Referat Anak Pjb Isi

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan abnormalitas pada struktur maupun fungsi sirkulasi yang telah ada sejak lahir (Sani, 2007). Kelainan ini terjadi karena gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal pertumbuhan janin (Harimurti, 2008). Penyakit Jantung Bawaan ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup. Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi premature (2%) (Tank, 2000). Penelitian di Taiwan menunjukkan prevalensi yang sedikit berbeda, yaitu sekitar 13,08 dari 1000 kelahiran hidup, dimana sekitar 12,05 pada bayi berjenis kelamin laki-laki, dan 14,21 pada bayi perempuan. Menurut kepustakaan ada 8 bentuk PJB ( 85% ) yang seringkali ditemukan yaitu defek septum ventrikel ( VSD ), defek septum atrium ( ASD ), duktus atriosus persisten ( PDA), koartasio aorta ( KoA ), stenosis pulmonal ( PS ), stenosis aorta ( AS ), Tetralofi of Fallot ( TOF ) dan transposisi arteri besar ( TGA ). Sisanya ( 15% ) terdiri atas bentuk – bentuk yang lebih kompleks dan jarang

description

KOAS ANAK

Transcript of Referat Anak Pjb Isi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan abnormalitas

pada struktur maupun fungsi sirkulasi yang telah ada sejak lahir (Sani,

2007). Kelainan ini terjadi karena gangguan atau kegagalan perkembangan

struktur jantung pada fase awal pertumbuhan janin (Harimurti, 2008).

Penyakit Jantung Bawaan ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran

hidup. Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi

premature (2%) (Tank, 2000). Penelitian di Taiwan menunjukkan prevalensi

yang sedikit berbeda, yaitu sekitar 13,08 dari 1000 kelahiran hidup, dimana

sekitar 12,05 pada bayi berjenis kelamin laki-laki, dan 14,21 pada bayi

perempuan. Menurut kepustakaan ada 8 bentuk PJB ( 85% ) yang seringkali

ditemukan yaitu defek septum ventrikel ( VSD ), defek septum atrium

( ASD ), duktus atriosus persisten ( PDA), koartasio aorta ( KoA ), stenosis

pulmonal ( PS ), stenosis aorta ( AS ), Tetralofi of Fallot ( TOF ) dan

transposisi arteri besar ( TGA ). Sisanya ( 15% ) terdiri atas bentuk –

bentuk yang lebih kompleks dan jarang ditemukan.Penyakit Jantung

Bawaan yang paling sering ditemukan adalah Ventricular Septal Defect

(Wu, 2009).

Pada sebagian besar kasus, penyebab dari PJB ini tidak diketahui

(Sastroasmoro, 1994). Beberapa faktor yang diyakini dapat menyebabkan

PJB ini secara garis besar dapat kita klasifikasikan menjadi dua golongan

besar, yaitu genetik dan lingkungan. Pada faktor genetik, hal yang penting

kita perhatikan adalah adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit

jantung. Hal lain yang juga berhubungan adalah adanya kenyataan bahwa

sekitar 10% penderita PJB mempunyai penyimpangan pada kromosom,

misalnya pada Sindroma Down (Fachri, 2007).

Untuk faktor lingkungan, beberapa hal yang perlu diperhatikan

adalah: Paparan lingkungan yang tidak baik, misalnya menghirup asap

2

rokok, infeksi virus ini pada kehamilan trimester pertama, bayi yang

dilahirkan dari seorang ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol

mempunyai risiko sekitar 3-5% untuk mengalami penyakit jantung bawaan,

seorang ibu yang alkoholik mempunyai insiden sekitar 25-30% untuk

mendapatkan bayi dengan penyakit jantung bawaan, Ectasy dan obat-obat

lain, seperti diazepam, corticosteroid, phenothiazin, dan kokain akan

meningkatkan insiden penyakit jantung bawaan (Indriwanto, 2007).

Secara garis besar, PJB ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian

besar, yaitu PJB asianotik dan sianotik yang masing-masing memberikan gejala

dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda (Widyantoro, 2006).

Di negara maju hampir semua jenis PJB dapat terdeteksi dalam masa

bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara

berkembang banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga

beberapa jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi.

Beberapa jenis PJB tertentu memerlukan pengenalan dan diagnosis dini agar

segera dapat diberikan pengobatan serta tindakan bedah yang diperlukan.

BAB II

3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Jantung

a. Embriologi Pembentukan Sekat Jantung

b. Anatomi Jantung

Jantung merupakan organ utama sistem kardiovaskuler. Jantung

dibentuk oleh organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan

kiri serta ventrikel kanan dan kiri. Ukuran jantung kira – kira panjang 12

cm, lebar 8 -9 cm serta tebal kira – kira 6 cm.

Posisi jantung terletak antar kedua paru dan berada di tengah –

tengah dada, bertumpu pada diafragma thoracis dan berada kira – kira 5

cm di atas processus xiphoideus. Pada tepi kanan diafragma thoracis dan

berada kira – kira 5 cm di atas processus xiphoideus. Pada tepi kanan

cranial berada pada tepi cranialis pars cartilagonis costa III dextra, 1 cm

dari tepi lateral sternum. Pada tepi kanan caudal berada pada tepi

cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum.

Tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa

II sinistra di tepi sternum, tepi caudal berada pada ruang intercostralis 5,

kira – kira 9 cm di kiri linea medioclavicularis. Selaput yang

membungkus jantung disebut pericardium terdiri antara lapisan fibrosa

dan serosa, dalam cavum pericardi berisi 50 cc yang berfungsi sebagai

pelumas agar tidak ada gesekan antara pericardium dan epicardium.

Epycardium adalah lapisan paling luar jantung, lapisan berikutnya adalah

lapisan myocardium di mana lapisan ini adalah lapisan paling tebal.

Lapisan terakhir adalah lapisan endocardium. Jantung terdiri dari 4

ruang, yaitu atrium kanan dan kiri, serta ventrikel kanan dan kiri.

Belahan kanan dan kiri dipisahkan oleh septum.

c. Fisiologi Jantung

2.2. Epidemiologi Penyakit Jantung Bawaan

4

Insidens PJB berkisar 6 – 8 penderita tiap 1000 kelahiran hidup dan 1

tiap 1000 anak berumur kurang dari 10 tahun. Menurut kepustakaan ada 8

bentuk PJB ( 85% ) yang seringkali ditemukan yaitu defek septum ventrikel

( VSD ), defek septum atrium ( ASD ), duktus atriosus persisten ( PDA),

koartasio aorta ( KoA ), stenosis pulmonal ( PS ), stenosis aorta ( AS ),

Tetralofi of Fallot ( TOF ) dan transposisi arteri besar ( TGA ). Sisanya

( 15% ) terdiri atas bentuk – bentuk yang lebih kompleks dan jarang

ditemukan. Di antara semua bentuk PJB, VSD merupakan lesi yang paling

banyak dilaporkan.Di antara kelompok PJB sianosis, teranyata TF dan TGA

menempati urutan pertama dan kedua terbanyak. Umumnya frekuensi PJB

sama pada laki – laki dan perempuan, walaupun beberapa lesi lebih sering

terjadi pada anak laki – laki, PDA dan ASD lebih banyak terlihat pada anak

perempuan. Kalau ada anak dalam satu keluarga menderita PJB maka

kemungkinan anak berikutnya menderita PJB 3 – 4 kali lebih banyak

daripada keluarga yang tidak mempunyai riwayat PJB. Kebanyakan PJB

yang meninggal terjadi pada bulan – bulan pertama setelah kelahiran (30%)

atau sebelum mencapai umur 1 tahun ( 10%).

2.3. Etiologi Penyakit Jantung Bawaan

2.4. Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan

Penyakit jantung bawaan ( PJB ) diklasifikasikan sebagai berikut:

Asiantoik Sianotik

Dengan aliran pirau ( Shunting )

1) Atrial Septal Defect ( ASD )2) Ventricular Septal Defect ( VSD )3) Patent Ductus Arteriousus ( PDA )

Dengan aliran pirau ( Shunting )

1) Tetralofi Fallot ( TF )2) Transposition of the great arteri

( TGA )Tanpa aliran pirau ( Shunt )

1) Coarcation of the aorta2) Conginetal aortic stenosis

Tanpa aliran pirau ( Shunt )

1) Trikuspid atresia2) Pulmonary atresia

2.4.1. Atrial Septal Defect (ASD)

5

1. Definisi

ASD adalah suatu kelainan jantung bawaan di mana terdapat defek

pada septum atrium sehingga terjadi pirau antara atrium kanan dan kiri.

ASD adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada

septum interatrial (sekat antar atrium) yang terjadi karena kegagalan fungsi

septum interatrial semasa janin.

Defek ini dapat berupa defek sinus venousus di dekat muara vena

kava superior, foramen ovale terbuka pada umumnya menutup spontan

setelah kelahiran, defek septum sekundum yaitu kegagalan pembentukan

septum sekundum dan defek septum primum adalah kegagalan penutupan

septum primum yang letaknya dekat sekat antar bilik atau pada bantalan

endokard.

2. Klasifikasi

Terdapat beberapa bentuk ASD yaitu;

a. Tipe ostium primum ( ASD I )

Letak lubang di bagian bawah septum, mungkin disertai kelainan katup

mitral.

b. Tipe ostim sekundum ( ASD II )

Letak lubang di tengah septum.

c. Tipe sinus venosus ( defek sinus venosus )

Letak lubang berada diantara Vena Cava Superior dan Atrium Kanan

3. Etiologi

Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor

yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.

Faktor-faktor tersebut diantaranya :

a. Faktor Prenatal

- Ibu menderita infeksi Rubella

- Ibu alkoholisme

- Umur ibu lebih dari 40 tahun

6

- Ibu menderita IDDM

- Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu

b. Faktor genetik

- Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB

- Ayah atau ibu menderita PJB

- Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down

- Lahir dengan kelainan bawaan lain

- ASD merupakan suatu kelainan jantung bawaan.

Gambar. Aliran darah dari atrium kiri ke atrium kanan

4. Hemodinamik

Karena tahanan di jantung kiri lebih besar daripada jantung kanan

maka terjadi pirau kiri ke kanan melalui defek ( left to right shunt ). Aliran

yang melalui defek tersebut merupakan suatu proses akibat ukuran dan

tahanan dari atrium tersebut. Normalnya setelah bayi lahir tahanan ventrikel

kanan menjadi lebih besar daripada ventrikel kiri yang menyebabkan

ketebalan dinding ventrikel kanan berkurang. Hal ini juga berakibat volume

serta ukuran atrium kanan dan ventrikel kanan meningkat. Jika tahanan

ventrikel kanan terus menurun akibat beban yang terus meningkat shunt dari

7

kiri kekanan bisa berkurang. Pada suatu saat sindroma Eisenmenger bisa

terjadi akibat penyakit vaskuler paru yang terus bertambah berat. Arah shunt

pun bisa berubah menjadi dari kanan ke kiri sehingga sirkulasi darah

sistemik banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi

hipoksemi dan sianosis.

Gambar. Atrium Septal Defect (ASD)

5. Gejala klinis

Umunya penderita ASD adalah asimptomatik pada masa kecilnya dan

ditemukan secara kebetulan karena terdengar bising, kecuali pada ASD

besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun pertama

kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat

pada dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas

listrik jantung (aritmia). Biasanya bising belum terdengar pada masa

neonatal, bahkan kadang – kadang sampai umur 5 tahun. Gejala yang ada

bervariasi, beberapa kasus asimptomatik sedangkan yang lain dapat berupa

mudah capek, toleransi kerja berkurang, tanda – tanda payah jantung kanan

serta radang saluran pernapasan yang berulang dan berat. Sianosis juga

8

biasanya tidak ada, kecuali kalau terdapat hipertensi pulmonalis.

Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti

elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis

ASD dapat ditegakkan.

6. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan perawakan yang kecil dan kurus

(gracil habitus). Nadi dan tekanan darah normal. Pada inspeksi atau palpasi,

jantung biasanya hiperaktif dengan impuls yang kuat pada tepi sternal kiri

bawah dan prosessus xiphoideus. Kadang teraba pulsasi arteri pulmonalis

yang meluas sampai tepi sternal kiri. Pada auskultasi, ditemukan bunyi

jantung I pecah dengan komponen trikuspidalis yang mengeras pada apeks

dan bunyi jantung II yang wide fixed spilt pada daerah pulmonalis. Bising

yang terdapat adalah ejeksi sistolik derajat 1-3/6. Bising terdengar maksimal

pada tepi sternal kiri dan penyebarannya jelas terdengar pada daerah

interskapuler.

7. Pemeriksaan Penunjang Radiologi

Biasanya terdapat sedikit pembesaran jantung, yaitu atrium kanan dan

ventrikel kanan. Dapat ditemukan juga arteri pulmonalis yang prominen.

Gambar vaskularasasi terlihat bertambah akibat bertambahnya darah paru –

paru.

8. Terapi

Menutup ASD pada masa kanak-kanak bisa mencegah terjadinya

kelainan yang serius di kemudian hari. Jika gejalanya ringan atau tidak ada

gejala, tidak perlu dilakukan pengobatan. Jika lubangnya besar atau terdapat

gejala, dilakukan pembedahan untuk menutup ASD. Pengobatan

pencegahan dengan antibiotik sebaiknya diberikan setiap kali sebelum

penderita menjalani tindakan pencabutan gigi untuk mengurangi resiko

terjadinya endokarditis infektif.

9

Seluruh penderita dengan ASD harus menjalani tindakan penutupan

pada defek tersebut, karena ASD tidak dapat menutup secara spontan, dan

bila tidak ditutup akan menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa.

Namun kapan terapi dan tindakan perlu dilakukan sangat tergantung pada

besar kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya gagal jantung kongestif,

peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta

penyulit lain.

Jika terdapat tanda – tanda kegagalan jantung, maka harus diatasi

dengan obat – obatan anti kongestif berespon baik dan adanya kemungkinan

penutupan defek secara spontan di kemudian hari. Penutupan ASD II secara

transkateter dengan device tertentu seperti pemasangan Amplatzer septal

occlude menunjukkan keberhasilan sebanyak 85%. Tindakan bedah untuk

penutupan defek harus dikerjakan pada semua ASD II dengan rasio aliran

darah paru – paru : sistemik ≥ 1,5 :1 dan tidak dianjurkan pada tahan

vaskuler paru – paru yang tinggi. Tindakan penutupan ASD tidak dianjurkan

lagi bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dengan penyakit obstruktif

vaskuler paru.

2.4.2. Ventricular Septal Defect (VSD)

1. Definisi

VSD adalah suatu kelainan jantung bawaan di mana terdapat

defek dengan diameter 0,5 – 3 cm pada septum interventrikel sehingga

terjadi pirau antara ventrikel kanan dan kiri.

2. Klasifikasi

VSD Kecil – Sedang ( Simple VSD )

Termasuk lesi ini adalah VSD dengan diameter kecil (1-5 mm)

sampai sedang ( 5-10 mm) dan tidak disertai dengan hipertrofi

ventrikel kanan. Tergolong di sini adlaah Roger’s desease, yaitu

VSD kecil asimptomatik. Pemeriksaan penunjang radiologi

ditemukan ukuran jantung dapat normal atau sedikit membesar

yang mencukupi atrium kiri, ventrikel kiri dan ventrikel kanan.

10

Arteri pulmonalis prominen dan vaskularisasi paru – paru

bertambah.

VSD Besar – Sangat Besar

Perbedaannya dengan VSD kecil – sedang adalah pada diameter

defek. Diameter dapat lebih besar daripada setengah diameter

ostium aorta ( sekurang – kurangnya 10 mm ), sedangkan besar

tekanan sebelah – menyebelah defek hampir sama.

3. Hemodinamik

Tergantung besarnya defek dan perbedaan tahanan antara kedua

ventrikel dapat terjadi pirau kiri ke kanan, pirau kanan ke kiri atua

pirau dua arah.

Pirau kiri ke kanan terjadi karena dalam keadaan normal terdapat

tekanan yang lebih besar pada ventrikel kiri daripada yang kanan

pada waktu sistolik.

Pirau kanan ke kiri bila tahanan vakuler paru – paru menjadi lebih

besar daripada sistemik ( sindrom Eisenmenger ).

4. Gejala klinis

Pada lesi ini, pasien tampak sakit. Biasanya sejak lahir sudah

menunjukkan simptom yang berat. Bising biasanya mulai terdengar

pada akhir minggu pertama – kedua usia bayi, karena saat ini pirau

kiri ke kanan terjadi sesudah tekanan dalam ventrikel kanan menurun

dibanding ventrikel kiri. Dispnea, intoleransi kerja, capek dan radang

paru – paru yang berulang merupakan gejala yang hampir selalu

terdapat. Pada 1/3 kasus terjadi pula gagal jantung dan sianosis.

Sianosis terjadi pada kasus – kasus dalam Sindrom Eisenmenger.

5. Pemeriksaan Fisik

Pertumbuhan yang kurang. Pada sebagian penderita terdapat

sianosis ringan atau kebiruan ujung jari. Deformitas thoraks hampir

11

selalu ditemukan. Penderita tampak pucat dan banyak berkeringat.

Pada palpasi, teraba impuls ventrikel kiri kuat dan pulmonary tapping.

Pada auskultasi, bunyi jantung I terdengar keras, bunyi jantung II

komponen pulmonalsi terdengar keras. Pecah dan singkat pada tepi

sternal kiri. Bising yang terdapat adalah pansistolik kasar derajat 3-

6/6 pada tepi sternla kiri bawah, menyebar ke seluruh thoraks depan

dan punggung serta terdengar maksimal pada apeks. Kalau ada pirau

kiri ke kanan yang besar, maka dapat juga terdengar diastolic flow

murmur pada apeks akibat adanya stenosis mitralis yang relatif.

6. Pemeriksaan Penunjang Radiologi

Terdapat pembesaran atrium kiri, ventrikel kiri dan

kanan.Gambaran arteri pulmonalis dan vaskularisasi paru – paru

prominen. Aorta tampak normal, sedangka arkus aorta pada sebagian

besar penderita terdapat di sebelah kiri.

7. Terapi

Bayi dengan VSD perlu dievaluasi secara periodik sebulan

sekali selama setahun mengingat besarnya aliran pirau yang dapat

berubah akibat resistensi paru yang menurun. Bila terjadi gagal

jantung kongestif harus diberikan obat – obatan anti gagal jantung

yaitu digitalis, diuretika dan vasodilator. Bila medikamentosa gagal

dan tetap terlihat gagal tumbuh kembang atau gagal jantung maka

sebaiknya dilakukan tindakan operasi penutupan VSD secepatnya

sebelum terjadi penyakit obstruktif vaskuler paru. Indikasi operasi

penutupan VSD adalah bila rasio aliran darah ke paru dan sistemik

lebih dari 1,5.

12

BAB III

KESIMPULAN

Ulkus Kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat

kematian jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai

defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari

epitel sampai stroma. Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi

menyebabkan kebutaan yang membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.

Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki lebih banyak menderita ulkus

kornea, yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di

India Utara ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena

banyaknya kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko

terjadinya trauma termasuk trauma kornea.

13

Ulkus Kornea bisa disebabkan oleh infeksi (bakteri, jamur ,virus dan

Acanthamoeba), noninfeksi ; seperti bahan kimia bersifat asam atau basa

tergantung PH, radiasi atau suhu, Sindrom Sjorgen, defisiensi vitamin, obat-

obatan, pajanan (exposure), neurotropik dan juga bisa disebabkan oleh pengaruh

sistem imun (Reaksi Hipersensitivitas).

Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes

mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan

mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila mengancam

perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan

perlunya obat sistemik.

Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat

lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada

tidaknya komplikasi yang timbul.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonimous. Ulkus Kornea. Dikutip dari www.medicastore.com 2012 1

2. Ilyas S. Tukak (Ulkus) Kornea. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. 159-167 2

3. Wong YT, Corneal Ulcers. Dalam : The Opthalmology Examination Review. Singapore: World Scientific Printers, 2001. 114-117 3

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web site: http://depkes.go.id/index.php/component/content/article/43-newsslider/2084-kemenkes-canangkan-hari-pemberantasan-gangguan-penglihatan-dan-kebutaan-di-indonesia.html. pada tanggal 12 Oktober 2012 4

5. Whitcher JP. Corneal ulceration in the developing world—a silent epidemic. BMJ 1997; 81:622-623 doi:10.1136/bjo.81.8.622. Available from: http://bjo.bmj.com/content/81/8/622.full 5

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web site: http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/845-gangguan-

14

penglihatan-masih-menjadi-masalah-kesehatan.html. pada tanggal 12 Oktober 2012 6

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web site: http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1112-menkes-meresmikan-program-orbis-flying-eye-hospital-.html. pada tanggal 12 Oktober 2012 7

8. Suhardjo, Widodo F, dan Dewi MU. Artikel Tingkat Keparahan Ulkus Kornea di RS Dr. Sardjito Sebagai Tempat Pelayanan Mata Tertier. Bagian SMF Penyakit Mata RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.2007. Diunduh dari website : http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/art-1.htm 8

9. Biswell R. Ulserasi Kornea. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. Vaughan & Asbury Oftamologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2007; 126-138. 9

10. Whitcher JP. Corneal blindness: a global perspective. In: Bulletin of World Health Organization: 79(3). Available from http://www.who.int/bulletin/archives/79(3)214.pdf.

11. Khurana, AK. 2007. Comprehensive Opthalmology : Disease Of The Cornea. New Age Int : New Delhi.

12. Perhimpunan Dokter Spesislis Mata Indonesia, Ulkus Kornea dalam : Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi ke 2, Penerbit Sagung Seto, Jakarta,2002

13. Murillo-Lopez FH. Corneal Ulcer. New York: The Medscape from WebMD Journal of Medicine; [updated 2011, Nov 13; cited 2012, October 14]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1195680-overview

14. Wijana. N.Ulkus Kornea. Dalam: Ilmu Penyakit Mata, cetakan ke-4, 1989. Jakarta

15. Kanski JJ. Disorder of Cornea and Sclera. In: Clinical Opthalmology A Systematic Approach. Edisi 6: 2007 page.100-149.

16. Ilyas S. Trauma Kimia. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. 271-273

17. Yani AD, Suhendro G. The Comparison of Tetracycline and Doxycycline Treatment On Corneal Epithelial Wound Healing In The Rabbit Acid-Burn Model. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2007: Vol.5; No.3