REFERAT BEDAH
-
Upload
agung-nugroho -
Category
Documents
-
view
98 -
download
11
Transcript of REFERAT BEDAH
1
I. PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat ini dapat
membawa dampak positif sekaligus negatif. Industri otomotif merupakan salah
satu industri yang sangat pesat pertumbuhanya di dunia, seiring dengan
meningkatnya arus mobilisasi masyarakat dunia. Perekonomian yang semakin
membaik dan peran perusahan-perusahan pembiayaan kredit kendaraan bermotor
juga turut andil dalam meningkatkan daya beli masyarakat terhadap kendaraan
bermotor.
Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia berdasarkan data dari Badan
Pusat Statistik (BPS), sampai tahun 2008 jumlah total seluruh kendaraan
bermotor di Indonesia mencapai 65.273.451 buah. Jumlah ini hampir meningkat 2
kali lipat dibandingkan tahun 2005, yaitu sebesar 38.156.278 buah. Kendaran
bermotor jenis sepeda motorlah yang paling mendominasi jumlah kendaraan
bermotor di Indonesia, yaitu hampir 82,46% Pertambahan jumlah kendaraan
bermotor tidak diimbangi dengan pertambahan sarana jalan. Sebagai
perbandingan jika total kendaraan bermotor selama tahun 2002-2006 tumbuh
sebesar 24,41%, maka total jalan hanya tumbuh 1,98%. Perbandingan yang tidak
seimbang ini membuat angka kecelakaan lalu lintas semakin meningkat dari tahun
ke tahun (BPS, 2008).
Fraktur merupakan masalah kesehatan yang menimbulkan kecacatan paling
tinggi dari semua trauma kecelakaan bermotor. Fraktur antebrachii merupakan
salah satu fraktur yang paling sering terjadi pada saat kecelakaan, karena pada
saat terjadi trauma dan terjatuh, seseorang biasanya menggunakan lengan
bawahnya untuk bertumpu yang akhirnya sering menimbulkan suatu perpatahan.
Fraktur ini jika tidak mendapat penanganan yang baik akan mengakibatkan hal-
hal yang tidak diinginkan dan dapat menyebabkan komplikasi yang
dapat memperburuk keadaan. Masalah-masalah tersebut tentunya
dapat berdampak bagi hilangnya fungsi kerja dan aktifitas sehari-
2
hari, ditambah perawatan dirumah sakit yang lama juga berdampak
tidak baik dari segi ekonomi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Sedangkan menurut Prof. Chairuddin Rasjad,
MD, Ph.D, fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Fraktur
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari
tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap
(Rasjad, 2008)
2. Etiologi Fraktur Pada Tulang Panjang
Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan
tekanan memuntir (shearing). Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan
tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan
tarikan.
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring. Fraktur dapat bersifat komunitif
dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. Pada fraktur jenis ini
biasanya jaringan lunak tetap utuh.
3
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan (Rasjad, 2008).
3. Klasifikasi Fraktur
A. Klasifikasi Etiologis :
1. Fraktur traumatik terjadi karena trauma yang tiba – tiba
2. Fraktur patologis. Fraktur ini terjadi akibat adanya kelainan atau penyakit
yang menyebabkan kelemahan pada tulang. Fraktur patologis dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma ringan.
3. Fraktur stress terjadi karena adannya trauma yang terus menerus pada
suatu tempat tertentu atau stress yang kecil dan berulang-ulang pada
daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress jarang sekali
ditemukan pada anggota gerak atas.
B. Klasifikasi Klinis :
1. Fraktur tertutup (simple fracture) adalah suatu fraktur yang tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka (compound fracture) adalah fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar sehingga terjadi kontaminasi bakteri
sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. Klasifikasi fraktur terbuka
menurut Gustilo, Merkow dan Templeman (1990), yaitu:
a. Tipe 1
Laserasi kurang dari 2 cm. Fraktur sederhana dan dislokasi
fragmen minimal
b. Tipe 2
Laserasi lebih dari 2 cm dan terdapat kontusi otot disekitarnya.
Dislokasi fragmen jelas.
c. Tipe 3
4
Luka lebar, rusak hebat, atau hilangnya jaringan disekitarnya.
Fraktur kominutif, segmental, dan fragmen tulang ada yang hilang.
Tipe 3 dibagi lagi dalam 3 subtipe:
1. Tipe III A
jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun
terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap. fraktur
bersifat segmental atau komunitif yang hebat
2. Tipe III B
fraktur di sertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan
dan kehilangan jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang
terbuka, kontaminasi yang hebatserta fraktur komunitif yang
hebat.
3. Tipe III C
fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang
memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan
jaringan lunak. (De jong, 2005)
Klasifikasi fraktur terbuka juga dapat dinilai dari sistem skoring
sardjito (SSS), dengan memberikan skoring pada variabel yang meliputi
kerusakan kulit, kerusakan otot, kondisi tulang, kondisi neurovaskuler dan
derajat kontaminasi, kemudian skor dijumlahkan.
Batasan Skor
I. Skin damage. A. Wound:
< 5 cm long (in-out) 5-10 cm > 10 cm
B. Condition of skin No devitalized edge of wound without
contution Contused edge of wound/subcutans or with
small area of degloving Large area of degloving or skin loss or skin
avulsion
123
1
2
3
5
II. Muscle damage
No muscle contusion or sircumscribed muscle contusion or partial rupture
Total rupture of one compartement muscle Muscle deffect with extensive muscle crush
1
23
III. Bone damage
Simple fracture: transverse, oblique, spiral, butterfly, or with little cominution
Simple fracture with gross displacement, segmental fracture (little displaced), or moderate cominution
Gross comminution, boneloss defect
1
2
3
IV. Neurovascular damage
No neurovascular trauma Isolated neurovascular trauma Extensive neurovascular trauma
123
V. Contamination
No particle Only superficial particle Deep particle
51015 *
*Add one for public waterring accident or from farm accident or treated after golden period (deep particle score 15+1=16)
Interpretasinya adalah skor 10 untuk fraktur terbuka grade I, skor 11-20
untuk fraktur terbuka grade II, skor 21-30 untuk fraktur terbuka grade
III. Grade III A bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan lunak, grade
III B bila terdapat expose fragmen fraktur, dan grade III C bila terdapat
kerusakan pembuluh darah (Rasjad, 2008).
3. Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture) adalah fraktur yang
disertai dengan komplikasi misalnya malunion, delayed union,
nonunion, infeksi tulang
C. Klasifikasi Radiologis :
6
1. Klasifikasi ini berdasarkan atas :
a. Lokalisasi: Diafisial, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan
dislokasi.
b. Konfigurasi
Fraktur transversal, Fraktur oblik, Fraktur spiral, Fraktur kupu –
kupu, Fraktur segmental dan Fraktur komunitif (fraktur lebih dari
dua fragmen)
Gambar 2.1 Tipe FrakturSumber: http://www.hughston.com
c. Menurut Ekstensi Fraktur total, Fraktur tidak total, Fraktur buckle
atau torus, Fraktur garis rambut, dan Fraktur green stick
d. Menurut hubungan antar fragmen dengan fragmen lainnya
Tidak bergeser (undisplaced) Bergeser (displaced), dapat terjadi
dalam 6 cara: bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, over-riding
dan impeksi (Terrel, 2009)
4. Patofisiologi Fraktur
7
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya Struktur tulang berubah sangat lambat terutama setelah
periode tulang berakhir. Setelah fase ini perubahan tulang lebih banyak terjadi
dalam bentuk perubahan mikroskopik akibat aktivitas fisiologis tulang sebagai
suatu organ biokimia utama tulang. (Bareen, 1997).
8
Gambar 2.2 .Patofisiologi frakturSumber: www.boneandspine.com
5. Proses Penyembuhan Fraktur
Pada permulaan akan terjadi perdarahan disekitar patahan tulang yang disebut
hematom. Hematom akan menjadi media pertumbuhan sel jaringan fibrosis
dan vaskuler, dimana tahap ini disebut fase jaringan fibrosis. Didalam
jaringan fibrosis dan hematom kemudian tumbuh sel jaringan mesenkim yang
bersifat osteogenik. Sel ini nantinya akan berubah menjadi kondroid dan
osteoid. Pada tahap selanjutnya akan terjadi proses osifikasi. (De Jong, 2004)
6. Diagnosis Fraktur
Diagnosis fraktur ditegakkan pertama kali dari anamnesis terhadap
pasien. Pasien biasanya mengeluh sakit saat menggerakkan salah satu anggota
badannya, atau merasa ada kelainan bentuk. Riwayat kecelakaan biasanya
selalu didapatkan pada pasien dengan kecurigaan fratur, namun perlu
hdiperhatikan juga pasien dengan usia tua atau mempunyai riwayat penyakit
keganasan.
Pemeriksaan fisik kemudian dilakukan untuk mendukung diagnosis
fraktur. Pemeriksaan ini meliputi inspeksi, palpasi, dan gerakan aktif maupun
pasif. Pada inspeksi dapat terlihat adanya ketidaksimetrisan pada kontur atau
postur, pembengkakan, dan perubahan warna lokal. Pasien merasa kesakitan,
mencoba melindungi anggota badannya yang patah, terdapat pembengkakan,
perubahan bentuk berupa bengkok, terputar, pemendekan, dan juga terdapat
gerakan yang tidak normal. Adanya luka kulit, laserasi atau abrasi, dan
perubahan warna di bagian distal luka meningkatkan kecurigaan adanya
fraktur terbuka. Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi,
bandingkan dengan sisi yang sehat.
Pemeriksaan kedua dilanjutkan dengan palpasi. Palpasi didapatkan
nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara
objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan
nyeri tekan sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati
9
anggota badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat nyeri ini
didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama. Status neurologis dan vaskuler di
bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas
tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah
yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi yang perlu
diperhatikan pada bagian distal fraktur diantaranya, pulsasi arteri, warna kulit,
pengembalian cairan kapiler (capillary refill test), sensibilitas. Palpasi harus
dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah ada nyeri tekan, gerakan
abnormal, kontinuitas tulang, dan krepitasi. Juga untuk mengetahui status
vaskuler di bagian distal lesi. Keadaan vaskuler ini dapat diperoleh dengan
memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur. Pada tes gerakan, yang
digerakkan adalah sendinya. Jika ada keluhan, mungkin sudah terjadi
perluasan fraktur (Reksoprojo, 1997).
Pemeriksaan terhadap gerakan hendaknya dibatasi. Pemeriksaan bisa
dengan melakukan gerakan aktif maupun pasif. Pemeriksaan gerakan ini bisa
memperparah fraktur yang ada.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk lebih mengarahkan pada
diagnosis definitif patah tulang. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan foto
rontgen. Foto rontgen yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Memuat 2 gambaran, yaitu anteroposterior dan lateral.
2. Memuat 2 sendi di proksimal dan distal dari fraktur
3. Memuat 2 gambaran foto ektremitas, yaitu ekstremitas yang terkena dan
yang tidak terkena sebagai bahan pembanding. Hal ini dapat dilakukan
jika kita masih ragu-ragu untuk memastikan apakah ada fraktur atau
tidak.
4. Dilakukan foto sebanyak 2 kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah
tindakan (De Jong, 2004).
7. Terapi Pada Fraktur Secara Umum
Prinsip pertama dalam penanganan fraktur adalah perhatikan dulu
Airway, breathing, circulation and C-Spine control, disability, and exposure.
10
Pasien yang sudah stabil jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasinya, kemudian
ditangani nyerinya dan mencegah gerakan-gerakan fragmen yang dapat
merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau
bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka yang terbuka kemudian
dibersihkan dahulu dan ditutup dengan kasa yang bersih dan steril. Pada luka
yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridemen dan
irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan.
Pada luka yang luas dan dicurigai adanya kontaminasi yang berat sebaiknya
dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap
hari. Setelah 5-7 hari dan luka bebas dari infeksi dapat dilakukan penutupan
kulit secara sekunder melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari
perawatan terbuka untuk menghindari khondrolisis yaitu kerusakan pada
ephyphiseal plate akibat infeksi. Resusitasi diberikan bersamaan dengan
penanganan fraktur terbuka untuk menghindari komplikasi. Perlu diperhatikan
juga adanya tanda-tanda trauma lain yang mungkin tidak tampak dari luar,
namun bisa berakibat fatal.
Pemberian antibiotik diberikan sesegera mungkin setelah terjadinya
trauma. Antibiotik yang digunakan adalah yang berspektrum luas yaitu
sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan
aminoglikosid (gentamicin 1-2 gram/kg BB tiap 8jam) selama 5 hari.
Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan
sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan
sensitifitas terbaru.
Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris dengan
kerusakan yang hebat (berhubungan dengan kondisi luka yang dalam), luka
yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas, dan luka
dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat
imunisasi anti tetanus diberikan gamaglobulin anti tetanus manusia dosis 250
unit pada penderita usia di atas 10 tahun, 125 unit pada usia 5-10 tahun, dan
75 unit pada usia di bawah 5 tahun. Dapat pula diberikan anti tetanus dari
11
hewan dosis 1500 unit dengan tes subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika ternyata
sudah pernah mendapat imunisasi tetanus toxoid (TT), maka hanya diberikan
1 dosis boster 0,5ml secara intramuskuler (Witarti, 2007).
Penanganan frakur kemudian dilanjutkan dengan reduksi. Reduksi bisa
dilakukan secara terbuka maupun tertutup. Reduksi tertutup dilakukan dengan
menggunakan anestesi untuk fraktur dengan pergeseran minimal, dan
dilakukan dengan 3 manuver, yaitu:
1. Bagian distal tungkai ditarik ke garis tulang
2. Sementara fragmen-fragmen terlepas, fragmen tersebut direposisi (dengan
membalikkan arah kekuatan asal jika dapat diperkirakan)
3. Penjajaran disesuaikan dengan setiap bidang.
Reduksi terbuka diindikasikan apabila reduksi tertutup gagal, bila terdapat
fragmen artikuler besar yang perlu penempatan secara tepat, dan bila terdapat
fraktur traksi yang fragmennya terpisah.
Langkah kedua setelah reduksi tercapai adalah dengan imobilisasi.
Metode yang dapat digunakan dengan menggunakan traksi terus menerus,
pembebatan dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal, dan
fiksasi eksternal. Metode pertama adalah dengan traksi. Traksi dapat berupa
traksi dengan gaya berat, traksi kulit, traksi kerangka, traksi tetap, traksi
berimbang, dan traksi kombinasi (Apley, 1995).
Penggunaan gips masih banyak dilakukan untuk fraktur tungkai di
bagian distal dan untuk sebagian besar fraktur pada anak-anak. Teknik
pemasangan gips yaitu stelah fraktur direduksi maka bagian tubuh yang akan
dipasangi gips dilindungi dengan wol. Gips kemudian dipasang, dan
sementara gips mengeras, ahli bedah membentuknya agar tonjolan-tonjolan
tulang tidak tertekan (Zulyeti, 2010).
Fiksasi internal dapat menahan fraktur secara aman sehingga gerakan
dapat segera dimulai. Pasien dapat segera melatih bagian tubuhnya yang
fraktur sesegera mungkin. Indikasi fiksasi internal, yaitu:
1. Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi
12
2. Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami
pergeseran kembali setelah reduksi.
3. Fraktur yang penyatuanya kurang baik dan perlahan-lahan, terutama
fraktur pada leher femur
4. Fraktur patologik
5. Fraktur multipel
6. Fraktur pada pasien yang sulit perawatanya.
Tekniknya bisa dengan menggunakan kawat, sekrup, plat, batang intramedula,
atau kombinasi dari semua itu. Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi,
non union, kegagalan implan, dan frajtur ulang (Kinzel, 2006).
Gambar 2.3 Fiksasi internal (A. ORIF humerus dan ulna, B. ORIF ulna danradius, C. ORIF ulna, D. Fiksasi eksternal,Sumber: http://www.mja.com.au/public/issues
Fiksasi luar dapat dilakukan untuk fraktur pada femur, humerus, radius
bagian bawah, dan bahkan pada tulang-tulang pada lengan. Indikasi fiksasi
luar yaitu:
1. Fraktur yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat dimana
luka dapat dibiarkan terbuka untuk pmeriksaan, pembalutan, dan
pencangkokan kulit.
13
2. Fraktur yang disertai dengan kerusakan saraf dan pembuluh
3. Fraktur yang sangat kominutif dan tidak stabil, sehingga sebujur
tulangnya dapat dipertahankan hingga mulai penyembuhan.
4. Fraktur yang tidak menyatu, yang dapat dieksisi dan dikompresi
5. Fraktur pada pelvis yang sering tidak dapat diatasi dengan metode lain.
6. Fraktur yang terinfeksi, dimana fiksasi internal tidak mungkin cocok.
7. Cedera multipel yang berat, bila stabilisasi lebih awal mengurangi resiko
komplikasi yang berbahaya.
Prinsip fiksasi eksternal yaitu tulang ditransfiksikan di atas dan di bawah
fraktur dan sekrup atau kawat transfiksi bagian proksimal dan distal kemudian
dihubungkan satu sama lain dengan batang yang kaku (Apley, 1995).
Gambar 2.3 Fiksasi EksternalSumber: http://www.mja.com.au/public/issues
1. Komplikasi Fraktur Secara Umum
A. Sindroma Peremukan
Sindroma peremukan terjadi jika sejumlah besar masa otot remuk.
Bila kompresi dilepaskan, asam miohematin, akibat pemecahan otot,
14
dibawa oleh darah ke ginjal dan bisa menyebabkan terjadi obstruksi pada
tubulus ginjal. Pada pasien akan terjadi syok hebat. Tungkai yang tidak
dilepaskan akan memiliki nadi dan kemudian menjadi merah, bengkak,
melepuh, sensasi dan tenaga otot dapat hilang. Sekresi ginjal dapat
berkurang dan dapat terjadi uremia.Sindroma peremukan ini dapat dicegah
dengan cara tungkai yang remuk dan tidak ditangani selama beberapa jam
harus diamputasi. Amputasi dilakukan di sebelah atas dari tempat
penekanan (Apley, 1995)
B. Tetanus
Tetanus adalah sebuah penyakit toksemia akut yang disebabkan
oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama adanya kekauan otot
(spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan
oleh kumannya, tetapi disebabkan oleh toksin yang dihasilkanya
(tetanospasmin). Pada fraktur tertutup maupun terbuka yang terdapat
kerusakan jaringan kulit, maka harus dicurigai untuk bisa terkena tetanus
(Lubis, 2004).
Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung
kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat
tinggi. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat
singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi
makin buruk prognosis, hal ini menyebabkan tetanus tak segera dapat
terdeteksi. Gejala tetanus dapat dimulai pada masa inkubasi. Gejala
awanya berupa nyeri punggung. Kekakuan otot dapat terjadi satu hari
kemudian Gejala tetanus kemudian berlanjut semakin memberat dengan
adanya kejang dan trismus. Rahang menjadi terasa kaku dan mulut tidak
bisa dibuka. Kekakuan ini kemudian menyerang hampir seluruh otot
wajah, sehingga tampak menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan
otot pada sudut mulut. Otot perut juga menjadi kaku, namun tanpa nyeri.
Kekakuan yang semakin meningkat membuat kepala penderita tertarik
kebelakang (Ophistotonus), yang dapat terjadi 48 jam setelah luka. Tahap
15
lanjut dari perjalanan penyakit ini adalah terjadinya kejang refleks. Kejang
otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena
adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian
dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi
semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang
lebih sering (Witarti, 2007).
Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris dengan
kerusakan yang hebat (berhubungan dengan kondisi luka yang dalam),
luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas, dan
luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah
mendapat imunisasi anti tetanus diberikan gamaglobulin anti tetanus
manusia dosis 250 unit pada penderita usia di atas 10 tahun, 125 unit pada
usia 5-10 tahun, dan 75 unit pada usia di bawah 5 tahun. Dapat pula
diberikan anti tetanus dari hewan dosis 1500 unit dengan tes subkutan 0,1
selama 30 menit. Jika ternyata sudah pernah mendapat imunisasi tetanus
toxoid (TT), maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5ml secara
intramuskuler (Witarti, 2007).
C. Gas Gangren
Komplikasi ini disebabkan oleh infeksi kuman jenis klostridium,
terutama Clostridium welchii. Organisme anaerob ini dapat hidup dan
berkembang biak dengan baik dalam jaringandengan tekanan oksigen
yang rendah. Gas gangren ini biasanya timbul pada luka terbuka dengan
kerusakan otot yang ditutup tanpa debridemant yang memadai. Gambaran
kliniknya yaitu nyeri hebat dan adanya pembengkakan pada luka, serta
adanya sekret berwarna kecoklatan pada 24 jam setelah cedera. Gejala
umumnya adalah adanya denyut nadi yang meningkat, tapi tidak demam,
dan yang paling khas adalah adanya bau gas gangren (Apley, 1995)
7. Komplikasi Lokal Fraktur
A. Komplikasi dini pada tulang dan jaringan lunak.
16
a. Infeksi tulang
Infeksi pada tulang biasanya terjadi pada fraktur terbuka, dimana ada
hubungan antara tulang dengan dunia luar. Pada fraktur, infeksi dapat
terjadi melalui 3 jalur, yaitu:
1. Fraktur terbuka yang disertai luka yang terpajan ke lingkungan luar
2. Fraktur yang disertai hematoma, di mana bakteri dibawa oleh aliran
darah
3. Infeksi pasca operasi
Gejala kliniknya yaitu muncul tanda-tanda radang pada tempat bekas
cedera, dan akan mengeluarkan cairan seropurulen. Pasien mungkin
juga demam, denyut nadi meningkat, dan merasa nyeri. Pada infeksi
luar, penanganan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik dan
pembersihan serta mengelola luka dengan baik. Jika infeksi terjadi di
dalam, maka drainase pus, pembersihan jaringan nekrotik dan
mengelola luka merupakan penanganan yang baik. Pemberian
antibiotik juga dapat dilakukan, namun tidak semua antibiotik
memiliki spektrum yang tepat. Sebaiknya dilakukan analisis
mikroorganisme sebelum pemberian antibiotik (De jong, 2004)
b. Ulkus akibat Gips
Pemasangan gips yang tidak benar dan terlalu rapat dapat
menyebabkan ulkus pada kulit. Ulkus biasanya terjadi pada tempat-
tempat yang terdapat tonjolan tulangnya. Gejalanya berupa nyeri lokal
pada tempat yang terbalut gips. Terapinya yaitu dengan membuat
jendela pada gips, sehingga bagian yang bengkak akibat tekanan gips
dapat diberikan ruang (Apley, 1995)
c. Hemartrosis
Fraktur yang melibatkan sendi dapat menyebabkan hemartrosis akut.
Sendi terlihat bengkak dan tegang, sehingga pasien sulit untuk
17
menggerakkan sendinya. Terapinya yatiu dengan mengaspirasi
(Barrend, 1997).
d. Cedera Vaskuler
Fraktur yang berat dapat mencederai pembuluh darah. Arteri
dapat terputur, robek, tertekan, atau mengalami kontusi akibat cedera
awal, atau akibat fragmen patahan tulang yang lancip. Pada
ekstremitas atas, bagian aksila, lengan atas anterior dan medial serta
fossa antecubital adalah daerah yang berisiko tinggi, sedangkan di
ekstremitas bawah, daerah inguinal, paha medial dan fossa popliteal
adalah daerah yang berisiko tinggi jika mengalami cedera vaskular.
Pada daerah-daerah tersebut, hanya terdapat satu arteri tunggal yang
berjalan sepanjang daerah tertentu sebelum bercabang (furcatio) di
daerah yang lebih distal. Arteri tunggal ini nantinya akan bercabang
menjadi dua di ekstremitas atas (a. brachialis bercabang menjadi
a.radialis dan a.ulnaris setelah fossa cubiti) dan tiga di ekstremitas
bawah (a.femoralis akan bercabang menjadi a.tibial anterior, a.tibial
posterior, dan a.fibular/peroneal setelah fossa popliteal). Dengan
demikian, apabila terjadi cedera vaskular pada arteri tunggal ini
menyebabkan iskemia yang luas pada jaringan yang lebih distal. Hal
ini akan berbeda jika cedera vaskular terjadi di daerah yang lebih distal
setelah percabangan, di mana risiko iskemia jaringan tidak seluas yang
ditimbulkan oleh cedera arteri tunggal (Wheless, 2009)
Pasien dapat merasa parestesia atau baal pada jari kaki atau jari
tangan. Tungkai bagian distal yang mengalami cedera bisa terlihat
pucat, pada perabaan dingin dan denyut nadi mungkin lemah atau
tidak ada. Pasien yang dicurigai adanya cedera pada pembuluh darah,
maka angiografi dapat dilakukan. Pasien dengan gejala demikian
semua pembalut dan bebat harus dilepas agar mengurangi tekanan.
Pembuluh darah yang tertekan tulang, maka tulangnya harus segera
18
direposisi. Pembuluh darah yang robek harus segera dijahit, atau
segmen dapat diganti dengan cangkokan vena. (Apley, 1995)
e. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen adalah suatu sindrom yang terjadi
akibat fraktur, di mana terjadi peningkatan tekanan intrakompartemen
sehingga terjadi iskemia jaringan. Sindroma kompartemen pada
awalnya disebabkan oleh suatu proses hemostasis tubuh karena adanya
trauma. Hemostasis lokal pada jaringan menyebabkan peningkatan
tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan
lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya,
peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam
ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat hingga
tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak
ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan kebocoran
ke dalam kompartemen, sehingga tekanan (pressure) dalam
kompartemen makin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya
akan menimbulkan nyeri hebat. Metsen menpelihatkan bahwa bila
terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat.
Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan
ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia
jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot
dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen
tersebut. Ada 3 teori tentang penyebab iskemia, yaitu :
1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
2. “Theori of critical closing pressure.”Akibat diameter yang kecil
dan tekanan mural arteriol yang tinggi, tekanan transmural secara
signifikan berbeda ( tekanan arteriol-tekanan jaringan) ini
dibutuhkan untuk memelihara patensi. Bila tekanan jaringan
meningkat atau tekanan arteriol menurun perbedaan tidak ada,
yaitu critical closing pressure dicapai, arteriol akan menutup.
19
3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila tekanan
jaringan melebihi tekanan vena. Bila darah mengalir secara
kontinyu dari kapiler, tekanan vena secara kontinyu akan
meningkat pula sampai melebihi tekanan jaringan dan drainase
vena dibentuk kembali. Sedangkan respon otot terhadap iskemia
yaitu dilepaskannya histamine like substans mengakibatkan
dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas endotel. Ini berperan
penting pada transudasi plasma dengan endapan sel darah merah
ke intramuscular dan menurunkan mikrosirkulasi. Otot bertambah
berat (peningkatan lebih dari 50%).
Gambaran klinis dari sindroma kompartemen meliputi 5P,
yaitu:
Pain (nyeri), yang sering ditemukan dan terjadi di awal sindrom
1. Parestesia, yaitu gangguan pada saraf sensorik
2. Paralisis, yaitu gangguan motorik yang ditemukan setelah
beberapa waktu
3. Pallor, yaitu pucat pada kulit akibat berkurangnya suplai darah
4. Pulselessness, yaitu kehilangan denyut arteri
Terapi pada sindroma kompartemen adalah dengan mengurangi
tekananya sesegera mungkin. Gips, perban, pembalut harus dilepas.
Tekanan kompartemen yang lebih dari 40mmHg harus segera
dilakukan fasciotomi terbuka, jika kurang dari 40 mmHg diobservasi
saja setiap jam. Luka dibiarkan terbuka dan diperiksa 5 hari kemudian,
dan jika ada nekrosis otot, maka debridemant harus dilakukan
(Reksoprodjo, 1997).
f. Cedera Viseral
20
Fraktur yang mengenai tulang yang ada di bada, harus dicurigai
adanya cedera juga pada organ-organ viscera didalamnya. Fraktur
pada tulang rusuk dapat menyebabkan terjadinya pneumothorak yang
dapat mengancam jiwa. Fraktur pada pelvis bisa menyebabkan
terjadinya ruptur vesica urinaria atau uretra.
g. Cedera saraf perifer
Cedera saraf perifer merupakan komplikasi lain dari fraktur. Saraf
yang rentan mengalami cedera adalah saraf yang letaknya di dekat
tulang/fascia. Berdasarkan struktur, fungsi, dan regenerasinya, cedera
saraf dapat dibagi menjadi beberapa golongan:
1. Neurapraxia, yaitu kehilangan fungsi dari sel saraf namun tidak
disertai oleh kelainan struktur.
2. Axonotmesis, yaitu kehilangan fungsi dari sel saraf dan disertai
oleh cedera akson, namun struktur inti beserta selubung dan sel
Schwann masih utuh. Pada cedera ini, regenerasi aksonal dapat
mengembalikan fungsi yang hilang.
3. Neurotmesis, yaitu cedera saraf yang lebih berat dari neurapraxia
dan axonometsis. Pada neurotmesis, terjadi kehilangn fungsi
disertai cedera aksonal, selubung myelin dan jaringan konektif
sehingga penyembuhan menghasilkan jaringan parut yang
menghambat regenerasi akson.
Fraktur dapat menyebabkan cedera saraf perifer melalui
beberapa mekanisme. Yang pertama adalah trauma mekanik secara
langsung, misalnya dengan terpotong atau melalui penggunaan
torniket. Mekanisme berikutnya adalah melalui kompresi/tekanan,
yang pada fraktur dapat disebabkan oleh tulang atau sindroma
kompartemen. Iskemia yang dihasilkan oleh sindroma kompartemen
juga dapat mencederai sel saraf. Sel saraf yang cedera dapat
21
mengalami penyembuhan apabila cedera tersebut tidak mengenai
struktur keseluruhan sel saraf. Penyembuhan akan terjadi dengan
kecepatan sekitar 1 mm/hari. Selain itu, dapat dilakukan tindakan
operatif, yang pada prinsipnya merupakan penyambungan saraf yang
cedera (Carter, 1994)
B. Komplikasi Belakangan Pada Tulang dan Jaringan Lunak
a. Nekrosis avaskular
Komplikasi ini terjadi karena adanya iskemia yang terjadi selama
beberapa jam setelah fraktur atau dislokasi. Daerah yang sering
terkena nekrosis adalah:
1. Kaput femoris
2. Bagian proksimal dari skafoid
3. Lunatum
4. Tubuh talus
Nekrosis avaskuler ini biasanya tidak bergejala, tapi jika frakturnya
tidak menyatu atau tulang mengalami kolpas, maka pasien dapat
mengeluh nyeri. Terapi dilakukan bila nekrosis ini sudah mengancam
sendi, sehingga menyebabkan fungsi sendi tidak normal. Pada orang
muda bisa dilakukan osteotomi penjajaran.
b. Non Union, Malunion, dan delayed union
Non-union adalah suatu kondisi di mana tidak terjadi penyatuan
(penyembuhan) tulang yang mengalami fraktur setelah beberapa
waktu, di mana normalnya tulang tersebut seharusnya sudah menyatu.
Sebagai contoh untuk tulang panjang dikatakan non-union jika setelah
6 bulan tidak ada penyatuan, atau 3 bulan untuk bagian leher tulang
femur. Non-union bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti usia,
22
nutrisi yang kurang baik/adekuat, efek penggunaan steroid, terapi
radiasi, infeksi, suplai darah yang tidak adekuat, atau imobilisasi yang
kurang benar. Non-union bisa dibagi menjadi beberapa tipe:
1. Hypertropic non-union, di mana terbentuk kalus tulang namun
tidak terbentuk penulangan antara tulang yang fraktur.
2. Oligotropic non-union, di mana tidak terbentuk kalus tulang untuk
penyatuan namun keadaan lain seperti vaskular membaik.
3. Atropic non-union, di mana tidak terbentuk kalus tulang dan
keadaan lain seperti vaskular tidak membaik.
4. Gap non-union, di mana penyatuan tidak terjadi akibat
terpotongnya pusat penulangan (diafisis) pada saat fraktur.
Gerakan dapat diteemukan ditempat fraktur, dan gerakan ini
apabila tidak berlebihan tidak nyeri. Gerakan yang tidak bersifat nyeri
inilah yang membedakanya dengan delayed union dan bisa bersifat
diagnostik. Terapi bisa dilakukan secara konservatif maupun
pembedahan. Pada non union tipe hipertrofik, bisa dilakukan bracing
fungsional untuk menginduksi penyatuan. Rangsangan listrik dapat
membantu osteogenesis yang bisa diterapkan melalui cetakan gips atau
dapat dilakukan implantasi elektroda. Terapi pembedahan bisa
dilakukan dengan fiksasi internal maupun eksternal pada non-union
hipertrofik. Pada non union atrofik cangkokan tulang bisa
ditambahkan (Rasjad, 2008).
Malunion adalah penyembuhan fraktur dalam posisi yang tidak
anatomis (abnormal). Biasanya disebabkan oleh penanganan yang
kurang adekuat. Malunion dapat menyebabkan gangguan fungsional
dan estetik, dan paling sering terjadi sebagai komplikasi fraktur tulang
phalangs. Beberapa contoh malunion adalah malrotasi (terjadi pada
fraktur spiral atau oblik), angulasi, dan pemendekan (shortening).
23
Gambaran klinik dari malunion hanya bisa tampak pada foto
rontgen. Foto rontgen dapat ilakukan setelah 3 minggu kemudian
stelah terjadinya fraktur yang telah direposisi. Beberapa hal yang harus
diperhatikan pada terapi malunion ada beberapa macam, yaitu:
1. Pada orang dewasa, fraktur harus direduksi dengan posisi
seanatomis mungkin. Penjajaran dan aposisi lebih penting daripada
aposisi. Angulasi lebih dari 15 derajat dan deformitas yang nyata
membutuhkan koreksi dengan manipulasi ulang, atau osteotomi
dan fiksasi internal
2. Pada anak-anak, deformitas sudut dekat ujung tulang bisa berubah
sejalan dengan pertumbuhan tulang pada anak-anak, namun tidak
pada deformitas rotasional.
3. Pemendekan pada tungkai bawah lebih dari 2,5 cm membutuhkan
manipulasi untuk mengembalikan penjajaranya.
4. Efek-efek jangka panjang dari deformitas sudut yang kecil dari
fungsi sendi sangat sedikit yang diketahui. Malposisi lebih dari 15
derajat dapat menyebabkan pembebanan yang asimetris pada sendi
di atas ataupun dibawahnya yang bisa memacu osteoartritis
sekunder.
Delayed union adalah keterlambatan penyembuhan/penyatuan
fraktur. Tidak ada batasan waktu yang jelas kapan suatu penyembuhan
fraktur dikatakan delayed union. Beberapa penyebab delayed union
antara lain infeksi dan suplai darah yang inadekuat. Gambaran
kliniknya biasanya terdapat nyeri pada tempat fraktur. Tulang tampak
bergerak dalam satu potong, tetapi jika ditekan nyeri segera terasa dan
tulang dapat mengalami angulasi. Pada foto rontgen didapatkan
pembentukan kalus atau reaksi periosteal yang sangat sedikit, namun
ujung tulang tidak mengalami sklerosis (Apley, 1995).
24
Terapi pada delayed union bisa dengan terapi konservatif,
maupun dengan pembedahan. Terapi konservatif bisa diberi gips atau
penggunaan traksi. Metode bracing fungsional adalah metode yang
paling baik untuk membantu penyatuan tulang. Terapi pembedahan
diindikasikan bila penyatuan terlambat lebih dari 6 bulan. Fiksasi
internal dan pencangkokan tulang bisa dipilih.
c. Miositis osifikans
Pasien biasanya mengeluh nyeri dan terdapat pembengkakan dan nyeri
pada jaringan lunak lokal. Foto sinar rontgen memperlihatkan
peningkatan aktifitas, dan dalam 2-3 minggu berikutnya nyeri itu
mereda dan gerakan sendi terbatas. Pada foto sinar rontgen dapat
memperlihatkan gambaran pengkapuran yang mirip bulu halus pada
jaringan lunak. Pada minggu ke delapan masa tulang dapat diraba
dengan mudah dan terlihat jelas dengan rontgen.
d. Ruptur tendon
Ruptur pada tendon ekstensor polisis longus dapat terjadi 6-12 minggu
setelah fraktur radius distal. Penjahitan langsung jarang berhasil dan
ketidaksetabilan yang diakibatkannya diterapi dengan memindahkan
tendon ekstensor indisis proprius ke ujung distal tendon ibu jari yang
robek.
e. Terjepitnya saraf
Adanya deformitas pada tulang atau sendi dapat mengakibatkann
terjepitnya saraf lokal dengan tanda-tanda, yaitu rasa baal,
parestesia,dan pengecilan otot sesuai distribusi saraf yang terkena.
Tempat yang paling sering terkena, yaitu:
1. Saraf ulnaris, akibat suatu siku valgus setelah terjadi fraktur
kondilus lateral yang tidak menyatu.
2. Saraf medianus, setelah cedera disekitar pergelangan tangan
25
3. Saraf tibialis posterior, setelah fraktur pada pergelangan kaki.
Terapinya tentu dengan dekompresi dini terhadap saraf.
B. Fraktur Antebrachii
1. Anatomi Regio Antebrachii
Regio antebrachii dibentuk oleh tulang radius dan ulna. Tulang
tersebut tidak hanya berfungsi sebagai penghubung lengan atas dan tangan,
namun berfungsi juga dalam gerakan pronasi dan supinasi dengan gerakan
radius dan ulna. Tulang radius dan ulna dihubungkan dihubungkan oleh sendi
radioulna yang diperkuat oleh ligamentum anulare yang melingkari kapitulum
radius dan didistal oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum
radioulna yang mengandung fibrokartilago triangularis. Membran interosea
memperkuat memperkuat hubungan ini sehingga radius dan ulna kuat. Oleh
karena itu, patah tulang yang mengenai satu tulang jarang terjadi, dan jika
memang hanya mengenai satu tulang hampir selalu disertai dislokasi sendi
radioulna.
Radius dan ulna juga dihubungkan oleh otot antar tulang yaitu
muskulus supinator, muskulus pronator teres, muskulus pronator kuadratus
yang membuat gerakan pronasi dan supinasi. Ketiga otot itu bersama dengan
otot lain yang berinsersi dengan radius dan ulna menyebabkan patah tulang
lengan bawah sering disertai dislokasi dan angulasi terutama radius.
2. Fraktur Regio Antebrachii
a. Fraktur kaput radius
Jatuh pada tangan yang terentang dapat memaksa siku kedalam
valgus dan menekan kaput radius pada kapitulum. Kaput radius dapat
retak atau pecah, dan rawan sendi pada kapitulum mungkin dapat memar
atau pecah. Gambaran kliniknya yaitu rotasi lengan bawah yang terasa
nyeri dan nyeri tekan pada sisi lateral siku dapat mengarahkan pada
diagnosisnya. Pada pemeriksaan foto rontgen didapatkan:
1. Pecah vertikal pada kaput radius
26
2. Satu fragmen di bagian laterla kaput terpecah dan biasanya bergeser ke
distal.
3. Kaput pecah dan menjadi beberapa fragmen.
Pada retakan yang tidak bergeser, lengan dapat dipertahankan
dengan collar dan manset selama 3 minggu. Gerakan fleksi dan ekstensi
aktif dapat segera dilakukan, namun gerakan rotasi harus ditunggu sampai
pulih. Fragmen tunggal yang besar dapat dilekatkan dengan menggunakan
kawat kirschner. Fraktur kominutif dapat diterapi dengan mengeksisi
kaput radius. Kalau disertai cedera lengan bawah atau gangguan pada
sendi radioulnaris distal, maka banyak terdapat resiko migrasi radius ke
prksimal. Pada kasus ini jika dieksisi, maka kaput perlu diganti dengan
prostesis silastik. Gerakan dapat dilatih lebih awal setelah selesai operasi.
Komplikasi yang terjadi adalah terjadinya kekakuan sendi siku dan
sendi radioulnaris. Miositis osifikans dapat [ula terjadi. Pada fraktur
kominutif, makan tindakan pembedahan adalah pilihan yang terbaik.
b. Frakur leher radius
Fraktur pada leher radius bisa terjadi karena jatuh pada tangan yang
terentang dapat memaksa siku ke dalam valgus dan mendorong kaput
radiusnpada kapitulum. Pasien biasanya merasa nyeri pada siku..Nyeri
tekan juga bisa dirasakan pada kaput radius dan nyeri bila lengan bila
rotasi. Pada foto rontgen dapat ditemukan garis fraktur yang tampak
melintang. Garis ini bisa terdapat tepat di bagian distal diskus
pertumbuhan atau terdapat garis pemisahan epifisis dengan fragmen
batang yang berbentuk segitiga. Fragmen proksimal dapat miring ke
distal, ke depan, dan keluar.
Terapi diperlukan jika terdapat angulasi lebih dari 20 derajat. Lengan
ditarik ke dalam ekstensi dan sedikit varus. Operator bedah dapat menekan
fragmen radius yang bergeser ke posisi semula dengan ibu jarinya.
Reduksi terbuka bisa dilakukan apabila reduksi tertutup gagal. Setelah
operasi siku dibebat dalam posisi anatomis, yaitu pergelangan tangan
27
sedikit abduksi, siku fleksi 90 derajat, dan tangan diantara pronasi dan
supinasi selama 1-2 minggu. Angulasi kurang dari 20 derajat hanya
dibutuhkan istirahat dalam collar dan manset, latihan gerakan dapat
dilakukan 1 minggu sesudahnya.
c. Fraktur radius dan ulna.
Fraktur radius ulna yang paling sering terjadi adalah fraktur radius
ulna pars sepertiga distal, terutama pada anjing ras kecil. Fraktur ini
mencakup 14% dari kasus fraktur tulang panjang yang muncul (Harasen,
2003b). Tipe fraktur radius ulna meliputi fraktur radius, fraktur ulna atau
keduanya (Brinker, 1965). Penyebab paling umum dari fraktur ini adalah
trauma saat jatuh atau tertabrak kendaraan bermotor (Degner, 2004).
Gambar 2.4. Fraktur Radius ulnaSumber : http://boneandspine.com
Gaya pemuntir dapat menimbulkan fraktur spiral dengan kedua
tulang patah pada tempat yang berbeda. Pukulan langsung atau tekukan
dapat menyebabkan fraktur melintang kedua tulang pada tingkat yang
sama. Deformitas rotasi tambahan dapat terjadi oleh tarikan otot-otot yang
melekat pada radius, otot-otot tersebut adalah otot bisep dan otot supinator
pada sepertiga bagian atas, pronator teres pada sepertiga pertengahan, dan
pronator quadratus pada sepertiga bagian bawah.
28
Deformitas pada lengan bawah akan tampak jelas. Pasien dapat
mengeluh nyeri sehingga sering terlihat melindungi lengan bawahnya.
Pada foto rontgen dapat ditemukan patah tulang transversal, oblique, atau
spiral. Pada anak-anak sering terjadi fraktur greenstick. Pada orang
dewasa pergeseran dapat terjadi setiap arah, tumpang tindh, miring, atau
memuntir.
Fraktur pada anak-anak dapat dilakukan reduksi tertutup. Fragmen
yang berhasil direduksi kemudian dibalut dengan gips dari axila sampai ke
batang metakarpal. Posisi tangan dalam posisi anatomis. Patahan tulang
tersebut kemudian diperiksa lagi 2 minggu sesudahnya, dan jika hasilnya
bagus, maka pembebatan dipertahankan selama 6-8 minggu. Latihan
tangan dan bahu juga harus sering dilakukan untuk membantu proses
penulangan.
Pada orang dewasa, biasanya lebih memilih untuk reduksi terbuka
dengan fiksasi internal. Fragmen dipertahankan dengan skrup, plat, atau
paku intramedula. Fasia yang dalam dibiarkan terbuka untuk menghindari
adanya sindroma kompartemen, dan hanya kulit dan jaringan subkutan
saja yang dijahit. Lengan dielevasi setelah operasi untuk membantu
peredaran darah di distal. Pada hari kesepuluh jahitan dapat dibuka dan
diteruskan dengan imobilisasi menggunakan gips dalam posisi anatomis.
Gips ini dipertahankan selama 6-8 minggu (Apley, 1995).
Pada fraktur terbuka, debridement adalah langkah awal yang harus
dilakukan. Fraktur kemudian dicoba untuk direduksi secara tertutup dan
dibalut gips selama 2 minggu. Pada bagian yang luka dapat dibuat jendela
untuk mempermudah perawatan luka. Luka yang sudah sembuh dan tidak
ada tanda infeksi bisa dilakukan fiksasi intrenal dengan pemasangan plat.
Komplikasi dini yang terjadi adalah cedera saraf, cedera pembuluh
darah, dan sindroma kompartemen. Komplikasi belakangan yang terjadi
yaitu malunion, non-union, dan penyatuan terlambat. Komplikasi-
komplikasi ini telah dibahas di atas sebelumnya.
29
d. Fraktur pada satu tulang lengan bawah saja.
Fraktur pada radius saja maupun ulna saja biasanya jarang terjadi.
Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri tekan lokal dan adanya riwayat
trauma. Pada foto rontgen bisa didapatkan garis fraktur yang melintang
dengan pergeseran yang sedikit. Pada anak-anak bisa didapatkan tulang
yang bengkok tanpa patah.
Fraktur pada radius sering mengalami rotasi. Reduksi bisa
dilakukan dengan disupinasikan apabila frakturnya pada sepertiga bagian
atas, dinetralkan untuk fraktur sepertiga bagian tengah, dan dipronasikan
apabila frakturnya pada sepertiga bagian bawah. Pada fraktur radius yang
terisolasi diperlukan gips mulai dari siku sampai pergelangan tangan.
Fraktur pada ulna jarang bergeser.
e. Fraktur Monteggia
1. Definisi
Fraktur monteggia adalah fraktur pada sepertiga bagian proksimal ulna
disertai dengan dislokasi kaput radius. Fraktur Monteggia meliputi
kurang dari 5 % pada forearm fracture dan dipublikasikan dalam
literature sebanyak 1-2%.
Gambar 2.5 . Fraktur Monteggia Sumber: http://www.med.uio.no
30
2. Epidemiologi
Fraktur Monteggia meliputi kurang dari 5 % pada forearm fracture
dan dipublikasikan dalam literature sebanyak 1-2%.4,5 Dari seluruuh
frktur Monteggia, Tipe 1 menurut Bado menrupakan yang paling
sering (59%), diikuti tipe III (26%), tipe II (5%) dan tipe IV (1%).
Fraktur Monteggia merupakan sepertiga tersering dari fraktur
Galleazzi (Putigna, 2008).
3. Etiologi
Fraktur Monteggia sangat terkait dengan jatuhnya seseorang yang
diikuti oleh outstretchhand dan tekanan maksimal pada gerakan
pronasi . Dan jika siku dalam keadaan fleksi maka kemungkinan
terjadinya lesi tipe II atau III semakin besar.. Pada beberapa kasus,
cedera langsung pada Forearm dapat menghasilkan cedera serupa.
Evans pada tahun 1949 dan Pennrose melakukan studi mengenai
etiologi fraktur Monteggia pada cadaver dengan cara menstabilkan
humerus dan menggunakan energy secara subjektif pada forearm.
Penrose menyebutkan bahwa lesi dengan tipe II merupakan variasi
pada dislokasi posterior dari siku. Bado percaya bahwa lesi tipe III
terjadi akibat gaya lateral pada siku sering terjadi pada anak-anak.
Secara esensi, trauma energy tinggi (tabrakan motor) dan trauma
energy rendah (jatuh dari posisi berdiri) bisa memicu cedera ini
(Putigna, 2008).
4. Patofisiologi
Struktur pada forearm tertaut secara aku. Dan jika ada satu
tulang yang mengalami disrupsi maka akan berpengaruh ke tulang
lain. Ulna dan radial berikatan secara intak hanya pada proksimal dan
distal sendi. Namun, mereka menyatu sepanjang sumbu dihubungkan
dengan membrane interosseus. Hal inilah yang menyebabkan radius
31
bias berputar mengelilingi ulna. Ketika ulna mengalami fraktur,
energy disalurkan sepanjang membrane interosseus dan terdisplasi
pada proksimal radius. Akhirnya yang terjadi adalah disrupsi
membrane interosseus sehingga mendisplasi proksimal radius. Hasil
akhirnya adalah disrupsi menbran intraoseus poksimal dari fraktur,
dislokasi sendi proksimal radioulnar dan dislokasi sendi
radiocapitellar
Dislokasi kaput radialis bisa mengarah pada cedera nervus
radialis. Cabang dari nervus radialis yang mempersarafi posterior
interoseus yang mengelilingi leher dari radius, sangat rentan beresiko
untuk mengalami cedera, terutama pada injuri dengan Bado tipe II.
Cedera pada nervus radialis cabang median interoseus anterior dan
nervus ulnaris juga dilaporkan. Kebanyakan cedera saraf adalah
neurapraksis dan smembaik dalam waktu 4-6 bulan. Pemuntiran pada
pergelangan tangan akibata trauama bisa diatasi dengan ekstensi dan
latihan gerak jari bisa mencegah terjadi kontraktur sembari menunggu
cedera saraf (Russelman, 2009).
5. Gambaran klinik
Berdasarkan mekanisme diatas, pasien datang dengan nyeri siku. Pada
pasien dapat terjadi pembengkakan siku, deformitas, krepitasi parestesi
atau baal. Beberapa pasien tidak merasakan nyeri hebat saat
beristirahat tapi fleksi sendi cubiti dan rotasi forearm terbatasa dan
nyeri. Dislokasi kaput radial mungkin teraba pada anterio, posterior
atau posisi anterolateral. Pada tipe I dan IV, kaput radial dapat
dipalpasi pada fosa antecubiti. Kaput radialis dapat dipalpasi secara
posterior pada tipe II dan pada daerah lateral pada tipe III (De jong,
2004).
Kulit sebaiknya diperiksa untuk memastikan bahw tidak terjadi
fraktur terbuka. Nadi dan pengisisan kapiler harus dicatat. Hematom
mungkin terjadi pada lokasi dislokasi walapun bukan tempat trauma
32
secara langsung. Fungsi motorik harus diperiksa karena cabang dari
nervus radialis dapat terjepit, mengakibatkan kelemahan atau paralisis
dari jari atau ibu jari untuk ekstensi. Cabang sensorik biasanya tidak
terlibat. (Russelman, 2009).
6. Terapi Medis
Luka terbuka harus dirigasi dengan larutan saline steril dan
ditutup dengan kasa yang steril dan lembab. Kaput radialis sebaiknya
direduksi saat di IGD jika memungkinkan. Reduksi tertutup-closed
reduction pada anak akan lebih mudah jika dilakukan dalam keadaan
narkose. Ketamin 1-2mg/kgBB IV atau 3-4 mg/kgBB IM bisa
digunakan sebagai sedasi. Nyeri ditangani sedini mungkin. Jika
fraktur sudah terbuka, maka imunisasi tetanus, antibiotic intravena
harus diberikan
Pada anak yang dilakukan adalah reduksi tertutup dari ulna. Jika
kaput radialis masih belum bisa direduksi dengan memperbaiki ulna,
reduksi ulna lanjutan bisa dilakukan dengan supinasi forearm dan
tekanan langsung pada kaput radialis biasanya berhasil. Ketika kaput
radialis secara anatomis tidak bisa direduksi, memanipulasi sendi dan
kapsulnya dengan memperbaiki anular ligament bisa dialkukan
(Rasjad, 2008).
Pada orang dewasa. Operasi sangat direkomendasikan. Reduksi
terbuka disertai dengan kompresi menggunakan plate pada ulna secara
umum dan diikuti dengan reduksi secara tidak langsung pada tulang
radius. Jika reduksi secara langsung tidak bisa tercapai maka reduksi
terbuka juga harus dilakukan. Jika kaput radialis tetap tidak stabil
pertahankan selama kurang lebih 6 minggu dalam posisi supinasi. Jika
kaput radialis stabil setelah reduksi baik terbuka ataupun tertutup,
lakukan gerakan aktif dengan hinged elbow orthosis menjaga forearm
dalam posisi supinasi. Lindungi lengan sampai sembuh. Jika anterior
dislokasi dan reduksi tertutupnya tidak stabil (Guiton, 2009).
33
Gambar 2.5. Pemasangan plat dan sekrup pada ulnaSumber: http://www.med.uio.no
7. Prognosis
Pada tahun 1991, Anderson and Meyer mengguankan kriteria untuk
mengevalusi fraktur forearm dan prognosisnya:
Excellent - Union with less than 10° loss of elbow and wrist
flexion/extension and less than 25% loss of forearm rotation
Satisfactory - Union with less than 20° loss of elbow and wrist
flexion/extension and less than 50% loss of forearm rotation
Unsatisfactory - Union with greater than 30° loss of elbow and
wrist flexion/extension and greater than 50% loss of forearm
rotation
Failure - Malunion, nonunion, or chronic osteomyelitis
f. Fraktur Galeazzi
Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai
dislokasi sendi radius ulna distal. Saat pasien jatuh dengan tangan
terbuka yang menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam
posisi pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya
supinasi. Gambaran klinisnya adalah ujung bagian bawah ulna yang
menonjol merupakan tanda yang mencolok. Perlu dilakukan
34
pemeriksaan untuk lesi saraf ulnaris yang sering terjadi. Pada foto
rontgen dapat ditemukan fraktur melintang atau oblik yang pendek
pada sepertiga bagian bawah radius,dengan angulasi atau tumpang
tindih. Sendi radioulnar inferior dapat bersubluksasi atau berdislokas
.
Gambar 2.6. Fraktur Galeazzi Sumber: http://www.med.uio.no
Pada anak-anak dapat dilakukan reduksi tertutup, sedangkan
pada orang dewasa reduksi terbuka merupakan pilihan yang baik
dengan pemasangan plat pada radius. Pemeriksaan foto rontgen
dilakukan untuk memastikan bahwa sendi radioulnar telah tereduksi.
Lengan diimobilisasi dengan gips selama 6 minggu. Dan setelah itu
dapat dilakukan latihan gerakan aktif (Rasjad, 2008).
35
III. PEMBAHASAN
Terapi fraktur antebrachii pada saat ini masih banyak menggunakan gips dan
ORIF. Metode ORIF tetap menjadi metode yang banyak dilakukan oleh ahli bedah di
sentra-sentra pelayanan patah tulang. Hal ini dikarenakan selain kekuatan hasil
penyambunganya lebih kuat daripada proses alamiahnya, juga masa pasien tinggal
dirumah sakit juga menjadi lebih pendek. Patah tulang pada anak-anak biasanya
banyak ditangani dengan pemakaian gips saja, dengan asumsi bahwa proses
pertumbuhan tulang pada masa anak sangat baik (Rasjad, 2008).
Pada saat ini ada terapi terbaru pada penyembuhan patah tulang. Metode baru
yang saat ini ada salah satunya adalah metode hyperbaric oksigen therapy (HBO).
HBO adalah sebuah metode khusus penyembuhan patah tulang di mana tambahan
oksigen dipaksa masuk ke dalam tubuh manusia melalui pressurizing dalam ruang
hiperbarik. Oksigen dibuat untuk masuk jaringan, sel-sel darah, organ-organ internal,
plasma darah, otak dan cairan tubuh lainnya seperti otak-cairan tulang belakang.
Oksigen yang masuk bisa mengisi kekurangan oksigen didalam sel-sel, sehingga bisa
meningkatkan metabolisme tubuh dan peredaran darah. Gradien oksigen yang
meningkat dan menghasilkan pembuluh darah baru di sekitar bagian yang terkena.
Kelemahan terapi ini adalah waktu terapinya yang lama, bahkan membutuhkan
beberapa jam dalam sehari. Biayanya pun masih mahal, karena terapi ini masih
terbatas pengunaanya. Terapi ini hanyalah sebagai terapi pelengkap pada patah
tulang, bukan merupakan terapi definitif (Guitton, 2009).
Proses penyembuhan patah tulang juga dapat dipercepat oleh konsumsi nutrisi
yang adekuat. Menurut penelitian terkini, beberapa nutrient dapat bermanfaat untuk
mempercepat proses penulangan pada patah tulang. Diet kaya kalsium dan vitamin D
sangat penting karena membantu dalam pertumbuhan tulang dan menjaga kesehatan
36
yang baik dan kekuatan tulang. Makanan yang banyak mengandung kalsium dan
vitamin D contohnya susu skim, sarden, air jeruk, yogurt tanpa lemak, almond,
kacang kedelai, brokoli, molase hitam, kacang panggang, kacang merah, jagung
tortilla, dimasak bayam, kismis dan selai kacang merupakan sumber kaya kalsium.
Nutrisi lain selain kalsium juga diperlukan untuk membantu dalam penyerapan
kalsium, seperti Lysine, asam amino, membantu dalam penyerapan kalsium dan
regenerasi jaringan. Komponen ini banyak membantu dalam penyembuhan patah
tulang dan penting untuk pembentukan protein otot. Makanan kaya lisin yang perlu
untuk dikonsumsi seperti ragi, produk kedelai, tepung kedelai yang dihilangkan
lemaknya, susu rendah lemak dan ikan. Vitamin C juga merupakan nutrisi penting
lain untuk membentuk tulang yang sehat dan meningkatkan proses penyembuhan.
Jeruk buah-buahan adalah sumber terbaik vitamin C.
37
IV. KESIMPULAN
1. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial
2. Fraktur secara garis besar dibagi menjadi fraktur terbuka dan tertutup, dimana
masing-masing mempunyai modalitas terapi yang berbeda
3. Fraktur antebrachii meliputi fraktur kaput radius, fraktur leher radius, fraktur
radius dan ulna, fraktur radius saja atau ulna saja, fraktur montegia, dan fraktur
galeazzi.
4. Diagnosis fraktur ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
5. Penatalaksanaan fraktur yang pertama adalah prinsip Airway, Breathing,
Circulation and C-Spine Control, Dissability, dan Explorasi; fiksasi; pemberian
analgesik, antibiotik, anti tetanus bila ada indikasinya; dan operasi definitif
untuk mengatasi frakturnya.
38
DAFTAR PUSTAKA
Apley, Graham., Louis Solomon. 1995. Prinsip Fraktur. Dalam: Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;238-9.
Berend ME, Harrelson JM, Feagin JA, Fractures and Dislocation in Sabiston Jr DC, Texbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice, Fifteenth Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1997, pp. 1398-1400.
BPS. 2009. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Tahun 1987-2008. Available http://www.bps.go.id. Diakses tanggal 23 Juni 2010.
Carter MA, Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi dalam Price SA, Wilson LM, Patofisiologi Konsep-konsep Klinis Proses- proses Penyakit, Buku II, edisi 4, EGC, Jakarta, 1994, hal 1175-80.
Guitton TG, Ring D, Kloen P. Long-term evaluation of surgically treated anterior monteggia fractures in skeletally mature patients. J Hand Surg Am. Nov 2009;34(9):1618-24
Guyton, Hall. 2007. Fisiologi sistem muskoloskeletal. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kinzell dkk. 2006. Sideswipe injuries to the elbow in Western Australia. Available from:http://www.mja.com.au/public/issues/184_09_010506/kin10879_fm.htmlEMJA; 184(9): 447-450. Diakses tanggal 12 Juli 2010.
Lubis, U. N., 2004. Tetanus Lokal pada Anak. Available from : www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Diakses tanggal 1 Juli 2010.
Ningsih, S., and Witarti, N., 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Tetanus. Available from : www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc. Diakses tanggal 26 Juni 2010.
Rasad, Chairudin. 2008. Trauma dalam Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Bintang Lamumpatue Ujung Pandang.
39
Reksoprodjo, S. 1997. Pemeriksaan Orthopaedi dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, hal : 453-471.
Ruchelsman DE, Pasqualetto M, Price AE, Grossman JA. 2009. Persistent posterior interosseous nerve palsy associated with a chronic type I monteggia fracture-dislocation in a child: a case report and review of the literature. Hand (N Y). Jun 2009;4(2):167-72.
Sherwood, Lauralee. 2001. Remodelling tulang. Dalam: Fisiologi Manusia dari sel ke sistem Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Singh, Arun. 2009. Radiograph Fractur both bones. Available from : http://boneandspine.com/category/orthopaedic-images/page/7/. Diakses tanggal 10 Juli 2010.
Sjamsuhidajat R. 2004 Sistem Muskuloskeletal dalam Syamsuhidajat R, de Jong W, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, hal : 825-7.
Putigna F, Strohmeyer K, Ursone RL. Monteggia Fracture. Diunduh dari: www.medscape.com. Tanggal: 20 Februari 2010.
Terrel, Wiliam. 2009. Fractur Description and Classification. Available from:
http://www.hughston.com/hha/a_14_2_1.htm. Diakses tanggal 3 Juli 2010.
Zulyetti, diana. 2010. Tips dan Trik Pemasangan Gips. Available from: http://repository.unand.ac.id/168/. Diakses tanggal 12 Juli 2010.
40
TUGAS REFERATG
1. Penatalaksanaan fraktur terbuka?
Mengikuti prinsip “4 R” yaitu Recognition, Reduction, Retaining ( retention of
reduction ) dan Rehabilitation. Prinsip penatalaksanaan fraktur terbuka derajat III,
yaitu:
a. Pertolongan awal
Tindakan yang pertama kali dapat kita lakukan dalam menangani pasien
dengan curiga fraktur adalah berusaha mengurangi/menghilangkan nyeri dan
mencegah gerakan-gerakan yang justru memperparah keadaan. Splint/
bandage atau alat apapun yang panjang, rata, dan kaku dapat digunakan
untuk stabilisasi fraktur dini. Luka terbuka dapat ditutup dengan bahan yang
bersih, jika memungkinkan yang steril.
b. Resusitasi
Tindakan resusitasi harus juga dilakukan, bersamaan dengan itu penanganan
fraktur terbuka juga dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi.
Prinsip resusitasi, yaitu:
1. Airway (Saluran nafas)
Penilaian ini penting untuk mengetahui adanya obstruksi saluran nafas,
seperti adanya darah, cairan atau benda asing, adanya fraktur mandibula,
atau kerusakan trakea laring yang dapat menutup jalan nafas.
2. Breathing (pernafasan)
Perlu diperhatikan juga daerah thorax untuk menilai ventilasi.Bila ada
gangguan ventilasi, maka harus dilakukan ventilasi dengan bantuan alat
pernafasan seperti ambu bag yang disambung dengan masker atau pipa
ET.
41
3. Circulation (sirkulasi)
Sirkulasi dan kontrol perdarahan meliputi:
a. Volume darah dan output jantung. Ada 3 tanda yang harus
diperhatikan untuk menilai status hemodinamik, yaitu kesadaran,
warna kulit, dan nadi.
b. Perdarahan. Perdarahan harus diatasi dengan balut tekan, jangan
dengan cara diikat dengan tali, verban dsb, karena bisa menyebabkan
kematian jaringan
4. Dissability (Evaluasi neurologis)
Evaluasi ini menggunakan metode AVPU, yaitu:
a. A= Alert, sadar
b. V= Vokal, adanya respon terhadap stimuli vokal
c. P= Painfull, adanya respon hanya pada rangsang nyeri
d. U= Unresponsive, tidak ada respon sama sekali
5. Exposure
Lakukan pemeriksaan secara teliti dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Cari kemungkinan adanya trauma pada daerah atau organ lain dan
komplikasi akibat fraktur itu sendiri.
c. Pemberian Antibiotik dan antitetanus
Antibiotik diberikan segera setelah terjadi trauma sebagai profilaksis.
Antibiotik berspektrum luas dapat diberikan, yaitu sefalosporin generasi I
(cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin
1-2 mg/kg BB tiap 8 jam) selama 5 hari. Perawatan luka selanjutnya
dilakukan setiap hari dengan prinsip steril, apabila ada tanda infeksi maka
dilakukan pemeriksaan kultur dan sensifitas ulang untuk penyesuaian ulang
pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan
pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang
dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas
serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah
mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan gamaglobulin anti tetanus
42
manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan
dewasa , 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5
tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan dosis
1500 unuit dengan tes subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat
imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml
secara intramuskuler.
d. Pembersihan luka
1. Ambil sample dari luka untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas pra
debridemen
2. Pembersihan luka dengan irigasi cairan fisiologis sebanyak 6-10 liter.
3. Jaringan mati atau fragmen tulang kecil yang mati maupun benda asing
dibuang.
4. Pembuluh darah vital untuk bagian distal yang terputus dilakukan repair.
5. Saraf yang terputus diberi tanda pada ujung saraf untuk dilakukan delayed
repair
6. Reposisi fragmen fraktur.
7. Pengambilan sampel pada luka yang bersih untuk kultur dan tes sentifitas
pasca debridmen.
8. Luka dibiarkan terbuka atau dilakukan jahitan parsial, bila perlu ditutup
setelah satu minggu dimana oedem sudah menghilang.
9. Fiksasi awal yang baik untuk fraktur terbuka kruris derajat III adalah
fiksasi eksternadengan external fixation device sehingga akan
mempermudah dalam perawatan luka harian. Bila fasilitas tidak memadai,
pemasangan gips sirkuler dengan jendela atau temporary splinting dengan
gips atau traksi dapat digunakan dan kemudian dapat direncanakan operasi
pemasangan fiksasi interna setelah luka baik (delayed internal fixation).
43
10. Pemakaian suntikan antibiotik dilanjutkan 3-5 hari, dimonitor tanda klinis
dan penunjang
11. Bila dalam perawatan harian di bangsal ditemukan gejala dan tanda
infeksi dilakukan debridemen dan pemeriksaan kultur dan sensitifitas
ulang untuk mendapatkan penanganan yang memadai.
e. Penanganan jaringan lunak dan keras
Kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue
transplantation, sedangkan kehilangan fragmen tulang yang luas dapat
dilakukan bone grafting.
f. Penutupan luka
Pada luka kecil dan sedikit kontaminasi dapat langsung ditutup setelah
debridement. Pada luka terbuka yang luas dan curiga ada kontaminasi yang
banyak maka dirawat terbuka. Luka dibalut dengan kasa steril dan dievaluasi
setiap hari. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk
menghindari terjadi khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat
infeksi. Pada hari ke-5 sampai ke-7 bila tidak ada tanda-tanda infeksi, maka
dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder.
g. Stabilisasi fraktur
.
1. Traksi kulit dan traksi kerangka?
Traksi merupakan pengobatan konservatif yang bermanfaat dalam mereduksi
suatu fraktur atau kelainan-kelainan lain seperti spasme otot. Prinsip Traksi
adalah menarik tahanan yang diaplikasikan pada bagian tubuh, tungkai, pelvis
atau tulang belakang dan menarik tahanan yang diaplikasikan pada arah yang
berlawanan yang disebut dengan countertraksi. Kulit hanya bisa dapat menahan
sekitar 5 kg traksi pada orang dewasa. Jika lebih dari ini tahanan yang dibutuhkan
untuk mendapatkan dalam menjaga reduksi, traksi tulang mungkin diperlukan.
Pada anak-anak hindari traksi tulang, karena pada anak-anak- plate pertumbuhan
dapat dengan mudah hancur dengan pin tulang. Indikasi untuk traksi kulit, yaitu:
44
1) Untuk terapi pilihan pada fraktur femur dan beberapa fraktur suprakondiler
humeri pada anak-anak.
2) Pada reduksi tertutup dimana manipulasi dan imobilisasi tidak dapat
dilakukan.
3) Untuk pengobatan sementara pada fraktur sambil menunggu terapi definitif.
4) Fraktur yang sangat bengkak dan tidak stabil, misalnya fraktur suprakondiler
humeri pada anak-anak.
5) Untuk traksi pada spasme otot atau pada kontraktur sendi misalnya sendi lutut
dan panggul.
6) Untuk traksi pada kelainan-kelainan pada tulang belakang seperti pada HNP
Beban maksimum untuk traksi kulit yang dapat diberikan adalah 5 kg yang
merupakan batas toleransi kulit. Dapat juga dipakai patokan bahwa pada orang
dewasa 5-7 kg, dan pada anak-anak 1/13 x BB. Macam traksi kulit, yaitu:
a. Traksi kulit
Traksi kulit menggunakan plester lebar yang direkatkan pada kulit dan
diperkuat dengan perban elastis. Jenis-jenis traksi kulit, yaitu:
1. Traksi ekstensi dari Buck
Traksi buck adalah traksi kulit seimbang dengan menggunakan dorongan
pada satu tempat terhadap ekstremitas bawah melalui perluasan kulit.
Traksi Buck digunakan sebagai pengukuran jangka pendek dengan
tahanan traksi yang dibutuhhkan untuk imobilisasi fraktur panggul
sebelum pembedahan dan mengurangi spasme otot, digunakan untuk
dislokasi panggul, kontraktur panggul dan lutut, fraktur tidak berpindah
asetabulum dan nyeri pinggang bawah bilateral Pasien diposisikan dalam
posisi supine dengan kaki lurus pada posisi alami, dimana melalaikan
abduksi. Pembungkus kemudian diaplikasikan dan tahanan traksi
digunakan segaris dengan panjang aksis kaki melalui tali yang diikat di
kaki dari perluasan melewati katrol pada akhir tempat tidur yang
dihubungkan dengan pemberat. Katrol tidak mempunyai efek pada
45
tahanan tetapi bertindak untuk merubah arah dorongan untuk bekerja
dengan gravitasi. Kontertraksi dicapai dengan mengelevasikan kaki dari
tempat tidur pada ketinggian tertentu untuk mencegah pasien terjatuh dar
tempat tidur. Bahaya traksi kulit adalah terjadinya distal oedema,
kerusakan vaskuler, dan nekrosis kulit.
Gambar 1. Traksi ekstensi dari Buck
2. Traksi Gallows
Traksi ini digunakan pada bayi dan anak-anak dengan fraktur femur.
Indikasi traksi ini adalah berat anak-anak < 12 kg atau pada anak-anak
usia < 2 tahun, digunakan pada fraktur femur, dan kulit harus utuh.
Posisi traksi ini adalah kedua femur yang fraktur dan yang baik
ditempatkan dalam traksi kulit dan bayi ditahan dari sudut yang
istimewa. Compromise vascular merupakan bahaya terbesar. Periksa
sirkulasi dua kali sehari. Pantatnya harus diangkat jangan mengenai
tempat tidur.
46
Gambar 2. Traksi Gallow
3. Traksi Dunlop
Penggunaanya adalah untuk maintenance reduksi fraktur
suprakondilus humerus pada anak. Indikasi penggunaan traksi Dunlop
adalah untuk fraktur suprakondilus pada anak dan untuk membuat siku
yang oedema menjadi berkurang bengkaknya. Traksi Dunlop
dikontraindikasikan jika ada fraktur terbuka dan degek pada kulit.
Traksi kulit ditempatkan pada lengan bawah dan frame khusus
digunakan pada sisi tempat tidur. Traksi ditempatkan disepanjang
aksis lengan bawah sebagaimana sudut kanan dari humerus dengan
sling ditempatkan disekitar lengan atas. Bed blocks dibutuhkan untuk
sisi lateral (fraktur ditinggikan) dari tempat tidur. Jika fraktur
supracondylar tidak dapat dikurangi hingga dibawah 90 derajat fleksi
siku, metode traksi in merupakan alternative terhadap metode invasive
seperti percutaneous K-wires. Hal ini membuat pembengkakan sisi
sebelahnya. Jangan bergantung pada metode ini untuk mengurangi
fraktur supracondylar, sebuah manipulasi bagaimanapun tetap akan
47
diperlukan
Gambar 3. Traksi Dunlop
b. Traksi tulang
Traksi pada tulang biasanya menggunakan kawat Kirschner (K-wire) atau batang
dari Steinmann pada lokasi-lokasi tertentu, yaitu:
1. Proksimal tibia
2. Kondilus femur
3. Kalkaneus
4. Traksi pada tengkorak
5. Trokanter mayor
6. Bagia distal metakapal.
Indikasi penggunaan traksi pada tulang, yaitu:
1. Apabila diperlukan traksi yang lebih berat dari 5 kg, bisasanya berkisar
antara 11-18 kg.
2. Traksi pada anak-anak yan lebih besar
3. Pada fraktur yang bersifat tidak stabil, oblik, atau kominutif.
4. Fraktur-fraktur tertentu pada daerah sendi
48
5. Fraktur terbuka dengan luka yang sangat jelek dimana fiksasi eksterna tidak
dapat dilakukan.
6. Digunakan sebagai traksi langsung pada traksi yang sangat berat, misalnya
dislokasi panggul yang lama sebagai persiapan terapi definif.
Jenis-jenis traksi pada tulang, yaitu:
1. Traksi yang digunakan pada tulang tengkorak, misalnya Gardner Well Skull
Calipers, Crutchfield cranial tong. Pada kepala, beban yang boleh diberikan
adalah 2,5 kg, dan pada tulang belakang adalah ½ kg untuk setiap ruas tulang
belakang.
Gambar 4. Traksi pada tulang kepala
2. Traksi tulang pada olekranon, pada fraktur humerus.
3. Thomas splint dengan pegangan lutut
4. Traksi tulang dengan menggunakan kerangka dari Bohler Braun pada
fraktur orang dewasa.
Gambar 5. Traksi tulang Bohler Braun
49
3. Panjang anatomis dan panjang klinis
Panjang anatomis dan klinis biasanya digunakan pada fraktur pada anggota
gerak bawah, karena fungsinya yang penting untuk berjalan. Panjang klinik pada
anggota gerak bawah diukur dari spina iliaka anterior superior sampai ke pinggir
bawah maleolus lateralis atau pinggir maleolus medialis. Dengan pengukuran ini
dibandingkan antara kiri dan kanan. Panjang anatomis pada anggota gerak bawah
diukur dari titik tengah kaput femur sampai tepi bawah os.maleolus. Pada fraktur
batang femur pemendekan samoai 2 cm, angulasi 10 derajat, dan pembengkokan
15 derajat ke arah anterior setelah terapi masih dapat diterima.