Referat Blok Sistem Digestive _ Review Pertama

30
REFERAT BLOK SISTEM DIGESTIVE INTOLERANSI MAKANAN Tutor dr. Viva Ratih Bening Ati Disusun oleh Kelompok 12 Nurul Istiqomah T A G1A011029 Dinda Ika Putri G1A011064 Gilang Ananda G1A011082 Mariska Widya W G1A011093 Fitria Nurlaely G1A011101 Tri Ujiana Sejati G1A011113 Faqih Alam Ruqmana G1A011123

Transcript of Referat Blok Sistem Digestive _ Review Pertama

REFERAT BLOK SISTEM DIGESTIVE

INTOLERANSI MAKANAN

Tutor

dr. Viva Ratih Bening Ati

Disusun oleh

Kelompok 12

Nurul Istiqomah T A G1A011029

Dinda Ika Putri G1A011064

Gilang Ananda G1A011082

Mariska Widya W G1A011093

Fitria Nurlaely G1A011101

Tri Ujiana Sejati G1A011113

Faqih Alam Ruqmana G1A011123

Primadevi Laksita G1A011124

Sudjati Adhinugroho G1A009051

Fickry Adiansyah N G1A009008

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2013

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui referat berjudul

“INTOLERANSI MAKANAN“

Disusun Oleh

Kelompok 12

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas Blok Digestive

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman

Pada tanggal : Mei 2013

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

dr. Viva Ratih Bening Ati

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah swt yang atas rahmat

dan karuniaNya lah kami bisa merampungkan tugas referat kami ini yang berjudul

Intoleransi Makanan. Pembuatan referat ini merupakan salah satu dari tugas di blok

Digestive ini dalam rangka menambah pengetahuan dan keilmuan kami tentang topik

yang satu iniintoleransi makanan. Dengan pembuatan referat ini kami berharap ilmunya

bisa sampai kepada para pembaca dandapat menambah pengetahun pengetahuan

mengenai hal iniintoleransi makanan kepada para pembaca. Dalam proses pembuatan

user, 05/30/13,
Redaksional diperbaiki (DIRAPIHKAN), lembar pengesahan di lembar yang berbeda/terpisah dg judul
user, 30/05/13,
menyelesaikan
user, 30/05/13,
huruf kapital
user, 30/05/13,
bold

laporan referat ini, ucapan terimakasih kami ucapkan sampaikan kepada beliau dibawah

ini atas bimbingannya selama proses pembuatan referat:

1. dr. Viva Ratih Bening Ati selaku pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan masukan dalam penyusunan referat ini.

2. Dr. Supriyanto, Sp.A selaku preseptor yang telah meluangkan waktu untuk

mengoreksi dan menilai hasil tulisan ini

3. Teman-teman FK-Unsoed Angkatan 2011 serta semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan referat ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan.

Namun, kami telah berusaha menyusun referat ini sebaik mungkin dengan komprehensif

berdasarkan berbagai referensi baik dari jurnal, maupun teks book. Oleh karena itu,

kami mengharapkan masukan untuk menyampurnakan menyempurnakan hasil

penyususnan penyusunan referat ini.

Purwokerto, Mei 2013

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

user, 30/05/13,
halamannya jangan lupa dicantumkan setelah referat fix

Halaman Judul ………………………………………………………………..

Halaman Pengesahan........................................................................................

Kata Pengantar …………………………………………………………........

Daftar Isi………………………………………………………………………

Bab I Pendahuluan

1. Data Epidemiologi kasus intoleransi

makanan................................................................................

B. Komplikasi dari intoleransi makanan jika tidak

ditangani…………………………………………………………..

1. Teori Baru Penatalaksanaan intoleransi makanan……………………………………….

Bab II Tinjauan Pustaka

1. Tanda, Gejala dan Patofisiologi intoleransi

makanan............................................................

2. Pemeriksaan Penunjang yang

dibutuhkan........................................................................

3. Penegakan Diagnosis ............................................................................

4. Rencana Terapi medikamentosa dan medikamentosa intoleransi

makanan .....................................................................................

5. Prognosis……………….. ....................................................................

6. Komplikasi………… ...........................................................................

Bab III Pembahasan

1. Teori Baru penatalaksanaan intoleransi makanan

……………………………………………………………..

2. Kelebihan dan Kekurangan Teori Baru dibandingkan teori sebelumnya

……………………………….

3. Harapan Terhadap Teori Barupenatalaksanaan yang lebih baik

………………………………………...

Bab IV Kesimpulan

Kesimpulan …………………………………………………………………...

Daftar Pustaka..................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1. Data Epidemiologi

Berdasarkan data populasi, case control study, wawancara dilakukan untuk

memperoleh informasi rinci tentang food allergy/food intolerance FA / FI dan

riwayat penyakit atopik. Selain itu, skin prick test dilakukan dengan 10 makanan

umum dan sembilan makanan aeroallergen (Schäfer T. et al, 2002).

Secara keseluruhan, 20,8% dari 1537 subjek yang diteliti (50,4%

perempuan, usia rata-rata 50 tahun) melaporkan FA / FI (perempuan 27,5%, laki-

laki 14,0%, OR 2,35, CI 1,80-3,08). Kacang-kacangan, buah-buahan, dan susu yang

paling sering menyebabkan efek samping dan manifestasi klinis oral (42,9%), kulit

(28,7%), gastrointestinal (13,0%), sistemik (3,2%), dan multipel (12,2%).

Seperempat dari subyek (25,1%) yang peka terhadap setidaknya satu alergen

makanan dalam skin prick test, dengan hazelnut (17,8%), seledri (14,6%), dan

kacang tanah (11,1%) dihitung untuk sebagian besar reaksi positif. Perkiraan

frekuensi yang sesuai untuk dasar studi representatif (n = 4178) adalah 15,5% untuk

efek samping dilaporkan dan 16,8% untuk sensitisasi alergi. Hubungan sensitisasi

terhadap makanan dan aeroalergen diamati. Subyek alergi makanan (riwayat positif

dan sensitisasi terhadap alergen yang sesuai) menderita secara signifikan lebih

sering terkena urtikaria, asma, eksim atopik, dan terutama demam (73,1%)

dibandingkan kontrol (3,0%). Selanjutnya, demam ditemukan secara signifikan lebih

sering pada subyek yang menderita alergi makanan bersamaan. FA / FI pada orang

dewasa sering dilaporkan dan dikaitkan dengan manifestasi atopic (Schäfer T. et al,

2002).

2. Kemungkinan Komplikasi

Komplikasi yang bisa timbul dari intoleransi makanan jika tidak ditangani antara

lain:

1. Intoleransi laktosa

2. Migrain

3. Diabetes millitus

4. Hernia umbilikalis

5. Hernia inguinalis (Schwartz, 1995)

6. Sekilas Teori Baru Tata Laksana

user, 30/05/13,
teori baru penatalaksanaan intoleransi makanannya mana dek?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

[1.] Tanda, dan Gejala Klinis serta patofisiologi dan Patofisiologiintoleransi makanan

Berikut adalah tanda yang biasanya muncul pada intoleransi makanan:

1. Merasa Lelah atau Letih

Orang yang merasa terlalu lelah dan lesu meskipun baru saja selesai makan,

mungkin memiiliki sensitivitas terhadap makanan tertentu yang baru saja

dimakannya. Cara terbaik untuk mengetahui penyebabnya adalah dengan

memperhatikan bagaimana makanan yang berbeda mempengaruhi tubuhnya.

2. Perut Kembung

3. Sakit kepala kronis

4. Sembelit atau diare

5. Jantung berdetak cepat

6. Ruam atua gatal pada kulit

7. Perubahan suasana hati

user, 30/05/13,
Patofisiologinya gimana?
user, 30/05/13,
Sumber referensinya mana?

Gambar 1. Reaksi Intoleransi Makanan

Makanan yang kita makan masuk ke tubuh. Dalam beberapa makanan,

khususnya yang mengandun protein, di beberapa orang dapat menimbulkan reaksi

simpang makanan. Reaksi simpang makanan menimbulkan efek toksis pada tubuh

yaitu keracunan makanan yang dikompensasi pada tubuh pada umumnya berupa

rasa mual, muntah, dll. Pertama kali makan makanan yang mengandung protein,

sistem kekebalan tubuh merespon dengan menciptakan melawan penyakit spesifik

antibodi (disebut imunoglobulin E atau IgE). Ketika Anda makan makanan lagi, itu

memicu pelepasan IgE antibodi dan bahan kimia lainnya, termasuk histamin, dalam

upaya untuk mengusir protein “penyusup” dari tubuh Anda. Histamin kimia yang

kuat yang dapat mempengaruhi sistem pernapasan, saluran pencernaan, kulit, atau

sistem kardiovaskular. Alur kejadian intoleransi makanan berbeda dengan alur

kejadian reaksi simpang. Intoleransi makanan timbul akibat terlepasnya histamin

melalalui reaksi non imunologis. Enzim saluran pencernaan berperan dalam proses

ini. Orang dengan intoleransi makanan mungkin tidak memiliki gejala kecuali jika

mereka makan sebagian besar makanan atau makan makanan sering. Sebagai

contoh, seseorang dengan intoleransi laktosa dapat minum kopi atau susu dalam

segelas susu, tapi menjadi sakit jika dia minum beberapa gelas susu (Arisman, 2008)

user, 05/30/13,
Jangan dijadikan satu paragraf karena terlalu panjang
user, 05/30/13,
Gambarnya tidak muncul.

8. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji Kulit

1. Uji gores (scratch test), uji tusuk (prick skin test) dan uji suntik intradermal

2. Uji kulit positif jika tumbuh indurasi, diameter >3mm

3. Laboratorium

RAST (Radio Allergosorbent Test)

4. Diet Eliminasi dan Uji Provokasi

1. Mulai dari makanan netral/hipoalergenik

2. Makanan yang dicurigai dieliminasi selama 5 hari, kemudian diuji Provokasi

3. Uji Provokasi Buta Ganda (UPBG)

Merupakan uji Standar Terbaik. Jika hasil negatif menyingkirkan diagnosa intoleransi

makanan (Davey, 2002).

4. Penegakan Diagnosis

Bergantung pada riwayat medis pasien, penyebab fungsional atau struktural dari

intoleransi makanan dapat dicurigai. Sebuah program dasar diagnostik yang cocok

kemudian akan dilakukan. Keseluruhan penuh tatacara diagnostik tidak akan

diperlukan untuk setiap pasien, tetapi harus diterapkan pada kasus per kasus

dengan mengacu pada riwayat penyakit, temuan klinis dan kemungkinan diagnosis

banding, serta temuan sebelumnya. Diagnostik prosedur pencitraan seperti

endoskopi, histologi, dan pemeriksaan tinja dapat membantu dalam mendiagnosis

penyakit etiologi struktural yang melibatkan berbagai jenis makanan intoleransi,

seperti intoleransi lemak pada pasien dengan batu empedu, refluks esofagitis, atau

insufisiensi pankreas. Tes laboratorium yang digunakan, misalnya, untuk

mendeteksi eosinofilia, peningkatan aktivitas inflamasi, atau defisiensi antibodi IgA,

user, 05/30/13,
Penjelasan mengenai indikasi masing2 pemeriksaan dan nilai normalnya mana?

dan tes autoantibodi (transglutaminase, antibodi anti-enterocyte dll) dapat

memberikan bukti, misalnya terdapat penyakit usus inflamasi kronis atau

adanyainfeksi (Zopf, 2009).

Dalam banyak kasus, alergi atau intoleransi makanan hanya berkembang

selama adanya berbagai penyakit yang mendasari Beberapa individu dengan

penyakit radang usus kronis, misalnya mengalami, perut kembung, dan diare

setelah menelan susu karena kekurangan lactase. Intoleransi harus diidentifikasi

pada tahap awal, karena gejala akan memperburuk selama perjalanan penyakit

dan menyulitkan manajemen diet dan karenanya jauh membahayakan kualitas

hidup seseorang . Masalah diagnostik utama adalah bahwa saat ini adalah sering

berusaha hanya untuk mengecualikan penyakit struktural dengan cara tes

diagnostik serologi atau instrumental, sedangkan deteksi positif gangguan

fungsional sering tetap tidak memadai. Penyakit etiologi struktural dipahami untuk

memasukkan patologi organ utama dari pencernaan saluran (seperti achalasia),

sedangkan penyakit fungsional ditandai dengan morfologi normal tetapi

penurunan fungsional yang terisolasi (seperti defisiensi laktase) (Zopf, 2009).

1. Malabsorpsi karbohidrat

Penyerapan karbohidrat secara signifikan dipengaruhi oleh gangguan

seperti defisiensi laktase (intoleransi susu gula) dan penyakit yang

mempengaruhi pengangkutan tertentu mono-dan disakarida. Penurunan dari

pencernaan dan penyerapan karbohidrat sederhana adalah penyakit paling

umum pada non- imunologi intoleransi makanan pada penduduk di Eropa

(malabsorpsi laktosa, fruktosa, sorbitol). Karbohidrat tidak dapat diserap di

usus halus pasien dengan defisiensi laktase atau cacat transportasi (seperti

GLUT 5 dalam transportasi fruktosa, atau GLUT 2 untuk transportasi glukosa,

galaktosa dan fruktosa) dan karena itu zat makanan mencapai usus besar

dalam bentuk osmotik aktif. Di sini, mereka dimetabolisme oleh bakteri

pengurai menjadi asam lemak rantai pendek, metana, karbon dioksida, dan

hidrogen yang dapat menginduksi perut kembung, sakit perut,dan diare.

Karena banyak makanan mengandung karbohidrat,intoleransi karbohidrat

dalam bentuk malabsorpsi fruktosa, sorbitol dan laktosa dapat menyebabkan

banyak intoleransi yang tidak dapat dibedakan tanpa pengetahuan yang

tepat tentang makanan yang merangsang (Zopf, 2009).

2. Pertumbuhan bakteri usus kecil

Jika tes napas H2 untuk fruktosa, laktosa dan sorbitol (dan

kemungkinan laktulosa) yang positif, pertumbuhan bakteri yang berlebihan

dari usus kecil harus dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab

intoleransi makanan. Seperti malabsorpsi karbohidrat , kondisi ini sering

menyebabkan perut kembung, diare, dan nyeri pada pola yang nonspesifik

yang melibatkan berbagai makanan. Pasien dengan perubahan pasca operasi,

gangguan peristaltik, diabetes mellitus, dan pasien yang dengan obat

immunosuppressives atau inhibitor pompa proton yang terutama

terpengaruh. Sebuah tes napas H2 untuk glukosa harus dilakukan untuk

menyingkirkan adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan usus halus

(Zopf, 2009).

3. Intoleransi histamin

Intoleransi histamin disebabkan oleh gangguan dari metabolisme

terutama histamin yang disediakan secara eksogen (makanan kaya histamin).

Makanan ini terutama makanan yang diproduksi dengan bantuan mikroba

misalnya keju matang, acar kubis, anggur merah dan makanan tinggi protein

yang terkontaminasi mikroba misalnya ikan tuna, mackerel, sosis). Ini adalah

hal yang paling umum dikaitkan dengan kekurangan enzim diaminoxidase

(DAO) yang bertanggung jawab atas biotransformasi ekstraseluler histamin

(Giera, 2008). Tapi histamin-N-methyltransferase (HNMT) bertanggung jawab

untuk memecah histamin intraseluler mungkin juga terlibat. Gejala

intoleransi histamin sangat variabel dan mempengaruhi hampir semua organ.

Ini berkisar dari efek kulit khas histamin (eritema, pruritus, flush, urtikaria),

keluhan gastrointestinal (perut kembung, kolik, diare), keluhan pernafasan

(obstruksi hidung, rhinorrhea, serangan asma), komplikasi jantung (hipo-dan

hipertensi, aritmia) untuk sakit kepala atau dismenore (Jarisch, 2004).

Peningkatan sedikit konsentrasi histamin pada kisaran normal sudah

menyebabkan terjadinya vasodilatasi, peningkatan sekresi cairan lambung

dan lendir, dan kontraksi otot polos. Peningkatan lebih lanjut dapat

menyebabkan takikardi, aritmia, dan kulit khas reaksi. Ada juga mungkin

hipotensi, bronkospasme dan, dengan peningkatan pesat dalam konsentrasi

histamin, shock atau cardiac arrest. Sekresi asam lambung dan kontraksi otot

polos yang sudah dimulai ketika ada sedikit peningkatan histamin

menjelaskan mengapa banyak orang dengan intoleransi makanan dan alergi

dalam bentuk apapun memiliki gejala perut tidak spesifik seperti dispepsia,

sensasi kembung dan ketegangan atau rasa sakit. (Giera, 2008).

Gambar 2. Alur Diagnostik Intoleransi Makanan (Zopf, 2009).

user, 30/05/13,
Gambar tidak muncul

4. Rencana Terapi

Non medikamentosa.

Intoleransi makanan bisa dicegah dengan mengatur pola makan dan gaya hidup,

antara lain:

1. Diet eliminasi dan provokasi bukan untuk menegakkan, tapi untuk menegakkan

diagnosa

2. Penanganan intoleransi makanan terutama pengetahuan pasien dan keluarga

bagaimana menghindari intoleransi makanan

3. Kontrol rutin ke dokter

4. Diit tingggi

5. Untuk susu jika alergi dengan laktosa bisa diganti dengan susu soya (WHO, 2000)

Medikamentosa

Untuk penyakit intoleransi makanan dapat diberikan obat-obatan jika sudah sangat

mengganggu fungsi tubuh. Obat-obatan yang biasanya digunakan antara lain:

1. Obat-obatan Simtomatis

2. Anti Histamine (AH1 dan AH2)

3. Ketotifen

4. Ketotofen

5. Kortikosteroid

6. Inhibitor sintesaprostaglandin

7. Epineprine (WHO, 2000)

8. Prognosis

user, 05/30/13,
Bagaimana dosis & cara penggunaannya?
user, 05/30/13,
Bedanya apa?
user, 05/30/13,
Meliputi apa saja
user, 05/30/13,
Diit tinggi apa?
user, 05/30/13,
MAKSUDNYA?

Prognosis dari intoleransi makanan tergantung dari seberapa parahnya kondisi

pasien atau organ-organ mana saja yang sudah terkena, namun pada umumnya

baik. Hindari makan-makanan yang mengundang resiko dan kontrol sejak dini dapat

memperbaiki prognosis (Schwartz, 1995).

9. Komplikasi

Komplikasi yang bisa timbul antara lain:

10. Intolerans laktosa

11. Migrain

12. Diabetes millitus

13. Hernia umbilikalis

14. Hernia inguinalis (Schwartz, 1995)

user, 05/30/13,
Bagaimana mekanismenya sehingga dapt menyebabkan komplikasi ini

BAB III

PEMBAHASAN

[1.] Penjelasan teori baru mengenai penatalaksanaan intoleransi makanan terbaru

Intoleransi makanan terdapat berbagai macam dan penatalaksanaan

terbarunya pun satu sama lain berbeda. Berbagai macam intoleransi makanan dan

penatalaksanaannya, diantaranya:

1. Intoleransi glukosa

Intoleransi glukosa umumnya didapatkan pada diebetes melitus tipe 1

dan 2, diabetes dengan tipe lain, gestasional DM, dan gangguan tolerasni

glukosa.

Non medikamentosa

1. Diet makanan berdasarkan berat dan tinggi badan, tingkat aktivitas fisik, dan

kebutuhan kalori dan nutrisi.

2. Latihan fisik sesuai dengan kemampuan pasien dan kesehatan umumnya.

3. Konseling yang berkaitan dengan berhenti merokok dan konsumsi alkohol

4. Reversing narkoba, penyebab iatrogenik intoleransi glukosa

5. Mengganti atau menambahkan bahan yang tidak mempengaruhi toleransi

glukosa

Pemantauan jangka panjang termasuk memastikan kepatuhan

pengobatan, mengidentifikasi efek samping, glukosa darah dan pemantauan

HbA1c, konsultasi diet dan langkah-langkahnya, dan manajemen olahraga

(Olatunbosun, 2012) .

Terapi farmakologis mungkin diperlukan ketika glukosa puasa> 126 mg /

dL, Hiperglikemia Selain konseling gaya hidup, metformin dapat

dipertimbangkan untuk pencegahan diabetes tipe 2 pada individu dengan

gangguan tolerasni glukosa ditambah faktor risiko lain (misalnya, HbA1c> 6%,

hipertensi, tingkat HDL rendah, tingkat trigliserida naik , dan riwayat keluarga

diabetes(Olatunbosun, 2012) .

6. Intoleransi protein

Pengobatan definitif intoleransi protein adalah menghindari makanan

yang menyebabkan intoleransi dari diet.

1. ASI adalah pilihan pertama bayi tanpa intoleransi laktosa. Ibu harus

menghilangkan susu sapi (dan akhirnya telur dan ikan atau makanan lainnya

terlibat) dari dietnya (Nocerino, 2012).

2. Sebanyak 50% anak-anak dipengaruhi oleh intoleransi protein susu sapi

menjalar ke intoleransi protein kedelai jika mereka diberi makan dengan

formula berbahan dasar kedelai. Oleh karena itu, formula berbasis kedelai tidak

boleh digunakan untuk pengobatan protein intoleransi susu sapi (Nocerino,

2012).

3. Gunakan susu hidrolisat protein lengkap pada bayi yang tidak dapat disusui.

Kadang, ketika terjadi mengembangan intoleransi terhadap hidrolisat protein

lengkap, maka penggunaan formula berbasis asam amino diperlukan(Nocerino,

2012).

4. Eosinophilic gastroenteritis dapat menunjukkan perbaikan klinis dan histologis

setelah terapi kortikosteroid oral. Steroid topikal, diberikan sebagai

kortikosteroid inhalasi, juga telah menunjukkan efek yang

menguntungkan(Nocerino, 2012).

5. Pada bulan Februari 2011, Journal of Allergy and Clinical Immunology

menerbitkan rekomendasi konsensus diperbarui untuk eosinophilic esophagitis

pada anak-anak dan orang dewasa . Menurut jurnal ini, pengobatan melibatkan

terapi diet dari 3 rejimen yaitu: penggunaan ketat berbasis formula asam amino,

diet pembatasan berdasarkan tes alergi, atau pembatasan diet untuk

menghilangkan antigen makanan yang paling mungkin. Pada intoleransi protein

direkomendasikan steroid topikal dapat dipertimbangkan untuk terapi baik awal

dan pemeliharaan. Pengobatan dengan natrium kromolin, antagonis reseptor

leukotrien, dan agen imunosupresif tidak dianjurkan. Kortikosteroid topikal atau

oral dan intranasal digunakan untuk mengobati gejala dermatologi atau

pernapasan yang terkait dengan intoleransi protein. Antihistamin dan

bronchodilatators inhalasi digunakan sesuai untuk kasus-kasus ringan

hipersensitif (Nocerino, 2012).

6. Intoleransi lactosa

Pengobatan intoleransi laktosa yang disebabkan oleh defisiensi laktase primer

dapat diberikan susu rendah/ bebas laktosa tergantung dengan toleransinya.

Penambahan laktase/ yogurt ke dalam susu juga dapat dilakukan. Pada bayi prematur

defisiensi laktase hanya transient sehingga pemberian ASI dapat diteruskan(Sinuhaji,

2006).

Hal tersebut berbeda jika intoleransi laktosa disebabkan oleh defisiensi laktase

sekunder (kerusakan mukosa misal pada gastroenteritis). Pada intoleransi tipe ini

pemberian ASI tetap diberikan karena masih dapat ditoleransi. Intoleransi laktosa ini

dapat berlangsung sampai 4 bulan. Intoleransi laktosa Gastroenteritis wajar diberikan

susu yang diencerkan dan susu yang rendah/ bebas laktosa namun dapat menemui

kegagalan dan sedikit manfaatnya pada anak diare (Sinuhaji, 2006).

Bentuk utama terapi untuk pasien dengan intoleransi laktosa adalah penyesuaian

diet. Edukasi pasien untuk mengurangi atau membatasi produk yang mengandung

laktosa sangat diperlukan. Susu Prehydrolyzed (Lactaid) tersedia dan efektif. Yogurt dan

produk fermentasi, seperti keju, ditoleransi lebih baik daripada susu biasa. Susu yang

mengandung kedelai atau produk makanan yang mengandung kedelai ditoleransi

dengan baik. Preparat enzim laktase (misalnya, Lactaid, Lactrase) efektif dalam

mengurangi gejala, namun mungkin tidak efektif pada beberapa pasien. Konsumsi

suplemen kalsium juga harus dianjurkan (Roy ,2013).

7. Intoleransi fruktosa

Pengobatan definitif berupa menghindari konsumsi fruktosa. Konsumsi

fruktosa yang dihindari pada awal perjalanan penyakit dapat mengembalikan

kesehatan anak dampak dalam beberapa hari. Namun, pada anak dengan

hepatomegali mungkin memerlukan beberapa bulan untuk mengembalikannya.

Jika diperlukan, konsultasi bisa dilakukan dengan ahli genetika biokimia dan ahli

gizi (Roth, 2012).

Pemantauan diet untuk mendapatkan hasil yang baik harus mencakup

setidaknya setengah tahun kunjungan ke ahli genetika biokimia dan pertemuan

bulanan dengan ahli gizi. Hal ini untuk memantau peningkatan aktivitas

aspartylglucosaminidase (AGA) dapat digunakan dalam tindak lanjut dari pasien

dengan intoleransi fruktosa herediter (Roth, 2012).

8. Penjelasan kekurangan dan kelebihan teori baru tersebut dibanding teori

sebelumnya

Pada penatalaksanaan terbaru tersebut penanganannya lebih spesifik

dibanding dengan teori lama yang hanya mengedukasi untuk tidak mengkonsumsi

segala bahan makanan yang mengandung zat intoleran tersebut dan tidak

memberikan alternatif yang lainnya. Pada penatalaksanaan terbaru telah terdapat

zat alternatif yang bisa menggantikan zat intoleran tersebut.

9. Harapan

user, 05/30/13,
Harapan yang dimaksud adalah penatalaksanaan dari intoleransi makanan yang lebih baik itu yang seperti apa, karena tidak semua teori baru dalam penatalaksanaan intoleransi makanan dianggap baik.

BAB IV

KESIMPULAN

1. Intoleransi makanan biasanya diakibatkan oleh kelainan strukturan atau fungsional pada orga terkait

2. Reaksi yang timbul akibat intoleransi makanan dapat diperantarai oleh reaks imunitas, dapat juga tidak diperantarai. Jika diperantarai oleh reaksi imunitas berlebih, hal itu bisa disebut alergi makanan.

3. Pengobatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi penyakit ini, sejauh ini adalah menghindari bahan makanan yang ttidak bisa ditoleransi tersebut

DAFTAR PUSTAKA

Arisman, MB. 2008. Keracunan Makanan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC

Davey, Patrick. 2002. At a Glance Medicine. 2002. Jakarta: EMS

Giera B; Straube S.; Konturek P.; Hahn E.G.; Raithel M. 2008. Plasma histamine levels and symptoms in double blind placebo controlled histamine provocation. Inflamm Res 2008; 57 Suppl 1: S73–4.

Jarisch R GM; Hemmer W.; Missbichler A.; Raithel M; Wantke F. 2004 .Histamin-Intoleranz. Histamin und Seekrankheit.. New York. Thieme Verlag: Aufl. Stuttgart

Olatunbosun,Samuel T et al. 2012. Glucose Intolerance. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/119020-treatment

Nocerino ,Agostino. 2012. Protein Intolerance Treatment & Management. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/931548-treatment

Roth, Karl S et al. 2012. Fructose 1-Phosphate Aldolase Deficiency (Fructose Intolerance) Treatment & Management. Available at: http://reference.medscape.com/article/944548-treatment

Roy , Praveen K et al. 2013. Lactose Intolerance. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/187249-overview

Sinuhaji, Atan Baas. 2006. Intoleransi Laktosa. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No.39 Desember 2006

Schwartz, M. William. 1995. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC

WHO. 2000. Penyakit Bawaan Makanan : Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta: EGC

Zopf, Yurdagül; Hanns-Wolf Baenkler; Andrea Silbermann; Eckhart G. Hahn; Martin Raithel. 2009. The Differential Diagnosis of Food Intolerance. Deutsches Ärzteblatt International 2009; 106(21): 359–70.