referat autis 97

55
BAB I PENDAHULUAN Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Hingga saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan dan penanganan yang tepat. Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional, tetapi barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak 1 . Kelainan perkembangan ini dapat secara pasti dideteksi saat anak berusia 3 tahun dan pada beberapa kasus pada usia 18 bulan, tapi tanda-tanda yang mengarah ke gangguan ini sebenarnya sudah dapat terlihat sejak umur 1 tahun, bahkan pada bayi usia 8 bulan. 10 Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat pesat di 1

description

REFERAT AUUUTIS

Transcript of referat autis 97

BAB I

PENDAHULUAN

Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Hingga saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan dan penanganan yang tepat. Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional, tetapi barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak1.

Kelainan perkembangan ini dapat secara pasti dideteksi saat anak berusia 3 tahun dan pada beberapa kasus pada usia 18 bulan, tapi tanda-tanda yang mengarah ke gangguan ini sebenarnya sudah dapat terlihat sejak umur 1 tahun, bahkan pada bayi usia 8 bulan.10 Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia, kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Di California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autisme per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autisme terjadi pada 15.000-60.000 anak dibawah 15 tahun. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan jumlah anak autisme dapat mencapai 150-200 ribu orang. c, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat 1,8 .Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantil) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter lainnya. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli1.

Terapi anak autisme membutuhkan deteksi dini, intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan perilaku dapat dilakukan dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan autisme sebagai lembaga yang mampu secara professional menangani masalah autisme adalah salah satu contoh yang dilakukan dalam bidang1

Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi. Sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor risikonya sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autisme1.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Autisme

Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di alamnya sendiri.

Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya 6,8,9B. EpidemiologiPenyandang autisme pada anak (autisme infantile) dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak autis di dunia pada tahun 1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 berbanding 500 kelahiran. Sedangkan, pada tahun 2000 prevalensi anak autisme meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001 perbandingannya berubah menjadi 1:100 kelahiran. Secara global prevalensinya berkisar 4per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan penyandang autis di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak.4 Penelitian yang dilakukan di Brick Township, New Jersey.1 melaporkan angka prevalensi autis yaitu 40 per 10.000 untuk anak 3-10 tahun dengan autisme dan 67 per 10.000 untuk seluruh spektrum autisme pada anak-anak. Penelitian terbaru di Canada menyatakan bahwa prevalensi autisme mencapai 0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding 150 kelahiran 2,9.

C. EtiologiEtiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang menjelaskan tentang autisme yaitu:

1. Teori psikoanalitik

Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orang tuanya dan mampu merasakan persaan negatif mereka. Anak tersebut meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga menciptakan benteng kekosongan untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan 6.

2. Genetik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung yang juga autis sekitar 3%. Kelainan dari gen pembentuk metalotianin juga berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok protein yang merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi lainnya yaitu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan saluran cerna, dan penguat sistem imun. Disfungsi metalotianin akan menyebabkan penurunan produksi asam lambung, ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sisten imun yang sering ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab lebih berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan karena sintesis metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron3.

Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme.5,6 Penelitian pada anak kembar juga menemukan, jika salah satu anak mengalami autisme, saudara kembarnya pun kemungkinan besar juga mengalami autisme.6 Para ahli menduga hal ini diakibatkan adanya 20 gen yang berperan penting dalam mencetuskan gangguan spektrum autisme, terutama gen neuroxin yang ditemukan pada kromosom manusia No. 11.5,6 Neuroxin merupakan protein yang berperan membantu komunikasi sel saraf, pada anak autis terjadi peningkatan jumlah neuroxin daripada anak normal. Hal ini mengganggu proses migrasi sel normal 3. Studi biokimia dan riset neurologis

Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI), telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal3

Ada beberapa faktor yang diyakini sebagai penyebab autisme diantaranya:12 Faktor ibu hamila. Usia ibu saat hamil

Makin tua usia ibu saat hamil, makin tinggi risiko anak mengalami autisme. Penelitian yang dilakukan oleh Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks pada tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen melahirkan anak yang mengalami autisme dibandingkan perempuan berusia 20-29 tahun. Begitupula pada ibu hamil yang berusia 30-34 tahun berisiko 27 persen untuk memiliki anak autis.b. Infeksi pada ibu hamil

Beberapa infeksi virus yang dialami oleh ibu selama hamil diduga memiliki pengaruh terhadap perkembangan otak anak sehingga mencetuskan keadaan autisme pada saat anak lahir. Beberapa infeksi pada ibu hamil yang diduga mencetuskan autisme pada anaknya antara lain:

1) Influenza

Wanita yang mengalami flu dan demam jangka panjang saat hamil diduga lebih berisiko untuk melahirkan anak dengan autisme. Ibu hamil yang sering menderita flu berpotensi dua kali lipat untuk melahirkan anak yang didiagnosa autis pada usia anak yang ketiga, sedangkan ibu hamil yang mengalami demam jangka panjang, berpotensi untuk melahirkan anak dengan autisme sebanyak tiga kali lipat.

2) Infeksi Rubella dan Sitomegalovirus

Ada dugaan sementara bahwa virus Rubella dan Sitomegalovirus yang menyerang ibu hamil dapat menyebabkan anak mengalami autisme.Berdasarkan data WHO, ibu hamil yang terinfeksi saat usia kehamilannya < 12 minggu memiliki risiko janin tertular 80-90 persen. Sedangkan jika ibu terinfeksi rubella pada usia kehamilan 15-30 minggu, maka risiko janin terinfeksi turun menjadi 10-20 persen. Namun, risiko janin terinfeksi dapat meningkat mencapai 100 persen jika ibu terinfeksi saat usia kehamilan > 36 minggu. Virus rubella dapat menyebabkan gangguan pada kehamilan, dapat terjadi abortus spontan, serta gangguan perkembangan janin.c. Konsumsi seafood

Menurut penelitian, sebagian besar anak autis memiliki jumlah kandungan merkuri dan logam berat sebanyak 3-10 kali diatas normal. Merkuri dan logam berat memicu kondisi hiperaktif pada anak. Ini merupakan akibat dari kebiasaan ibu hamil yang sering mengkonsumsi seafood yang mengandung kadar merkuri yang tinggi. Diduga makanan laut yang makin marak mengandung merkuri dapat merusak otak janin. Ibu harus pandai memilih makanan laut yang bebas dari merkuri, karena makanan laut mengandung asam lemak omega-3 yang juga bermanfaat bagi janin. Faktor anak saat lahir a. Hipoksia

Oksigen sangat mempengaruhi perkembangan otak janin begitu pula pada bayi. Keadaan penurunan ketersediaan oksigen di otak akan menyebabkan gangguan pada otak bahkan dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Hipoksia pada janin dapat terjadi akibat perdarahan pada masa kehamilan, sedangkan bayi yang lahir tidak cukup bulan juga berisiko untuk mengalami hipoksia saat lahir.b. Vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR)

Adanya dugaan pemberian vaksin Mumps, Measles, Rubella (MMR) yang mencetuskan kejadian autisme. Diduga vaksin MMR dapat mempengaruhi perkembangan neurologis dan gangguan pada gastrointestinal anak, sebagai dasar timbulnya gejala autisme pada anak pasca vaksinasi. Dugaan ini paling menjadi sorotan dunia bagi orangtua, praktisi kesehatan serta masyarakat luas. Dugaan inipun menyebabkan vaksinasi MMR pada anak saat itu menurun pesat. Dugaan ini belum terbukti kebenarannya, banyak pula penelitian yang dilakukan untuk membantah hipotesis tersebut, dan berdasarkan kesepakatan WHO dan CDC menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara vaksin MMR dengan kejadian autisme.

c. Infeksi pada anakBeberapa infeksi penting yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan autisme pada anak adalah infeksi pada otak anak. Infeksi tersebut antara lain virus Rubella, Herpes Simplex Virus (HSV) serta infeksi varisela, campak dan mumps juga dilaporkan pada beberapa penelitian memiliki hubungan dengan kejadian autisme pada anak. Infeksi lainnya adalah infeksi bakteri seperti tuberkulosis pada otak. Infeksi tersebut dihubungkan dengan kejadian meningitis dan ensefalitis dengan gejala demam tinggi, penurunan kesadaran dan nyeri kepala. Jika keadaan ini terus terjadi dapat mencetuskan kejang pada anak dan berakhir pada keadaan epilepsi. Infeksi pada otak serta keadaan yang terjadi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak pada anak sehingga dapat mencetuskan gejala autisme.d. Gangguan pencernaanSekitar 60% penyandang autisme memiliki sistem pencernaan yang kurang baik, seperti kekurangan enzim pencernaan dan/atau memiliki lapisan pencernaan yang tipis sehingga dapat mengalami kebocoran dinding usus (leaky gut).5,13 Hal ini sangat berpengaruh pada proses pencernaan beberapa jenis makanan yang hanya tercerna secara parsial (masih berbentuk molekul peptida berukuran besar). Jenis makanan tersebut adalah yang mengandung protein seperti gluten dan kasein, yang terdapat pada susu, gandum dan kedelai. Karena tercerna masih dalam bentuk molekul besar akibat enzim pencernaan yang minimal ditambah kebocoran dinding usus, maka molekul peptida tersebut (caseomorphin dan gluteomorphin) lolos masuk ke aliran darah, dan akhirnya terbawa ke otak dan menyebabkan terjadinya arus pendek stimulus (short circuit brain) akibat peptida tersebut berikatan dengan reseptor opioid. Kadar opioid meningkat dalam otak sehingga menyebabkan sistem saraf pusat terganggu, seperti fungsi persepsi, kognotif, emosi, tingkah laku dan sebagainya. Opioid juga mempengaruhi sistem imun penyandang autisme sehingga anak penyandang autisme rentan mengalami infeksi, terutama infeksi saluran pencernaan.

Bahan-bahan kimia seperti yang terdapat pada pengawet makanan,pewarna makanan, penambah rasa (MSG), dan food additive lainnya.

Keracunan logam berat (polutan) misalnya timbal (Pb) dari limbah kendaraan bermotor, merkuri (Hg) dari ikan yang tercemar / air raksa sebagai pengawet vaksin ang kadarnya melebihi ambang batas aman.

Gangguan metabolisme protein gluten dan kasein.

Infeksi jamur / yeast.

Alergi dan intoleransi makanan, dan lain-lain.

D. Patogenesis Autisme

Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada satupun yang spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi bahwa faktor genetik berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi yang melibatkan anak kembar terlihat bahwa dua kembar monozygot (kembar identik) kemungkinan 90% akan sama-sama mengalami autisme; kemungkinan pada dua kembar dizygot (kembar fraternal) hanya sekitar 5-10% saja3.

Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi meskipun baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antara gen serotonin-transporter. Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan bahwa autisme timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid pada saat usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen dan opioid merupakan perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan casein makanan. Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini menarik banyak perhatian. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier yang defisien di dalam mukosa usus, di darah-otak (blood-brain) atau oleh karena adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam darah untuk mengubah opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat racun dan menimbulkan penyakit3. Barrier yang defektif ini mungkin diwarisi (inherited) atau sekunder karena suatu kelainan. Berbagai uraian tentang abnormalitas neural pada autisme telah menimbulkan banyak spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun, baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau tes diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab utama autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas jaringan otak pada individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari abnormalitas ini belum diketahui, demikian juga pengaruhnya terhadap perilaku3.Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam stuktur neural dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak. Dalam kaitannya dengan struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Peneliti ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum. Dengan menggunakan magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh studi empiris neurofarmakologis dan neurokimia pada autisme, perhatian banyak dipusatkan pada neurotransmitter dan neuromodulator, pertama sistem dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid endogen dan oksitosin, selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya hubungan antara autisme dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut 3Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa abnormalitas serotonin ini juga tampak pada penderita down syndrome, kelainan hiperaktivirtas, dan depresi unipoler. Juga terbukti bahwa pada individu autistik terdapat kenaikan dari beta-endorphins, suatu substansi di dalam badan yang mirip opiat. Diperkirakan adanya ketidakpekaan individu autistik terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan kadar betaendorphins ini 3 .

E. Gambaran Klinis

Tanda-tanda awal pada pasien autisme berkaitan dengan usia anak. Usia anak dimana sindroma autisme dapat dikenal merupakan kunci untuk segera melakukan intervensi berupa pelatihan dan pendidikan dini. National Academy of Science USA menganjurkan bahwa pendidikan dini merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak dengan sindroma autisme. Pada umumnya semua peneliti sepakat bahwa sindroma autisme merupakan diagnosis sekelompok anak dengan kekurangan dalam bidang sosialisasi, komunikasi dan afeksi. Mereka juga sepakat bahwa mengenal tanda-tanda awal autisme yaitu sejak usia dini (bayi baru lahir bahkan sebelum lahir) sangat penting untuk upaya penanggulangan.

Gejala autisme dapat timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan kurang minat untuk berinteraksi dengan orang lain.

Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu:a. Isolasi sosial6Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak social ke dalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri.

b. Kelemahan kognitif

Sebagian besar ( 70%) anak autis mengalami retardasi mental (IQ < 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori montor. Terapi yang dijalankan anak autis meningkatkan hubungan social mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan oengaruh penarikan diri dari lingkungan social.

c. Kekurangan dalam bahasa6Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara. Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit, atau menunjukkan ekolali, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV, atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sebagai orang kedua kamu atau orang ketiga dia. Intinya anak autism tidak dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal.

d. Tingkah laku stereotip6Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton. Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus menerus tanpa tujuan yang jelas. Sering berputar-putar, berjingkat-jingkat, dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya pada roda mainan mobil-mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.F. Kriteria Diagnosis Gangguan Autisme

Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnosis gangguan autisme adalah13:

A. Sejumlah enam hal atau lebih dari 1, 2, dan 3, paling sedikit dua dari 1 dan satu masing-masing dari 2 dan 3:

1. Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi social sebagai manifestasi paling sedikit dua dari yang berikut:

a. Hendaya di dalam perilaku non verbal seperti pandangan mata ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi social.

b. Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai tingkat perkembangannya.

c. Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan, daya pikat atau pencapaian akan orang lain, seperti kurang memperlihatkan, mengatakan atau menunjukkan objek yang menarik.

d. Kurang sosialisasi atau emosi yang labil.

2. Secara fluktuatif terdapat hendaya dalam komunikasi sebagai menifestasi paling sedikit satu dari yang berikut:

a. Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara (tidak menyertai usaha mengimbangi cara komunikasialternatif seperti gerak isyarat atau gerak meniru-niru)

b. Individu berbicara secara adekuat, hendaya dalam menilai atau meneruskan oembicaraan orang lain.

c. Menggunakan kata berulang kali dan stereotip dan kata-kata aneh.

d. Kurang memvariasikan gerakan spontan yang seolah-olah atau pura-pura bermain seuai tingkat perkembangan.

3. Tingkah laku berulang dan terbatas, tertarik dan aktif sebagai manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut:

a. Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotip atau kelainan dalam intensitas maupun focus perhatian akan sesuatu yang terbatas.

b. Ketaatan terhadap hal-hal tertentu tampak kaku, rutinitas atau ritual pun tidak fungsional.

c. Gerakan stereotip dan berulang misalnya memukul, memutar arah jari dan tangannya serta meruwetkan gerakan seluruh tubuhnya.

d. Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotip.

B. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut ini dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun :

1. Interaksi sosial

2. Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial

3. Permainan simbol atau imaginatif.

C. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegrasi masa anak.

Autisme masa kanak berdasarkan pedoman diagnostik PPDGJ III, antara lain6:

a. Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan atau hendaya perkembangan yang muncul selama usia 3 tahun dan dengan ciri kelainan fungsi dalam 3 bidang: interaksi sosial, komunikasi dan perilaku terbatas dan berulangb. Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan normal sebelumnya, tetapi bila ada, kelainan perkembangan sudah jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat didiagnosis pada semua kelompok umurc. Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik (reciprocal social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang tampak sebagai kurangnya respon terhadap perilaku dalam kontek sosial, buruk dalam mengguanak isyarat sosial dan integrasi yang lemah dalam perilaku sosial, emosional dan komunikatif, dan khususnya kurangnya respon timbal balik sosio-emosional.d. Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang ada; hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial; buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurang dalam kreativitas dan fantasi dalam proses pikir; kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain; hendaya dalam menggunakan variasi irama atau tekanan modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan komunikasi lisan.

e. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk kecendrungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari; ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang rutin dan pola bermain. Terutama sekali dalam masa kanak, terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda yang tak lembut. Anak dapat memaksa suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan yang sebetulnya tidak perlu; dapat menjadi preokupasi yang stereotipik dengan perhatian pada tanggal, rute atau jadwal; sering terdapat stereotipik motorik; sering menunjukkan perhatian yang khusus terhadap unsur sampingan dari benda (seperti bau dan rasa); dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata ruang dari lingkungan pribadi (seperti perpindahan dari hiasan dalam rumah).

f. Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autisme, tetapi ada tiga perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.Adapun beberapa instrumen screening untuk autisme:111. CARS rating system (Childhood Autism Rating Scale)

Dikembangkan oleh Eric Schopler pada awal 1970an, berdasarkan pengamatan terhadap perilaku. Di 5dalamnya terdapat 15 nilai skala yang mengandung penilaian terhadap hubungan anak dengan orang, penggunaan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, respon pendengaran, dan komunikasi verbal.

2. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)

Digunakan untuk screening autisme pada usia 18 bulan. Dikembangkan oleh Simon Baron-Cohen pada awal 1990an untuk melihat apakah autisme dapat terdeteksi pada anak umur 18 bukan. alat screening ini menggunakan kuesioner yang terbagi 2 sesi, satu melalui penilaian orang tua, yang lain melalui penilaian dokter yang menangani.

3. Autism Screening Questionnaire

40 poin skala screening yang telah digunakan untuk anak usia 4 tahun ke atas untuk mengevaluasi kemampuan berkomunikasi dan fungsi sosialnya.

G. Perkembangan Anak AutismeMenurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup, saat dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya periode perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler dan masa prasekolah dan kanak-kanak tengah.

1. Masa infant dan toddlerHubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus autisme sejumlah faktor berhubungan untuk membedakan perkembangannya dengan perkembangan anak normal.

No.Faktor PembedaPerkembangan NormalAnak Autis

1Pola tatapan mata Usia 6 bulan sudah mampu melakukankontaksosial melalui tatapan

Toddler: menggunakan gaze sebagai sinyal pemenuhan vokalisasimerekaatau mengundang partner untuk bicara Pandangan mereka melewati orang dewasa yang mencegah perkembangan pola interaksi melalui tatapan.

Lebih sering melihat kemana-mana daripada ke orang dewasa

2AffectUsia 2,5-3 bulan sudah melakukan senyum sosial Tidak ada senyum sosial.

Usia 30-70 bulan melihat dan tersenyum terhadap ibunya, tapi tidak disertai dengan kontak mata dan kurangmerespon senyuman ibunya.

3Vokalisasi Usia 2-4 bualn anak dan ibu terlibat dalam pola yang simultan dan berganti vokal yang menjadi awal bagi komunikasi verbal selanjutnya. Karakter mutism mereka tampak dari kurangnya babbling yang menghambat jalan interaksi sosial ini

4ImitasiSosial: berkaitandengan responsifitas sosial, bermain bebas dan bahasa Langsung muncul setelah lahir. Usia8-26bulandapat meniru ekspresi wajah tapi melalui sejumlah keanehan dan respon menikal yang mengindikasikan sulitnya perilaku ini bagi mereka.

5Inisiatifdan

ReciprocityMerespon stimulus yang ada sehingga timbul reciprocity Anakmenjadipenerima pasif dari permainan orang dewasadan tidak berinteraksi secara ktif dengan mereka

6Attachment Kelekatan pada anak autis diselingidengan karakteristik pengulangan pergerakanmotorik mereka seperti tepukan tangan, goncangan dan berputar-putar

7Kepatuhandan Negativisme Anak autis patuh terhadap permintaan.Jika permintaan tersebut sesuai dengan kapasitas intelektual mereka, mereka dapat merespon secara pantas saat mereka dalam lingkunganyang terstrukturdandapat diprediksi. Anak autis memiliki sifat negativistik secara berlebihan

H. Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding autisme, antara lain6:

a. Gangguan perkembangan pervasif yang lainnya

Beberapa kelainan yang dimasukkan dalam kelompok ini adalah anak-anak yang mempunyai ciri-ciri autisme, yaitu gangguan perkembangan sosial, bahasa, dan perilaku, namun cirri lainnya berbeda dengan autism infantil. Gangguan ini adalah sebagai berikut:

1) Sindroma Rett

Sindroma Rett adalah penyakit otak yang progresif tapi khusus mengenai anak perempuan. Perkembangan anak sampai usia 5 bulan normal, namun setelah itu mundur. Umumnya kemunduran yang terjadi sangat parah meliputi perkembangan bahasa, interaksi social maupun motoriknya.2) Sindroma Asperger

Pada sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autism namun masih memiliki intelegensia yang baik dan kemampuan bahasanya juga hanya terganggu dalam derajat ringan. Oleh karena itu, sindroma Asperger sering disebut sebagai high functioning autism.

Gangguan Asperger berbeda berbeda dengan autism infantil. Onset usia autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya lebih parah dibandingkan gangguan Asperger. Pasien autisme infantil menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam kemahiran berbahasa serta adanya gangguan kognitif. Oral vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih baik pada gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan motorik yang canggung, serta gagal mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan gangguan Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental. Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang lebih baik daripada autisme infantil, kecuali autisme infantil high functioning. Batas antara gangguan Asperger dan high functioning autism untuk gangguan berbahasa dan gangguan belajar sangat kabur. Gangguan Asperger mempunyai verbal intelligence yang normal sedangkan autisme infantil mempunyai verbal intelligence yang kurang. Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya mengalami kesulitan berempati

3) Sindroma Disintegratif

Sindroma ini ditandai dengan kemunduran dari apa yang telah dicapai setelah umur 2 tahun, paling sering sekitar umur 3-4 tahun. Gangguan ini sangat jarang terjadi dan paling sering mengenai anak laki-laki dibanding perempuan.

a. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak

Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia disertai dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang lebih rendah dan dengan IQ yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistic.KriteriaAutisme Skizofrenia dengan onset masa anak-anak

Usia onset5 tahun

Insidensi2-5 dalam 10.000Tidak diketahui, kemungkinan sama atau bahkan lebih jarang

Rasio jenis kelamin

(Laki-laki:Perempuan)3-4:11,67:1

Status sosioekonomiLebih sering pada sosioekonomi tinggiLebih sering pada sosioekonomi rendah

Penyulit prenatal dan perinatal dan disfungsi otakLebih sering pada gangguan

autisticLebih jarang pada skizofrenia

Karakteristik perilakuGagal untuk mengembangkan hubungan : tidak ada bicara (ekolalia); frasa stereotipik; tidak ada atau buruknya pemahaman bahasa; kegigihan atas kesamaan dan stereotipik.Halusinasi dan waham, gangguan pikiran

Fungsi adaptifBiasanya selalu tergangguPemburukan fungsi

Tingkat inteligensiPada sebagian besar kasus

subnormal, sering terganggu parah (70%)Dalam rentang normal

Kejang grand mal4-32%Tidak ada atau insidensi rendah

b. Retardasi Mental (RM)

Hal yang tidak mudah untuk membedakan autisme infantil dengan retardasi mental, sebab autisme juga sering disertai retardasi mental. Kira-kira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat atau sangat berat, dan anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku yang termasuk ciri autistik. Pada retardasi mental tidak terdapat 3 ciri pokok autism secara lengkap. Retardasi mental adalah gangguan intelegensi, biasanya diketahui setelah anak sekolah karena ketidaksanggupan anak mengikuti pelajaran formal. Pembagian retardasi mental mental dilihat dari kemampuan Intelligent Quetient (IQ), retardasi mental ringan IQ 55-70, RM sedang IQ 40-55, RM berat 25-40, RM sangat berat IQ < 25.

Ciri utama yang membedakan antara gangguan autistik dan retardasi mental adalah:

1) Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau anak-anak lain dengan cara yang sesuai dengan umur mentalnya.

2) Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain.

3) Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan fungsi

I. Penatalaksanaan Autisme

Tidak ada pengobatan spesifik untuk mengobati gejala gangguan ini, obat-obat telah dilaporkan memperbaiki gejala yang mencakup agresi, ledakan kemarahan hebat, perilaku menciderai diri sendiri, hiperaktivitas, serta perilaku obsesif kompulsif serta sterotipik. Agonis sserotonin-dopamin (SDA) memiliki resiko rendah dalam menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. SDA mencakup risperidone, olanzapine, quetiappine, clozapine, dan ziprasidone6.

Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan yang paling penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovaas. Metode Lovaas adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavior Analysis (ABA). Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan menjadi enam kemampuan dasar, yaitu:

1. Kemampuan memperhatikan

Program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk bisa memfokuskan pandangan mata pada orang yang ada di depannya atau disebut dengan kontak mata. Yang kedua melatih anak untuk memperhatikan keadaan atau objek yang ada disekelilingnya.

2. Kemampuan menirukan

Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan motorik kasar dan halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar sederhana atau meniru tindakan yang disertai bunyi-bunyian.

3. Bahasa reseptif

Melatih anak agar mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata.

4. Bahasa ekspresif

Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau berkomunikasi verbal.

5. Kemampuan praakademis

Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan permainan yang mengajarkan anak tentang emosi, hubungan ketidakteraturan, dan stimulus-stimulus di lingkungannya seperti bunyi-bunyian serta melatih anak untuk mengembangkan imajinasinya lewat media seni seperti menggambar benda-benda yang ada di sekitarnya.

6. Kemampuan mengurus diri sendiri

Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan sendiri. Yang kedua, anak dilatih untuk bisa buang air kecil atau yang disebut toilet traning. Kemudian tahap selanjutnya melatih mengenakan pakaian, menyisir rambut, dan menggosok gigi.

J. Terapi Autisme13a. Terapi edukasi

Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode penganjaran antara lain metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic and related Communication Handicapped Children) metode ini merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual, metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata khusus.b. Terapi perilaku

Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin yang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan (terbaik sekitar usia 2 5 tahun).c. Terapi wicara

Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan, mengingat tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara verbal. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan terapi-terapi yang lain.

d. Terapi okupasi/fisik

Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melakukan gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur sesuai kebutuhan saat itu.

e. Sensori integrasi

Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan, sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk menghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak menerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya, sehingga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi.

f. AIT (Auditory Integration Training)

Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang mengganggu pendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan seri terapi yang mendengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan desentisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut

g. Intervensi keluarga

Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan dapat bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga yang dapat berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling mendukung. Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme.

K. Terapi Diet Autisme

Gejala-gejala autisme dapat pula dicetuskan oleh beberapa jenis makanan akibat sistem pencernaan anak penyandang autisme yang tidak sempurna. Dari jenis makanan tertentu itulah tidak hanya gejala perkembangan yang akan timbul tapi juga gejala-gejala infeksi lainnya terutama infeksi pada saluran pencernaannya yang lambat laun dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan anak penyandang autisme.No gluten, no milk, no problem. Slogan ini sering disuarakan untuk diet autisme. Terigu, gandum, susu ternak dan kedelai merupakan produk pangan yang kompleks, bukan senyawa sederhana seperti glukosa dan memerlukan proses cerna yang sempurna.5 Jenis makanan itulah yang harus dihindari oleh anak penyandang autisme agar gejala-gejala autisme dapat terkontrol. Diet non gluten dan non kasein juga merupakan salah satu terapi efektif yang dapat membantu memperbaiki gangguan perilaku dan gangguan pencernaan pada anak penyandang autisme.

Dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai kandungan peptida dalam urin anak penyandang autisme. Dalam beberapa penelitian analisis urin didapatkan 70 80% anak penyandang autisme menunjukkan 2 puncak utama yang tidak dijumpai pada urin anak normal. Puncak pertama diidentifikasi sebagai betacasomorphin yang berasal dari susu, sedangkan puncak kedua merupakan peptida dari gluten.

Setelah dilakukan diet gluten free casein free pada anak penyandang autisme tersebut, kemudian dilakukan analisis urin kembali. Hasilnya betacasomorphin tidak terlihat lagi dalam urin setelah semua makanan yang terbuat dari susu dihilangkan dari diet, sementara peptida dari gluten masih tetap terdeteksi di dalam urin, meskipun diet bebas gluten sudah dijalankan. Pada percobaan di Inggris didapatkan bahwa pengurangan kadar peptida gluten dalam urin hanya terjadi sebesar 26%, setelah 5 bulan diet bebas gluten. Hal ini disebabkan karena peptida gluten dapat masuk ke dalam jaringan tubuh.Diet Bebas Gluten dan Kasein

Diet Gluten Free Casein Free (GFCF) tidak hanya dilakukan dengan tujuan memperbaiki keadaan autisme pada anak, namun juga dapat bertujuan sebagai pemeriksaan untuk menunjukkan jenis makanan apa saja yang menjadi biang dalam peningkatan perilaku autisme dan memantau ada tidaknya perbaikan pada anak tersebut. Pemeriksaan ini memiliki kelemahan, yaitu tidak memungkinkan untuk melakukan analisis semua bahan makanan sekaligus, namun cara ini lebih efisien dilakukan daripada pemeriksaan feses, urin, darah atau rambut karena memerlukan biaya yang sangat mahal.Indikasi terapi diet anak penyandang autisme :1) Anak mengalami gangguan bicara yang berat,

2) Pada tahun pertama perkembangan anak masih terlihat normal, namun selanjutnya anak mengalami kemunduran nyata dalam perkembangannya,

3) Anak mengalami gangguan buang air besar,

4) Anak sering mendapatkan pengobatan dengan antibiotik,

5) Anak sering merasa haus,

6) Anak banyak mengkonsumsi produk susu dan gandum,

7) Anak sering terlihat pucat,

8) Terdapat bayangan yang gelap di kelopak mata bawah,

9) Anak mengalami kongesti nasal persisten,

10) Warna kulit kemerahan disekitar anus,

11) Eksim

Cara melakukan diet tidak dapat dilakukan sembarangan dengan menghilangkan makanan tertentu begitu saja. Sebelum melakukan diet, sebaiknya ditambahkan makanan lain yang diperbolehkan, sehingga anak tidak kekurangan zat gizi dan akan terbiasa dengan makanan yang baru. Orangtua harus mengerti bahwa menghilangkan makanan yang mengandung susu dan gandum berarti mengurangi pemasukan vitamin dan mineral, oleh karena itu anak harus diberi cukup suplementasi vitamin dan mineral untuk mengganti vitamin dan mineral yang tidak tercukupi dari makanan.Diet harus dilakukan secara bertahap, diawali pada makan malam, kemudian makan pagi dan selanjutnya makan siang, dan akhirnya juga makanan selingan. Jangan lakukan diet secara sekaligus karena akan menimbulkan efek withdrawal dengan gejala yang paling biasa adalah anak mudah terganggu, marah dan mengamuk.

Tahapan diet dapat dilakukan dengan mengikuti protokol Sunderland dengan membagi diet dalam 3 tahap, yaitu :1. Tahap gencatan senjata (cease fire)a. Membuang kasein dari makanan dalam 3 minggu.

b. Membuang gluten dari makanan dalam 3 bulan.

2. Tahap perundingan awal (preliminary agreement)a. Membuat catatan harian makanan (food diary) untuk melihat makanan apa saja yang menyebabkan perubahan perilaku pada anak selain kasein dan gluten seperti telur, kacang, jagung, kedelai, tomat, dan sebagainya.

b. Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar mneral, vitamin dalam tubuh anak. Jika terdapat defisiensi zat gizi, berikan suplementasi yang sesuai.

c. Pemeriksaan mikroorganisme dalam usus (jamur, parasit, bakteri).

3. Membangun kembali secara aktif (active reconstruction)a. Koreksi kekurangan sulfat

b. Mengaktifkan enzim dengan memberikan trimethyl glycine (TMG). Diperkirakan pada anak penyandang autisme terjadi penurunan asam lambung, akibatnya enzim yang bekerja di lambung tidak dapat berfungsi dengan baik. TMG berfungsi menambah kadar asam lambung.

c. Pemberian asam lemak tak jenuh, seperti evening primrose oil, fish oil, cold liver oil.d. Pemberian L-glutamin akan memperkuat kekebalan tubuh dan membantu penyembuhan tubuh dan membantu penyembuhan dinding usus. Glutamin juga mempunyai efek meningkatkan fungsi mental, memperbaiki otot-otot skeletal, dan mengurangi keinginan anak untuk mengkonsumsi gula secara berlebihan.Evaluasi sebaiknya dilakukan setelah diet berjalan selama setahun, tetapi beberapa ahli juga mengatakan untuk anak berusia kurang dari 6 tahun harus melakukan diet selama 4 bulan, sedangkan anak berusia lebih dari 6 tahun, paling sedikit 6 bulan melakukan diet baru dapat dievalusi. Indikator keberhasilan dari terapi diet ini adalah perbaikan perilaku dan peningkatan kemampuan komunikasi anak penyandang autisme.

Kebutuhan Gizi Anak Penyandang Autisme

Kebutuhan gizi anak penyandang autisme sebenarnya tidak banyak perbedaan dengan anak normal. Anak penyandang autisme juga harus tercukupi kebutuhan gizinya dengan pemberian gizi seimbang. Namun, disamping mengalami gangguan perkembangan, anak penyandang autisme juga mengalami gangguan sistem biologis yaitu adanya food allergie dan intolerance, lebih peka terhadap racun logam dan senyawa-senyawa alergi polutan udara dari pada anak normal. Ternyata kehadiran beberapa pangan tertentu walaupun bernutrisi, namun dapat memperberat keadaan autisme pada anak. Hal ini yang menyebabkan perlunya pengaturan pemberian pangan bagi anak penyandang autisme.

Banyak teori dan penelitian yang berkembang untuk mencari tahu peran pangan terhadap kondisi individu dengan autisme. Diduga beberapa jenis makanan dapat mencetuskan gejala autisme, sehingga perlu dilakukan eliminasi makanan yang mengandung bahan-bahan pencetus tersebut. Jenis makanan pencetus tersebut sering dikenal dengan istilah pangan yang reaktif (food reactions) ialah pangan yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh bila dikonsumsi oleh anak penyandang autisme.

Pangan yang reaktif terdiri dari tiga subkelompok, yaitu food allergie, food sensitivity, dan food intolerance.Pangan reaktif yang dapat mencetuskan gelaja autisme adalah pangan yang tergolong dalam kelompok food sensitivity dan food intolerance seperti makanan yang mengandung protein. Jenis pangan tersebut lebih sering mempengaruhi timbulnya gejala autisme daripada kelompok food allergie. Hal ini diduga karena penderita autisme mempunyai masalah dengan sistem pencernaannya, seperti kurangnya produksi enzim pencernaan dan/atau kebocoran pada lapisan saluran pencernaan. Dengan begitu, senyawa pangan terutama pangan protein reaktif hanya tercerna secara parsial dalam bentuk molekul peptida berukuran besar yang masuk ke aliran darah dan akhirnya terdistribusi ke seluruh tubuh termasuk otak. Terjadi arus pendek stimulasi (short circuit brain functioning) yang mempengaruhi perilaku penderita autis.Senyawa peptida memiliki sifat efek yang serupa dengan senyawa opiate, atau singkatnya mirip dengan morfin yang dapat mempengaruhi stimulasi otak. Jenis protein yang memiliki efek seperti senyawa opiate tersebut paling umum dijumpai pada menu yang mengandung kasein dan gluten, seperti terigu, gandum, susu ternak dan kedelai. Kasein dan gluten berisi kumpulan asam amino yang memiliki urutan dari senyawa-senyawa pendek peptida yang mirip dengan opiate. Senyawa-senyawa tersebut akan muncul jika pemecahan dalam sistem pencernaan seseorang berjalan tidak sempurna, terutama pada anak dengan autisme yang fungsi pencernaannya tidak bekerja sempurna.

Senyawa-senyawa tersebut akan masuk kedalam aliran darah dalam ukuran besar akibat lolos dari lapisan pencernaan anak autis yang mengalami kebocoran lapisan, kemudian dialirkan ke otak dan bersatu dengan reseptor opioid sehingga menyebabkan eksitasi gejala autisme pada anak. Pengaruh peptida opiate tersebut terhadap otak secara kimiawi mampu menjawab mengapa gejala tersebut muncul dalam autisme.

Anak penyandang autisme akan menunjukkan tanda-tanda ketergantungan terhadap susu atau gandum jika intensitas konsumsi bahan kasein dan gluten meningkat (withdrawal syndrome). Keadaan ini dapat disamakan dengan kelakuan seorang pecandu obat/narkoba. Anak dapat menunjukkan tidak menginginkan jenis makanan lain dan memilih-milih makanan karena makanan lain tidak memberikan efek seperti opiate terhadap otaknya. Hal ini akan tampak jelas pada anak jika pangan produk susu dan gandum dieliminasi dari menu.

Gejala yang paling sering dijumpai adalah anak merasa terganggu, mudah marah bahkan tantrum, dan anak kadang mengalami kemunduran perkembangan tingkah laku dalam berinteraksi. Withdrawal symptom sebenarnya merupakan tanda yang baik, karena memberi tanda yang jelas kepada anak bahwa jenis pangan tersebut berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak, sehingga orangtua serta terapis dapat menentukan intervensi diet untuk perbaikan keadaan anak autis.Makanan yang dieliminasi dari diet anak penyandang autisme, seharusnya digantikan dengan makanan lainnya atau suplementasi yang juga memiliki kandungan zat gizi yang sama seperti yang terdapat pada kasein dan gluten. Karena jika tidak, anak penyandang autisme akan rentan mengalami gangguan pertumbuhan. Beberapa jenis makanan yang dapat menggantikan kasein dan gluten serta makanan lainnya yang harus dikontrol untuk anak penyandang autisme adalah sebagai berikut:

1. Gluten FreeGluten terdapat pada biji gandum, tepung graham, malt, serta oat.Bahan-bahan tersebut dapat dijumpai pada produk seperti kecap, flavoring, kopi instan, marshmallow cream, corned soup, saus dan hot dog. Untuk terapi diet gluten pada anak penyandang autisme, terapis dan orangtua harus memilih pangan yang berlabel GF (Gluten Free). Bahan pangan yang bersifat gluten free antara lain:a. Bahan biji-bijian bebas gluten seperti semua jenis beras (putih, brown rice, baswati, wild-rice, sweet-rice, dan poha), millet, jagung, amaranth, serta tapioka.

b. Pangan non biji-bijian dapat digunakan sebagai pengganti produk gluten, seperti potato starch, dan tepung yang dibuat dari kentang, talas, almond, hazelnut, dan beberapa jenis kacang-kacangan seperti kacang hijau.

2. Casein Free

Kasein terdapat dalam produk-produk susu. Susu mamalia, baik itu ASI, susu sapi, susu kambing maupun kerbau, memiliki komponen yang beraneka ragam, yaitu air, lemak, protein, laktosa, mineral, dan beberapa jenis senyawa asam enzim, gas dan vitamin.Produk susu meliputi susu (baik non fat maupun whole milk), butter milk, yoghurt, cream cheese, dan butter. Produk-produk susu juga sering tersembunyi dalam produk-produk seperti canned tuna, non dairy creamers, salad, dan susu formula. Produk-produk susu ini harus dihindari dalam menu anak dengan autisme. Kecuali pada protein kasein dalam ASI yang ternyata berbeda dengan protein kasein yang terdapat dalam produk susu lainnya. ASI mengandung susunan asam amino yang berbeda dengan produk kasein lainnya sehingga kasein ASI tidak berpengaruh negatif pada anak dengan autisme. Justru sebaliknya, ASI dipandang sebagai faktor pelindung terhadap autis karena ASI mengandung kolesterol yang menjaga kesehatan lapisan dinding usus sehingga mencegah bocornya membran sel usus. Terapis dan orangtua dapat mengganti produk kasein dengan susu beras, susu kedelai (jika anak dapat mentolerir), susu kentang, hazelnut, walnut.

3. Produk Pangan Lain yang Harus Dikontrol

Anak penyandang autisme sering mengalami kondisi tubuh yang tidak normal, karena menu rendah protein dan serat. Anak biasanya juga menginginkan pangan yang bersifat meningkatkan kadar gula darah (glycemic), seperti gula dan jus. Konsumsi gula bagi anak dengan autisme harus dikontrol secara ketat oleh orangtua. Konsumsi karbohidrat tidak boleh diretriksi secara keseluruhan, karena kadar gula darah yang rendah dapat menyebabkan kondisi brain fog yaitu anak menjadi resah, iritabel, lapar, pusing dan sangat menginginkan makanan yang mengandung banyak gula. Pemberian makanan yang mengandung gula juga dapat mempercepat pertumbuhan jamur (candida) didalam usus anak. Keadaan ini dapat menyebabkan penyandang autisme rentan terhadap infeksi, seperti infeksi telinga tengah, radang tenggorokan dan diare. Namun, konsumsi gula juga jangan terlalu sering dan tinggi karena anak dapat menderita diabetes dini akibat kemampuan tubuh anak penyandang autisme yang tidak normal.

Anak penyandang autisme juga membutuhkan konsumsi garam dapur (NaCl), karena anak penyandang autisme memiliki tekanan darah yang lebih rendah daripada anak normal. Sehingga keseimbangan tubuh anak sering tidak baik dan anak sering merasa pusing. Namun, penggunaan garam haruslah garam yang mengandung klorida yang terdapat dalam garam dapur, bukan garam penyedap atau pengawet seperti MSG. MSG biasanya tidak dapat dikelola dengan baik oleh anak-anak penyandang autisme.L. Prognosis

Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa komunikatif saat usia 5-7 tahun cenderung mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi6.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bertrand, J., Mars, A., Boyle, C., Bove, F., Yeargin-Allsop, M., Decoufle, P. 2001. Prevalence of autism in a United States Population. Pediatrics, 108; 1155-61.

2. Fombonne, Eric. 2009. Epidemiology of Pervasive Developmental Disorders. Pediatrics Research, 6 (65); 591-8.

3. Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal Kedokteran Trisakti, Vol. 22 No. 1; 24-30.

4. Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis. Diambil dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E01232.pdf. Diakses tanggal: 3 november 20145. Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104.

6. Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School of Medicine New York; Chapter 42.

7. Made, O.R, Ratep Nyoman,2010. Diagnosis dan penatalaksanaan autisme. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah. Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Diunduh dari : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82607&val=970&title= diakses tgl 3 november 20148. Warsiki, Endang. 2007. Gangguan Autisme dan Penatalaksanaan Psikiatrik. Dep./SMF Ilmu Kedokteran Jiwa-Psikiatri Anak RSU Dr. Soetomo/Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Anima, Indonesian Psychological Journal . Vol. 23, No. 1, 74-83. Diunduh dari: http://www.anima.ubaya.ac.id/class/openpdf.php?file=1371791997.pdf diakses tgl. 3 november 20149. Elsabbagh, Mayada. 2012. Autism. Encyclopedia on Early Childhood Development. University of Calgary, Canada. Diunduh dari: http://www.child-encyclopedia.com/pages/PDF/autism.pdf diakses tgl/ 4 november 201410. Autism Spectrum Disorders (Pervasive Developmental Disorders), (2006). NationalInstituteofMentalHealth(NIMH).Available: http://www.nimh.nih.gov/publicat/autism.cfm (Accesed: 2014, 5 november).11. Living with Autism, (2005). Autism Society of America (ASA). Available: http://www.autism-society.org/site/PageServer?pagename=allaboutautism (Accesed: 2014, November 6).12. Soenardi, Tuti dan Susirah Soetardjo. 2002. Makanan Sehat Untuk Anak Autis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.13. Autism Spectrum Disorders (Pervasive Developmental Disorders), (2006). NationalInstituteofMentalHealth(NIMH).Available: http://www.nimh.nih.gov/publicat/autism.cfm (Accesed: 2014, november 6).PAGE 1