Referat Acs Stemi
Click here to load reader
-
Upload
salwa-badruddin -
Category
Documents
-
view
328 -
download
23
Transcript of Referat Acs Stemi
TUGAS REFERAT
Oleh :
Salwa
109103000043
Pembimbing :
dr. Rini Pramesti, SpJP
KEPANITRAAN KLINIK STASE KARDIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
1
DAFTAR ISI
I. Penatalaksanaan infark miokard
………………… 3
II. Hiperglikemia reaktif……………………………...
15
III. Enzim transaminase
……………………………….17
2
BAB I
1. Penatalaksanaan Infark Miokard
Tujuan penatalaksan dari STEMI adalah Reperfusi. Terapi reperfusi
harus dilakukan sesegera mungkin dalam waktu 12 jam setelah onset gejala
dari STEMI.1 Tujuan pengobatan pasien miokard infark akut dengan STEMI
(termasuk mereka yang diduga mengalami onset baru blok berkas cabang kiri
(LBBB) adalah untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat metabolik
akibat oklusi trombotik persisten di arteri koroner. Reperfusi merupakan
pilihan strategi utama dalam tatalaksana STEMI di menit-menit awal kontak
pasien pertamakali ke unit pelayanan medis terdekat. Hingga saat ini laporan-
laporan uji coba klinik reperfusi awal jam-jam pertama serangan STEMI
menunjukkan bahwa reperfusi koroner secara intervensi koroner perkutan
(selanjutnya disingkat IKP) mampu mengurangi angka kejadian re-infark,
stroke dan mortalitas lebih baik dibandingkan reperfusi koroner dengan
menggunakan fibrinolitik. Beberapa strategi reperfusi koroner yang sudah
lama kita kenal yaitu reperfusi farmakologik (dengan obat-obatan fibrinolitik),
intervensi koroner perkutan primer (selanjutnya disingkat IKPP), intervensi
koroner perkutan fasilitasi (fascilitated PCI), intervensi koroner perkutan
penyelamatan (rescue PCI), dan stretegi reperfusi yang baru-baru ini mulai
dijalankan di beberapa senter adalah strategi farmako-invasif. 2
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalisir
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai
terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk
PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik
merupakan prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien.
Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu.
Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka
kematian. Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada
3
pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik),
semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat
keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas
kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan 3
Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan reperfusi
sesegera mungkin, dapat berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous
Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset
gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat
dilakukan terapi reperfusi jika pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas
infark (ongoing chest pain). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada
STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.
Percutaneous Coronary Interventions (PCI) merupakan intervensi koroner
perkutan (angioplasti atau stenting).
1. PCI primer : yang tidak didahului terapi trombolitik sebelumnya
selama 12 jam setelah gejala awal disebut PCI primer (primary PCI).
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik untuk membuka arteri
koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih
jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun),
risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-
kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang
mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal
dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan
tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. 3
American College of Cardiology/American Heart Association dan
European Society of Cardiology merekomendasikan dalam penatalaksanaan
pasien dengan STEMI selain diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi
lain seperti anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-
koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight
Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin
Receptor Blocker 4
4
1. Antiplatelet
Anti platelet yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkena infark. Baik aspirin
maupun clopidogrel harus segera diberikan pada pasien STEMI ketika masuk
ruangan emergensi.
1.1. Aspirin
Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Aspirin terbukti
dapat menurunkan angka kematian, mencegah reoklusi coronary dan
menurunkan kejadian iskemik berulang pada pasien dengan Infark Miokard
Akut. Aspirin harus segera diberikan kepada pasien STEMI setelah sampai di
departemen emergensi. 1 Pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler
sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%. Aspirin merupakan golongan
anti platelet yang merupakan rekomendasi dari ACC/AHA untuk terapi
STEMI. Pada STEMI Kelas I yaitu aspirin harus dikunyah oleh pasien dan
perawat tidak boleh memberikan aspirin sebelum menunjukkan adanya
diagnosa STEMI. Dosis awal yang harus diberikan adalah 162 mg (Level of
Evidence : A) sampai 325 mg (Level of Evidence : C). Walaupun begitu
5
beberapa penelitian menggunakan enteric-coated aspirin untuk dosis awal,
namun dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non enteric coated lebih
cepat asorbsinya melalui buccal. Dengan pemberian dosis aspirin 162 mg atau
lebih, aspirin akan menghasilkan efek klinis antithrombotic dengan cepat hal
ini disebabkan oleh produksi inhibitor total thromboxan A2. Aspirin sekarang
merupakan bagian dari manajemen awal untuk seluruh pasien yang dicurigari
STEMI dan harus segera diberikan dan diberikan dalam 24 jam pertama
dengan dosis antara 162 – 325 mg dan dilanjutkan dalam jangka waktu tidak
terbatas dengan dosis harian 75 – 162 mg. Walaupun dalam beberapa
penelitian menggunakan enteric coated aspirin untuk dosis awal, namun
dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non enteric coated lebih cepat
asorbsinya melalui buccal.5
Kontraindikasi dalam pemberian aspirin meliputi pasien yang mengalami
hipersensitivitas, perdarahan aktif pada saluran pencernaan atau penyakit
hepatic kronis. 1Analisis observasional dari studi CURE menunjukkan hasil
serupa tingkat kematian kardiovaskuler, Miokard Infark maupun stroke pada
pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) yang menerima dosis tinggi (> 200
mg), dosis sedang (110-199 mg) maupun dosis rendah (< 100 mg) aspirin per
hari. Dimana dari hasil studi tersebut menyebutkan bahwa tingkat perdarahan
mayor meningkat secara signifikan pada pasien ACS yang menerima aspirin
dosis tinggi 1 Walaupun begitu, agen antiplatelet lain juga direkomendasikan
untuk diberikan pada pasien dengan STEMI jika pasien menunjukkan alergi
atau intoleransi terhadap aspirin, dapat digantikan dengan clopidogrel5.
1.2. Clopidogrel
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk
pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan
STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik. Clopidogrel (Plavix;
sanofi aventis/Bristol-Myers Squibb) merupakan thienopyridine yang
dimetabolisme melalui cytochrome P450 didalam hepar. Clopidogrel aktif
dimetabolisme secara irreversible oleh reseptor antagonis P2Y126.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI
6
yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan
penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian
terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang
memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%) (Firdaus, 2011). Sedangkan
penelitian COMMIT-CCS-2 yang dilakukan di Cina pada pasien dengan
Miokard Infark dengan 93 % pasien mengalami STEMI atau bundle branch
block dan 54 % pasien dengan thrombolysis. Penelitian tersebut dengan
menggunakan clopidogrel yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian,
reinfarksi atau mencegah terjadinya stroke. CLARITY-TIMI melalui 28
penelitian, dimana clopidogrel mengurangi efikasi titik akhir primer komposit
dari sumbatan arteri infark pada angiografi, menurunkan angka kematian atau
mencegah terjadinya Miokard Infark berulang pada pasien STEMI yang
menerima terapi trombolitik. Pengobatan dengan clopidogrel sebelum dan
setelah PCI secara signifikan dapat mengurangi insiden/ kejadian kematian
kardiovaskuler atau komplikasi iskemik1.
Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien STEMI dengan
pemberian secara oral dengan dosis loading awal segera yaitu 300 mg yang
dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75 mg. Pada pasien dengan PCI,
disarankan untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg bertujuan untuk
mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian clopidogrel
secara maintenance selama 12 bulan kecuali jika didapatkan adanya resiko
perdarahan massif 7
2. Obat antiplatelet baru
Inhibitor P2Y2 terbaru, pasugrel dan ticagrelor, merupakan agregrasi
platelet inhibitor terbesar dan memiliki manfaat lebih besar dari pada
clopidegrol untuk terapi STEMI. Penelitian TRITON-TIMI 38 trial
membandingkan pasugrel dengan clopidegrol pada 3534 pasien STEMI yang
menjalani PCI. Pasugrel signifikan menurunkan primary endpoint, meliputi
kematian kardiovaskuler, non fatal MI, atau non fatal stroke selama 30 hari.
Namun, pemberian pasugrel harus dihindari pada pasien dengan riwayat stroke
iskemia atau transient ischemic attack, pasien dengan usia lebih dari 75 tahun
7
dan pasien dengan berat badan kurang dari 60 kg karena analisis pada
subgroup 38 percobaan TRITON TIMI tidak menemukan manfaat yang lebih
besar dari pasugrel karena memiliki resiko perdarahan lebih besar pada
subgroup tersebut.
Saat ini, pasugrel dapat digunakan sebagai alternatif clopidogrel pada
pasien STEMI yang menjalani Primary PCI. Ticagrelor merupakan obat aktif
dan tidak memerlukan transformasi metabolik. Penelitian PLATO
membandingkan ticagrecol dengan clopidogrel pada 7544 pasien STEMI yang
sedang menjalani Primary PCI. Dari hasil penelitian menunjukkan
kecenderungan dapat menurunkan primary endpoint dari kematian
kardiovaskuler, Miokard infark atau stroke [hazard ratio (HR), 0.87; 95%
confidence interval, 0.75 to 1.01; p = 0.07]. Tetapi, tidak ada perbedaan yang
signifikan terhadap perdarahan mayor diantara dua kelompok 1.
3. Anti Koagulan
Terapi antikoagulan pada pasien STEMI diberikan salah satu tujuannya
adalah mendukung terapi Primary PCI. Pada pasien STEMI yang sedang
menjalani terapi trombolitik, antikoagulan biasanya diperlukan untuk
meningkatkan pantensi awal koroner dan mengurangi reoklusi.
3.1. Unfractionated Heparin (UFH)
Heparin merupakan mukopolisakarida heterogen yang berinteraksi dengan
antitrombin III dengan meningkatkan efek penghambatan terhadap thrombin.
Unfractionated Heparin (UFH) dianggap sebagai terapi anti koagulan standart
untuk pengobatan pasien ST Elevasi Miokard Infark (STEMI), termasuk
pasien yang diobati dengan menggunakan Percutaneous Coronary
Intervention (PCI). Menurut Guidelines from the American College of
Cardiology and European Society of Cardiology merekomendasikan
penggunaan UFH dengan level evidence C 8
UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan
obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan
memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis
yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan
8
infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus
mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH)
selama dirawat dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan 2.
Pada pasien yang mendapatkan pengobatan agen spesifik fibrin (Alteplase,
t-PA), pemberian intravena UFH harus dilanjutkan selama 48 jam. Namun,
peran UFH menjadi kurang penting ketika sedikit agen trombolitik spesifik
fibrin misal streptokinase digunakan. Karena agen tersebut membentuk
sistemik koagulopati dan membuat agen tersebut membuat sendiri agen
antikoagulan kuat. Pada pasien yang menjalani pengobatan Primary PCI,
tambahan bolus UFH harus diberikan dimana UFH diperlukan selama prosedur
PCI untuk menjaga ACT (activated clotting time) sekitar 250-350 detik ( 200-
250 detik jika GP IIb/IIIa inhibitor digunakan).
Pemberian UFH dapat dilanjutkan selama 24 – 48 jam setelah tindakan
Primary PCI atau dipertimbangkan untuk menghentikan pemberian jika
sirkulasi koroner kembali dan tidak ada resiko tinggi seperti anterior miokard
infark, atrial fibrilasi, embolisme sebelumnya atau LV (left ventricle)
thrombus. Untuk pasien tanpa terapi reperfusi, pemberian UFH harus dengan
durasi yang optimal dengan pemberian UFH selama 48 jam jika tidak ada
kontraindikasi dan penggunaan UFH harus diberikan secara individual dan
sesuai dengan kondisi klinis pasien 1
3.2. Enoxaparin (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH)
Enoxaparin merupakan heparin dengan berat molekul rendah (Low Molecular
Weight Heparin/ LMWH) yang memiliki biovailabilitas yang bagus dan
preferential aktivitas anti Xa. Pada penelitian ExTRACT-TIMI 25 trial, pasien
STEMI mendapatkan terapi trombolisis dan aspirin secara random diberikan
enoxaparin IV 30 mg bolus di ikuti dengan pemberian 1 mg/kg 2 kali perhari
secara subkutan selama 8 hari atau intravena bolus UFH 60 IU/kg di ikuti dengan
infus 12 IU/kg/jam selama 48 jam. Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa
9
secara signifikan enoxaparin lebih efektif dibandingkan dengan UFH dalam
penurunan primary composite endpoint of death atau reinfark selama 30 hari.
Sedangkan untuk tingkat perdarahan mayor lebih sering dengan enoxaparin
selama 30 hari, namun terjadinya perdarahan intracranial hampir sama
penggunaan enoxaparin dengan UFH. Walaupun begitu, enoxaparin dapat
digunakan sebagai alternative pengganti UFH pada pasien STEMI yang
mendapatkan terapi trombolitik. Pada pasien STEMI yang tidak menerima terapi
reperfusi, efek dari enoxaparin dan UFH hampir sama. Penelitian lain yang
dilakukan TETAMI, membandingkan enoxaparin 30 mg IV bolus, di ikuti dengan
1 mg/kg subkutan 2 kali perhari selama 2-8 hari dengan intravena UFH pada
pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi reperfusi. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara enoxaparin dan
UFH dalam menimbulkan combined end point of death, reinfarksi atau serangan
angina kembali selama 30 hari. Karena memiliki profil manfaat yang hampir sama
dengan UFH, enoxaparin dapat dijadikan sebagai alternatif pengobatan pada
pasien STEMI non reperfusi. Jika pasien awalnya diobati dengan enoxaparin
tetapi kemudian membutuhkan tindakan PCI, maka dosis 0,3 mg/kg enoxaparin
dapat diberikan secara IV untuk PCI jika dosis sub kutan terakhir adalah 8-12 jam
sebelumnya. Jika dosis subkatan yang lalu telah diberikan 8 jam sebelumnya,
maka tidak diperlukan enoxaparin tambahan untuk PCI 1.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Murphy, Et al (2007) dengan
membandingkan enoxaparin dengan UFH pada pasien ACS baik STEMI maupun
NSTE-ACS yang berjumlah 49.088 pasien secara meta analisis. Dari hasil
pembahasan didapatkan bahwa enoxaparin dikaitkan dengan manfaat yang besar
sebagai terapi adjunctive antithrombin diantara lebih dari 49.000 pasien diseluruh
spectrum ACS. Walaupun perdarahan mayor meningkat dengan menggunakan
enoxaparin, tetapi peningkatan ini di imbangi dengan penurunan yang signifikan
dalam kematian non-fatal miokard infark.
3.3. New Anticoagulan Drug
Bivalirudin
Bivalirudin merupakan direk inhibitor thrombin yang di indikasikan untuk
digunakan selama Percutaneous Coronary Intervention (PCI) meliputi pasien
10
dengan STEMI maupun Unstable angina/ NSTEMI. Dari hasil penelitian
penggunaan bivalirudin menurunkan resiko perdarahan dan gejala klinis.
Selain itu, pemberian bivalirudin juga menurunkan resiko kematian, reinfraksi,
serta perdarahan mayor 9
Dosis awal yang diberikan IV melalui bolus 0,75 mg/kgBB/jam selama
durasi prosedur PCI serta dapat dilanjutkan sampai 4 jam post PCI dengan
dosis 1,75 mg/kgBB . Kontraindikasi pemberian bivalirudin yaitu pada pasien
dengan perdarahan aktif atau meningkatnya resiko perdarahan akibat kelainan
haemostasis atau irreversible coagulation disorder, hipertensi berat yang tidak
terkontrol, endokarditis dan gagal ginjal kronik (GFR < 30 ml/mnt). Selain itu,
harus diperhatikan efek samping dari pemberian terapi bivalirudin yaitu
terjadinya perdarahan minor maupun mayor (Sani, 2010). Sehingga diperlukan
peran perawat selama pemberian obat tersebut dalam memonitor proses
pemberian obat serta efek samping yang ditimbulkan . Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Pinto, Et al (2010) membandingkan hasil klinis dan ekonomis
pada pasien ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani tindakan
klinis rutin Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI), dengan
memberikan terapi bivalirudin dengan heparin dan glycoprotein IIb/IIIa
receptor inhibition (GPI) sepktrum luas. Pasien dikelompokkan menjadi 2
kelompok pengobatan, yaitu bivalirudin dan heparin dengan GPI. Dari hasil
studi tersebut disimpulkan bahwa pemberian bivalirudin dibandingkan dengan
heparin dan glycoprotein IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) pada pasien yang
sedang menjalani PCI menunjukkan hasil yaitu angka kematian yang lebih
rendah (3,2 % vs 4,0 %), rendahnya resiko perdarahan (16,9% vs 10,5%),
perdarahan setelah transfusi ( 1,6 % vs 3,0 %) dan pemberian transfusi ( 5,9 %
vs 7,6 %). Pasien yang mendapatkan terapi bivalirudin memiliki rata-rata
perawatan lebih pendek ( rata-rata 4,3 hari vs 4,5 hari) serta biaya perawatan
yang lebih rendah (rata-rata $ 18.640 vs $19.967). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pemberian bivalirudin selama tindakan PCI menurunkan resiko
kematian dan perdarahan, dan menurunkan biaya perawatan rumah sakit.
Percobaan HORIZON-AMI, bivalirudin dibandingan dengan UFH plus GP
IIb/IIIa inhibitor pada pasien STEMI yang sedang menjalani primary PCI.
11
Bivalirudin memiliki tingkat yang lebih rendah terhadap kejadian klinis,
meliputi perdarahan mayor, kematian, urgent target vessel revascularization,
Miokard Infark dan stroke selama 30 hari. Manfaat paling signifikan adalah
mengurangi komplikasi dari perdarahan mayor. Oleh karena itu, bivalirudin
dapat digunakan sebagai alternatif terapi pasien STEMI yang sedang menjalani
tindakan invasif 1.
Fondaparinux
Fondapariniux merupakan sintetik factor Xa inhibitor yang terikat pada
antitrombin III dan meningkatkan antitrombin III-mediated factor Xa
inhibition. OASIS melakukan 6 percobaan, Efek fondaparinux yang diujikan
pada pasien STEMI yang sedang menjalani terapi trombolisis, Primary PCI,
atau tidak ada terapi reperfusi dan dibagi menjadi dua kelompok yang
tergantung pada kebutuhan terhadap UFH selama 30 hari. Secara keseluruhan,
fondaparinux signifikan dalam menurunkan kejadian primary efficacy outcome
(kematian atau Miokard Infark berulang). Manfaat signifikan didapatkan pada
pasien yang menerima terapi trombolisis atau tidak ada terapi reperfusi tetapi
tidak pada pasien yang sedang menjalani primary PCI. Dengan demikian.
Fondaparinux dianjurkan sebagai alternatif antikoagulan pada pasien STEMI
yang dirawat secara konservatif, tetapi tidak pada pasien yang menjalani
primary PCI 3
C) Penyekat Beta / Beta Blockers
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta
pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang
mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi
(pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun,
blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma). Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan
12
syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100
mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan
dengan 100 mg tiap 12 jam 3
13
4. Algoritma
pentalaksanaan ACS
STEMI
14
II. hiperglikemia reaktif
Stress hyperglycemia sangat berhubungan dengan respon metabolik terhadap
stress atau injury (trauma), yang merupakan interaksi kompleks yang melibatkan
beberapa mediator, termasuk system neurologi, hormon, dan messenger sitokin.
Kondisi yang memicu respon metabolik ini antara lain trauma, sepsis, atau
pembedahan. Sebenarnya respons ini merupakan respon fisiologis yang khas,
dalam upaya mempertahankan kehidupan sel. Secara sederhana respon metabolic
yang terjadi terbagi atas respon lokal dan sistemik.
Respon lokal timbul akibat reaksi neurohormonal, guna meningkatkan aktifitas
metabolik dan mekanisme lokal tingkat seluler. Sedangkan respon sistemik
dimanifestasikan sebagai peningkatan “counter-regulatory hormones” seperti
kortisol, epinefrin, dan glukagon, yang akan berkolaborasi dalam kaskade sitokin.
Jadi, stress hyperglycemia merupakan manifestasi yang umum terjadi pada pasien
kritis.
Faktor-faktor yang berperan meliputi:
Peningkatan sekresi hormon-hormon counterregulatory, seperti:
katekolamine, kortisol, growth hormone, glucagon
Terjadinya resistensi insulin akibat meningkatnya kadar berbagai sitokin
(I-CAM1, V-CAM)
Defisiensi insulin relative
Faktor iatrogenik, karena pemberian obat-obatan tertentu, seperti:
katekolamin, vasopresor, steroid, cairan infus yang mengandung dextrose,
serta nutrisi enteral atau parenteral.
Secara klasik respon terhadap stress hiperglikemi digambarkan melalui dua phase;
yaitu fase ebb dan fase akut (flow phase). Phase ebb terjadi 24 hingga 48 jam
setelah injuri. Selama periode yang singkat ini terjadi peningkatan aktifitas saraf
simpatis dan peningkatan aksis hipofisis-hypothalamus. Sedangkan fase kedua
yang disebut fase akut atau flow phase, terjadi hipermetabolisme, katabolisme dan
peningkatan konsumsi oksigen. Mekanisme ini terjadi karena peran mediator-
15
mediator seperti sitokin, hormon, dan rangsangan pada saraf afferent dari tempat
injuri.
Asam lemak merupakan cadangan energi yang tersedia untuk jantung, otot, hati
dan beberapa jaringan lainnya. Meskipun sebagian asam lemak ini digunakan
untuk keperluan glukoneogenesis, sebagian besar diperuntukkan proses sintesis
protein pada fase akut, sebagai termogenesis dan precussor dalam perbaikan
jaringan. Dalam proses pemulihan hal ini juga terjadi, diawali penurunan proses
metabolik, melengkapi penurunan cadangan energi tubuh, dan mengatasi
penurunan berat badan. Katabolik, proses metabolik, pengaturan cairan dan
sensitifitas insulin semuanya akan kembali normal ke tingkat sebelum injury dan
homeostatis baru. Dalam keadaan ini proses anabolisme menjadi lebih dominan
Stress hyperglycemia yang terjadi pada infark akut berhubungan dengan
peningkatan mortalitas pada pasen dengan DM maupun non DM, karena
meningkatkan kejadian gagal jantung dan syok kardiogenik. Disamping itu, juga
meningkatnya kadar asam lemak bebas, dan penggunaan asam lemak tertentu oleh
miokard, dianggap sebagai mekanisme memburuknya iskemia dan menginduksi
aritmia pada pasen infark akut dengan DM. Kondisi ini mengakibatkan perluasan
infark, kolateral berkurang, menginduksi kematian sel
jantung melalui apoptosis, dan menambah injuri iskemia reperfusion.
Hiperglikemia juga mempengaruhi perubahan tekanan darah, meningkatkan
katekolamin, kelainan trombosit, dan perubahan elektrofisiologi.
III. enzim transaminase
Enzim transaminase atau disebut dengan enzim aminotransferase adalah enzim
yang mengkatalisis reaksi transaminase. Enzim GPT atau alanine amino
transferase terdapat pada hati, jantung, dan serum darah. Ada dua jenis enzim ini :
1. Serum glutamate oksaloasetat transaminase (SGOT)
2. Serum glutamate piruvat transaminase (SGPT)
16
Pemeriksaan SGPT adalah indicator yang lebih sensitive terhadap kerusakan hat
disbanding SGOT. Hal ini dikarenakan sumber energy enzim GPT berasal dari
hati sedangkan SGOT banyak ditemukan pada otot jantung, otot rangka, ginjal
dan otak.
Dua macam enzim ini yang sering dihubungkan dengan kerusakan sel hati
termasuk dalam golongan aminotransferase, yakni enzim yang mengkatalisis
pemindahan gugusan amino secara reversible anatara asam amino dan asam alfa
keto. Aspartate transferase (AST) atau SGOT mengerjakan reaksi antara asam
aspartate dan asam alfa-ketoglutamat. Sedangkan alanine aminotransferase atau
SGPT melakukan reaksi serupa antara alanine dan asam alfa ketoglutamat10.
Enzim GOT mengkatalisis perpindahan gugus amino dari aspartate kepada
2-oksaloglutarat untuk menjadi L-glutamat dan oksaloasetat. Pemeriksaan GOT
dimaksudkan untuk memantau dan menetapkan terapi bagi penderita hepatitis.
Kadar normal SGOT 10-41SI/l, sedangkan SGPT normal sekitar 5-35SI/l.
sedangkan untuk nilai rujukan SGPT/ALT adalah laki-laki 0-50SI/l, perempuan 0-
35 SI/l. sedangkan keadaan yang dapat meningkatkan kadar SGPT/ALT adalah:
a. SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati (akibat
obat)
b. peningkatan 3-10 kali nilai normal : infeksi mononuclear, hepatitis kronis
aktif, seumbatan empedu ekstra hepatic, reye syndrome, dan infark
miokard (jika SGOT> SGPT)
c. peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, siroisi
Laennec, sirosisbiliaris
17
tabel : pemeriksaan penunjang pada penyakit hepatobilier. 12
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Heng Li, Et al. (2012). 2012 Guidelines of the Taiwan Society of
Cardiology (TSOC) for the Management of ST-Segment Elevation
Myocardial Infarction. Vol. 28. (63-89). Diakses dari http://www.tsoc.org/
2. Firdaus, (2011). Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI Jurnal
Kardiologi Indonesi. 2011;32:266-71 ISSN 0126/3773.
3. Firman, (2010). Intervensi Koroner Perkutan Primer.Jurnal Kardiologi
Indonesia. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2010; 31:112-117ISSN 0126/3773
4. Farissa, I.P. (2012). Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST-
Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi
Reperfusi. Studi di RSUP Dr.Kariadi Semarang.
5. Antman, Et al. (2013). ACC/AHA Guidelines for the Management of
Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction—Executive Summary.
Diakses dari http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf.
6. Hoekstra, (2010). Optimal Anti Platelet and anti thrombosic therapi in the
Emergency Department. Advancing Standard of Care : Cardiovascular and
Neurovascular Emergencies. Diakses dari http://www.emcreg.org.
7. Daga, Et al. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI. Vol 59. (19-25).
8. Navarese, Et al. (2011). Low-molecular-weight heparins vs.
unfractionated heparin in the setting of percutaneous coronary
intervention for ST-elevation myocardial infarction: a meta-analysis.
Journal of Thrombosis and Haemostasis. Vol 9, (1902–1915). Diakses dari
http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer .
9. Pinto, Et al. (2010). Intervention: Results From an Observational
Database in ST-Elevation Myocardial Infarction Patients Undergoing
Percutaneous Coronary Bivalirudin Therapy Is Associated With Improved
Clinical and Economic Outcomes. Journal Of American Hearth
Association. Vol 5. (52-61). Diakses dari
http://circoutcomes.ahajournals.org/.
10. the evaluation of liver chemistry tests. Gastroenterology 2002;12:1367-84
19
11. Giannini EG, Tesa R, Savarino V. Liver enzyme alteration: a guide for
clinicians. CMAJ 2005;172:367-79.
12. T. R. Harrison, W. R. Resnick, M. M. Wintrobe, et al : Harrison principle
in internal medicine 17th , p 2167, 2011: Mcgraw hill
20