Referat Anestesi New

64
KATA PENGANTAR Puji sukur saya panjatkan kepada Tuhan atas berkat dan rahmat- Nya kami dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul Pengelolaan Nyeri dan Analagesia Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Anastesia. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Hutapea Sp. An sebagai pembimbing dalam pembuatan referat ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada dokter-dokter pembimbing di RSU UKIatas bimbingan yang kami dapat selama kepaniteraan klinik ini. Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan masukan yang berguna bagi penulis. Lepas dari segala kekurangan yang ada, kami berharap semoga referat ini membawa manfaat bagi kita semua. Jakarta, November 2015 i

description

.

Transcript of Referat Anestesi New

Page 1: Referat Anestesi New

KATA PENGANTAR

Puji sukur saya panjatkan kepada Tuhan atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat

menyelesaikan referat ini yang berjudul Pengelolaan Nyeri dan Analagesia

Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik Bagian

Ilmu Anastesia.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Hutapea Sp.

An sebagai pembimbing dalam pembuatan referat ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis

sampaikan kepada dokter-dokter pembimbing di RSU UKIatas bimbingan yang kami dapat

selama kepaniteraan klinik ini.

Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak

kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter

pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan masukan yang

berguna bagi penulis.

Lepas dari segala kekurangan yang ada, kami berharap semoga referat ini membawa

manfaat bagi kita semua.

Jakarta, November 2015

Penulis

i

Page 2: Referat Anestesi New

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

I.1. KONSEP NYERI.......................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI NYERI..................................................................................... 3

2.2 MEKANISME NYERI ............................................................................... 5

2.2.1 Sensitisasi Perifer ............................................................................... 5

2.2.2 Sensitisasi Sentral .............................................................................. 7

2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI) ....................................................... 6

2.4 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY) ........................... 8

2.4.1 Proses Transduksi .............................................................................. 8

2.4.2 Proses Transmisi ................................................................................ 8

2.4.3 Proses Modulasi ................................................................................. 9

2.4.4 Persepsi .............................................................................................. 9

2.5 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK............................................ 10

2.6 KLASIFIKASI NYERI ............................................................................... 11

2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik ...................................................................... 11

2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik ...................................................... 12

2.6.3 Nyeri Viseral ...................................................................................... 13

2.6.4 Nyeri Somatik .................................................................................... 14

2.7 PENILAIAN NYERI .................................................................................. 14

2.8 PENANGANAN NYERI ............................................................................ 21

2.8.1 Farmakologis ...................................................................................... 19

BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 42

ii

Page 3: Referat Anestesi New

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral................................ 6

Gambar 2.4-1. Pain Pathway............................................................................................. 9

Gambar 2.7-1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale....................................................... 15

Gambar 2.7-2. Verbal Rating Scale................................................................................... 15

Gambar 2.7-3. Numerical Rating Scale............................................................................. 16

Gambar 2.7-4. Visual Analogue Scale............................................................................... 17

Gambar 2.8-1. Rumus Bangun Parasetamol...................................................................... 21

Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak......................................................................... 22

iii

Page 4: Referat Anestesi New

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. KONSEP NYERI

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan

kerusakan jaringan. Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya

kerusakan atau penyakit di dalam tubuh.

Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :

Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan,

berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang

nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.

Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan

jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut

sebagai nyeri kronis.

Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi,

defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri

memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri

sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme

defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau

patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.

Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri

pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri

yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut

menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan,

mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses

persalinan sudah dimulai.

1

Page 5: Referat Anestesi New

Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke

berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya tidak lagi

berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan menambah

penderitaannya semakin berat.

Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan

penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk

mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu

kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga

maupun lingkungannya.

2

Page 6: Referat Anestesi New

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI NYERI

Definisi nyeri berdasarkan International American Chronic Pain Association adalah

pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan

kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui bahwa

nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun

nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan

jenis kelamin.

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang

berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut

juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada

juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat

dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam

(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri

yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan

sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan

didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri

dihilangkan

b. Serabut C

3

Page 7: Referat Anestesi New

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat

pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada

tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur

reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ

viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini

biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,

iskemia dan inflamasi.

Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada

pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman

dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko

tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska

pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu

sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua

4

Page 8: Referat Anestesi New

sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat

timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti:

• Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa

• Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka

• Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga

meningkatkan kepekaan nyeri

• Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi

• Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan

itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses

pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan

zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh

jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang

berperan pada proses transduksi dari nyeri.

2.2 MEKANISME NYERI

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.

Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai

oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla

spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan,

maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang

membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan

kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius

ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan

menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

5

Page 9: Referat Anestesi New

2.2.1 Sensitisasi Perifer

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan

kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya

seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,

chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang

nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor

menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi

nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor

spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara

bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan

menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang

dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.

2.2.2 Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral

juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap

munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan

6

Page 10: Referat Anestesi New

memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses

ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi

perubahan molekuler neuron (transcription dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana

terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam

beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif

kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis

menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat

stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih

sensitif terhadap rangsangan nyeri.

2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,

viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran

stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal.

Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi

yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah

perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan

saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang

otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa

beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut

bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan.

Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena

iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada

saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit

bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.

7

Page 11: Referat Anestesi New

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C

tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang

lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta

mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat–serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan

untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi

inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena

sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai

reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak.

Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan

nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan

mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini

biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk

mempertahankan fungsi.

2.4 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang

disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang

nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat

diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

2.4.1 Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu

stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas

listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh

(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena

trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,

dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor

nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan

menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

8

Page 12: Referat Anestesi New

2.4.2 Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi

melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls

tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus

dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa

rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri

yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini

mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.

Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan

dirasakan sebagai persepsi nyeri.

2.4.3 Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis

dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh

tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan

proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin,

serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.

Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls

nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat

subjektif pada setiap orang.

2.4.4 Persepsi

9

Page 13: Referat Anestesi New

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan

modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai

persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi

dari sensorik.

Gambar 2.4-1. Pain Pathway

10

Page 14: Referat Anestesi New

2.5 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK

Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral.

Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan

mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa

prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan

cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi

penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak

terjadi.

Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang

mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini

akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa

nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin

meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri

(nosiseptif).

Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis

sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari

enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini

menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)

maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan).

Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan

constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi

COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan

platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet,

keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat

inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan

menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang

transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin

penting dalam sensitisasi sentral.

11

Page 15: Referat Anestesi New

2.6 KLASIFIKASI NYERI

Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika

cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah,

kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu

dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan

mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat

dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik),

patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,

kanker).

2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang

terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat.

Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan

nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami

pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan

patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker,

end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan

mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan

(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai

kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada

lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi

lebih sulit.

Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala

sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas

cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang

menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan

gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri.

12

Page 16: Referat Anestesi New

Nyeri akut Nyeri kronik

- Lamanya dalam hitungan menit

- Sensasi tajam menusuk

- Dibawa oleh serat A-delta

- Ditandai  peningkatan BP, nadi,

dan respirasi

- Kausanya spesifik, dapat

diidentifikasi secara biologis

- Respon pasien:Fokus pada

nyeri, menangis dan mengerang,

cemas

- Tingkah laku menggosok

bagian yang nyeri

- Respon terhadap analgesik :

meredakan nyeri secara efektif

- Lamannya sampai hitungan

bulan

- Sensasi terbakar, tumpul, pegal

- Dibawa oleh serat C

- Fungsi fisiologi bersifat normal

- Kausanya mungkin jelas

mungkin tidak

- Tidak ada keluhan nyeri, depresi

dan kelelahan

- Tidak ada aktifitas fisik sebagai

respon terhadap nyeri

- Respon terhadap analgesik :

sering kurang meredakan nyeri

 

2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik

Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri

nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik

dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer

(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif

biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan

neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf

aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan

menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang

kurang baik terhadap analgesik opioid.

13

Page 17: Referat Anestesi New

2.6.3 Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh

jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.

Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral

seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,

obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.

Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi

otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi

terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak

dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika

organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme

otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau

ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan

mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan

distensi berlebih dari jaringan.

Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks

menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf

simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus

dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar

melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari

sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan

bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls

ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls

nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard.

Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan

pleura parietal sangat sensitif pada nyeri.

14

Page 18: Referat Anestesi New

2.6.4 Nyeri Somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah

dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,

membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi

bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.

Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri

menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal

menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun,

insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum

viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal

biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.

Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari

nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai

contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat

nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke

T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai

karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal

dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati

nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk

berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan

bawah.

2.7 PENILAIAN NYERI

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi

nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien

digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini

mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri

yang dirasakan.

15

Page 19: Referat Anestesi New

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:

1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai

dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien

dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang

kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 2.7-1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

2. Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala

lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 2.7-2. Verbal Rating Scale

16

Page 20: Referat Anestesi New

3. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana

pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan

angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka

5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.7-3. Numerical Rating Scale

4. Visual Analogue Scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang

merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak

ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk

membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.

Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh

penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah

direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS

juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya

realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata

tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas

tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling

kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara

0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target

untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat

17

Page 21: Referat Anestesi New

sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic

penyelamat (rescue analgetic).

Gambar 2.7-4. Visual Analogue Scale

2.8. PENATALAKSANAAN NYERI

1. Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri

Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus

memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan

nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :

1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama

2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat

3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan

5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi

6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan

7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri

sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua

metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non

farmakologik.

18

Page 22: Referat Anestesi New

2. Pendekatan Farmakologik

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step

Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan

nyeri itu terdiri dari :

1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik

non opiat.

2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu

ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.

3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah

ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan

untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3

2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat

pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-

masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan

efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan

untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.

Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik

opioid dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat

19

Page 23: Referat Anestesi New

disebut adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-

obat analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada

pula mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan

NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses

modulasi diberikan narkotik.

1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)

Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan

sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen

(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek

antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang

sering digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil).

OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit

meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

20

Page 24: Referat Anestesi New

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera

melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat.

Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan

produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin,

untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu

mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis

prostaglandin.

Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau

toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis

melebihi kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang

tersering berkaitan dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna,

meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji

fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal.

1.1 Parasetamol

Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan antipiretik,

dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat digunakan untuk penanganan

nyeri berat paska pembedahan dan terapi paliatif pada pasien-pasien penderita

kanker. Onset analgesia dari parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena,

efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta

waktu pemberian intravena 2 – 15 menit. Parasetamol termasuk dalam kelas

“aniline analgesics” dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non steroid

(masih ada perbedaan pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang

sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja

dengan mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa

prostaglandin). Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan

obat AINS lainnya pada pasien-pasien dengan sekresi asam lambung yang

berlebihan atau pasien dengan masa perdarahan yang memanjang.

21

Page 25: Referat Anestesi New

Gambar 2.8-1. Rumus Bangun Parasetamol

Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan dosis maksimum

direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol aman digunakan

untuk anak-anak dan orang dewasa.

Mekanisme kerja utama dari parasetamol adalah menghambat

siklooksigenase (COX) dan selektif terhadap COX-2. Analgetik dan antipiretik

dari parasetamol sebanding dengan aspirin dan obat AINS lainnya, akan tetapi

aktifitas anti inflamasi perifernya dibatasi oleh beberapa faktor, dimana

diantaranya terdapat kadar peroksida yang tinggi di lesi inflamasi. Oleh karena itu

selektifitas akan COX-2 tidak secara signifikan menghambat produksi pro-clotting

tromboxane. Parasetamol menurunkan bentuk oksidasi dari enzim COX, yang

melindungi dari pembentukan kimiawi bentuk pro-inflammatory. Ini juga akan

menurunkan jumlah dari prostaglandin E2 di SSP, akibatnya menurunkan batas

ambang hipotalamus di pusat termoregulasi.

Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang pertama

bekerja dengan cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1). Enzim COX-3 ini

hampir sama dengan enzim COX lainnya dengan menghasilkan kimiawi pro-

inflammatory dan penghambat selektif oleh parasetamol. Jalur kedua bekerja

seperti aspirin dengan memblok siklooksigenase, dimana didalam lingkungan

inflamasi dengan konsentrasi peroksida yang tinggi dan melindungi aksi kerja

parasetamol dalam keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti bahwa parasetamol tidak

memiliki efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi di SSP

dimana keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti dari

parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan.

22

Page 26: Referat Anestesi New

Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol dimetabolisme

di hati dengan tiga jalur metabolik, yakni glucuronidation 40%, sulfation 20-40%

dan N-hydroxylation serta GSH konjugasi 15%, dengan obat dan metabolitnya

diekskresikan melalui ginjal.

Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi

lambung, tidak mempengaruhi koagulasi darah atau fungsi ginjal. Parasetamol

dipercaya aman digunakan pada wanita hamil (tidak mempengaruhi penutupan

ductus arteriosus), tidak seperti efek yang ditimbulkan oleh penggunaan obat

AINS. Tidak seperti aspirin, parasetamol tidak berhubungan dengan resiko

penyebab sindroma Reye pada anak-anak dengan penyakit virus. Satu-satunya

efek samping dari penggunaan parasetamol adalah resiko terjadi hepatotoksik dan

gangguan gastrointestinal pada penggunaan dosis tinggi, yaitu diatas 20.000 mg

perhari.

1.2 Ketorolak

Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti

inflamasi non steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic

acid dimana secara struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak

menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti

inflamasi yang sedang bila diberikan secara intramuskular atau intravena.

Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat

tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi

nosiseptif dari opioid.

Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak

23

Page 27: Referat Anestesi New

(±) – 5 – benzoyl - 2,3 – dihydro - 1H – pyrrolizine – 1 – carboxylic acid,

2 - amino – 2 (hydroxymethyl) - 1,3 – propanediol

Mekanisme kerja utama dari ketorolak adalah menghambat sistesa

prostaglandin dengan berperan sebagai penghambat kompetitif dari enzim

siklooksigenase (COX) dan menghasilkan efek analgesia. Seperti AINS pada

umumnya, ketorolak merupakan penghambat COX non selektif. Efek

analgesianya 200 – 800 kali lebih poten dibandingkan dengan pemberian aspirin,

indometasin, naproksen dan fenil butazon pada beberapa percobaan di hewan.

Sedangkan efek anti inflamasinya kurang dibandingkan efek analgesianya,

dimana efek anti inflamasinya hampir sama dengan indometasin11,66. Setelah

injeksi intramuskular dan intravena, onset analgesia tercapai dalam waktu 10

menit dengan efek puncak 30 – 60 menit dan durasi analgesia 6 – 8 jam dengan

waktu pemberian intravena > 15 detik. Bioavailibilitas dari ketorolak 100%

dengan semua jalur pemberian baik intravena maupun intramuskular.

Metabolisme berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di hati.

Obat dan hasil metabolitnya akan diekskresikan melalui ginjal 90% dan bilier

sekitar 10%66,68. Efek samping dari ketorolak bisa bermacam-macam, yaitu:

1. Secara umum

Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit nasal

poliposis, asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi edema laring,

anafilaksis, edema lidah, demam dan flushing.

2. Fungsi platelet dan hemostatik

Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen sehingga

mencetuskan agregasi platelet sehingga waktu perdarahan dapat meningkat pada

pasien yang mendapatkan anestesi spinal, akan tetapi tidak pada pasien yang

mendapat anestesi umum. Perbedaan ini dimungkinkan karena reflek status

24

Page 28: Referat Anestesi New

hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin karena stress pembedahan

berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal. Dapat juga terjadi purpura,

trombositopeni, epistaksis, anemia dan leukopeni.

3. Gastrointestinal

Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual,

muntah, dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.

4. Kardiovaskuler

Hipertensi, palpitasi, pallor dan syncope

5. Dermatologi

Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Stevens-Jhonson, sindroma Lyell

6. Neurologi

Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang, vertigo, tremor,

halusinasi, euforia, insomnia dan gelisah.

7. Pernafasan

Dispnu, asma, edema paru, rhinitis dan batuk

8. Urogenital

Gagal ginjal akut dan poliuri.

1.3 KETESSE

Larutan Injeksi IM/IV Komposisi: Tiap ampul 2 ml mengandung: Dexketoprofen

trometamol 173,8 mg setara dengan dexketoprofen 50 mg Tiap ml larutan

mengandung: Dexketoprofen trometamol 36,9 mg setara dengan dexketoprofen

25 mg Farmakologi: Dexketoprofen trometamol merupakan garam tromethamine

25

Page 29: Referat Anestesi New

dari S-(+)-2-(3-benzoylphenyl) propionic acid, adalah obat analgesik,

antiinflamasi dan antipiretik yang termasuk golongan antiinflamasi nonsteroid

(NSAID).

Mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi nonsteroid berhubungan dengan

pengurangan sintesis prostaglandin dengan penghambatan jalur siklooksigenase.

Secara spesifik terjadi penghambatan transformasi asam arakidonat menjadi

endoperoksida siklik, PGG2 dan PGH2 , yang menghasilkan prostaglandin; PGE1

, PGE2 , PGF2α dan PGD2 , dan juga prostasiklin PGI2 dan tromboksan (TxA2

dan TxB2 ) . Selanjutnya, penghambatan sintesis prostaglandin dapat

mempengaruhi mediator inflamasi lain seperti kinin, menyebabkan aksi tak

langsung yang akan memperkuat aksi langsung. Dexketoprofen telah

memperlihatkan penghambatan terhadap aktivitas COX-1 dan COX-2 dalam

percobaan pada manusia dan hewan. Studi klinik yang dilakukan pada beberapa

model nyeri memperlihatkan bahwa dexketoprofen trometamol memiliki aktivitas

analgesik yang efektif. Efek analgesik dapat dicapai dalam waktu 30 menit setelah

pemberian dan puncaknya dapat dicapai dalam waktu 45 menit.

Durasi efek analgesik setelah pemberiann 50 mg dexketoprofen biasanya adalah 8

jam. Studi klinik pada penatalaksanaan nyeri setelah operasi menunjukkan bahwa

penggunaan kombinasi larutan injeksi dexketoprofen trometamol dengan opioid

dapat mengurangi penggunaan opioid secara bermakna. Farmakokinetik: Studi

farmakokinetik yang dilakukan dengan menggunakan dexketoprofen trometamol

pada hewan, menunjukkan kisaran absorpsi yang tinggi untuk obat ini setelah

pemberian peroral atau IM. Ekskresi terutama melalui urin, sebagai

glukorokonjugasi obat yang tidak terurai. Juga ditekankan bahwa tidak ada inversi

dari enansiomer S-(+) ke R-(-), dan proses perubahan tersebut ditemukan dalam

variabel yang luas, tergantung dari spesies hewan uji. Setelah pemberian

dexketoprofen trometamol secara IM pada manusia, Cmax dapat dicapai dalam

waktu 20 menit (berkisar antara 10 sampai 45 menit). Pada dosis tunggal 25

sampai 50 mg menunjukkan AUC yang proposional setelah pemberian secara IM

dan IV.

26

Page 30: Referat Anestesi New

Pada studi farmakokinetik dosis ganda, diketahui bahwa tidak ada perbedaan

Cmax dan AUC antara dosis tunggal dan dosis ganda setelah pemberian terakhir,

hal ini menunjukkan bahwa tidak ada akumulasi obat. Memiliki ikatan protein

plasma yang tinggi (90%) dengan obat lain, dengan nilai volume distribusi rata-

rata dibawah 0,25 L/kg. Waktu paruh distribusi mendekati 0,35 dan waktu paruh

eliminasi berkisar antara 1-2,7 jam. Jalur eliminasi utama untuk dexketoprofen

adalah konjugasi glukoronida diikuti dengan ekskresi melalui ginjal. Hanya

enansiomer S-(+) yang terdapat dalam urin setelah pemberian dexketoprofen

trometamol, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat konversi ke enansiomer R-

(-) pada manusia.

Indikasi: Pengobatan gejala intensitas nyeri akut, pada keadaan dimana

pemberian peroral tidak memungkinkan, seperti nyeri setelah operasi.

Kontraindikasi:

- Pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap dexketoprofen, NSAID lainnya,

atau bahan tambahan yang terdapat di dalam sediaan. - Pasien yang pernah

mengalami serangan asma, bronkospasme, rinitis akut, atau polip nasal, urtikaria

atau edema angioneurotik yang dicetuskan obat lain dengan cara kerja yang

serupa (misalnya aspirin, atau NSAID lainnya). - Pasien dengan riwayat atau

penderita tukak lambung (aktif maupun baru kecurigaan saja), atau dispepsia

kronik, perdarahan lambung atau perdarahan yang lain yang aktif, penyakit

Crohn’s atau kolitis ulserasi, riwayat asma bronkial, gagal jantung berat, disfungsi

ginjal sedang sampai berat (creatinin clearance < 50 ml/menit), kerusakan fungsi

hati yang berat (nilai Child-pugh 10-15). - Pasien dengan haemorrhagic diathesis

dan kelainan koagulasi lainnya, atau pasien yang diterapi dengan antikoagulan. -

Wanita hamil dan menyusui. - Pemberian neuraxial (intratekal atau

epidural)sehubungan dengan kandungan alkohol pada produk.

Dosis dan cara pemberian: Dosis: 50 mg setiap 8-12 jam. Jika diperlukan,

pemberian dapat diulang setiap 6 jam. Total dosis perhari tidak boleh melebihi

150 mg.

27

Page 31: Referat Anestesi New

KETESSE:

1. injeksi tidak ditujukan untuk pemakaian jangka panjang, dan terapi harus

dibatasi untuk periode simtomatik akut. Pada kasus nyeri setelah operasi.

2. injeksi dapat digunakan bersamaan dengan analgesik golongan opioid untuk

mengimbangi rasa sakit, khususnya pada periode awal setelah operasi dimana

nyeri terasa lebih berat.

Cara pemberian:

injeksi dapat diberikan secara IM maupun IV.

1. IM: KETESSE: injeksi harus diberikan dengan injeksi lambat ke dalam otot.

2. IV infusion: KETESSE injeksi harus dilarutkan dalam 30 sampai 100 ml

larutan NaCl fisiologis, glukosa atau Ringer Laktat. Larutan yang telah diencerkan

tersebut harus diberikan sebagai infus intravena lambat selama 10 sampai 30

menit. Larutan harus terlindung dari cahaya matahari langsung. IV bolus : jika

dibutuhkan, KETESSE: injeksi dapat diberikan secara bolus intravena lambat

tidak kurang dari 15 detik. Pada saat KETESSE: injeksi diberikan baik secara IM

maupun IV bolus, larutan harus diinjeksikan langsung setelah dikeluarkan dari

ampul coklat. Pada pemberian secara infus intravena, larutan harus diencerkan

secara aseptik dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Efek samping: Efek

samping yang pernah dilaporkan: - Biasa terjadi (1-10%) : mual, muntah, nyeri

pada tempat injeksi. - Tidak biasa terjadi (0,1-1%) : anemia, sakit kepala, pusing,

insomnia, mengantuk, pandangan kabur, hipotensi, hot flushes, nyeri perut,

dyspepsia, diare, konstipasi, muntah darah, mulut kering, dermatitis, pruritus,

ruam kulit, keringat berlebihan, reaksi pada tempat injeksi, inflamasi memar atau

pendarahan, demam, lemas, sakit, terasa dingin. - Jarang terjadi (0,01-0,1%) :

hiperglikemia, hipoglikemia, hipertrigliseridamia, paresthesia, tinnitus,

extrasystole, takikardia, hipertensi, edema perifer, thrombophlebitis, superficial,

bradipnea, tukak peptik, perdarahan atau perforasi saluran cerna, anoreksia,

peningkatan enzim hati, gangguan hati, sakit kuning, urtikaria, jerawat, kaku

28

Page 32: Referat Anestesi New

sendi, kram otot, poliuria, sakit ginjal, gangguan menstruasi, gangguan prostatik,

nyeri punggung, sinkop, menggigil, ketonuria, proteinuria. - Sangat jarang terjadi

(< 0,01%) : neutropenia, trombositopenia, bronkospasme, dispnoea, kerusakan

pankreas, kerusakan hati, reaksi kulit mukokutaneus yang berat (sindroma Steven-

Johnson, sindroma Lyell), angioedema, reaksi dermatologi, reaksi fotosensitivitas,

pruritus, kerusakan ginjal (nefritis atau sindroma nefrotik), anafilaksis, edema

pada wajah. Efek samping berikut ini dapat terjadi karena efek samping tersebut

tampak dalam penggunaan NSAID lain dan mungkin berhubungan dengan

inhibitor sintesis prostaglandin: - Meningitis aseptik: yang terutama akan muncul

pada pasien SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau penyakit jaringan ikat tipe

campuran. - Reaksi hematologik: purpura, anemia aplastika dan hemolitik, serta

yang jarang terjadi adalah, agranulositosis dan hipoplasia medullar. Peringatan

dan perhatian: - Belum dipastikan keamanan penggunaan pada anak-anak. - Hati-

hati pada pasien dengan riwayat alergi obat dan asma bronkial. - Pasien dengan

gejala penyakit pada saluran cerna harus dipantau akan gangguan saluran cerna,

khususnya perdarahan saluran cerna. Jika terjadi pendarahan atau tukak

gastrointestinal, terapi harus dihentikan dengan segera. - Seperti NSAID lainnya,

dapat menghambat agregasi platelet dan memperpanjang waktu perdarahan

melalui penghambatan sintesa prostaglandin. Penggunaan bersama dexketoprofen

trometamol dengan dosis pencegahan heparin bobot molekul rendah pada periode

pasca operasi telah diuji secara klinis dan tidak ada efek pada parameter koagulasi

yang telah ditetapkan. Bagaimanapun, pasien yang menerima terapi lain yang

mempengaruhi haemostasis harus dipantau dengan hati-hati. - Seperti NSAID

lainnya, dapat terjadi peningkatan nitrogen urea dan kreatinin plasma. Seperti

inhibitor sintesis prostaglandin, dapat terjadi efek samping pada sistem renal:

glomerulonefritis, nefritis interstisial, nekrosis papilar ginjal, sindroma nefrotik

dan gagal ginjal akut. - Seperti NSAID lainnya, obat ini dapat meningkatkan

enzim hati (sementara), jika terjadi peningkatan SGPT dan SGOT yang signifikan,

hentikan terapi dengan segera. Hati-hati pada pasien dengan gangguan

hematopoetik, eritematosus lupus sistemik, atau penyakit jaringan ikat tipe

campuran. Seperti NSAID lain, dexketoprofen dapat menutupi gejala penyakit

29

Page 33: Referat Anestesi New

infeksi. - Hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati, ginjal atau jantung

dan kondisi lain yang akan menyebabkan retensi cairan. Pada pasien-pasien ini

penggunaan NSAID dapat menimbulkan kemunduran fungsi ginjal dan retensi

cairan. Kehati-hatian juga pada pasien yang mendapat terapi diuretik atau yang

dapat mengalami hipovolemia karena dapat meningkatkan resiko nefrotoksisitas. -

Hati-hati pada pasien usia lanjut, lebih rentan terhadap efek samping: perdarahan

atau perforasi gastrointestinal terjadinya tergantung pada dosis. Pada saat terapi,

kadang dapat menjadi lebih serius dan dapat terjadi tanpa gejala-gejala peringatan

atau sejarah sebelumnya. Pada lansia lebih besar kemungkinannya terkena

kerusakan fungsi kardiovaskular ginjal atau hati, maka fungsi ginjal dan hati harus

dimonitor.

Interaksi Obat: - Tukak dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada

penggunaan bersama NSAID lain, karena adanya efek sinergis. - Dapat terjadi

peningkatan risiko perdarahan dan kerusakan pada mukosa saluran cerna pada

penggunaan bersama obat antikoagulan, heparin di atas dosis profilaksis secara

parenteral, begitu juga dengan ticlopidine. - NSAID dapat meningkatkan kadar

litium dalam darah yang dapat mencapai kadar toksik, sehingga perlu dilakukan

monitoring. - Pada penggunaan methotrexate diatas 15 mg/minggu atau lebih,

NSAID dapat meningkatkan toksisitas methotrexate terhadap darah, karena

klirens bersihan melalui ginjal menurun. - Dapat terjadi peningkatan toksisitas

hidantoin dan sulfonamida, jika digunakan secara bersamaan dengan NSAID. -

Terjadi penurunan efek antihipertensif dari obat-obat diuretik dan golongan β-

blokers (pastikan tidak ada dehidrasi). - Terjadi peningkatan risiko perdarahan

pada penggunaan bersama dengan pentoksifilin dan obat-obat trombolitik. -

Terjadi peningkatan keracunan sel darah merah (mempengaruhi retikulosit) pada

penggunaan bersama dengan zidovidine. - Terjadi peningkatan efek hipoglikemik

obat-obat golongan sulfonilurea. - Terjadi peningkatan nefrotoksisitas pada

penggunaan siklosporin dan takrolimus oleh NSAID. Selama pengobatan

kombinasi, fungsi ginjal harus dimonitor. - Terjadi peningkatan kadar

dexketoprofen dalam darah pada penggunaan bersama probenesid. - Cardiac

30

Page 34: Referat Anestesi New

glycoside: NSAID dapat meningkatkan kadar glikosida dalam darah. -

Mifepristone: NSAID tidak boleh digunakan dalam 8-12 hari setelah penggunaan

mifepristone. Karena secara teoritis zat inhibitor sintesis prostaglandin dapat

mengubah efikasi mifepristone - Antibiotik quinolone: data pada hewan

menunjukkan quinolone dosis tinggi dengan NSAID dapat meningkatkan risiko

konvulsi.

2. Analgesik opioid

Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan

digunakan dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini

merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait

kanker. Morfin adalah suatu alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan

opium poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-abad

yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya. Morfin adalah salah

satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih

standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.

Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin

menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid

telah semakin jelas sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem

limbik, talamus, PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid

endogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid

dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin

memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat

reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin

menimbulkan efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.

Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat

mirip termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi.

Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan

dan ketagihan (adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis

yang lebih tinggi untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi

31

Page 35: Referat Anestesi New

terhadap opioid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada

terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang cukup luas diantara

obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein, tramadol,

morfin solutio.

Mekanisme kerja obat untuk nyeri

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid

Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan

mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu

antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.

Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu

yang paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.

Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti

pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien

yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-

gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila

diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek

32

Page 36: Referat Anestesi New

samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan

dengan antagonis opioid murni.

4. Adjuvan atau koanalgesik

Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula

dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian

ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam

penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif

dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon

terhadap opioid.

Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah

terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan

kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat

golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di

saraf.

Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah

analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit

lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk

neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca

bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan

trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas

antidepresan.

Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah

hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit

dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya

diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang

berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah

digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi

medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.

Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa

(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal

33

Page 37: Referat Anestesi New

bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek

analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons

adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis

alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang

disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini

adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

3. Pendekatan Nonfarmakologik

Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak

pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri

yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah

metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk

mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan

modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini

mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai

adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.

1. Terapi dan Modalitas Fisik

Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk

stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur,

aplikasi panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-

serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi

serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat

dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan

tubuh mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang menghambat

nyeri.

Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan

adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah

tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh.

Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal.

Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh

34

Page 38: Referat Anestesi New

individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang

positif.

Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri

dari suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik

lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya

diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan

untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri

punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis rematoid.

Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke

dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri.

Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi

tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.

Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat

digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah

nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.

Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui

sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas

dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik,

lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air

panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot,

dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh

darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah

cidera traumatik saat masih ada edema dan peradangan. Karena

meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan

menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan

prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.

Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi

dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat,

terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air

dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin

mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta

35

Page 39: Referat Anestesi New

perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik

dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang

mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa

persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.

2. Strategi kognitif-perilaku

Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien

terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang

lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup

relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback.

Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu

relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.

Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan

bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang

menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,

ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-

nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.

Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan

perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi,

membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.

Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan

fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan

pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian

menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.

Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada

bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga

bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke

bayangan-bayangan yang paling konstruktif.

Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada

kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik

36

Page 40: Referat Anestesi New

tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan

parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut

jantung, tekanan darah dan gelombang otak.

37

Page 41: Referat Anestesi New

BAB III

KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan

suatu kerusakan atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu

keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang

pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for

Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak

menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun

potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri

pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan.

Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang

lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam

menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid,

OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai

hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah

berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai

metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri

pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan

dan keadaan ekonomi pasien.

38

Page 42: Referat Anestesi New

DAFTAR PUSTAKA

1. Karin L, Neil K et al .Pain Experience and Pain Management Among

HospitalizedCancer Patients.1989;63:593-598.

2. Guyton, A C & Hall, J E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor Bahasa

Indonesia : Irawati Setiawan Edisi 9. Jakarta: EGC. 1997

3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Managament. In : Morgan GE,

editor. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical Books/McGraw-Hill ;

2006. p. 359-412.

4. Massieh Moayedi ,Karen D. Davis. Theories of pain: from specificity to gate

control.2013.109.5-12.

5. Patel N. Physiology Of Pain.2010.3.13-17.

6. Steeds E. Anatomy and Pyhsiology Of Pain.2009.27.507-512.

7. Raymond S. Sinatra, Oscar A. de Leon-Cassasola, Brian Ginsberg, Eugene R.

Viscusi.Pain Physiology And Phamracology.2009.1.1-11.

8. K.Venugopa, M.Swam.World Anethesia tutorial Of The Week.2010.1-5.

9. Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

10. American Geriatrics Society (AGS). (2009). Pharmacological Management of

Persistent Pain in Older Persons. J Am Geriatr Soc, 57, 1331-1346. Available

at http://www.americangeriatrics.org/files/documents/2009_Guideline.pdf.

11. Dworkin RH, Jensen MP, Gammaitoni AR et al (2007) Symptom profiles

differ in patients with neuropathic versus non-neuropathic pain. J Pain 8(2):

118–26.

12. Farrar JT, Young JP, Jr., LaMoreaux L et al (2001) Clinical importance of

changes in chronic pain intensity measured on an 11-point numerical pain rating

scale. Pain 94(2): 149–58. Diunduh dari

www.who.int/medicines/areas/.../6_1_Update. pdf

www.who.int/medicines/areas/.../6_1_Update. pdf

www.who.int/medicines/areas/.../6_1_Update. pdf

pionas.pom.go.id/sites/default/files/obat_baru/Kettesse.pdf

39