Referat BPH

48
BAB I PENDAHULUAN Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada pria yang menapak usia lanjut. 1 Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher vesica urinaria dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). 1,2 Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel- 1

description

BPH

Transcript of Referat BPH

BAB I

PENDAHULUAN

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna

pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam

bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan

utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup

seseorang. Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan

pada pria yang menapak usia lanjut.1

Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang

mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat

atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada

leher vesica urinaria dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction

(BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran prostat disebut sebagai

benign prostate obstruction (BPO).1,2

Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan

jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak

usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan

testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu,

mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel

kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi

sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein

inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat.3

Di berbagai daerah di Indonesia, kemampuan melakukan diagnosis dan

modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya

manusia di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian, di daerah terpencil pun diharapkan

dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya.4

1

BAB II

PROSTAT

2.1 EMBRIOLOGI

Secara embriologi, prostat yang merupakan organ kompleks yang terdiri dari

unsur kelenjar, stroma, dan otot polos atau fibromioglandular mulai terbentuk pada

kehamilan minggu ke-12 dengan pengaruh hormone androgen yang berasal dari testis

fetus. Sebagian besar kompleks prostat berasal dari sinus urogenitalis, tetapi mungkin

sebagian dari ductus ejaculatorius, sebagian verumontanum dan sebagian dari bagian

asiner prostat (zona sentral) berasal dari ductus Wolfii.5,6

Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan organ kelenjar

fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Panjang prostat sekitar 3 cm

(1¼ inchi) dan terletak di antara collum vesika urinaria di atas dan diaphragma

urogenitalis di bawah. Prostat dikelilingi oleh kapsula fibrosa. Di luar kapsul terdapat

selubung fibrosa, yang merupakan bagian dari lapisan visceral fascia pelvis. Prostat

mempunyai basis prostatae yang terletak di superior berhadarapan dengan collum

vesicae; dan apex prostatae yang terletak di inferior dan berhadapan dengan

diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius menembus bagian atas facies

posterior prostatae untuk bermuara ke uretra pars prostatica pada pinggir lateral

utriculus prostaticus.7

Gambar 1. Tractus Urinarius dan Genitalia Pria

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di

depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri, pada

2

dewasa muda berukuran 3-4 cm di bagian yang paling lebar dan panjang 4-6 cm

dengan ketebalan 2-3 cm cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri

atas jaringan fibromuskular dan glandular.5 Menurut klasifikasi Lowsley; prostat

terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri.

Sedangkan menurut Mc Neal yang menentukan pembagian zona berdasarkan letak

dan asal keganasan dari prostat, prostat dibagi atas 4 bagian utama:8

1. Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini

merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular

dapat dibagi menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4).

2. Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular,

membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik

zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian distalnya terdiri

dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona

sentral yang berbentuk baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara pada

uretra pars prostatika bagian distal.

3. Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular,

dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus

ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-

buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika bagian distal.

Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong yang berisikan segmen

uretra proximal dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup melainkan

dihubungkan oieh stroma fibromuskular.

4. Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5

%), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk silinder

dan dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar

periuretral bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.

3

Gambar 2. Skematik Pembagian Prostat Menurut McNeal

2.2 BATAS-BATAS PROSTAT

Batas superior: basis prostat berhubungan dengan collum vesicae. Otot polos

prostate terus melanjut tanpa terputus dengan otot polos collum vesicae. Uretra masuk

pada bagian tengah basis prostatae. Batas inferior: apex prostat terletak pada facies

diafragma urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan

anterior.7

Batas anterior: facies anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis,

dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica (cavum

Retzius). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior os pubis

dan ligamentum puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah

(disamping kanan dan kiri linea mediana) dan merupakan kondensasi (penebalan)

fascia pelvis. Batas posterior: permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan

permukaan anterior ampulla recti dan dipisahkan dari rectum oleh septum

retovesicalis (fascia Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi

4

dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke

bawah menuju corpus perineale. Batas lateral: facies lateral prostat difiksasi oleh

serabut anterior m. levator ani saat serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis.7

Gambar 3. Potongan Sagital Pelvis Laki-laki (buku anatomi)

2.3 STRUKTUR PROSTAT

Kelenjar prostat yang jumlahnya banyak tertanam di dalam campuran otot

polos dan jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke uretra pars prostatica. Prostat

secara tak sempurna dibagi dalam lima lobus. Lobus anterior atau isthmus, terletak di

depan uretra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius adalah kelenjar

yang berbentuk baji yang terletak antara uretra dan ductus ejaculatorius. Permukaan

atasnya dibatasi oleh trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar.

Lobus posterior terletak di belakang uretra dan di bawah ductus ejaculatorius dan juga

mengandung kelenjar. Lobus lateral dextra dan sinistra terletak di samping uretra dan

dipisahkan satu sama lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada facies

posterior prostat. Lobus lateral mengandung banyak kelenjar.7

2.4 FUNGSI PROSTAT

Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti air susu yang

mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke cairan semen

5

pada saat ejakulasi. Otot polos pada stroma dan kapsula berkontraksi, sekret yang

berasal dari banyak kelenjar diperas masuk ke uretra pars prostatica. Sekret prostat

bersifat alkali yang membantu menetralkan keasaman vagina.7

2.5 PENDARAHAN

Arteri yang memperdarahi prostat berasal dari cabang a. vesicalis inferior dan

a. rectalis media. Vena membentuk pleksus venosus prostaticus yang terletak antara

kapsula prostat dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus menerima dari v.

dorsalis profundus penis dan banyak v. vesicalis, dan selanjutnya dialirkan ke v. iliaca

interna.7

Gambar 4. Anatomi Genitalia Pria

2.6 ALIRAN LIMFE

Pembuluh limfe dari prostat mengalirkan cairan limfe ke nodi limfatici iliaca

interna.7

2.7 PERSARAFAN

Prostat manusia mendapat dua macam persarafan yaitu parasimpatik

(kolinergik) dan simpatik (nor adrenergic) melalui plexus otonomik yang terletak

didekat prostat. Plexus ini mendapat masukan parasimpatetik dari medulla spinalis

setinggi S2-S4 dan serat-serat simpatetik dari nervus hipogastrikus presacralis (T10-

L2).5,9,10

Kedua sistem persarafan itu dalam prostat membentuk jaringan persarafan

yang terjadi dari gabungan yang bersifat cholinergic dan nor adrenergic serta

6

mempunyai reseptor-reseptor di dalam otot polos prostat.10 Saraf-saraf otonom yang

mempersarafi prostat dan juga vesikula seminalis, uretra, dan corpora cavernosa

berasal dari plexus pelvicus yang bersama pembuluh darah membentuk kompleks

saraf dan pembuluh darah (neuro vascular bundle) dan komplek ini berjalan di bagian

posterior prostat dari cranial menuju apex prostat dan umumnya sejajar dengan

dinding rectum.5,8,11

Menurut Gosling, persarafan prostat mempersarafi otot polos yang ada

didalam prostat dan yang bersifat kolinergik juga mempersarafi kapsul prostat,

sedangkan acinus juga menerima persarafan dari kolinergik sehingga perangsangan

parasimpatik akan menambah sekresi sedangkan perangsangan simpatik akan

menyebabkan kontraksi vesicular seminalis sehingga terjadi ejakulasi.5,11

2.8 PROSES MIKSI

Seperti diketahui fungsi utama dari unit vesikouretra adalah menampung urin

untuk sementara, mencegah urin kembali ke arah ginjal dan pada saat-saat tertentu

melakukan ekspulsi urin. Unit vesikouretra terdiri dari buli-buli dan uretra posterior.

Uretra posterior terdiri dari uretra pars prostatika, yang bagian proksimalnya disebut

sebagai leher buli-buli dan uretra pars diafragma yang tidak lain adalah sphincter

eksterna uretra. Unit vesikouretra ini dipelihara oleh sistem saraf otonom yaitu

parasimpatis dan simpatis untuk buli-buli dan uretra proksimal dari diafragma serta

saraf somatis melalui nervus pudendus untuk sphincter eksterna. Sistem persarafan

tersebut memungkinkan terjadinya proses miksi secara bertahap (fase) yaitu:12

Fase Pengisian (Resting/ Filling Phase)

Fase ini terjadi setelah selesai miksi dan buli-buli mulai diisi lagi dengan urin

dari ginjal yang masuk melalui ureter. Pada fase ini tekanan di dalam buli-buli selalu

rendah, kurang dari 20 cmH2O. Sedangkan tekanan di uretra posterior selalu lebih

tinggi antara 60-100 cmH2O.

Fase Ekspulsi

Setelah buli-buli terisi urin sebanyak 200-300 ml dan mengembang, mulailah

reseptor “strechtí” yang ada pada mukosa buli-buli terangsang dan impuls dikirimkan

ke sistem saraf otonom parasimpatis di medula spinalis segmen 2 sampai 4 dan sistem

saraf ini menjadi aktif dengan akibat meningkatnya tonus buli-buli (muskulus

detrusor). Meningkatnya tonus detrusor ini dirasakan sebagai perasaan ingin kencing.

Pada saat tonus detrusor meningkat maka secara sinkron leher buli-buli dan uretra

7

pars prostatika membuka, bentuknya berubah seperti corong dan tekanannya

menurun. Pada keadaan ini inkontinensia hanya dipertahankan oleh sphincter eksterna

yang masih tetap menutup. Bila yang bersangkutan telah mendapatkan tempat yang

dianggap konvivien untuk miksi barulah sphincter eksterna secara sadar dan terjadi

miksi. Pada saat tonus detrusor meningkat sampai terjadinya miksi tekanan

intravesikal mencapai 60-120 cmH2O.

Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari

cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara

di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada

saat ejakulasi. Cairan ini merupakan kurang lebih 25% dari volume ejakulat. Jika

kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat

membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

Gambar 5. Prostat dan Organ Disekitarnya

8

BAB III

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

3.1 DEFINISI

Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia) adalah

pertumbuhan jinak kelenjar prostat, yang menyebabkan prostat membesar.13

Gambar 6. Gambaran Prostat Normal dan Pembesaran Prostat

McNeal yakin bahwa pembesaran prostat jinak tidak terjadi pada zona

peripheral dan juga berpendapat bahwa sebagian besar karsinoma prostat yang berasal

dari zona transisional, biasanya jenis karsinoma dengan gradasi rendah (low grade).5,8

Gambar 7. Sel pada Prostat Normal dan Prostat yang Membesar

3.2 EPIDEMIOLOGI

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan

sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang

lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran,

9

yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa

mengalami perubahan hiperplasi. 14

Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit tersering kedua di klinik

urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini seirng juga dikenal

sebagai hipertrofi prostat, meskipun sebenarnya yang terjadi ialah hiperplasia dari

kelenjar periuretral, sedang jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul

bedah.15

Angka kejadian (insidens) yang pasti untuk pembesaran prostat jinak di

Indonesia belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran “hospital prevalence” di

RSCM ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak selama tiga tahun (September

1994-Agustus 1997) dan di RS.Sumber Waras 617 dalam periode yang sama.15

Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini

dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia

80 tahun. 14

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan

kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita

akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat

tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya

pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan

mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar

membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik. 14

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat

ditemukan pada usia 30 - 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang

akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya

sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut

diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik. 14

10

Gambar 8. Penderita BPH pada Usia Diatas 40 Tahun dan Akibatnya

3.3 ETIOLOGI

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia

prostate rat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses

aging (penuaan). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya

hyperplasia prostat adalah: a) teori dihidrotestosteron, b) adanya ketidakseimbangan

antara estrogen-testosteron, c) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, d)

berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan e) teori stem sel.1

11

Gambar 9. Proses Terjadinya BPH

a) Teori dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat penting

pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel

prostat oleh enzim 5-alfa reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang

telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-

RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang

menstimulasi pertumbuhan sel prostat.1

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh

berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim

5-alfa reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini

menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga

replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.1

12

Gambar 10. Zat-Zat yang Berperan Dalam Pertumbuhan Sel Prostat

b) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun sedangkan kadar

estrogen relative tetap, sehingga perbandingan antara estrogen dan testosterone

relative meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam

terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas

sel-sel prostat terhadap rangsangan hormone androgen, meningkatkan jumlah resptor

androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari

semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat

rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang ada mempunyai umur

yang lebih panjang sehingga massa prostat lebih besar.1

Gambar 11. Pengaruh Estrogen dan Testosteron terhadap Prostat

c) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat

13

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel

prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator

(growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan

estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta

mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya

proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.1

d) Berkurangnya kematian sel prostat

Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologis

untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi

kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis

akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim

lisosom.1

Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan

kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,

penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.

Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah

sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan

pertambahan massa prostat.1

Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti factor-faktor yang

menghambat proses apoptosis. Diduga hormone androgen berperan dalam

menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi

peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu

memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan factor pertumbuhan TGF-beta

berperan dalam proses apoptosis.1

e) Teori stem sel

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-

sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai

kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung

seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya

proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem

sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.1

3.4 GAMBARAN KLINIS

14

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun

keluhan di luar saluran kemih.4

1. Gejala Klinis

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai sindroma

prostatisme. Walaupun begitu sindroma ini tidak patogomonik untuk BPH. Obstruksi

intravesikal yang lain dapat pula memberikan gejala klinis seperti sindroma

prostatisme ini. Oleh karena itu istilah ini belakangan sering diganti dengan Lower

Urinary Tract Symptom (LUTS). Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, yaitu

gejala obstruktif dan gejala iritatif.

Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum

terasa kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil

(hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-

putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi

retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow.

Gejala iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk

buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia),

dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence).

Dari kedua macam gejala tersebut, gejala obstruktif biasanya lebih menonjol.

Bila terjadi gejala iritasi lebih menonjol harus dipikirkan penyebab lain selain BPH.

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan

penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH,

dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di

antaranya Skor International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score

(IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA).

Tabel 1. Skor Internasional Gejala Prostat

SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT

International Prostate Symptom Score (I-PSS)

Untuk pertanyaan nomor 1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut:

0 = tidak pernah

1 = kurang dari sekali dari 5 kali kejadian

2 = kurang dari separuh kejadian

3 = kurang lebih separuh dari kejadian

4 = lebih dari separuh dari kejadian

15

5 = hampir selalu

Dalam satu bulan terakhir ini, berapa seringkah Anda:

1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing?

2. Harus kencing lagi padahal belum ada setegah jam yang lalu Anda

baru saja kencing?

3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan

hal ini dilakukan berkali-kali?

4. Tidak dapat menahan kenginan untuk kencing?

5. Merasakan pancaran urin yang lemah?

6. Harus mengejan dalam memulai kencing?

Untuk pertanyaan nomor 7, jawablah dengan skor dibawah ini:

0 = tidak pernah

1 = satu kali

2 = dua kali

3 = tiga kali

4 = empat kali

5 = lima kali

7. Dalam satu bulan terakhir ini, berapa kali Anda terbangun dari tidur

malam untuk kencing?

TOTAL SKOR (S)=

Pertanyaan nomor 8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan

gejala diatas, jawablah dengan:

1 = sangat senang

2 = senang

3 = puas

4 = campuran antara puas dan tidak puas

5 = sangat tidak puas

6 = tidak bahagia

7 = buruk sekali

8. Dengan keluhan seperti ini, bagaimanakah Anda menikmati hidup ini?

Kesimpulan: S …, L …, Q …, R …, V …

(S = skor I-PSS, L = kualitas hidup, Q = pancaran urin dalam ml/detik, R =

sisa urin, V = volume prostat)

16

Skor International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score

(IPSS) merupakan salah satu skor gejala prostat yang dikembangkan oleh The

American Urological Association (AUA) dan telah disetujui oleh WHO untuk dipakai

secara luas. IPSS merupakan kuesioner berisi 7 index gejala traktus urinarius bagian

bawah yaitu 4 gejala obstruksi seperti kecing tidak puas (incomplete emptying),

kencing terputus-putus (intermittency, pancaran kencing lemah (weak stream), dan

kencing mengejan (straining) serta 3 gejala iritasi seperti sering kencing (frequency),

tidak dapat menunda kencing (urgency), dan kencing malam hari (nocturia).

IPSS mempunyai manfaat untuk menilai tingkat keparahan gejala,

menentukan cara penanganan, mengevaluasi perkembangan penyakit pada penderita

yang menjalani pengawasan, menilai hasil terapi, menilai pengaruh gejala yang

dialami penderita terhadap kualitas hidup, dan sebagai alat pengukuran yang

konsisten dan telah teruji sehingga memungkinkan untuk membandingkan satu

penderita dengan penderita lain.

Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,2,5.

Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan

untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat

berkisar skor < 10 (BPH bergejala ringan), skor 11-20 (BPH bergejala sedang), dan

skor >20 (BPH bergejala berat). Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor

Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya.

Table 2. Skor Madsen-Iversen

SKOR MADSEN-IVERSEN

Keterangan 0 1 2 3 4

Pancaran NormalBerubah-

ubahLemah Menetes

Mengejan saat

berkemihTidak Ya

Harus menunggu saat

akan berkemihTidak Ya

BAK terputus-putus Tidak Ya

BAK tidak lampias TidakBerubah-

ubah

Tidak

lampias

1 kali

retensi

>1 kali

retensi

17

Inkontinensia Ya

BAK sulit ditunda Tidak Ringan Sedang Berat

BAK malam hari 0-1 2 3-4 >4

BAK siang hari>3 jam

sekali

Setiap 2-3

jam sekali

Setiap 1-2

jam sekali

<1 jam

sekali

2. Tanda Klinis

Lakukan pemeriksaan fisik pada umumnya dan tentukan pula status

urologisnya. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran

pada pemeriksaan colok dubur/ digital rectal examination (DRE). Ukuran dan

konsistensi prostat juga perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan

melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi. Pada BPH, prostat teraba

membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian

yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan. Sedangkan jika

didapatkan nyeri tekan, maka dapat dicurigai sebagai prostatitis.

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium:

a. Stadium I

Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai

habis. 

b. Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun

tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak

BAK atau disuria dan menjadi nocturia.

c. Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d. Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes

secara periodik (over flowin kontinen).

Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa:

Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan

ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan

harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbling (urine terus menerus

setelah berkemih), dan retensi urine akut.

18

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum Tanda-tanda vital

- Kesadaran

- Gizi

- Thorax

- Abdomen

- Extremitas

- Tekanan darah

- Nadi

- Frekuensi napas

- Suhu

Status Urologis

Ginjal Inspeksi, palpasi bimanual jika membesar

ballottement, nyeri ketok

Vesica Urinaria Jika penuh: inspeksi, palpasi, perkusi

Genitalia Externa Inspeksi dan palpasi pada penis, OUE,

testis, epididymis, vas deferens

DRE (digital rectal examination) Tonus sphincter ani, prostat, tonjolan,

konsistensi, pole atas, nodul, asimetris,

perkiraan besar

Gambar 12. Pemeriksaan colok dubur/ rectal toucher

Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini:

Rectal Gradding

19

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong:

- Grade 0: Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum

- Grade 1: Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum

- Grade 2: Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum

- Grade 3: Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum

- Grade 4: Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum 

Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing

dahulu kemudian dipasang kateter.

- Normal: Tidak ada sisa

- Grade I: sisa 0-50 cc

- Grade II: sisa 50-150 cc

- Grade III: sisa >150 cc

- Grade IV: pasien sama sekali tidak bisa kencing

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, elektrolit serum, perlu dikerjakan

sebagai dasar keadaan umum penderita. Pemeriksaan kadar gula juga perlu dikerjakan

terutama untuk mengetahui kemungkinan adanya neuropati diabetes yang dapat

menyebabkan keluhan miksi. Pemeriksaan urinalisa juga harus dikerjakan, termasuk

pemeriksaan bakteriologiknya. Adanya hematuria berarti perlu evaluasi lenjut secara

lengkap.1

Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), yang disintesis oleh sel epitel

prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific, juga merupakan salah

satu sarana untuk meramalkan perjalanan penyakit BPH. Dalam hal ini jika kadar

PSA tinggi berarti: pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH/ laju

pancaran urin lebih jelek, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut.1 Hasil PSA

yang normal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum memulai

terapi medikamentosa BPH. Sebagai pegangan penilaian PSA diinterpretasikan

sebagai berikut:

Nilai PSA dan interpretasinya

0,5-4,0 ng/ml Normal

4,0-10 ng/ml Kemungkinan Ca 20% (perlu TRUS & biopsi)

20

> 10 ng/ml Kemungkinan Ca 50% (perlu TRUS & biopsi)

Kenaikan > 20% per tahun Segera rujuk untuk TRUS & biopsi

2. Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif

pancaran urin ini dapat diperiksa dengan uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup

untuk mendapatkan flowmetrogram yang representatif paling sedikit 150 ml dan

maksimal 400 ml, yang ideal antara 200-300 ml.1

Penilaian hasil :

Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif

10-15 ml/detik : border line

10 ml/detik : obstruktif

Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, uroflowmetri

merupakan cara terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi

traktus urinarius bagian bawah.1

3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

Perkembangan teknik pemeriksaan ultrasonogarfi (USG) membawa manfaat

yang besar bagi evaluasi penderita BPH. Selain itu dengan USG ini dapat pula

diperiksa buli-buli, misalnya ada batu buli-buli, tumor buli-buli, divertikel. Juga dapat

diperiksa jumla residual urine. Terdapat beberapa macam tranducer untuk

pemeriksaan prostat yaitu suprapubic (abdominal), transrektal dan transuretral.1

Pemeriksaan rontgenologik yaitu pyelografi intravena (IVP) sekarang tidak

lagi merupakan pemeriksaan rutin untuk evaluasi penderita BPH tetapi hanya

dikerjakan secara selektif.1

4. Pemeriksaan Panendoskopi:

Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review:

Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra.

Keadaan uretra prostatika, bagian prostat mana yang membesar, panjangnya uretra

yang obstruktif karena pembesaran prostat.

Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor,

ada tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui

kapasitas buli-buli.

3.6 PATOFISIOLOGI

21

Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek

perubahannya juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi

pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan

detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih

dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli

balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang

kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar dinamakan divertikel. Fase penebalan

detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka

detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi

untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.1

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada

akhir miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak

tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi

kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin

terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan

intravesika terus meningkat dan dapat terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik

menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.

Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita

terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena

selalu terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini

dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga dapat

menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.1

22

3.7 DIAGNOSIS

Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan

tanda obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk

merasakan/meraba kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya

pembesaran prostat, benjolan keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan

(menunjukkan adanya infeksi).1

23

Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi

ginjal dan untuk penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat

atau PSA). Pada penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi

peningkatan kadar PSA, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk

menentukan apakah penderita juga menderita kanker prostat.1

3.8 DIAGNOSIS BANDING

Oleh karena proses miksi tergantung pada beberapa faktor maka faktor ini

pula yang dapat menjadi diagnosis banding BPH, yaitu:1

1. Kekuatan otot detrusor berkontraksi

Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh karena kelainan syaraf

(neurogenik bladder), misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropathy

diabeticum, sehabis operasi radikal yang mengorbankan persyarafan didaerah

pelvis, alkoholisme, penggunanan obat penenang, ganglion blocking agent,

dan obat parasimpatolitik (seperti obat yang sering dikonsumsi penderita asma

kronik).

2. Elastisitas leher vesika

24

Kekakuan leher vesika dapat disebabkan oleh proses fibrosis (bladder neck

contracture).

3. Resistensi uretra

Resistensi uretra dapat disebabkan oleh karena pembesaran prostat jinak atau

ganas, tumor dileher vesika, batu di uretra atau striktura uretra. Kelainan-

kelainan tersebut dapat dilihat bila dilakukan sistoskopi. Disamping itu,

meskipun di Indonesia jarang terjadi, obstruksi infravesikal dapat disebabkan

oleh gangguan fungsi misalnya dissynergia detrusor sfingter.

Maka setiap kesulitan miksi yang dialami penderita dapat disebabkan oleh

ketiga faktor tersebut.

Adapun penyakit-penyakit yang gejala-gejalanya menyerupai hipertofi prostat

jinak diantaranya adalah sebagai berikut berserta klinis dan pemeiksaan yang

membedakan dengan BPH:1

1. Ca Prostat

Keluhan sesuai gejala saluran kemih bagian bawah (Lower urinary tract

symptoms = LUTS), yaitu gejala obstuktif dan iritatif. Kecurigaan umumnya berawal

dari ditemukan nodul yang secara tidak segaja pada pemeriksaan rektal. Nodul yang

irreguler dan keras harus dibiopsi untuk menyingkirkan hal ini. Atau didapatkan

jaringan yang ganas pada pemeriksaan patologi dari jaringan prostat yang diambil

akibat gejala BPH. Kanker ini jarang memberikan gejala kecuali bila telah lanjut.

Dapat terjadi hematuria, gejala-gejala obstruksi, gangguan saraf akibat penekanan

atau fraktur patologis pada tulang belakang. Atau secara singkat kita anamnesa dan

kita akan dapatkan sebagai berikut :

- Terjadi pada usia >60 tahun

- Nyeri pada lumbosakral menjalar ke tungkai

- Prostatismus dan hematuri

- Rectal toucher: permukaannya berbenjol, keras, fixed

2. Prostatitis

Gejala dan tanda prostatitis akut terdiri dari demam dengan suhu yang tinggi,

kadang dengan gigilan, neri peineal atau pinggang rendah, sakit sedang atau berat,

mialgia, antralgia. Karena pembengkan prostat biasanya ada disuria, kadang sampai

retensi urin. Kadang didapatkan pengeluaran nanah pada colok dubur setelah masase

prostat. Sedangkan pada prostatitis kronis gejala dan tanda tidak khas. Gambaran

klinik sangat variabel, kadang dengan keluhan miksi, kadang nyeri perineum atau

25

pinggang. Dan diagnosa dapat ditegakan dengan diketemukan adanya leukosit dan

bakteria dalam sekret prostat. Jadi hal-hal yang perlu sekali kita perhatikan agar dapat

membedakan dengan BPH yaitu :

- Adanya nyeri perineal

- Demam

- Disuri, polaksiuri

- Retensi urin akut

- Rectal toucher: jika ada abses didapatkan fluktuasi (+)

3. Neurogenik Bladder

Adapun gejala dan tanda yamg kita peroleh dari anamnesa adalah :

- Lesi sakral 2 – 4

- Rest urin (+)

- Inkontinensia urin

4. Striktura Uretrha

Sumbatan pada uretrha dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat

menyebabkan imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktura.

Gejala khas adalah pancaran urin yang kecil dan bercabang. Gejala lain adalah iritasi

dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuri, kadang-kadang dengan infiltat, abses,

fistel. Gejala lanjut adalah retensi urin.

3.9 TATA LAKSANA

Penatalaksanaan terhadap BPH dibagi menjadi watchful waiting,

medikamentosa, minimal invasive, dan pembedahan (operatif). Hal ini dapat

didasarkan pada skor IPSS yang didapatkan dari penderita.16,17

Watchful waiting 

Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS <3). 16,17

1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar

mengurangi nokturia.

2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).

3. Mengurangi kopi.

4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil.

Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring,

uroflowmetri, dan TRUS.

5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.

26

Medikamentosa

Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).

Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu

dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi. 14,16,17

Penghambat adrenergik a-1

Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan

pada otot polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan

demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars

prostatika menurun dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan

perbaikan gejala obstruksi relatif cepat.

Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat

menimbulkan keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah

(fatique).

Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa

pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap

baik mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan

tumbuhnya volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/ hari, dan

dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/ hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/ hari.

Penghambat enzim 5a reduktase

Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga

testosteron tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi

DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein.

Obat ini baru akan memberikan perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi.

Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar serum

PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/ hari.

Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase

Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a

reduktase pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat

penurunan skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan

penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada

kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi

kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Fitoterapi

27

Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan populer diberikan di Eropa dan

baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan

seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita

pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan

penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.14

Minimal invasive

Meliputi :

1) TUBD (Transurethral Balloon Dilatation)

Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F

dengan tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika di dilatasi selama 10-30 menit.

Terapi ini dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus medius.

Terdapat perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah tindakan

walaupun secara sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah uretra prostatika

pra dan pasca tindakan.18

2) Prostat Stent

Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent

dipasang di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat. 18

3) Terapi Termal , dibagi menjadi tiga macam antara lain14:

a. Hipertermi

Kelenjar prostat dipanasi 41-45° C, dan pemanasannya dikerjakan dengan

menggunakan “probe” baik transrektal ataupun transuretral. Pemanasan dilakukan

beberapa kali dengan frekwensi 1-2 kali/ minggu. Setiap kali pemanasan berlangsung

kurang lebih satu jam.

b. TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy)

Termoterapi adalah penyempurnaan dari terapi hipertermia. Dengan

menggunakan kateter 22F yang dihubungkan dengan sumber panas mikrowave 1296

MHZ, prostat dipanaskan 45-60° C, sementara itu secara terus-menerus uretra

didinginkan sehingga mukosanya tidak rusak. Temperatur juga dipantau terus

menerus. Dengan pemanasan yang cukup tinggi tadi akan terjadi destruksi, koagulasi

dan akhirnya nekrosis. Pada termoterapi pemanasan dilakukan satu kali.

Keuntungannya adalah tidak memerlukan anestesi umum maupun regional, tetapi

peralatannya relatif mahal

c. TUNA (Transurethral Needle Ablation)

28

Dengan menggunakan alat khusus yang dimasukkan ke kelenjar prostat,

kemudian dengan microwave prostat dipanaskan sampai 120°C. Hasil yang pernah

dilakukan menunjukkan perbaikan flow maksimal dari 9 ml/ deti menjadi 17 ml/

detik. Penelitian multi senter terus dikerjakan agar mendapat kasus yang cukup

banyak untuk dapat diambilk kesimpulan guna generalisasi.

Pembedahan (operatif)

Pembedahan biasanya dilakukan terhadap penderita yang mengalami14:

- inkontinensia uri

- hematuria

- retentio uri

- infeksi saluran kemih berulang

Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan14:

1. Prostatektomi tertutup

2. Prostatektomi terbuka

Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala

serta ukuran dan bentuk kelenjar prostat.

a. TURP (Trans Urethral Resection of the Prostate)

Gambar 13. Tindakan TURP

TURP merupakan pembedahan BPH yang paling sering dilakukan. Endoskopi

dimasukkan melalui penis (uretra). Keuntungan dari TURP adalah tidak dilakukan

sayatan sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi. 88% penderita yang menjalani

TURP mengalami perbaikan yang berlangsung selama 10-15 tahun. Impotensi terjadi

pada 13,6% penderita dan 1% mengalami inkontinensia uri.18

b. TUIP (Trans Urethral Incision of the Prostate)

TUIP menyerupai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang

memiliki prostat relative kecil. Pada jaringan prostat dibuat sebuah sayatan kecil

untuk melebarkan lubang uretra dan lubang pada kandung kemih, sehingga terjadinya

29

perbaikan laju aliran air kemih dan gejala berkurang. Komplikasi yang mungkin

terjadi adalah perdarahan, infeksi, penyempitan uretra, dan impotensi.18

c. TULP (Trans Urehral Laser Prostatectomy)

Kelenjar prostat pada suhu 600-650C akan mengalami koagulasi dan pada suhu

yang lebih dari 1000C mengalami vaporisasi. Pemakaian laser ternyata lebih sedikit

menimbulkan komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi meningkatkan

perbaikan gejala miksi tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan

terapi ulang 2% setiap tahun.

d. Prostatektomi Terbuka

Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang

kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik atau di daerah perineum

(dasar panggul yang meliputi skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum

saat ini jarang digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan

mencaai 50%. Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus

dirawat selama 5-10 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-

32%, tergantung kepada pendekatan pembedahan) dan inkontinensia uri (kurang dari

1%).18

Dikenal 3 cara:

a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)

Balfied tahun 1887 pertama kali melakukan pembedahan cara ini, kemudian

oleh Sir Peter Freyer dari London dilaporkan pada kongres SIU di Paris tahun

1900.

b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)

Tahun 1945 dikenalkan oleh Terence Millin dari Inggris

Keuntungan : Sumber perdarahan jelas dan apeks prostat lebih mudah dicapai.

Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau

yang diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam.

BPH yang disertai penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih

dari 2,5 cm atau multipel dan bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan

TUR Prostat baik sarana maupun tenaga ahlinya.

c. Prostatektomi perinealis (Young)

Dalam pendekatan ini, ahli bedah menghilangkan prostat melalui sayatan di

kulit antara skrotum dan anus. Saraf-sparing lebih sulit untuk dicapai, dan

30

pendekatan ini mungkin kurang efisien jika kelenjar getah bening perlu

dihilangkan atau diperiksa sebelum prostat akan diangkat.

3.10 KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan

semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak

mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan

apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.17

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan

tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin

dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi

dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media

pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi

refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). 17

3.11 PROGNOSIS

Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap

individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera

ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker

prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomor 2

pada pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan

berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita. 17

31

BAB IV

KESIMPULAN

Semakin lanjut usia semakin banyak dijumpai pria yang menderita BPH dengan

keluhan mulai terjadi perubahan dalam berkemih, tidak bisa berkemih, sampai

keluhan yang lebih berat karena komplikasi yang terjadi akibat BPH. Diagnosis

didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pendekatan melalui

pemeriksaan penunjang yang turut berfungsi sebagai kontrol terhadap terapi yang

diberikan. Penentuan terapi yang tepat paling sering didapatkan dari hasil IPSS yang

harus dijawab oleh pasien sebelumnya. Terapi yang diberikan berupa pemberian obat-

obatan berupa penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan

fitoterapi sampai dengan tindakan invasif seperti prostatektomi terbuka, TURP, TUIP,

TULP, TUMT, HIFU, stent uretra, TUNA, dan ILC yang dipilih sesuai dengan

indikasi dan keadaan umum pasien. Pada gejala yang ringan (skor IPSS <7), penderita

BPH tidak diberikan terapi apapun melainkan hanya menjalankan program watchful

waiting dengan pemantauan IPSS secara berkala untuk menentukan terapi

selanjutnya.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Roehrborn CG, McConnell JD. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and

Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia. Dalam: Campbell’s Urology,

edisi ke-7. Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ.

Philadelphia: WB Saunders Co; 2000. p. 1297-330, 1429-52.

2. Chatelain CH, Denis L, Foo JKT, et al. Recommendations of The International

Scientific Committee: Evaluation and Treatment of Lower Urinary Tract

Symptoms (LUTS) in older man. Dalam: Chatelain Ch, Denis L, Foo JKT.

Khoury S, McConnell J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th

International Consultation on BPH. London, Health Publication Ltd; 2000. p.

519-35.

3. Lee C, Cockett A, Cussenot O, Griflith K, Isaac W, Shalken J. Regulation of

Prostatic Growth. Dalam: Chatelain CH, Denis L, Foo KT, Khoury S,

McConnell J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th International

Consultation on BPH. London, Health Publication Ltd; 2001. p.79-116.

4. Ramsey EW Elhilail M, Goldenberg SL, Nickel CJ, Norman R, Perreault JP et

al. Practice Patterns of Canadian Urologist in BPH and Prostate Cancer. J Urol

163; 2000. p. 499-502.

5. Narayan P. Neoplasma of The Prostate Gland inTanagho EA, Mc Annich JW

(eds). Smith’s General Urology. Appleton and Lange 1992; 13: p.378-9.

6. Rous SN. Anatomy of The Prostate in Rous SN (ed) Urology, A Core

Textbook 2nd edition. Blackwell Science 1996: p. 186-8.

7. Snell R. Anatomi Klinik. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis. In: Hartanto H,

Listiawati E, Suyono Y, Susilawati, Mahatmi T, Prawira J, et al, Editors.

Anatomi Klinik. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 350-2.

8. Mc Neal JE. Prostate and Prostatic Urethra: A Morphologic Study. J Urol

1972;107:1008.

9. Vaalsti A, Herronen A. Autonomic Innervation of The Human Prostate. Invest

Urol 198;17: p.293.

10. Lepor H, Gregerman M, Crosby R et al. Precise Localization of The

Autonomic Nerves from The Pelvic Plexus to The Corpora Cavernosa: A

Detailed Anatomical Study of The Adult Male Prostate. J Urol 1985; 133: p.

207-12.

33

11. Dixon JS, Gosling JA. Macro Anatomy of The Prostate in Kirby R, McConnel

JM, Fitzpatrick J, Rochborn C, Boyle P (eds). Textbook of Benign Prostate

Hyperplasia. ISIS Medical Media Oxford 1996: p. 3-10.

12. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Jakarta: EGC;

2001. p. 499-502.

13. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi

ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85.

14. Kirby R, Christmas TJ. Benign Prostate Hyperplasia, 2nd ed. Mosby

International, 1997: p. 1-6.

15. Rahardjo D, Birowo P. Karakteristik Penderita-Penderita Pembesaran Prostat

Jinak di RS.Sumber Waras dan RSCM. Submitted to MKI.

16. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign

Prostatic Hyperplasia (BPH) di Indonesia. Jakarta. 2003. p. 15-35.

17. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis, dan Penanganan.

Jakarta: 1999. p. 42-55.

18. Medicastore. [Internet] Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic

Hyperplasia). Available from: URL:

http://medicastore.com/penyakit/557/Pembesaran_Prostat_Jinak_BPH_Benign

_Prostatic_Hyperplasia.html. Accessed on: November 25, 2013.

34