WHO 1986.1. KlinisGejala klinis berikut harus ada, yaitu : Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : Uji bendung positif Petekie, ekimosis, purpura Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi Hematemesis dan/atau melena Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, Capillary Refill Time memanjang (> 2 detik) dan pasien tampak gelisah.1. Laboratorium Trombositopenia (100.000/L atau kurang) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut : Peningkatan hematokrit 20% dari nilai standar Penurunan hematokrit 20% setelah mendapat terapi cairan Efusi pleura/perikardial, ascites, hipoproteinemia

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD.

Gambar 3. Salah satu gejala demam berdarah adalah munculnya ruam pada kulit

Gambar 4. Uji Torniquet PositifPemeriksaan Penunjang1. Laboratorium Hematologi SerialNilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ketiga dari perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai dengan proses perjalanan penyakit DBD. Peningkatan hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular disertai efusi cairan serosa, melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran ini volume plasma menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi.Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih (misalnya dari 35% menjadi 42%) mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.

Gambar 5. Limfosit Plasma Biru1. Foto Roentgent

Gambar 6. Foto Toraks Pasien DBD Derajat IIIDerajat PenyakitDerajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam empat derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi). Derajat IDemam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bendung. Derajat IISeperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau perdarahan lain. Derajat IIIDidapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah. Derajat IVSyok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.Uji Torniquet dinyatakan positif jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti).

Diagnosis BandingDemam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari Morbili dan Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hepar menjadi nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD dengan sepsis; dalam hal ini trombositopenia dan hemokonsentrasi di samping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat membantu.TatalaksanaPada dasarnya pengobatan penderita DHF/DSS bersifat simtomatik dan suportif. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi secara dini fase kritis, yaitu saat suhu tubuh turun (the time of defervescene) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma yang dapat diketahui dengan dari peningkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit ke tiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/L atau 1-2 trombosit/LBP terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonic atau Ringer Laktat, yang kemudian dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit. Pada DBD derajat I dan II, cairan intravena dapat diberikan selama 12-24 jam. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/L.Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, Rumah Sakit tipe D, C dan ruang rawat sehari di Rumah Sakit B dan A.1. Tatalaksana Kasus Tersangka DBD

Gambar 7. Tatalaksana Kasus Tersangka DBD1. Tatalaksana DBD tanpa Renjatan

Gambar 8. Tatalaksana Kasus DBD Derajat 1 dan Derajat II

Gambar 9. Tatalaksana Kasus DBD derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi 20%2. Tatalaksana DBD dengan Syok Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secara nasal. Berikan 20 mL/kgBB larutan kristaloid seperti Ringer Laktat/Asetat secepatnya Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 mL/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20 mL/kgBB/jam maksimum 30 mL/kgBB/24 jam. Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi, berikan transfusi darah/komponen. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit.

Gambar 10. Tatalaksana Sindrom Syok DenguePrognosisPenyebab kematian penderita DBD adalah :1. Overhidrasi2. Perdarahan pada DBD3. DBD Ensefalopati4. Prolong ShockTable 2. Kriteria Memulangkan Pasien Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik Nafsu makan membaik Tampak perbaikan secara klinis Hematokrit stabil Tiga hari setelah syok teratasi Jumlah trombosit > 50.000/ L Tidak dijumpai distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis)