Referat CA Colon

44
TUGAS REFERAT RADIOLOGI KARSINOMA KOLOM Dan ASPEK RADIOLOGISNYA DISUSUN OLEH: RAYMOND TANJUNG 406148050 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA KEPANITERAAN RADIOLOGI

description

penanggulangan pertama dan referat ca colon

Transcript of Referat CA Colon

TUGAS REFERAT RADIOLOGIKARSINOMA KOLOMDanASPEK RADIOLOGISNYA

DISUSUN OLEH:RAYMOND TANJUNG406148050

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TARUMANAGARAKEPANITERAAN RADIOLOGIRS. ROYAL TARUMA2015

KATA PENGANTARPuji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga referat yang berjudul Karsinoma Kolon dan Aspek Radiologisnya ini dapat selesai tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Radiologi di Rumah Sakit Royal Taruma Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara serta agar dapat menambah kemampuan dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca.Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan serta bimbingan dari dr. Herman W. Hadiprodjo, Sp.Rad selama menjalani kepaniteraan radiologi.Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat disempurnakan di masa yang akan datang. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, 13 Mei 2015

Penulis

BAB IPENDAHULUAN

Tumor usus halus jarang terjadi,sebaliknya tumor usus besar atau rectum relative umum. Di Amerika Serikat menempati urutan ketiga untuk kanker organ visceral. Selain itu, kanker kolon merupakan kanker penyebab kematian tertinggi kedua di Amerika Serikat. Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang, didapatkan bahwa kasus karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita selama 5 tahun,terdiri dari penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita (14,26%).Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%), rekto sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon tranversum (6%),flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix (2%).Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di Asia, banyak terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan makanan. Beberapa faktor antara lain lingkungan, genetik dan immunologi merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan karsinogen, bakteri dan virus.Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker cecum dan kolon asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto sigmoid dapat menyumbat lumen atau berdarah.Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Laporan kasus Lab JUPF Ilmu Penyaki Dalam FK. UNIBRAW RSSA Malang, tangga1 17 Juni 1992.

BAB IIKARSINOMA KOLON

II.1 ANATOMI KOLONColon merupakan bagian paling distal dari tractus digestivus. Panjangnya kira-kira 1,5 2 m, diameter sekitar 6,5 cm pada daerah caecum, terbagi atas : -Colon Ascendens Colon Tranversum- Colon Descendens - Colon Sigmoid Terdapat 3 flexura: - Flexura Hepatica : Di bawah hati , peralihan dari colon ascendens ke colon transversum. - Flexura Linealis : Di bawah pancreas , peralihan dari colon transversum ke colon descendens.- Flexura Sigmoidea : Peralihan dari colon descendens ke colon sigmoid. Terdapat diverticulum pada caecum yang disebut appendiks.

II.2 DEFINISIColorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca. Colon atau Kanker Usus Besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada caecum, kolon, dan rectum. Di negara maju, kanker ini menduduki peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di dunia barat. Kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel yang tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip (sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium awal, polip dapat diangkat dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal adenoma tidak menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat terjadi pada semua bagian dari usus besar

II.3 EPIDEMIOLOGIDi dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker. Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru; sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada tingkat insidensi dan mortalitas. Pada tahun 2004 di eropa terdapat 2.886.800 insiden kanker yang terdiagnosa dan 1.711.000 kematian karena kanker. Insiden kanker yang paling sering adalah kanker paru-paru (13,3%), diikuti oleh kanker kolorektal (13,2%) dan kanker payudara (13%). Kanker paru-paru juga merupakan kanker yang tersering menyebabkan kematian (341.800) diikuti oleh kanker kolorektal (203.700), kanker lambung (137.900) dan kanker payudara (129.900). Dengan estimasi 2,9 juta kasus baru (54% muncul pada pria, 46% pada wanita) dan 1,7 juta kematian (56% pada pria, 44% pada wanita) tiap tahunnya. Di Amerika kanker kolorektal merupakan penyebab kematian tersering setelah kanker paru paru dan menduduki peringkat ketiga pada kanker yang terdapat pria dan wanita dengan lebih dari 130.000 kasus baru tiap tahun dan menyebabkan kematian 55.000 orang tiap tahun. Dari data berdasarkan 19 tahun follow up pada insiden kanker kolorektal di Swedia pada tahun 1960 pada 53.377 kasus yang diketemukan (28.003 pria dan 25.374 wanita), Didapatkan suatu hubungan yaitu 1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang meningkat seiring dengan usia; 2) meningkatnya insiden kanker kolorektal seiring dengan kepadatan penduduk; 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah dibandingkan dengan pria lainnya. Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya 3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Program yang dilaksanakan oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang berbasis komunitas di Sidoarjo menunjukkan kenaikan 10-20% dari kasus kanker yang menerima perawatan dari Rumah Sakit. Dewasa ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita. Gambar 2.3 Insiden Kanker di Indonesia Dari berbagai laporan, di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker kolorektal, meskipun belum ada data yang pasti, namun data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100 ribu penduduk. Sejak tahun 1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang berobat ke RS Kanker Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247 penderita dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169 (43,45%) wanita berusia antara 20-71 tahun.II.4 ETIOLOGI & FAKTOR RESIKOPenyebab pasti kanker kolorektal masih belum diketahui, tetapi kemungkinan besar disebabkan oleh: Cara diet yang salah, diet makanan tinggi lemak (khususnya lemak hewani) dan rendah kalsium, folat dan rendah serat, jarang konsumsi sayuran dan buah-buahan, sering mengkonsumsi alkohol Obesitas/kegemukan Pernah terkena kanker kolorektal sebelumnya Kelainan genetik. Bentuk paling sering dari kelainan gen yang dapat menyebabkan kanker ini adalah perubahan pada gen hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC). Pernah memiliki polip di usus Umur (resiko meningkat pada usia diatas 50 tahun) Jarang melakukan aktifitas fisik Radang usus besar, berupa colitis ulceratif atau penyakit Crohn yang menyebabkan inflamasi atau peradangan pada usus untuk jangka waktu lama, akan meningkatkan resiko terserang kanker kolorektal.Untuk menemukannya diperlukan suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi, sedangkan untuk terapinya adalah melalui pembedahan diikuti kemoterapi. Insidensnya meningkat sesuai dengan usia (kebanyakan pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun) dan makin tinggi pada individu dengan riwayat keluarga mengalami kanker kolon, penyakit usus inflamasi kronis atau polip. Perubahan pada persentase distribusi telah terjadi pada tahun terakhir. Insidens kanker pada sigmoid dan area rektal telah menurun, sedangkan insidens pada kolon asendens dan desendens meningkat.Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Angka kelangsungan hidup di bawah lima tahun adalah 40% sampai 50%, terutama karena terlambat dalam diagnosis dan adanya metastase. Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan defekasi atau perdarahan rektal.Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD) didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma [diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil penelitian di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan derajat differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Soeripto et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik.14 Perbedaan pola demografik dan klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat membantu untuk studi epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang.

II.5 PATOFISIOLOGIUmumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polyp adenoma. Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya masih terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala. Pada saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar kedalam lapisan lebih dalam dari jaringan usus dan oragan-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar dengan perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan dinding luar usus. Struktur yang berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halus, pankreas, limpa, saluran genitourinary, dan dinding abdominal juga dapat dikenai oleh perluasan. Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal (Way, 1994). Sel-sel kaner dari tumor primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik atau sistem sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang, dan ginjal. Penyemaian dari tumor ke area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi bila tumor meluas melalui serosa atau selama pemotongan pembedahan.Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga tahap lanjut. Karena pola pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum muncul gejala (Way, 1994).Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).

II.6 MANIFESTASI KLINISGejala klinis karsinoma kolon kiri berbeda dengan yang kanan. Karsinoma kiri sering bersifat skirotik, sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan jarang terjadi stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi.Gejala dan tanda dini karsinoma kolon rektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran. Karsinoma kolon dan rektum menyebabkan pola defekasi seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin menipis, atau seperti kotoran kambing, atau lebih cair disertai darah dan lendir. Tenesmi merupakan gejala yang sering didapat pada karsinoma rektum. Perdarahan akut jarang dialami demikian juga nyeri di daerah pangggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila pada obstruksi penderita flatus terasa lega di perut.Gambaran klinik tumor sekum dan kolon ascenden tidak khas. Dispepsi, kelemahan umum, penurunan berat badan dan anemia merupakan gejala umum, karena itu sering penderita dalam keadaan menyedihkan. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon kanan. Tempat yang dirasakan sakit berbeda karena asal embriogenik yang berlainan, yaitu dari usus tengah dan usus belakang. Nyeri dari kolon kiri bermula di bawah umbilikus sedangkan dari kolon kanan dari epigastrium.

II.7 DIAGNOSIS, PEMERIKSAAN, & DETEKSI DINI

DiagnosisDiagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih serta hati dan paru untuk metastasis PemeriksaanTumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba menunjukan keadaan sudah lanjut. Massa di dalam sigmoid lebih jelas teraba daripada masa di bagian lain kolon. Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi. Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain ialah foto dada dan foto kolon (barium enema). Pemeriksaan foto dada berguna selain untuk melihat adanya tidaknya metastasis kanker ke paru, juga bisa untuk persiapan tindakan pembedahan. Barium enema sebaiknya menggunakan kontras ganda, dan usahakan melakukan pemotretan pada berbagai posisi bila di temukan kelainan. Pada foto kolon dengan barium dapat terlihat suatu filling defect pada suatu tempat atau suatu srtiktura.

DETEKSI DINIDeteksi dini berupa skrining untuk mengetahui kanker kolorektal sebelum timbul gejala dapat membantu dokter menemukan polyp dan kanker pada stadium dini. Bila polyp ditemukan dan segera diangkat, maka akan dapat mencegah terjadinya kanker kolorektal.Begitu juga pengobatan pada kanker kolorektal akan lebih efektif bila dilakukan pada stadium dini. Untuk menemukan polyp atau kanker kolorektal dianjurkan melakukan deteksi dini atau skrining pada orang diatas usia 50 tahun, atau dibawah usia 50 tahun namun memiliki faktor resiko yang tinggi untuk terkena kanker kolorektal seperti yang sudah disebutkan diatas.Tes skrining yang diperlukan adalah1. Fecal Occult Blood Test ( FOBT), kanker maupun polyp dapat menyebabkan pendarahan dan FOBT dapat mendeteksi adanya darah pada tinja. FOBT ini adalah tes untuk memeriksa tinja.Bila tes ini mendeteksi adanya darah, harus dicari darimana sumber darah tersebut, apakah dari rektum, kolon atau bagian usus lainnya dengan pemeriksaan yang lain. Penyakit wasir juga dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja.2. Sigmoidoscopy, adalah suatu pemeriksaan dengan suatu alat berupa kabel seperti kabel kopling yang diujungnya ada alat petunjuk yang ada cahaya dan bisa diteropong. Alatnya disebut sigmoidoscope, sedangkan pemeriksaannya disebut sigmoidoscopy. Alat ini dimasukkan melalui lubang dubur kedalam rektum sampai kolon sigmoid, sehingga dinding dalam rektum dan kolon sigmoid dapat dilihat.Bila ditemukan adanya polyp, dapat sekalian diangkat. Bila ada masa tumor yang dicurigai kanker, dilakukan biopsi, kemudian diperiksakan ke bagian patologi anatomi untuk menentukan ganas tidaknya dan jenis keganasannya.3. Colonoscopy, sama seperti sigmoidoscopy, namun menggunakan kabel yang lebih panjang, sehingga seluruh rektum dan usus besar dapat diteropong dan diperiksa. Alat yang digunakan adalah colonoscope.4. Double-contrast barium enema, adalah pemeriksaan radiologi dengan sinar rontgen (sinar X ) pada kolon dan rektum. Penderita diberikan enema dengan larutan barium dan udara yang dipompakan ke dalam rektum. Kemudian difoto. Seluruh lapisan dinding dalam kolon dapat dilihat apakah normal atau ada kelainan.5. Colok dubur, adalah pemeriksaan yang sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua dokter, yaitu dengan memasukkan jari yang sudah dilapisi sarung tangan dan zat lubrikasi kedalam dubur kemudian memeriksa bagian dalam rektum. Merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan. Bila ada tumor di rektum akan teraba dan diketahui dengan pemeriksaan ini.

II.8 GEJALAUsus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi.

Gejala Subakut Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.

Gejala akut Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon. Metastase Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali paling sering di hepar.II.9 TATALAKSANAII.9.1 Pembedahan Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor. Pendekatan laparaskopik kolektomi telah dihubungkan dan dibandingkan dengan tehnik bedah terbuka pada beberapa randomized trial. Subtotal kolektomi dengan ileoproktostomi dapat digunakan pada pasien kolon kanker yang potensial kurabel dan dengan adenoma yang tersebar pada kolon atau pada pasien dengan riwayat keluarga menderita kanker kolorektal. Eksisi tumor yang berada pada kolon kanan harus mengikutsertakan cabang dari arteri media kolika sebagaimana juga seluruh arteri ileokolika dan arteri kolika kanan. Eksisi tumor pada hepatik flexure atau splenic flexure harus mengikutsertakan seluruh arteri media kolika. Permanen kolostomi pada penderita kanker yang berada pada rektal bagian bawah dan tengah harus dihindari dengan adanya tehnik pembedahan terbaru secara stapling. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kanan biasanya ditangani dengan reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi membutuhkan eksisi dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis dan closure dari kolostomi.II.9.2 Terapi Radiasi Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.II.9.3 Adjuvant Kemoterapi Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi. Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau dengan kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian secara kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan survival ketika diberikan post operatif kepada pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat kanker hingga 32%.

II.9.3.1 Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker kolorektal stadium II masih kontroversial. Peneliti dari National Surgical Adjuvant Breast Project (NSABP) menyarankan penggunaan adjuvant terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang meskipun kecil pada pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa penelitiannya. Sebaliknya sebuah meta-analysis yang mengikutkan sekitar 1000 pasien menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi perlakuan dan yang tidak untuk semua pasien stage II.II.9.3.2 Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah menurunkan insiden rekurensi sebesar 41% pada sejumlah prospektif randomized trial. Terapi selama satu tahun dengan menggunakan 5-FU + levamisole meningkatkan 5-year survival rate dari 50% menjadi 62% dan menurunkan kematian sebesar 33%. Pada kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa 6 bulan terapi dengan menggunakan 5-FU + leucovorin telah terbukti efektif dan sebagai konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III kanker kolorektal adalah 5-FU + leucovorin. II.9.3.3 Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa kanker kolorektal dapat dilakukan pembedahan. Pasien dengan kanker yang tidak dapat dilakukan penanganan kuratif, dapat dilakukan penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi, dan perdarahan. Bagaimanapun juga pembedahan dapat tidak dilakukan jika tidak menunjukkan gejala adanya metastase. Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari tumor intraluminal cukup memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun pada kasus asymptomatik. Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer sebagai modalitas penanganan untuk tumor yang kecil dan bersifat mobile atau dengan kombinasi bersama sama kemoterapi setelah reseksi dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan nyeri, obstruksi, perdarahan dan tenesmus pada 80% kasus. Penggunaan hepatic arterial infusion dengan 5-FU terlihat meningkatkan tingkat respon, tetapi penggunaan ini dapat mengakibatkan berbagai masalah termasuk berpindahnya kateter, sklerosis biliaris dan gastrik ulserasi. Regimen standar yang sering digunakan adalah kombinasi 5-FU dengan leucovorin, capecitabine (oral 5-FU prodrug), floxuridine (FUDR), irinotecan (cpt-11) dan oxaliplatin.II.9.4 Penanganan Jangka Panjang Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan telah menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi adanya rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah ditangani dari kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker kolon. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA, foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan. Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan. 1. Evaluasi klinik Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer telah diangkat.2. Rontgen Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi rekurensi.3. Kolonoskopi Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3 sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor, suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun.4. CEA Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam mengidentifikasi metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu diagnosa daripada CT scan. II.10 PROGNOSISStage merupakan faktor prognosis yang paling penting. Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4). Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada di kolon. Dan tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan kolon rektosigmoid. Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosa lebih buruk bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosa pasien yang kehilangan allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang tidak kehilangan allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak kehilangan allelic pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat kehilangan allelic pada kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage III(C). Pemeriksaan pada kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam menyeleksi pasien stage II(B) untuk adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa yang lebih baik untuk menghindarkan efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.II.11 PENCEGAHAN1. Endoskopi Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial yang menunjukan bahwa sigmoidoskopi efektif untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal, meskipun penelitian trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan kolonoskopi harus dilakukan. 2. Diet Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol. 3. Non Steroid Anti Inflammation Drug Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker kolorektal, baik pada kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun. 4. Hormon Replacement Therapy (HRT) Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002 orang wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT dengan kanker kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah pemakaian HRT dihentikan.

BAB IIIASPEK RADIOLOGIS

Gambaran Radiologik Colon NormalPada radiografi akan terlihat bangunan haustrae sepanjang colon. Mulai dari distal kolon descenden sampai sigmoid, haustrae semakin tampak berkurang. Dalam keadaan normal garis-garis haustrae haruslah dapat diikuti dengan jelas dan berkesinambungan.Kaliber kolon berubah secara perlahan, mulai dari caecum (+/- 8,5 cm) sampai sigmoid (+/- 2,5 cm). Panjang kolon sangat bervariasi tiap individu, berkisar antara 91-125 cm, bahkan lebih.Mukosa kolon terlihat sebagai garis-garis tipis halus, melingkar secara teratur yang dinamakan linea innominataUsus kecil berakhir di ileum terminal dan memasuki kolon di daerah yang di sebut regio iliosekal. Terkadang terlihat penonjolan muaranya di dalam caecum yang sering diduga sebagai polip.Caecum sendiri terletak di bawah regio tersebut sepanjang +/- 6,5 cm dan lebar +/- 8,5 cm. Normal caecum menunjukkan kontur yang rata dan licin. Apendiks merupakan saluran mirip umbai cacing dengan panjang antara 2,5-22,5 cm. Kadang terlihat penonjolan muaranya ke dalam lumen caecum.Kolon ascenden dimulai proksimal regio iliosekal sampai mencapai fleksura hepatika. Kolon tranversum merupakan bagian yang bebas bergerak ( mobil), melintasi abdomen dengan fleksura hepatika sampai fleksura lienalis.Kolon descenden dimulai dari fleksura lienalis ke arah bawah sampai persambungannya dengan sigmoid. Batas yang tegas antara kolon descenden dengan sigmoid sukar ditentukan, namun krista iliaka mungkin dapat dianggap sebagai batas peralihannya.Sigmoid merupakan bagian kolon yang panjang dan berkelok-kelok, berbentuk huruf S. Bentuknya yang demikian itu seringkali menyukarkan penilaian radiografik proyeksi antero-posterior. Proyeksi oblik dan lateral merupakan cara terbaik untuk mengatasinyaRektum dimulai setinggi S3, lumennya berbentuk fusiform, dan bagian tengahnya disebut sebagai ampula dinding posteriornya mengikuti kelengkungan sakrum.

RADIOLOGIS KARSINOMA KOLONKarsinoma usus besar biasanya type anular dan enema barium tampak sebagai penyempitan lesi setempat, memperlihatkan secara khas kelainan bentuk cincin napkin jarang terdapat karsinoma ensefaloid, namun dalam caecum carsinoma dapat muncul sebagai filling.Filling defect yang besar dan tidak teratur sangat penting untuk menyadari bahwa enema barium dapat dengan mudah meluputkan suatu karsinoma pada rektum dimana lesi tidak jelas dalam ruangan yang melebar yang berisi barium. Karsinoma rektum harus di diagnosa dengan permeriksaan tangan atau proktoskopi. Meskipun demikian, kebanyakan ahli radiologi yang berpengalaman telah banyak menemukan kasus kasus dengan enema barium yang luput oleh dokter yang mengkonsultasi karena pemeriksaan yang tidak memadai.Karsinoma kolon secara radiologik memberikan gambaran sebagai berikut :1. Penonjolan ke dalam lumen (Protuded lesion) Bentuk klasik seperti ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated) atau tak bertangkai (sessile). Dinding kolon sering kali masih baik. 2. Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity) Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen kolon sempit dan ireguler. Hal ini sulit dibedakan dengan kolitis Crohn.3. Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall) bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon dapat / tidak menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan kolitis ulseratif.

Barium enemaTehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema (gambar 2.12), yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon. Endoskopi Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna. Proktosigmoidoskopi Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika digunakan bersama sama dengan occult blood test. Flexible Sigmoidoskopi Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan dapat mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi dengan menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (1 cm pada 75% pasien. Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal. 2 MRI MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar. 3 Endoskopi UltraSound (EUS) EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.

LAMPIRAN

Gambar 1. X-Ray Abdomen Normal

Gambar 2. Haustral Pattern

Gambar 3. Gambaran Feses Pada Kolon

Gambar 4. Distribusi Kolon (Panah Hitam)

Gambar 5. CT scan sagittal reformatted image shows extensive posterior cecal wall thickening; pathologic diagnosis of adenocarcinoma of the colon.

Gambar 6. Annular carcinoma of the transverse colon is associated with a 2-cm polyp in the sigmoid colon.

Gambar 7. Synchronous annular carcinomas in the ascending colon and splenic flexure.

Gambar 8. Cecal carcinoma. A large polypoid cecal mass involves the ileocecal valve and causes small bowel obstruction.

Gambar 9. Barium enema. Typical annular carcinoma in the proximal sigmoid colon with adjacent diverticular disease.

Gambar 10. Apple Core-appearance of an annular constricting carcinoma of the bowel, usually the colonBAB IVPENUTUP

Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia. Di seluruh dunia 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.Eropa sebagai salah satu negara maju dengan angka insiden kanker kolorektal yang tinggi. Pada tahun 2004 terdapat 2.886.800 insiden dan 1.711.000 kematian karena kanker, kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada angka insiden dan mortalitas.Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon rektosigmoid. Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. Keluhan pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.Gambaran histologi merupakan faktor penting dalam hal penanganan dan prognosis dari kanker. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarcinoma (90-95%), adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-4%), dan sarcoma (0,1-3%).Prof. K.L. Goh dari departement of medicine University of Malaysia mengatakan bahwa masyarakat di Asia telah mengikuti pola penyakit gastrointestinal yang muncul pada masyarakat di negara Barat beberapa dekade yang lalu, hal ini dikarenakan adanya perubahan pada kondisi sosial ekonomi. Perubahan sosial ekonomi tersebut membawa dua dampak yaitu perubahan gaya hidup dari masyarakat serta peningkatan usia harapan hidup akibat kemajuan pembangunan.Perubahan gaya hidup yang diasosiasikan dengan masalah kesehatan adalah diet, merokok, gaya hidup yang sedentari serta obesitas. Peningkatan usia harapan hidup yang ada beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia.Jika dilihat dari sudut pandang epidemiologi ada 2 faktor yang menyebabkan suatu penyakit menjadi suatu masalah kesehatan yang penting. Yang pertama adalah frekuensi, ini berkaitan dengan tingginya insiden atau prevalensi, termasuk penyakit yang potensial akan meninggi dalam tingkat insidensi. Adanya faktor- faktor gaya hidup dan populasi diatas memungkinkan kanker kolorektal dimasa yang akan datang potensial meninggi dalam hal insidensi. Yang kedua adalah derajat keparahan atau tingginya mortalitas. Dari data didapatkan 50 persen penderita kanker kolorektal meninggal dikarenakan penyakit ini. Hal ini disebabkan karena pada stadium awal seringkali tidak menunjukkan gejala, sehingga pasien baru datang setelah ada gejala yang biasanya sudah pada stadium akhir, yang menyebabkan penanganan kuratif sudah tidak dapat dilakukan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Rasad,Sjahriar, Sukonto kartoleksono, Iwan Ekayuda.1995. Radiologi Diagnostik.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Patel, Pradip R. .2007. Lecture Notes Radiologi edisi kedua. Jakarta: penerbit Erlangga. http://emedicine.medscape.com/article/277496-overview https://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/colorectal/colorectal-cancer/?region=on Armstrong P, Wastie ML, Rockall AG. Diagnostic Imaging. 6th edition. Oxford: Wiley-Blackwell Publishing, 2009. Desen W, editor. Japaries W, penerjemah. Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. Longo LD, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc, 2012. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A, editor. Panduan Pelayanan Medik. Edisi 1. Jakarta: PB PAPDI, 2006. Rasad S. Radiologi Diagnostik. Edisi 2 cetakan ke-7. Ekayuda I, editor. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2011. Sudoyo AW, Setiati S, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5 cetakan kedua. Jakarta: Interna Publishing, 2010.