referat asfiksia
-
Upload
kristin-natalia -
Category
Documents
-
view
46 -
download
0
Transcript of referat asfiksia
PENDAHULUAN
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu akan terjadi dari mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat dilihat setelah beberapa menit, jam dan seterusnya. Terhentinya suplai oksigen bisa juga menjadi penyebab kematian. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan masuknya oksigen ke dalam sistem respirasi. Hambatan ini juga akan berakibat terganggunya pengeluaran karbon dioksida dari tubuh sehingga kadarnya dalam darah meningkat. Keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal disebut asfiksia. Asfiksia yang paling sering dijumpai di dalam kasus tindak pidana yaitu asfiksia mekanik, dimana terjadi obstruksi saluran pernafasan secara mekanik.
Definisi asfiksia adalah suatu keadaan dimana terjadi kekurangan suplai
oksigen yang berat pada tubuh sehingga akan meningkatkan ketidakmampuan tubuh
untuk bernapas secara normal.
Etiologi asfiksia adalah alamiah : misalnya penyakit yang menyumbat
saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan
paru seperti fibrosis paru ; mekanik : misalnya trauma yang mengakibatkan emboli
udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral, sumbatan pada saluran nafas dan
sebagainya. Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan gantung diri, tenggelam,
pencekikan, dan pembekapan ; keracunan : Bahan yang menimbulkan depresi pusat
pernafasan misalnya barbiturat, narkotika.
Salah satu etiologi asfiksia yang telah disebutkan di atas adalah pembekapan.
Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada pembekapan baik
mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses pernafasan tidak dapat
berlangsung. Penyebab kematian pada pembekapan (smothering), yaitu : asfiksia, 4
oedema paru, dan hiperaerasi. Edema paru dan hiperaerasi terjadi pada kematian yang
lambat dari pembekapan.
Dalam Ilmu Kedokteran Forensik disebutkan bahwa pemeriksaan
makroskopis, data-data klinis, dan pemeriksaan secara mikroskopis merupakan cara
identifikasi yang lebih baik untuk meminimalisasi kemungkinan-kemugkinan lain
yang dapat terjadi. Ada 3 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan otopsi
kasus pembekapan (smothering), yaitu : mencari penyebab kematian, menemukan
tanda-tanda asfiksia, menemukan edema paru, hiperaerasi dan sianosis pada kematian
yang lambat.
Dalam era ini dibutuhkan penentuan saat kematian secara tepat. Otak sebagai
organ yang relatif terlindung maksimal dengan batok kepala diperkirakan mengalami
proses kimiawi yang relatif cepat dan tidak dipengaruhi lingkungan. Proses kimiawi
akibat terhentinya suplai zat asam/oksigen mengakibatkan jaringan otak yang sangat
sensitif terhadap kekurangan zat asam itu akan lebih cepat mengalami disintegrasi
kimiawi, yang diamati melalui perubahan konduktivitas listrik yang terjadi. 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Dalam dunia medis definisi asfiksia masih merupakan perbincangan, namun
beberapa ahli menyimpulkan bahwa asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernafasan, mengakibatkan oksigen
darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida
(hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Pembekapan (smothering) merupakan salah satu bentuk mati lemas dimana
terjadi obstruksi mekanik aliran udara dari lingkungan sekitar ke dalam mulut
dan atau rongga hidung, yang menghambat pemasukan udara ke paru-paru,
dengan cara menutup mulut dan hidung. Penutupan lubang hidung dan mulut
bisa menggunakan tangan, bantal, atau kantong plastik.
B. ANGKA KEJADIAN
Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh
dokter. Umumnya urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu-lintas dan trauma
mekanik.
C. ETIOLOGI
1. Alamiah
Misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti
laringitis difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis
paru. 6
2. Mekanik
Yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral,
sumbatan pada saluran nafas dan sebagainya. Kejadian ini sering dijumpai
pada keadaan gantung diri, tenggelam, pencekikan, dan pembekapan.
3. Keracunan
Bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya
barbiturat, narkotika.
D. PATOFISIOLOGI
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua
golongan :
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Bagianbagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak O2, dengan demikian bagian
tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang
karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis. Di
sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sehingga pada
organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari
tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi.
Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja
jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat.
Keadaan ini didapati pada :
a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan) 7
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru–paru.
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (traumatic
asphyxia)
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
E. JENIS ASFIKSIA
Secara fisiologis dapat dibedakan empat bentuk asfiksia (sering disebut
anoksia) :
1. Anoksia anoksik (anoxic anoxia)
Keadaan ini diibaratkan dengan tidak atau kurang pemasokan oksigen untuk
keperluan tubuh. Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena :
a. Tidak ada atau tidak cukup O2 bernafas dalam ruangan tertutup, kepala
ditutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab,
bernafas dalam selokan tertutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini disebut
asfiksia murni (suf ocation)
b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus
alienum dalam tenggorokan. Ini disebut sebagai asfiksia mekanik
(mechanical asphyxia)
2. Anoksia anemia (anaemic anoxia)
Dimana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapatkan pada
anemi berat dengan pendarahan yang tiba-tiba. 8
3. Anoksia hambatan (stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok, dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi,
tetapi sirkulasi darah tidak lancar.
4. Anoksia jaringan (histotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif.
F. STADIUM ASFIKSIA
Pada pembekapan terjadi keadaan asfiksia, dimana terjadi hambatan
masuknya oksigen ke dalam tubuh yang berakibat kadar oksigen (O2) dalam
darah berkurang (hipoksik-hipoksia), dan hambatan dalam pengeluaran karbon
dioksida (CO2) dari dalam tubuh sehingga kadarnya dalam darah meningkat
(hiperkapnea).
Kekurangan oksigen, baik sebagian (hipoksia) atau total (anoksia) akan
menyebabkan kematian. Di dalam udara ruangan normal terdapat oksigen (O2)
kurang lebih 21%. Pada konsentrasi oksigen (O2) 10-15% akan mengakibatkan
kerusakan pada fungsi kognitif dan motorik. Konsentrasi oksigen (O2) kurang
dari 10% akan menyebabkan kehilangan kesadaran, dan pada konsentrasi kurang
dari 8% akan terjadi kematian. Meskipun kecepatan terjadinya hipoksia bebedabeda, orang akan kehilangan kesadaran dalam 40 detik, dan akan meninggal
dalam beberapa menit pada lingkungan oksigen (O2)yang sangat rendah sekitar
4-6%.
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 fase, yaitu : 9
1. Fase dispnoe
Penurunan kadar oksigen sel darah merah da penimbunan CO2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga amplitude dan
frekuensi pernafasan akan meningkat. Nadi cepat, tekanan darah meninggi dan
mulai tampak tanda - tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi ( kejang ), yang mula - mula berupa kejang klonik
tetap kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul episode opistotonik.2,3
Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun.
Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat
kekurangan O2.
3. Fase apnoe
Depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan dapat
berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.
4. Fase akhir
Terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah
kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernafasan berhenti.
G. PEMBEKAPAN
Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari
lingkungan ke dalam mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan
dengan menutup mulut dan hidung dengan menggunakan kantong plastik.
Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana yang terjadi
secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap masih
mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya. 10
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari
rongga hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia.
Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada
pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses
pernafasan tidak dapat berlangsung.
Selain pembekapan yang juga termasuk mati lemas adalah : tindakan
menyumpal rongga mulut dengan benda asing (“choking”); menindih atau
menekan dada korban sehingga dada tidak dapat bergerak (“overlying”), dan
tertimbunnya tubuh korban misalnya tertimbun tanah longsor atau bangunan
runtuh (“traumatic or crush asphyxia”).
Kecuali pembekapan dan penyumpalan atau penyumbatan rongga mulut
yang pada umumnya merupakan kasus pembunuhan; maka yang lainnya yaitu :
overlying, dan traumatic asphyxia biasanya bersifat kecelakaan.
Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah,
orang dewasa yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan
yang terjadi karena pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar
terdapat di mulut, hidung, dan daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar
dan robekan pada bibir, khususnya bibir bagian dalam yang berhadapan dengan
gigi.
Tanda-tanda asfiksia, yaitu :
- Sianosis
Tanda ini dapat dengan mudah dilihat pada ujung-ujung jari dan bibir dimana
terdapat pembuluh darah kapiler. Sianosis mempunyai arti jika keadaan mayat
masih baru (kurang dari 24 jam post mortal).
- Perdarahan Berbintik (petechial haemorrhages; Tardiu`s Spot)
Keadaan ini mudah dilihat pada tempat dimana struktur jaringannya longgar,
seperti pada konjunctiva bulbi, palpebra, dan subserosa lain. Pada kasus yang 11
hebat perdarahan tersebut dapat dilihat pada kulit, khususnya di daerah wajah.
Pelebaran pembuluh darah konjunctiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada
fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat
terutama dalam vena, venula, dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak
endotel kapiler sehingga dinding kaplier yang terdiri dari selapis sel akan pecah
dan timbul bintik-bintik perdarahan.
- Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi.
- Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernafasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran
nafas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat
pecahnya kapiler.
Tanda-tanda asfiksia ini juga disertai dengan adanya luka lecet tekan dan
memar di daerah mulut, hidung, dan sekitarnya, dan merupakan petunjuk pasti
bahwa pada korban telah terjadi pembekapan yang mematikan.
Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain
menekan kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus
pencekikan dengan satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau memar
pada otot leher bagian belakang, yang untuk membuktikannya kadang-kadang
harus dilakukan sayatan untuk melihat otot bagian dalamnya, atau membuka
seluruh kulit yang menutupi daerah tersebut.
Bunuh diri dengan cara pembekapan dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan jiwa, yaitu dengan “membenamkan” wajahnya ke dalam kasur atau
menyumbat dengna benda-benda yang ada di sekitarnya; dan hal tersebut dapat
terjadi khususnya bila dalam keadaan mabuk.
Pada bayi dapat terbekap secara tidak disengaja (accidental smothering),
khususnya bila bayi tersebut prematur, yaitu bila ia tertindih oleh selimut atau 12
bantal. Pada orang dewasa dapat pula terbekap tanpa disengaja, misalnya pada
pekerja yang jatuh pada cairan yang kental, atau pada tumpukan tepung dan
sejenisnya.
Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu :
1. Bunuh diri (suicide)
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya
pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam keadaan mabuk,
yaitu dengan“membenamkan” wajahnya ke dalam kasur, atau menggunakan
bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut. Bisa juga dengan
menggunakan plester yang menutupi hidung dan mulut.
2. Kecelakaan (accidental smothering)
Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh
bantal atau selimut. Selain itu juga dapat terjadi kecelakaan dimana seorang
anak yang tidur berdampingan dengan orangtuanya dan secara tidak sengaja
orangtuanya menindih si anak sehingga tidak dapat bernafas. Keadaan ini
disebut overlying.
Pada anak-anak dan dewasa muda bisa terjadi kecelakaan terkurung
dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit udara, misalnya terbekap
dengan atau dalam kantong plastik.
Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi
yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan hidung tertutup
dengan pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.
3. Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang
dewasa hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang
sakit berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras. 13
Pada pembunuhan dengan pembekapan biasanya dilakukan dengan cara
hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, kain atau dasi yang
dibekapkan pada hidung dan mulut.
Pembunuhan dengan pembekapan dapat juga dilakukan bersamaan
dengan menindih atau menduduki dada korban. Keadaan ini dinamakan
burking.
Sufokasi merupakan bentuk asfiksia akibat obstruksi pada saluran udara
menuju paru-paru yang bukan karena penekanan pada leher atau tenggelam.
a. Jenis - jenis sufokasi, berdasarkan penyebabnya dibedakan atas:
Pembekapan (smoothering). Keadaan ini biasanya adalah kecelakaan berupa
asfiksia pada anak atau bayi karena ibu yang kurang berpengalaman. Bayi
didekap terlalu erat pada dada ibu sewaktu menyusui. Jarang sekali hal ini terjadi
sebagai upaya pembunuhan. Orang dewasa juga sangat jarang mengalami
kematian akibat pembekapan.
Tersedak benda asing (gagging and choking). Yaitu jika terdapat benda asing
di dalam saluran pernafasan. Misalnya biji kopi. Hal ini lebih sering akibat
kecelakaan, yaitu karena adanya makanan, tulang, biji-bijian atau cairan yang
diaspirasi dari saluran pernafasan sehingga menyebabkan asfiksia parsial.
Penekanan pada dada. Keadaan ini sering terjadi akibat kecelakaan dan jarang
sekali merupakan upaya pembunuhan. Pada kasus pembunuhan maka akan
tampak tanda-tanda perlawanan. Penekanan pada dada akan disertai dengan
cedera dada dan fraktur tulang iga.
Inhalasi gas-gas berbahaya. Gas yang sering terhirup adalah karbon dioksida,
karbon monoksida dan sulfur dioksida. Hal ini bisa disebabkan karena
kecelakaan ataupun bunuh diri. Jika seluruh ruangan penuh berisi gas yang
berbahaya, akan mengakibatkan sufokasi yang fatal. 14
b. Penyebab kematian Penyebab kematian pada sufokasi adalah asfiksia dan syok
(jarang). Biasanya dalam waktu 4-5 menit setelah mengalami sufokasi komplit.
Pada beberapa kasus terjadi kematian mendadak.
c. Gambaran post mortem.
1. Pemeriksaan Luar
· Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang
digunakan dan kekuatan menekan.
· Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan
atau geser, jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang,
hidung, lidah dan gusi, yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
· Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam
bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah.
Ujung lidah juga dapat mengalami memar atau cedera.
· Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal,
maka pada pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tandatanda kekerasan. Memar atau luka masih dapat ditemukan pada bibir
bagian dalam.
Pada pembekapan dengan mempergunakan bantal, bila tekanan yang
dipergunakan cukup besar, dan orang yang dibekap kebetulan memakai
gincu (lipstick), maka pada bantal tersebut akan tercetak bentuk bibir
yang bergincu tadi, yang tidak jarang sampai merembes ke bagian yang
lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri.
· Pada anak-anak oleh karena tenaga untuk melakukan pembekapan
tersebut tidak terlalu besar, kelainan biasanya minimal; yaitu luka lecet
tekan dan atau memar pada bibir bagian dalam yang berhadapan dengan
gigi dan rahang.
· Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain
menekan kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus 15
pencekikan dengan satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau
memar pada otot leher bagian belakang, yang untuk membuktikannya
kadang-kadang harus dilakukan sayatan untuk melihat otot bagian
dalamnya, atau membuka sluruh kulit yang menutupi daerah tersebut.
· Bisa didapatkan luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh
korban.
· Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar
maupun pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan
kerokan bawah kuku korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.
2. Pemeriksaan Dalam
· Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di
ekstra vaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh
karena cepatnya proses kematian
· Kongesti (pembendungan yang sistemik)
Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan
merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan
mengeluarkan banyak darah.
· Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada
kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
· Perdarahan Berbintik (Petechial haemorrhages)
Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura visceralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit
kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis
dan daerah subglotis. 16
· Bisa juga didapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.
d. Gambaran Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopik sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi
intravitalitas yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka.
Reaksi ini penting untuk membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang
masih hidup atau sudah mati. Reaksi vital yang umum berupa perdarahan yaitu
ekimosis, petekie dan emboli.
Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan
dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar
karbondioksida. Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat
meminimalisir diagnosis banding dari beberapa kasus kematian yang disebabkan
karena asfiksia.
Gambaran mikroskopis parenkim paru karena peembekapan dapat diperoleh
antara lain sebagai berikut: 17
Pada gambaran di atas terdapat hiperinflasi duktus (ov), kolapnya alveolus
(col), dan edema interstisiel (ed). Hiperinflasi duktus yang terjadi akibat
emfisema yang akut merupakan tanda khas dari kasus sufokasi.
Dalam penerapan ilmu forensik, untuk mengetahui penyebab kematian
karena asfiksia dapat menimbulkan berbagai pertanyaan apabila tidak disertai
tanda-tanda luka di luar maupun di dalam tubuh atau sumbatan pada saluran
pernafasan, dan kondisi saat kematian tidak diketahui secara pasti. Ditambah
pemeriksaan secara makroskopis dan histopatologis kerusakan umum pada
hipoksia seperti edema, perdarahan, emfisema, kongesti pasif dan degenerasi sel
yang biasanya bervariasi dan tidak mengarah pada penemuan tunggal.18
BAB III
RESUME
Definisi asfiksia masih merupakan perbincangan, namun beberapa ahli
menyimpulkan bahwa asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
terjadinya gangguan pertukaran udara pernafasan, mengakibatkan oksigen darah
berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapnea).
Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia
hipoksik) dan terjadi kematian.
Etiologi asfiksia adalah alamiah : misalnya penyakit yang menyumbat
saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau menimbulkan gangguan
pergerakan paru seperti fibrosis paru ; mekanik : misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral,
sumbatan pada saluran nafas dan sebagainya. Kejadian ini sering dijumpai pada
keadaan gantung diri, tenggelam, pencekikan, dan pembekapan ; keracunan :
Bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat,
narkotika.
Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada
pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses
pernafasan tidak dapat berlangsung. Pembekapan juga berarti obstruksi mekanik
terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam mulut dan atau lubang hidung,
yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung dengan
menggunakan kantong plastik
Tanda-tanda asfiksia disertai dengan adanya luka lecet tekan dan memar di
daerah mulut, hidung, dan sekitarnya, merupakan petunjuk pasti bahwa pada
korban telah terjadi pembekapan yang mematikan. 19
Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana yang
terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap
masih mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari
rongga hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia. 20
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ASFIKSIA
2.1.1. Defenisi Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia
atau hipoksia (Amir, 2008).
2.1.2. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru
seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks
bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia
mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun
keracunan (Knight, 1996 ).
2.1.3. Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
Universitas Sumatera Utara- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala
di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab,
bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di
kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen
cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu
lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik
lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang
larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
- Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang
efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.
2.1.4. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan (Amir, 2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen.
Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan
demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan
basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang
lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak
jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup
untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
Universitas Sumatera Utara- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
- Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan
dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena
cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
2.1.5. Stadium Pada Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan
merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi)
bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan
tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi
dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke
stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh,
kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga
feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih
tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2ini terus berlanjut, maka
penderita akan masuk ke stadium apnoe.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi
lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan
Universitas Sumatera Utaralumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan
denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung
masih berdenyut beberapa saat lagi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 3-5 menit.
2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:
a. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama
pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit
dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata.
Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga
terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus,
mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
b. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi
akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi
pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong
darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini
akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang
Universitas Sumatera Utaratidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia,
harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang
sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang
kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher
dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
d. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian
akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang
terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah
proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut
diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis
asfiksia
2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia
Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu:
a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut.
Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir
luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau
tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang
tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit
mendapatkan tanda-tanda kekerasan.
b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh
berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas
jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut.
Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua
kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan
didapati pada bagian terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat,
Universitas Sumatera Utarakarena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses
pembendungan.
Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang
jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tandatanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia yang lain juga didapati.
Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya
melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan
tekanan tali pada leher.
Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati,
kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher
tetap menjadi petunjuk yang baik.
2.1.8. Pemeriksaan Jenazah
a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997):
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang
tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar
membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi
selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang
cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadangkadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat
longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain.
Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
Universitas Sumatera Utara5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam
vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah
dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s
spot.
Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu’s spot ini timbul karena
permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.
b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah
yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura
viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura
interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
7.
Universitas Sumatera Utara2.2. ASFIKSIA MEKANIK
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997), misalnya:
a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan
(smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
2.3. MATI GANTUNG (HANGING)
2.3.1. Defenisi
Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan
dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan
gravitasi dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 1996).
2.3.2. Etiologi Kematian pada Penggantungan
Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu:
a. Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya
berada di atas tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada
leher, sehingga saluran pernafasan menjadi tersumbat.
b. Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan
pada vena jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi
terhambat.
c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena
Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada
kebanyakan kasus dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh
penjerat yang berada di sekitar leher.
Universitas Sumatera Utarad. Iskemik Otak (anoxia)
Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam
menyuplai darah ke otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.
e. Syok Vagal
Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan
pada refleks vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya
tekanan pada saraf vagus atau sinus karotid.
f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3
Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada
ketinggian 1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan
dislokasi dari vertebra servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau
merobek spinal cord sehingga terjadi kematian yang tiba-tiba.
2.3.3. Jenis Penggantungan
a. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008),
yaitu:
1. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas
lantai.
2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh
tergantung, misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut,
dalam posisi telungkup dan posisi lain.
b. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada
saluran nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri
Universitas Sumatera Utarakarotis dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak
sadar.
2.3.4. Tanda Post Mortem
Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau
tekanan di leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan
maka dijumpai tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir
konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka
sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva
bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka. Bila tekanan lebih besar
sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda kekurangan darah di otak lebih
menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan gangguan pada sentra respirasi dan
berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus menyebabkan jantung tiba-tiba
berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang
berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda gabungan (Amir, 2008).
2.3.5. Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008),
yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik,
tidak bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan,
kering seperti kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan
vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas
jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.
Simpul terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati
juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan
keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila
bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak
Universitas Sumatera Utarabegitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban
tergantung, berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain
bisa didapati leher dibeliti beberapa kali secara horizontal baru kemudian
digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap,
tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang
menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila
segera diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa
sembab, bintik perdarahan Tardieu’s spot tidak begitu jelas, lidah terjulur
dan kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut,
sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di
kaki dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa
di dapati di bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh
sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya
darah.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan
congested, demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat
Tardieu’s spot di permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah
berwarna gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan
yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red
line) pada tunika intima dari arteri karotis interna.
Universitas Sumatera UtaraTabel 2.1 : Cara membedakan kematian (pembunuhan atau bunuh diri)
Pembunuhan Bunuh Diri
Alat penjerat:
- Simpul
- Jumlah lilitan
- Arah
- Jarak titik tumpusimpul
Biasanya simpul mati
Hanya satu
Mendatar
Dekat
Simpul hidup
Satu atau lebih
Serong ke atas
Jauh