Referat Anak Pjb Isi
-
Upload
farah-dibah -
Category
Documents
-
view
63 -
download
4
description
Transcript of Referat Anak Pjb Isi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan abnormalitas
pada struktur maupun fungsi sirkulasi yang telah ada sejak lahir (Sani,
2007). Kelainan ini terjadi karena gangguan atau kegagalan perkembangan
struktur jantung pada fase awal pertumbuhan janin (Harimurti, 2008).
Penyakit Jantung Bawaan ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran
hidup. Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi
premature (2%) (Tank, 2000). Penelitian di Taiwan menunjukkan prevalensi
yang sedikit berbeda, yaitu sekitar 13,08 dari 1000 kelahiran hidup, dimana
sekitar 12,05 pada bayi berjenis kelamin laki-laki, dan 14,21 pada bayi
perempuan. Menurut kepustakaan ada 8 bentuk PJB ( 85% ) yang seringkali
ditemukan yaitu defek septum ventrikel ( VSD ), defek septum atrium
( ASD ), duktus atriosus persisten ( PDA), koartasio aorta ( KoA ), stenosis
pulmonal ( PS ), stenosis aorta ( AS ), Tetralofi of Fallot ( TOF ) dan
transposisi arteri besar ( TGA ). Sisanya ( 15% ) terdiri atas bentuk –
bentuk yang lebih kompleks dan jarang ditemukan.Penyakit Jantung
Bawaan yang paling sering ditemukan adalah Ventricular Septal Defect
(Wu, 2009).
Pada sebagian besar kasus, penyebab dari PJB ini tidak diketahui
(Sastroasmoro, 1994). Beberapa faktor yang diyakini dapat menyebabkan
PJB ini secara garis besar dapat kita klasifikasikan menjadi dua golongan
besar, yaitu genetik dan lingkungan. Pada faktor genetik, hal yang penting
kita perhatikan adalah adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit
jantung. Hal lain yang juga berhubungan adalah adanya kenyataan bahwa
sekitar 10% penderita PJB mempunyai penyimpangan pada kromosom,
misalnya pada Sindroma Down (Fachri, 2007).
Untuk faktor lingkungan, beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah: Paparan lingkungan yang tidak baik, misalnya menghirup asap
2
rokok, infeksi virus ini pada kehamilan trimester pertama, bayi yang
dilahirkan dari seorang ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol
mempunyai risiko sekitar 3-5% untuk mengalami penyakit jantung bawaan,
seorang ibu yang alkoholik mempunyai insiden sekitar 25-30% untuk
mendapatkan bayi dengan penyakit jantung bawaan, Ectasy dan obat-obat
lain, seperti diazepam, corticosteroid, phenothiazin, dan kokain akan
meningkatkan insiden penyakit jantung bawaan (Indriwanto, 2007).
Secara garis besar, PJB ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian
besar, yaitu PJB asianotik dan sianotik yang masing-masing memberikan gejala
dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda (Widyantoro, 2006).
Di negara maju hampir semua jenis PJB dapat terdeteksi dalam masa
bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara
berkembang banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga
beberapa jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi.
Beberapa jenis PJB tertentu memerlukan pengenalan dan diagnosis dini agar
segera dapat diberikan pengobatan serta tindakan bedah yang diperlukan.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Jantung
a. Embriologi Pembentukan Sekat Jantung
b. Anatomi Jantung
Jantung merupakan organ utama sistem kardiovaskuler. Jantung
dibentuk oleh organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan
kiri serta ventrikel kanan dan kiri. Ukuran jantung kira – kira panjang 12
cm, lebar 8 -9 cm serta tebal kira – kira 6 cm.
Posisi jantung terletak antar kedua paru dan berada di tengah –
tengah dada, bertumpu pada diafragma thoracis dan berada kira – kira 5
cm di atas processus xiphoideus. Pada tepi kanan diafragma thoracis dan
berada kira – kira 5 cm di atas processus xiphoideus. Pada tepi kanan
cranial berada pada tepi cranialis pars cartilagonis costa III dextra, 1 cm
dari tepi lateral sternum. Pada tepi kanan caudal berada pada tepi
cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum.
Tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa
II sinistra di tepi sternum, tepi caudal berada pada ruang intercostralis 5,
kira – kira 9 cm di kiri linea medioclavicularis. Selaput yang
membungkus jantung disebut pericardium terdiri antara lapisan fibrosa
dan serosa, dalam cavum pericardi berisi 50 cc yang berfungsi sebagai
pelumas agar tidak ada gesekan antara pericardium dan epicardium.
Epycardium adalah lapisan paling luar jantung, lapisan berikutnya adalah
lapisan myocardium di mana lapisan ini adalah lapisan paling tebal.
Lapisan terakhir adalah lapisan endocardium. Jantung terdiri dari 4
ruang, yaitu atrium kanan dan kiri, serta ventrikel kanan dan kiri.
Belahan kanan dan kiri dipisahkan oleh septum.
c. Fisiologi Jantung
2.2. Epidemiologi Penyakit Jantung Bawaan
4
Insidens PJB berkisar 6 – 8 penderita tiap 1000 kelahiran hidup dan 1
tiap 1000 anak berumur kurang dari 10 tahun. Menurut kepustakaan ada 8
bentuk PJB ( 85% ) yang seringkali ditemukan yaitu defek septum ventrikel
( VSD ), defek septum atrium ( ASD ), duktus atriosus persisten ( PDA),
koartasio aorta ( KoA ), stenosis pulmonal ( PS ), stenosis aorta ( AS ),
Tetralofi of Fallot ( TOF ) dan transposisi arteri besar ( TGA ). Sisanya
( 15% ) terdiri atas bentuk – bentuk yang lebih kompleks dan jarang
ditemukan. Di antara semua bentuk PJB, VSD merupakan lesi yang paling
banyak dilaporkan.Di antara kelompok PJB sianosis, teranyata TF dan TGA
menempati urutan pertama dan kedua terbanyak. Umumnya frekuensi PJB
sama pada laki – laki dan perempuan, walaupun beberapa lesi lebih sering
terjadi pada anak laki – laki, PDA dan ASD lebih banyak terlihat pada anak
perempuan. Kalau ada anak dalam satu keluarga menderita PJB maka
kemungkinan anak berikutnya menderita PJB 3 – 4 kali lebih banyak
daripada keluarga yang tidak mempunyai riwayat PJB. Kebanyakan PJB
yang meninggal terjadi pada bulan – bulan pertama setelah kelahiran (30%)
atau sebelum mencapai umur 1 tahun ( 10%).
2.3. Etiologi Penyakit Jantung Bawaan
2.4. Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan ( PJB ) diklasifikasikan sebagai berikut:
Asiantoik Sianotik
Dengan aliran pirau ( Shunting )
1) Atrial Septal Defect ( ASD )2) Ventricular Septal Defect ( VSD )3) Patent Ductus Arteriousus ( PDA )
Dengan aliran pirau ( Shunting )
1) Tetralofi Fallot ( TF )2) Transposition of the great arteri
( TGA )Tanpa aliran pirau ( Shunt )
1) Coarcation of the aorta2) Conginetal aortic stenosis
Tanpa aliran pirau ( Shunt )
1) Trikuspid atresia2) Pulmonary atresia
2.4.1. Atrial Septal Defect (ASD)
5
1. Definisi
ASD adalah suatu kelainan jantung bawaan di mana terdapat defek
pada septum atrium sehingga terjadi pirau antara atrium kanan dan kiri.
ASD adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada
septum interatrial (sekat antar atrium) yang terjadi karena kegagalan fungsi
septum interatrial semasa janin.
Defek ini dapat berupa defek sinus venousus di dekat muara vena
kava superior, foramen ovale terbuka pada umumnya menutup spontan
setelah kelahiran, defek septum sekundum yaitu kegagalan pembentukan
septum sekundum dan defek septum primum adalah kegagalan penutupan
septum primum yang letaknya dekat sekat antar bilik atau pada bantalan
endokard.
2. Klasifikasi
Terdapat beberapa bentuk ASD yaitu;
a. Tipe ostium primum ( ASD I )
Letak lubang di bagian bawah septum, mungkin disertai kelainan katup
mitral.
b. Tipe ostim sekundum ( ASD II )
Letak lubang di tengah septum.
c. Tipe sinus venosus ( defek sinus venosus )
Letak lubang berada diantara Vena Cava Superior dan Atrium Kanan
3. Etiologi
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor
yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.
Faktor-faktor tersebut diantaranya :
a. Faktor Prenatal
- Ibu menderita infeksi Rubella
- Ibu alkoholisme
- Umur ibu lebih dari 40 tahun
6
- Ibu menderita IDDM
- Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
b. Faktor genetik
- Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
- Ayah atau ibu menderita PJB
- Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down
- Lahir dengan kelainan bawaan lain
- ASD merupakan suatu kelainan jantung bawaan.
Gambar. Aliran darah dari atrium kiri ke atrium kanan
4. Hemodinamik
Karena tahanan di jantung kiri lebih besar daripada jantung kanan
maka terjadi pirau kiri ke kanan melalui defek ( left to right shunt ). Aliran
yang melalui defek tersebut merupakan suatu proses akibat ukuran dan
tahanan dari atrium tersebut. Normalnya setelah bayi lahir tahanan ventrikel
kanan menjadi lebih besar daripada ventrikel kiri yang menyebabkan
ketebalan dinding ventrikel kanan berkurang. Hal ini juga berakibat volume
serta ukuran atrium kanan dan ventrikel kanan meningkat. Jika tahanan
ventrikel kanan terus menurun akibat beban yang terus meningkat shunt dari
7
kiri kekanan bisa berkurang. Pada suatu saat sindroma Eisenmenger bisa
terjadi akibat penyakit vaskuler paru yang terus bertambah berat. Arah shunt
pun bisa berubah menjadi dari kanan ke kiri sehingga sirkulasi darah
sistemik banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi
hipoksemi dan sianosis.
Gambar. Atrium Septal Defect (ASD)
5. Gejala klinis
Umunya penderita ASD adalah asimptomatik pada masa kecilnya dan
ditemukan secara kebetulan karena terdengar bising, kecuali pada ASD
besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun pertama
kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat
pada dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas
listrik jantung (aritmia). Biasanya bising belum terdengar pada masa
neonatal, bahkan kadang – kadang sampai umur 5 tahun. Gejala yang ada
bervariasi, beberapa kasus asimptomatik sedangkan yang lain dapat berupa
mudah capek, toleransi kerja berkurang, tanda – tanda payah jantung kanan
serta radang saluran pernapasan yang berulang dan berat. Sianosis juga
8
biasanya tidak ada, kecuali kalau terdapat hipertensi pulmonalis.
Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti
elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis
ASD dapat ditegakkan.
6. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan perawakan yang kecil dan kurus
(gracil habitus). Nadi dan tekanan darah normal. Pada inspeksi atau palpasi,
jantung biasanya hiperaktif dengan impuls yang kuat pada tepi sternal kiri
bawah dan prosessus xiphoideus. Kadang teraba pulsasi arteri pulmonalis
yang meluas sampai tepi sternal kiri. Pada auskultasi, ditemukan bunyi
jantung I pecah dengan komponen trikuspidalis yang mengeras pada apeks
dan bunyi jantung II yang wide fixed spilt pada daerah pulmonalis. Bising
yang terdapat adalah ejeksi sistolik derajat 1-3/6. Bising terdengar maksimal
pada tepi sternal kiri dan penyebarannya jelas terdengar pada daerah
interskapuler.
7. Pemeriksaan Penunjang Radiologi
Biasanya terdapat sedikit pembesaran jantung, yaitu atrium kanan dan
ventrikel kanan. Dapat ditemukan juga arteri pulmonalis yang prominen.
Gambar vaskularasasi terlihat bertambah akibat bertambahnya darah paru –
paru.
8. Terapi
Menutup ASD pada masa kanak-kanak bisa mencegah terjadinya
kelainan yang serius di kemudian hari. Jika gejalanya ringan atau tidak ada
gejala, tidak perlu dilakukan pengobatan. Jika lubangnya besar atau terdapat
gejala, dilakukan pembedahan untuk menutup ASD. Pengobatan
pencegahan dengan antibiotik sebaiknya diberikan setiap kali sebelum
penderita menjalani tindakan pencabutan gigi untuk mengurangi resiko
terjadinya endokarditis infektif.
9
Seluruh penderita dengan ASD harus menjalani tindakan penutupan
pada defek tersebut, karena ASD tidak dapat menutup secara spontan, dan
bila tidak ditutup akan menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa.
Namun kapan terapi dan tindakan perlu dilakukan sangat tergantung pada
besar kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya gagal jantung kongestif,
peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta
penyulit lain.
Jika terdapat tanda – tanda kegagalan jantung, maka harus diatasi
dengan obat – obatan anti kongestif berespon baik dan adanya kemungkinan
penutupan defek secara spontan di kemudian hari. Penutupan ASD II secara
transkateter dengan device tertentu seperti pemasangan Amplatzer septal
occlude menunjukkan keberhasilan sebanyak 85%. Tindakan bedah untuk
penutupan defek harus dikerjakan pada semua ASD II dengan rasio aliran
darah paru – paru : sistemik ≥ 1,5 :1 dan tidak dianjurkan pada tahan
vaskuler paru – paru yang tinggi. Tindakan penutupan ASD tidak dianjurkan
lagi bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dengan penyakit obstruktif
vaskuler paru.
2.4.2. Ventricular Septal Defect (VSD)
1. Definisi
VSD adalah suatu kelainan jantung bawaan di mana terdapat
defek dengan diameter 0,5 – 3 cm pada septum interventrikel sehingga
terjadi pirau antara ventrikel kanan dan kiri.
2. Klasifikasi
VSD Kecil – Sedang ( Simple VSD )
Termasuk lesi ini adalah VSD dengan diameter kecil (1-5 mm)
sampai sedang ( 5-10 mm) dan tidak disertai dengan hipertrofi
ventrikel kanan. Tergolong di sini adlaah Roger’s desease, yaitu
VSD kecil asimptomatik. Pemeriksaan penunjang radiologi
ditemukan ukuran jantung dapat normal atau sedikit membesar
yang mencukupi atrium kiri, ventrikel kiri dan ventrikel kanan.
10
Arteri pulmonalis prominen dan vaskularisasi paru – paru
bertambah.
VSD Besar – Sangat Besar
Perbedaannya dengan VSD kecil – sedang adalah pada diameter
defek. Diameter dapat lebih besar daripada setengah diameter
ostium aorta ( sekurang – kurangnya 10 mm ), sedangkan besar
tekanan sebelah – menyebelah defek hampir sama.
3. Hemodinamik
Tergantung besarnya defek dan perbedaan tahanan antara kedua
ventrikel dapat terjadi pirau kiri ke kanan, pirau kanan ke kiri atua
pirau dua arah.
Pirau kiri ke kanan terjadi karena dalam keadaan normal terdapat
tekanan yang lebih besar pada ventrikel kiri daripada yang kanan
pada waktu sistolik.
Pirau kanan ke kiri bila tahanan vakuler paru – paru menjadi lebih
besar daripada sistemik ( sindrom Eisenmenger ).
4. Gejala klinis
Pada lesi ini, pasien tampak sakit. Biasanya sejak lahir sudah
menunjukkan simptom yang berat. Bising biasanya mulai terdengar
pada akhir minggu pertama – kedua usia bayi, karena saat ini pirau
kiri ke kanan terjadi sesudah tekanan dalam ventrikel kanan menurun
dibanding ventrikel kiri. Dispnea, intoleransi kerja, capek dan radang
paru – paru yang berulang merupakan gejala yang hampir selalu
terdapat. Pada 1/3 kasus terjadi pula gagal jantung dan sianosis.
Sianosis terjadi pada kasus – kasus dalam Sindrom Eisenmenger.
5. Pemeriksaan Fisik
Pertumbuhan yang kurang. Pada sebagian penderita terdapat
sianosis ringan atau kebiruan ujung jari. Deformitas thoraks hampir
11
selalu ditemukan. Penderita tampak pucat dan banyak berkeringat.
Pada palpasi, teraba impuls ventrikel kiri kuat dan pulmonary tapping.
Pada auskultasi, bunyi jantung I terdengar keras, bunyi jantung II
komponen pulmonalsi terdengar keras. Pecah dan singkat pada tepi
sternal kiri. Bising yang terdapat adalah pansistolik kasar derajat 3-
6/6 pada tepi sternla kiri bawah, menyebar ke seluruh thoraks depan
dan punggung serta terdengar maksimal pada apeks. Kalau ada pirau
kiri ke kanan yang besar, maka dapat juga terdengar diastolic flow
murmur pada apeks akibat adanya stenosis mitralis yang relatif.
6. Pemeriksaan Penunjang Radiologi
Terdapat pembesaran atrium kiri, ventrikel kiri dan
kanan.Gambaran arteri pulmonalis dan vaskularisasi paru – paru
prominen. Aorta tampak normal, sedangka arkus aorta pada sebagian
besar penderita terdapat di sebelah kiri.
7. Terapi
Bayi dengan VSD perlu dievaluasi secara periodik sebulan
sekali selama setahun mengingat besarnya aliran pirau yang dapat
berubah akibat resistensi paru yang menurun. Bila terjadi gagal
jantung kongestif harus diberikan obat – obatan anti gagal jantung
yaitu digitalis, diuretika dan vasodilator. Bila medikamentosa gagal
dan tetap terlihat gagal tumbuh kembang atau gagal jantung maka
sebaiknya dilakukan tindakan operasi penutupan VSD secepatnya
sebelum terjadi penyakit obstruktif vaskuler paru. Indikasi operasi
penutupan VSD adalah bila rasio aliran darah ke paru dan sistemik
lebih dari 1,5.
12
BAB III
KESIMPULAN
Ulkus Kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai
defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari
epitel sampai stroma. Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi
menyebabkan kebutaan yang membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.
Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki lebih banyak menderita ulkus
kornea, yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di
India Utara ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena
banyaknya kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko
terjadinya trauma termasuk trauma kornea.
13
Ulkus Kornea bisa disebabkan oleh infeksi (bakteri, jamur ,virus dan
Acanthamoeba), noninfeksi ; seperti bahan kimia bersifat asam atau basa
tergantung PH, radiasi atau suhu, Sindrom Sjorgen, defisiensi vitamin, obat-
obatan, pajanan (exposure), neurotropik dan juga bisa disebabkan oleh pengaruh
sistem imun (Reaksi Hipersensitivitas).
Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes
mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan
mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila mengancam
perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan
perlunya obat sistemik.
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonimous. Ulkus Kornea. Dikutip dari www.medicastore.com 2012 1
2. Ilyas S. Tukak (Ulkus) Kornea. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. 159-167 2
3. Wong YT, Corneal Ulcers. Dalam : The Opthalmology Examination Review. Singapore: World Scientific Printers, 2001. 114-117 3
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web site: http://depkes.go.id/index.php/component/content/article/43-newsslider/2084-kemenkes-canangkan-hari-pemberantasan-gangguan-penglihatan-dan-kebutaan-di-indonesia.html. pada tanggal 12 Oktober 2012 4
5. Whitcher JP. Corneal ulceration in the developing world—a silent epidemic. BMJ 1997; 81:622-623 doi:10.1136/bjo.81.8.622. Available from: http://bjo.bmj.com/content/81/8/622.full 5
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web site: http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/845-gangguan-
14
penglihatan-masih-menjadi-masalah-kesehatan.html. pada tanggal 12 Oktober 2012 6
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web site: http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1112-menkes-meresmikan-program-orbis-flying-eye-hospital-.html. pada tanggal 12 Oktober 2012 7
8. Suhardjo, Widodo F, dan Dewi MU. Artikel Tingkat Keparahan Ulkus Kornea di RS Dr. Sardjito Sebagai Tempat Pelayanan Mata Tertier. Bagian SMF Penyakit Mata RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.2007. Diunduh dari website : http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/art-1.htm 8
9. Biswell R. Ulserasi Kornea. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. Vaughan & Asbury Oftamologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2007; 126-138. 9
10. Whitcher JP. Corneal blindness: a global perspective. In: Bulletin of World Health Organization: 79(3). Available from http://www.who.int/bulletin/archives/79(3)214.pdf.
11. Khurana, AK. 2007. Comprehensive Opthalmology : Disease Of The Cornea. New Age Int : New Delhi.
12. Perhimpunan Dokter Spesislis Mata Indonesia, Ulkus Kornea dalam : Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi ke 2, Penerbit Sagung Seto, Jakarta,2002
13. Murillo-Lopez FH. Corneal Ulcer. New York: The Medscape from WebMD Journal of Medicine; [updated 2011, Nov 13; cited 2012, October 14]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1195680-overview
14. Wijana. N.Ulkus Kornea. Dalam: Ilmu Penyakit Mata, cetakan ke-4, 1989. Jakarta
15. Kanski JJ. Disorder of Cornea and Sclera. In: Clinical Opthalmology A Systematic Approach. Edisi 6: 2007 page.100-149.
16. Ilyas S. Trauma Kimia. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. 271-273
17. Yani AD, Suhendro G. The Comparison of Tetracycline and Doxycycline Treatment On Corneal Epithelial Wound Healing In The Rabbit Acid-Burn Model. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2007: Vol.5; No.3