Referat Artritis Gout
-
Upload
jendral113 -
Category
Documents
-
view
93 -
download
7
description
Transcript of Referat Artritis Gout
ARTRITIS GOUT
Penyakit rematik atau arthritis adalah salah satu penyakit yang sering
ditangani dokter dalam praktek sehari-hari. Penyebab rematik sangat bervariasi
dan berkaitan dengan faktor turunan, ganguan imunitas, infeksi, keganasan dan
lain lain. Jenis, berat dan penyebaran penyakit rematik dipengaruhi oleh bebrapa
faktor resiko seperti faktor umur, jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan.
Pada referat ini akan dibahas mengenai pengertian tentang penyakit-penyakit
muskuloskeletal yang difokuskan pada penyakit Gout arthritis, etiologi penyakit,
gejala klinis, diagnosis dan penatalaksanaannya, juga hasil prognosis.1,2
Definisi
Artritis gout adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh episode artritis
akut dan berulang yang sering menyerang sendi kecil akibat adanya endapan
kristal monosodium urat dalam jaringan. Penimbunan kristal monosodium urat
monohidrat terjadi di jaringan akibat adanya supersaturasi asam urat.1
Pada artritis gout stadium kronis, dapat ditemukan topus, yaitu nodul padat
yang terdiri dari deposit kristal asam urat yang keras dan tidak nyeri yang dapat
ditemukan pada sendi atau jaringan.1
Epidemiologi
Arthritis gout lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan,
puncaknya pada dekade ke-5. Di Indonesia, arthritis gout terjadi pada usia yang
lebih muda, sekitar 32% pada pria berusia kurang dari 34 tahun. Pada wanita,
kadar asam urat umumnya rendah dan meningkat setelah usia menopause.
Prevalensi arthritis gout di Bandungan, Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok
usia 15-45 tahun sebesar 0,8%; meliputi pria 1,7% dan wanita 0,05%. Di
Minahasa (2003), proporsi kejadian arthritis gout sebesar 29,2% dan pada etnik
tertentu di Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata telah menderita gout 6,5
tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih parah.3
1
Etiologi
Gejala arthritis gout akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap
pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari
penyebabnya, penyakit ini termasuk dalam golongan kelainan metabolik. Asam
urat merupakan zat sisa yang dibentuk oleh tubuh pada saat regenerasi sel.
Beberapa orang dengan gout membentuk lebih banyak asam urat dalam tubuh nya
(10%). Sisanya (90%), tubuh anda tidak efektif membuang asam urat melalui air
seni. Genetik, jenis kelamin dan nutrisi (peminum alkohol, obesitas) memegang
peranan penting dalam pembentukan penyakit gout.1,4
Klasifikasi Hiperusemia dan Artritis Gout
Klasifikasi hiperurisemia dan gout sebagai berikut:5
I. Primer
1. Metabolik (Kelebihan Produksi)
a. Idiopatik (10% dari gout primer)
b. Berhubungan dengan gangguan enzim (<1%)
Kelebihan produksi fosforibisil pirofosfat (PRPP) sintetase
Defisiensi hiposantin guanin fosforobosil transfase (HGPRT) parsial
Defisiensi HGPRT komplit
2. Renal (undereskresi idiopatik 90% gout primer)
II. Sekunder
1. Metabolik
a. Peningkatan turnover asam nukleat contohnya hemolisis kronik, gangguan
limfoproliferatif atau mieloproliferatif.
b. Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidroginase (G6PD) contohnya glycogen
storage disease.
2
2. Renal
a. Gagal ginjal akut atau kronik
b. Deplesi volume
c. Gangguan pada tubulus oleh karena obat-obatan atau produksi metabolik.
Patogenesis
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara produksi
dan sekresi. Ketika terjadi ketidakseimbangan dua proses tersebut maka terjadi
keadaan hiperurisemia yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan
asam urat di serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang
timbunan asam urat dalam bentuk garam yaitu monosodium urat (MSU) di
berbagai jaringan. 6,7
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur yang lebih rendah seperti
pada sendi perifer tangan dan kaki dapat menjelaskan kenapa kristal MSU mudah
diendapkan di kedua tempat tersebut. Predileksi pengendapan kristal MSU pada
metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang
berulang-ulang pada daerah tersebut. Perubahan matrik ekstraseluler seperti
proteoglikan, kondroitin sulfat, serat kolagen dan sebagainya atau debris dalam
cairan sinovial dapat menjadi nidus (inti atau nucleating agent) pembentukan
kristal. Kristal MSU yang terbentuk bisa mengalami disolusi spontan atau
mengalami akumulasi kronik di jaringan membentuk topus terutama di sinovium
dan permukaan kartilago. Topus di jaringan sinovial tetap stabil karena biasanya
diselimuti albumin dan imunoglobulin.8,9
Awal artritis gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum
karena kadar asam urat yang stabil jarang menimbulkan serangan. Pengobatan
dengan allopurinol, trauma, pembedahan dan asupan alkohol yang berlebihan
dapat menjadi faktor pencetus artritis gout akut. Keadaan ini menyebabkan
terlepasnya kristal monosodium urat dari depositnya di sinovium atau tophi
(crystals shedding).7,9
3
Kristal MSU ditangkap oleh reseptor TLR2 dan TLR4, suatu reseptor
transmembran yang terdapat pada permukaan sel imun inate seperti monosit atau
makrofag. Proses fagositosis ini dibantu oleh protein adaptor Myd88 dan CD14.
CD14 terdapat pada permukaan sel fagosit yang dapat melipatgandakan respon
seluler yang dirangsang oleh ligand TLR2 dan TLR4. Sedangkan protein adaptor
Myd88 bersama phosphatidylinositol 3 kinase, Rac1 dan Akt meneruskan sinyal
untuk aktivasi faktor traskripsi nuclear factor kappa B (NFκβ) di inti sel untuk
membentuk berbagai molekul proinflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-
α), interleukin-1β (IL-1β), IL-6, CXCL8 (IL-8), dan CXCL1 (growth-related
oncogene α).10
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis artritis gout bervariasi bergantung pada stadium yang sedang
terjadi:
1. Hiperurisemia asimptomatik
Stadium ini ditandai dengan adanya peningkatan kadar asam urat dalam darah
tanpa disertai manifestasi klinis, hiperurisemia bisanya dimulai pada masa
pubertas pada pria yang mempunyai risiko tinggi terjadinya gout tetapi pada
wanita fase ini biasanya mulai setelah menopouse.
2. Serangan artritis gout akut
Fase ini merupakan manifestasi klinis yang paing sering dijumpai. Gambaran
klinis sangat khas sehingga diagnosis dapat ditegakkan dengan mudah. Biasanya
menyerang sendi metatarsofalangeal I (MTP I), selain itu pada pergelangan kaki,
lutut, pergelangan tangan, jari tangan dan siku.
Serangan artritis gout ditandai adanya nyeri yang cepat yang memperngaruhi
persendian dan diikuti panas, bengkak, kemerahan dan sangat nyeri. Nyeri
biasanya menyerang satu persendian (monoartikuler 90%). Kecuali pada wanita
yang bersifat poliartikuler. Nyeri pada artritis gout disebabkan deposit kristal
4
asam urat di dalam jaringan sendi, Bila tidak diobati akan sembuh sendiri dalam 7
sampai 10 hari.
Serangan artritis gout ini dapat dicetuskan oleh adanya stres, trauma, infeksi,
dehidrasi, operasi, starvasi, alkohol, obat-obatan, penurunan berat badan, dan
makan makanan tertentu yang berlebihan, selain itu juga ada perubahan profil
lipid pada saat serangan artritis gout.
Serangan artritis gout dapat dicegah bila level asam urat serum < 6,0 mg/dl
yaitu dengan cara mempertahankan intake cairan yang adekuat, penurunan berat
badan, perubahan diet, mengurangi konsumsi alkohol dan obat-obatan yang
menurunkan hiperurisemia.
3. Interkritikal gout
Merupakan fase antara satu serangan akut gout dengan serangan berikutnya
pada stadium awal periode ini biasanya tanpa gejala dan tanpa kelainan
pemeriksaan meskipun pada periode ini bersifat asimtomatik, tetapi kristal MSU
dapat ditemukan pada cairan sendi yang terlibat.
4. Stadium kronis tofeseus gout
Stadium ini dimulai dengan ditemukan adanya topus di sendi atau sekitar
sendi. Timbulnya topus bervariasi antara 3 sampai 42 tahun, kebanyakan setelah
10 tahun dan terjadinya topus berkorelasi dengan derajat dan lamanya
hiperurisemia. Pada kadar asam urat > 11mg/dl kemungkinan terjadinya topus
pada sendi semakun banyak dan besar.
Topus juga dihubungkan dengan makin muda umur dan makin lama menderita
artritis gout, topus dapat ditemukan di daerah kartilago, membran sinovialm
tendon, jaringan lunak, dan berbagai tempat seperti telinga, jari-hari tangan,
tangan, siku, lutut atau kaki. Topus dapat single dan multiple, berukuran kecil
sampai merupakan gumpalan besar sangat menganggu pergerakan sendi, sering
disertai dengan adanya luka yang mengeluarkan cairan berwarna keputih-putihan
berisi kristal berbentuk jarum. Pada topus kecil yang sukar dibedakan dengan
5
nodul rematik yang lain. Maka aspirasi sendi atau biopsi topus dapat digunakan
untuk memastikan diagnosis.
Apabila tidak ditatalaksana dengan baik serangan artritis gout akan
berlangsung lebih sering, mengenai banyak sendi (poliartikuler), semakin berat
dan semakin lama serta gejala sistemik yang lebih berat pula.1
Diagnosis
Diagnosis artritis gout akut ditegakan berdasarkan gejala klinis, laboratorium
dan radiologis. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk melihat adanya kristal
MSU dari aspirasi cairan sendi dengan mikroskop polarisasi dan pengukuran
kadar asam urat darah. Pemeriksaan radiologis pada sendi yang terkena tidak
menunjukan suatu gambaran yang spesifik tetapi untuk menyingkirkan penyebab
radang sendi lainya.11,12
Menurut criteria ACR (American Collage of Rheumatology) diagnosis dapat
ditegakkan jika:
1. Didapatkan kristal monosodium urat dalam cairan sendi atau
2. Didapatkan tofus yang mengandung kristal MSU atau
3. ditemukan 6 dari beberapa kriteria dibawah ini:
a. lebih dari 1 kali serangan artritis akut
b. Inflamasi maksimal berkembang dalam 1 hari
c. Arthritis monoartikuler
d. Kemerahan pada sendi
e. bengkak + nyeri pada MTP-1
f. serangan unilateral pada MTP-1
g. serangan unilateral pada sendi-sendi tarsal
h. dicurigai tofus
i. hiperurisemia
j. pembengkakan sebuah sendi asimetrik ( pada foto roentgen )
k. kista subkortikal tanpa erosi ( pada foto roentgen )
l. kultur mikroorganisme cairan sendi negative.
6
Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos
Foto polos dapat digunakan untuk mengevaluasi gout, namun, temuan
umumnya baru muncul setelah minimal 1 tahun penyakit yang tidak terkontrol.
Bone scanning juga dapat digunakan untuk memeriksa gout, temuan kunci pada
scan tulang adalah konsentrasi radionuklida meningkat di lokasi yang terkena
dampak.
Pada fase awal temuan yang khas pada gout adalah asimetris pembengkakan
di sekitar sendi yang terkena dan edema jaringan lunak sekitar sendi.
Pada pasien yang memiliki beberapa episode yang menyebabkan arthritis gout
pada sendi yang sama, daerah berawan dari opasitas meningkat dapat dilihat pada
foto polos.
Pada tahap berikutnya, perubahan tulang yang paling awal muncul. Perubahan
tulang awalnya muncul pada daerah sendi pertama metatarsophalangeal (MTP).
Perubahan ini awal umumnya terlihat di luar sendi atau di daerah juxta-artikularis.
Temuan ini antara-fase sering digambarkan sebagai lesi menekan-out, yang dapat
berkembang menjadi sklerotik karena peningkatan ukuran.
7
Diagnosa banding
Rheumatoid arthritis 1,13,14
Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang
beberapa sendi dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III).
Proses inflamasi ini terutama mempengaruhi lapisan sendi (membran sinovial),
tetapi dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya.
Rheumatoid arthritis dapat menyebabkan sinovitis, serositis (inflamasi pada
permukaan lapisan sendi, perikardium, dan pleura), nodul rheumatoid, dan
vaskulitis bila proses ini terus-menerus dapat menyebabkan penghancuran tulang
rawan artikular dan ankylosis. Sel-sel radang rheumatoid arthritis dapat juga
menyebar ke paru-paru, perikardium, pleura, sklera, lesi nodular, jaringan
subkutan di bawah kulit. Meskipun penyebab rheumatoid arthritis tidak diketahui,
namun peranan auto-imunitas sangat penting terjadinya proses inflamasi kronik.
Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki dibawah
umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70 tahun. Pada
wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan
konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75 tahun.
Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa artritis
reumatoid mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen infeksius
pada orang-orang yang rentan secara genetik. Karena distibusi artritis reumatoid
yang luas, hal ini menimbulkan hipotesis bahwa jika penyebabnya adalah agen
infeksius, maka organisme tersebut haruslah tersebar secara luas. Beberapa
kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk mikoplasma, virus
Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tetapi
berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang
menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis reumatoid.
8
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun
dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam
4. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang.
5. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak
ekstensi.
6. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling
sering dari deformitas ini adalah bursa olecranon (sendi siku) atau sepanjang
permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-nodul ini dapat
9
juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini biasanya
merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-
organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata,
dan pembuluh darah dapat rusak.
Bila ditinjau dari stadium, maka pada RA terdapat tiga stadium yaitu:
a. Stadium sinovitis: Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan
sinovial yang ditandai adanya hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada
saat istirahat maupun saat bergerak, bengkak, dan kekakuan.
b. Stadium destruksi: Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi
tendon. Selain tanda dan gejala tersebut diatasterjadi pula perubahan bentuk
pada tangan yaitu bentuk jari swan-neck.
c. Stadium deformitas: Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan
berulang kali, deformitas dan ganggguan fungsi secara menetap. Perubahan
pada sendi diawali adanya sinovitis, berlanjut pada pembentukan pannus,
ankilosis fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang.
Kerusakan fungsi pada sendi yang mengalami rheumatoid arthritis
diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan pada sendi berdasarkan klasifikasi
Steinbroker yaitu;
Stadium I : hasil radiografi menunjukkan tidak adanya kerusakan pada
sendi.
Stadium II : terjadi osteoporosis dengan atau tanpa kerusakan tulang yang
ringan disertai penyempitan pada ruang sendi.
Stadium III : terjadi kerusakan pada kartilago dan tulang tertentu dengan
penyempitan ruang sendi; sehingga terjadi perubahan bentuk sendi.
10
Stadium IV : imobilisasi menyeluruh pada sendi karena menyatunya
tulang-tulang dengan sendi.
Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis
reumatoid dari American Rheumatism Association:
Kriteria Definisi
1. Kekakuan pagi hariKekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi, lamanya
setidaknya 1 jam
2. Artritis pada tiga
atau lebih area
sendi
Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan
peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri proksimal
interfalangs (PIP), metacarpofalangs (MCP), pergelangan
tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan sendi
metatarsofalangs (MTP)
3. Artritis pada sendi
tangan
Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
sendi MCP atau sendi PIP
4. Artritis simetrisSecara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama pada
kedua bagian tubuh
5. Nodul-nodul
reumatoid
Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau permukaan
regio ekstensor atau regio juksta-artikular
6. Serum faktor
reumatoid
Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor
reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal
7. Perubahan
radiografik
Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada
radiografik tangan dan pergelangan tangan posteroanterior,
dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi terlokalisasi yang
tegas pada tulang.
Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien memenuhi
11
setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah berlangsung sekurang-
kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis, tidak dikeluarkan pada kriteria
ini.
Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan
periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi
dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan
lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar
pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas
prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang
sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain,
sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.
A : Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B : Erosi komplit pada
pergelangan tangan
Tujuan terapi rheumatoid arthritis yaitu : Menghilangkan gejala
peradangan/inflamasi yang aktif baik lokal maupun sistemik. Mencegah terjadinya
kerusakan pada jaringan. Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk
sendi dan menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
12
Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang mengalami AR agar
sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID). NSAID antara lain, aspirin,
ibuprofen, ketoprofen dan diklofenac juga obat selektif baru nabumeton dan
meloxicam yang sangat berguna untuk mengurangi peradangan dengan
menghalangi proses produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat ini
menghambat sintetase prostaglandin atau siklooksigenase. Enzim-enzim ini
mengubah asam lemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi
prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar
yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin.
Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan artritis reumatoid.
Produksi dari prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan ini memberikan efek
analgesik, anti-inflamasi, dan anti-piretik.
Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD). Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, D-penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini memberikan beberapa karakteristik.
Terapi glukokortikoid. Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi simptomatik pada penderita artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5 mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol gejala. Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi tulang.
Operasi. Tindakan operasi bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan bentuk sendi yang cacat dan untuk menghilangkan sinovium yang rusak sehingga sinovium baru dapat terbentuk, transfer tendon bisa memperbaiki fungsi bila telah putus.
Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena OA.15
13
Prevalensi OA radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifat yang kronik –progresif, OA mempunyai dampak priko- ekonomik yang besar, baik dinegara maju atau negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin banyaknya populasi yang berumur tua.15
Pada umumnya penderita Osteoarthritis ini, etiologinya tidak diketahui. Namun beberapa faktor yang disebut-sebut mempunyai peranan atas timbulnya Osteoarthritis antara lain :15
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi, dan beratnya osteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tidak pernah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun Hal ini disebabkan karena adanya hubungan antara umur dengan penurunan kekuatan kolagen dan proteoglikan pada kartilago sendi.
2. Jenis kelamin
Pada orang tua yang berumur lebih dari 55 tahun, prevalensi terkenanya osteoartritis pada wanita lebih tinggi dari pria. Usia kurang dari 45 tahun Osteoarthritis lebih sering terjadi pada pria dari wanita.
3. Suku bangsa
Osteoartritis primer dapat menyerang semua ras meskipun terdapat perbedaan prevalensi pola terkenanya sendi pada osteoartritis. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaaan pada frekuensi pada kelainan kongenital dan pertumbuhan.
4. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya mutasi dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis.
5. Kegemukan dan penyakit metabolik
14
Berat badan yang berlebih ternyata dapat meningkatkan tekanan mekanik pada sendi penahan beban tubuh, dan lebih sering menyebabkan osteoartritis lutut. Kegemukan ternyata tidak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tetapi juga dengan osteoartritis sendi lain, diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut antara lain penyakit jantung koroner,diabetes melitus dan hipertensi.
6. Cedera sendi (trauma), pekerjaan dan olah raga
Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian suatu sendi yang terus-menerus, berkaitan dengan peningkatan resiko osteoartritis tertentu. Demikian juga cedera sendi dan oleh raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan resiko osteoartritis yang lebih tinggi.
Gambaran klinis umunya berupa nyeri sendi terutama apabila bergerak atau menanggung beban. Dapat pula terjadi kekauan sendi jika sendi bergerak lama, tetapi akan hilang setelah sendi digerakkan. Kekakuan dipagi hari, tetapi hanya bertahan beberapa menit. Spasme otot atau instabilitas sendimenyebabkan peregangan kapsul sendi yang terganggu adalah sumber nyeri.3 Pada sebagian pasien OA lanjut , nyeri sendi mungkin disebabkan oleh sinovisitis. Sinovisitis OA mungkin terjadi karena fagositosis shard tulang rawan dan tulang permukaan sendi yang mengalami abrasi, atau pelepasan makromolekul matriks larut, seperti glikosaminoglikan atau proteoglikan dari tulang rawan. Efusi sinovium, bila ada biasanya tidak besar, pada palpasi sendi mungkin terasa hangat. Pembengkakan pada sendi sifatnya asimetris.16,17,18
Gambaran lain adalah keterbatasan dalam gerak, nyeri tekan local, pembesaran tulang disekitar sendi, sedikit efusi sendi, dan krepitasi sebagai akibat pergesekan permukaaan yang terpajan. Perubahan yang khas adalah nodus Heberden pada sendi interfalang distal dan nodus Bouchard pada interfalang proksimal.15
Perubahan yang khas juga terjadi pada tulang belakang yang akan menjadi nyeri, kaku, dan akan mengalami keterbatasan dalam bergerak. Pertumbuhan tulang yang berlebihan atau spur dapat mengiritasi radiks yang keluar dari tulang vertebra. Hal ini mneyebabkan perubahan neuromuscular, seperti nyeri, kekakuan, dan keterbatasan gerak.Ada orang yang mengeluh sakit kepala sebagai akibat langsung dari OA tulang belakang bagian leher. 18
15
Kriteria diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi American College of Rheumatology seperti tercantum pada table berikut ini: 19
Klinik dan
Laboratorik
Klinik dan Radiografik Klinik
Nyeri lutut + minimal 5dari 9 kriteria berikut :- Umur > 50 tahun- Kaku pagi < 30 menit- Krepitus- Nyeri tekan- Pembesaran tulang- Tidak panas padaperabaan- LED < 40 mm / jam- RF < 1 : 40- Analisis cairan sendiNormal
Nyeri lutut + minimal 1dari 3 kriteria berikut :- Umur > 50 tahun- Kaku pagi < 30 menit- Krepitus+OSTEOFIT
Nyeri lutut + minimal 3dari 6 kriteria berikut :- Umur > 50 tahun- Kaku pagi < 30 menit- Krepitus- Nyeri tekan- Pembesaran tulang- Tidak panas padaPerabaan
1. Terapi non farmakologis:15
a. Edukasi: menjelaskan kepada penderita tentang seluk beluk penyakitnya,
bagaimana menjaganya agar tidak bertambah parah
b. Terapi fisik dan rehabilitasi: melatih pasien agar persendiannya agar tetap
dapat dipakai, evaluasi pola kerja dan aktivitas sehari- hari
c. Penurunan berat badan: karena merupakan salah satu faktor resiko,
penderita disarankan untuk menurunkan berat badan hingga bila mungkin
mendekati ideal.
2. Terapi farmakologis:15
a. Analgetik oral non opiad: asetaminofen, aspirin dan ibuprofen untuk
menghilangkan nyeri.
b. Analgetik topical: krim kapsaisin mengurangi nyeri pada ujung saraf local.
c. Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS): analgetik- antiinflamasi.
Namun, penggunaaannya harus dikontrol sebab banyak menyebabkan efek
samping berupa gastritis hingga ulkus peptikum.
d. Chondroprotective agent: obat- obat yang dapat menjaga atau merangsang
perbaikan tulang rawan sendi. Sebagian peneliti menggolongkannya dalam
16
Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying
Anti Osteoarthritis Drugs (DMOADs):
1) Tetrasiklin: menghambat kerja enzim MMP
2) Asam hialuronat (viscosupplement): memperbaiki viskositas cairan
synovial, diberika intraarthrikuler. Asam hialuronat ternyata
memegang peranan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan
melalui agregasi dengan proteoglikan.
3) Glikosaminoglikan: menghambat sejumlah enzim degradasi tuang
rawan., seperti hialuronidase, protease, elastase, dan katepsin.
4) Kondroitin sulfat: salah satu jaringan yang mengandung kondroitin
sulfat adalah kartilago dan zat ini merupakan bagian dari proteoglikan.
Kondroitin sulfat memiliki efek: antiinflamasi, efek metabolic terhadap
sintesis hialuronat dan proteoglikan, dan anti degradatif melalui
hambatan enzim proteolitik
5) Vitamin C: menghambat enzim lisozim.
6) Superoxide Dismutase: menghilangkan superoxide dan hydroxyl
radikal yang merusak asam hialuronat, kolagen, dan proteoglikan.
7) Steroid Intra-artrikuler: kejadian inflamasi kadang terjadi pada OA
sehingga mampu mengurangi rasa sakit, tetapi penggunaannya masih
controversial.
3. Terapi bedah: jika terapi farmakologis tidak berhasil. Dirancang untuk
membuang badan badan yang lepas, memperbaiki jaringan penyokong yang
rusak, atau menggantikan seluruh
Penatalaksanaan Artritis Gout
Secara umum penanganan artritis gout dilakukan dalam 3 langkah yaitu: (1)
mengobati serangan akut, (2) melakukan profilaksis untuk mencegah peradangan
akut berulang dan, (3) menurunkan kadar asam urat yang berlebihan untuk
mencegah peradangan dan penimbunan kristal asam urat di jaringan. Langkah-
langkah tersebut dapat berupa pemberian edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi
17
dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan
sendi atau komplikasi lain, seperti pada ginjal. Pengobatan artritis gout akut
bertujuan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan peradangan dengan kolkisin,
OAINS, kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti
allopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut, namun
pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat sebaiknya tetap
diberikan. 10,11
Sebagai aturan umum, penderita hiperurisemia yang asimptomatis tidak perlu
diterapi, meskipun pada pemeriksaan USG menunjukkan adanya timbunan kristal
asam urat dalam jaringan lunak pada sebagian kecil pasien.12,13 Namun pasien
dengan kadar asam urat lebih dari 11mg/dl yang mengeskresikan asam urat
berlebihan lewat urin beresiko tinggi terkena batu ginjal dan gangguan fungsi
ginjal, sehingga perlu dilakukan pemantauan fungsi ginjal.10
Tofus sebaiknya tidak dilakukan pembedahan kecuali jika berada di lokasi
yang kritis. Pembedahan baru diindikasikan bila terdapat komplikasi dari topus
meliputi infeksi, deformitas sendi, penekanan (seperti penekanan pada spinal cord
ataupu cauda ekuina oleh topus) dan nyeri yang tidak teratasi sebagai akibat erosi
topus. Pada 50% pasien yang menjalani pembedahan mengalami penyembuhan
yang lambat.
Terapi pada serangan akut lebih diarahkan pada menghilangkan rasa nyeri dan
peradangan. Pilihan terapi untuk serangan akut yaitu NSAID, kortikosteroid,
kolkisin dan ACTH.13 NSAID diberikan full dose selama 2-5 hari, bila perbaikan,
dosis dikurangi hingga kira-kira setengah hingga seperempatnya. Pada dasarnya,
NSAID yang digunakan sebaiknya merupakan inhibitor yang selektif terhadap
COX-2.13 Akan tetapi, di Indonesia sering digunakan indometasin dengan
dosis150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan 75-100 mg/hari untuk minggu
berikutnya atau sampai nyeri dan peradangan berkurang. Dapat juga diberikan
Naproxen 3x750 mg selama 2-3 hari kemudian dilanjutkan 3x250 mg atau sodium
diklofenak 3x50 mg. Adapun dosis kolkisin adalah 1,2 mg inisial diikuti oleh 0,6
18
mg per jam hingga dosis total 4,8 mg dalam waktu 6 jam. Di amerika, kolkisin
sudah jarang digunakan. Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila pemberian
kolkisin dan NSAID tidak efektif atau dikontraindikasikan.
Jika pasien tidak menunjukkan respon yang adekuat terhadap terapi inisial
dengan obat tunggal, ACR menyarankan untuk menambahkan obat kedua sebagai
terapi kombinasi. Selain itu, penggunaan terapi kombinasi dari awal juga sangat
tepat untuk serangan akut gout yang berat, khususnya bila menyerang banyak
sendi besar (poliartikular). Regimen kombinasi yang diterima yaitu:
Kolkisin + NSAIDS
Kortikosteroid oral + kolkisin
Steroid intraartikular + kolkisin/NSAIDS
Pada stadium interkritik dan menahun tujuan pengobatan adalah untuk
menurunkan kadar asam urat hingga normal, guna mencegah kekambuhan.
Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan
pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik lain.
Komplikasi
Deposit asam urat dapat menjadi batu dan menyebabkan nefrolitiasis urat.
Insiden meningkat dengan peningkatan eksresi asam urat. PH urine menurun,
riwayat keluarga atau diri sendiri pernah memiliki batu asam urat.
Dapat pula terjadi gagal ginjal akut setelah terjadinya pelepasan massif asam
urat yang berlansung pada pasien yang telah mengalami pengobatan karena
kelainan mielo- atau limfoproliferatif.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi IV. Pusat penerbitan departemen
ilmu penyakit dalam fakultas kedookteran indonesia, jakarta. Hal : 1208-1210.
2. Terkeltaub, Gout: Epidemiology, Pathology and Pathogenesis in Klippel (ed.),
Primer on the Rheumatic Diseases, Edisi 12, Athritis Foundation, Atlanta,
2010.
3. Andreoli TE. Bennett JC, carpenter CCJ. Plum F. Hyperuricemia anda Gout.
In Cecil Essentials of Medicine. 4th Ef. W.B Saunders Company,
Philadelphia,London, Toronto, 2008
4. Nuki, Gout in Rheumatology, Medicine Int., 2009, 42(12): 54-59
5. Hidayat R. Hiperurisemia dan gout. Medicinus 2009; 22:47-50
6. Dalbeth N, Haskard DO. Mechanisms of inflammation in gout. Rheumatology
2010;44:1090–6.
7. Choi HK, Mount DB, Reginato AM. Pathogenesis of gout. Annals of Internal
Medicine 2011;143: 499-515.
8. Pope RM, Tschopp J. The Role of Interleukin-1 and the inflammasome in
gout: implications for therapy. Arthritis and Rheumatism 2007;56:3183–8.
9. So A. Developments in the scientific and clinical understanding of gout.
Arthritis Research & Therapy 2008;10:221- 6.
10. Sumariyono. Diagnosis dan tatalaksana artritis gout akut. In:Gustaviani R,
Mansjoer A, Rinaldi I eds. Naskah Lengkap Penyakit Dalam PIT 2007.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2007.172-8.
11. Putra TR. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis pirai. In: Setyohadi B,
Kasjmir YI eds. Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2008. Jakarta:
2008; 113-8.
12. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the
prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States.
Part II. Arthritis Rheum. 58(1):26–35.
20
13. Rothschild BM. Gout and Pseudogout Treatment & Management. Emedicine
online. 2015. Accessed from: http://emedicine.medscape.com/article/329958-
treatment#aw2aab6b6b2
14. De Miguel E, Puig JG, Castillo C, Peiteado D, Torres RJ, Martín-Mola E.
Diagnosis of gout in patients with asymptomatic hyperuricaemia: a pilot
ultrasound study. Ann Rheum Dis. Jan 2012;71(1):157-8.
15. Soeroso, Joewono.Isbagio, Harry.dkk.Osteoartritis. Dalam: Sudoyo, Aru
W.dkk. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta. Penerbit
InternaPublishing. 2009. Hal: 2538-2548.
16. Burns, Dennis K. Penyakit Sendi. Dalam: Hartanto, Huriawati.Robbins: Buku
Ajar Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2007. Hal: 862-864.
17. Carter, Michael A. Osteoartritis. Dalam: Hartanto, Huriawati. Patofisiologi:
Konsep Klinis Proses- proses Penyakit Volume 2. Edisi 6. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.2006.Hal:1380-1383.
18. Michael, S.Osteoarthritis. http://www.seniorjournal.com. Diakses 14 juni
2015.
19. Roland, D.Osteoarthritis Investigation. http://www.orthoanswer.org. Diakses
14 juni 2015.
20. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :
Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3):737–747.
21. Kasmir, Yoga. 2009. Penatalaksanaan Osteoartritis. Sub-bagian Reumatologi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
21