Refer At
-
Upload
shawn-dyer -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
description
Transcript of Refer At
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma medula spinalis merupakan salah satu masalah kesehatan mayor yang
dapat menimbulkan gangguan neurologis dan dapat menyebabkan kecacatan menetap
atau kematian. Trauma medula spinalis terjadi pada 30.000 pasien setiap tahun di
Amerika serikat. Di Negara berkembang, insidensi trauma medula spinalis berkisar
antara 11,5 hingga 53,4 kasus dalam 1.000.000 populasi. Kejadian ini umumnya
terjadi pada remaja dan usia muda, yaitu sekitar 75% dari seluruh kasus.1 Data dari
bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan terhitung dari
Januari sampai Juni 2003, angka kejadian untuk trauma medula spinalis adalah
12,5%.2
Penyebab tersering trauma medula spinalis adalah kecelakaan lalu lintas (50%),
jatuh (25%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya akibat
kekerasan dan kecelakaan kerja.2 Pada usia diatas 45 tahun, trauma banyak terjadi
pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan
bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor
osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).3
Hampir 40%-50% trauma medula spinalis mengakibatkan defisit neurologis,
sering menimbulkan gejala yang berat, dan terkadang menimbulkan kematian. Angka
mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama, dan lebih kurang 80%
meninggal di tempat kejadian.4 Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah
jaras kortikospinal lateral dapat menimbulkan kelumpuhan upper motor neuron
(UMN) pada otot-otot bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Bila lesi
bilateral atau transversal medula spinalis di bawah tingkat servical, maka dapat
muncul suatu paraplegi spastic. Bila lesinya di tingkat servical, maka akan muncul
suatu tetraplegi spastik.3
Paraplegi dan tetraplegi spastik dapat terjadi secara tiba-tiba atau akut yang
disebabkan oleh dislokasi atau fraktur tulang belakang akibat trauma atau lesi
vaskuler, seperti trombosis arteri spinalis, hematomielia, aneurisma aorta disektans.
Paraplegi dan tetraplegi spastik yang berkembang agak lambat tetapi masih dapat
1
digolongkan dalam subakut ialah akibat suatu proses imunologik, seperti mielitis
postvaksinalis atau mielitis postinfeksiosa dan miolopati nekrotikans. Sedang
paraplegi dan tetraplegi spastik yang berkembang lebih lama atau kronis dapat
disebabkan oleh spondilitis tuberkulasa, tumor spinal, dan abses epidural.3
Paraplegia atau tetraplegi spastik pada anak-anak pada umumnya merupakan
gejala cerebral palsy atau manifestasi penyakit herediter yang menyertai
keterbelakangan mental. Paraplegia atau tetraplegi spastik yang berkembang secara
sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang bertahun-tahun biasanya disebabkan
oleh amyotrophic lateral sclerosis (ALS), biasanya disertai defisit sensorik pada
permukaan tubuh yang terletak dibawah lesi, bahkan sebagian besar dapat terjadi
gangguan miksi dan defekasi.5
Lesi transversal yang dapat juga merusak segenap lintasan asendens dan
desendens lain dan juga motoneuron yang berada di dalam masing segmen. Kondisi
ini berarti pada tingkat lesi kelumpuhan dapat bersifat lower motor neuron (LMN).
Begitu juga akibat terputusnya lintasan somatosensorik dan lintasan autonom
neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah penderita
tidak dapat merasakan perasaan apapun, terganggunya miksi dan defakasi, dan tidak
memperlihatkan reaksi neurovegetatif. Di dalam praktek, lesi transversal yang
merusak seluruh segmen medula spinalis jarang dijumpai, kecuali jika faktor
penyebabnya berupa trauma berat karena luka tembak peluru dan fraktur tulang
belakang yang total.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Columna Vertebralis
Vertebrae atau tulang belakang merupakan pilar utama tubuh yang berfungsi
menyangga tulang-tulang cranium, gelang bahu, ekstremitas, rongga thoraks, dan
gelang panggul. Tulang belakang terdiri atas 33 vertebrae, yaitu 7 vertebra cervicalis,
12 vertebra thoracalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacralis (bersatu membentuk os
sacrum), dan 4 vertebra coccygis (tiga yang di bawah umumnya bersatu). Diantara
tiap-tiap vertebrae ini terdapat sendi dengan bantalan kartilago yang disebut discus
intervertebralis sehingga tulang belakang dapat bergerak fleksibel.6
Vertebrae tipikal terdiri atas corpus di bagian anterior dan arcus vertebrae di
bagian posterior. Corpus merupakan bagian terbesar dari vertebrae dan berbentuk
silinder. Arcus vertebrae terdiri atas sepasang pedikel yang membentuk sisi-sisi arcus
dan lamina yang melengkapi arcus dari posterior. Arcus memiliki tujuh processus,
yaitu satu processus spinosus, dua processus transversus, dan empat processus
articularis. Processus spinosus menonjol ke posterior dari pertemuan kedua lamina.
Processus transversus menonjol ke lateral dari pertemuan lamina dan pedikel.
Processus articularis terdiri dari dua processus articularis superior dan dua processus
articularis inferior yang menonjol dari pertemuan antara lamina dan pedikel.7
Gambar 2.1 Anatomi Corpus Vertebrae
3
Vertebrae dikelompokkan sebagai berikut3:
1. Vetebra Cervicalis
Vertebrae cervicalis 1, 2, dan 7 memiliki variasi (atipikal). Vertebrae
cervicalis 1 (os atlas) tidak memiliki copus dan processus, memiliki arcus
anterior dan posterior, serta memiliki massa lateralis pada masing masing sisi
dengan fasies artikularis pada permukaan atasnya. Vertebrae cervicalis 2 (os
axis) memiliki dens yang mirip pasak yang menonjol ke atas dari permukaan
superior corpus. Vertebrae cervicalis 7 (vertebrae prominens) memiliki
processus spinosus yang paling panjang dan tidak bifida serta processus
transversus besar dengan foramen transversarium kecil yang dilalui vena
vertebralis.
2. Vertebra Thoracalis
Vertebra thoracalis memiliki corpus berbentuk jantung yang ukurannya
semakin besar mulai dari atas kebawah. Processus spinosus panjang dan miring
kebawah. Pada vertebrae thoracalis 1-10 terdapat fovea costalis pada processus
transversus untuk bersendi dengan tuberculum costae.
3. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal.
Vertebrae lumbalis memiliki pediculus yang kuat, lamina yang tebal, dan
processus transversus yang panjang dan langsing. Vertebrae lumbalis tidak
memiliki facies articularis dan tidak ada foramina pada processus transversus.
4. Os Sacrum
Os sacrum terdiri dari 5 vertebrae rudimenter yang bergabung menjadi satu
membentuk sebuah tulang berbentuk baji. Pinggir atas tulang bersendi dengan
vertebrae lumbalis 5 dan pinggir bawahnya bersendi dengan os coccygis.
5. Os Coccygis
Os coccygis terdiri dari 4 vertebrae yang berfusi menjadi tulang berbentuk
segitiga kecil yang basisnya bersendi dengan ujung bawah sacrum.
Lengkung koluma vertebralis kalau dilihat dari samping akan memperlihatkan
empat kurva atau lengkung antero-pesterior. Pada daerah leher melengkung kedepan,
daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan, dan daerah pelvis
melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal
4
dan pelvis, disebut primer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya
kebelakang (bentuk sewaktu janin). Kedua lengkung yang menghadap ke anterior
adalah sekunder. Lengkung servical berkembang ketika kanak-kanak mengangkat
kepalanya, dan lengkung lumbal di bentuk ketika merangkak, berdiri, berjalan serta
mempertahankan tegak.6
Fungsi dari kolumna vertebralis sebagai pendukung badan yang kokoh dan
sekaligus bekerja sebagai penyangga dengan prantaraan tulang rawan cakram
intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan
membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan
yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan
dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan.
Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk otot
dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan
memberi kaitan pada iga.7
Gambar 2.2 Anatomi Collumna Vertebralis
5
2.1.2 Anatomi Medula Spinalis
Medula spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris
memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior os atlas
sampai batas atas vertebrae lumbalis 2, kemudian medula spinalis akan berlanjut
menjadi medula oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang medula spinalis setinggi
vertebrae lumbal 3. Panjang normal medula spinalis orang dewasa adalah 42-45 cm,
pada bagian superior dilanjutkan oleh medula oblongata dan bagian inferior
dilanjutkan oleh conus medularis.8 Selama perkembangannya, kanalis sentralis
mengalami perluasan kearah lateral pada dua bagian, yaitu pembesaran servical
(intumensensia servicalis) dan pembesaran lumbal (intumensia lumbalis) yang
masing-masing membentuk pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral.3
Medula spinalis dibagi menjadi kira-kira 8 segmen servikal, 12 segmen torakal,
5 segmen lumbal, 5 segmen sacral, dan beberapa segmen koksigeal yang kecil.
Masing-masing segmen bervariasi panjangnya, namun di dalam medula spinalis itu
sendiri tidak ditemukan adanya batas-batas yang tegas di antara segmen-segmen
tersebut.8 Potongan melintang dari medula spinalis memperlihatkan sulkus mediana
dorsalais, kolumna dorsalais, kolumna lateralis, komissura putih ventralis, kolumna
ventralis, fisura ventralis, fisura mediana ventralis, kolumna kelabu ventralis,
komisura kelabu ventralis, kanalis sentralis, septum mediana dorsalis.7
Masing-masing segmen medula spinalis mempunyai 4 akar serabut saraf yang
terletak di daerah ventral dan dorsal medula spinalis. Masing-masing akar dibentuk
oleh 1-8 serabut saraf. Pada akar dorsalis didapatkan ganglion spinal yang berdekatan
dengan akar ventralis, yaitu yang berisi badan-badan sel saraf. Akibat ada perbedaan
dari kecepatan pertumbuhan antara medula spinalis dan vertebrae, maka segmen
vertebrae mengalami pergeseran kearah atas dari vertebra yang bersesuaian. Dengan
ketidaksesuaian ini pada segmen paling bawah dibagian lumbosakral, akar-akar saraf
berjalan turun ke bagian bawah sumsum tulang belakan untuk membentuk cauda
equina.6
6
Gambar 2.3 Anatomi Medula Spinalis
7
2.2 Definisi
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian.2
2.3 Etiologi
Trauma medula spinalis terjadi ketika ada benturan fisik eksternal, seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau kekerasan, sehingga
menimbulkan lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik
dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, trauma medula
spinalis mencakup fraktur, dislokasi, dan kontusio dari kolum vertebra.9 Fraktur
dapat berupa fraktur sederhana, kompressi, atau kominutif. Sedangkan kerusakan
pada medula spinalis dapat berupa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi
dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.1
2.4 Klasifikasi
Trauma medula spinalis dapat menyebabkan lesi medula spinalis yang dibagi
menjadi tipe komplit dan inkomplit.2 Skala kerusakan berdasarkan American Spinal
Injury Association dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Skala Kerusakan pada Lesi Medula Spinalis2
Grade Tipe Gangguan medula spinalis ASIA/IMSOPA Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai
S4-S5B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik
terganggu sampai segmen sakral S4-S5C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi
otot-otot motorik utama masih punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utama punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
8
Berdasarkan tipe dan lokasi trauma, lesi medula spinalis dapat diklasifikasikan
menjadi2:
1. Complete spinal cord injury (Grade A)
a. Unilevel
b. Multilevel
2. Incomplete spinal cord irjury (Grade B, C, D)
a. Cervico medullary syndrome
b. Central cord syndrome
c. Anterior cord syndrome
d. Posterior cord syndrome
e. Brown Sequard syndrome
f. Gonus Medullary Syndrome
3. Complete Cauda Equina Injury (Grade A)
4. Incomplete Cauda Equina Injury (Grade B, C daa D)
2.5 Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan
tanda yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi
untuk pertama kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi
selanjutnya. Kompresi dapat terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh
fragmen-fragmen tulang ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat
dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan
sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit
di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif
dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.10
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi,
fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1 Fraktur
tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-
tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebrae
C1-2, C5-6 dan T11-12.1
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan
9
lesi yang nyata di medula spinalis. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan
dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis
dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah
whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh
gaya eksplosi bom.9
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut2:
1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi
oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma
hiperekstensi.
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan,
hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap
regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan
gangguan aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan
posterior.
2.6 Manifestasi Lesi Traumatik
1. Komosio Medula Spinalis
Komosi medula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medula
spinalis hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur
atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit
hingga beberapa jam/hari tanpa meninggalkan gejala sisa.2
Kerusakan yang medasari komosio medula spinalis berupa edema,
perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada
inspeksi makroskopik medula spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan
hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh
sempurna menipis dan perubahan pada medula spinalis lebih mengarah ke
perubahan patologik daripada fisiologik.4
10
2. Kontusio Medula Spinalis
Berbeda dengan komosio medula spinalis yang diduga hanya merupakan
gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada kontusio
medula spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medula
spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan (edema), perubahan neuron, reaksi
peradangan. Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-
bercak degenerasi Wallerian dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron.2
3. Laserasio Medula Spinalis
Pada laserasio medula spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat
diskontinuitas medula spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak
atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.3
4. Perdarahan
Akibat trauma, medula spinalis dapat mengalami perdarahan epidural,
subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi
akibat trauma maupun akibat dari sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya
trauma yang ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan
medula spinalis. Kedua keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah.
Hematomiella adalah perdarahan di dalam substansia grisea medula spinalis.
Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau
trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi
berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medula spinalis di
bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema
berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi
funikulus lateralis dan posterior medula spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran
klinis yang khas hematomiella, yaitu terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot
setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot, dengan utuhnya sensibilitas
nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.3
5. Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medula spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun
perdarahan epidural dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan
sindrom kompresi medula spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis
vertebralis. Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi
11
akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat hiperekstensi, hiperfleksi,
dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik
dan mengalami jejas (reksis). Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami
hal demikian, dan menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran
penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat
dinamakan neuralgia radikularis. Di bawah lesi kompresi medula spinalis akan
didapati paralisis otot dan gangguan sensorik serta otonom sesuai dengan derajat
beratnya kompresi.11 Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktur-dislokasi
L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medula spinalis. Biasanya
tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan
sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum
dan bokong. Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa
retensio urine serta pada pria terdapat impotensi.3
Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala, yang bergantug pada
serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai paralisis flaksid dan
atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat. Kompresi
pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya
control dari vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.4
6. Hemiseksi Medula Spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medula
spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi
lesi terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-
otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi
dijumpai pada sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan
neuron sensorik proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat neuron
sensorik protopatik.4
7. Sindrom Medula Spinalis bagian Anterior
Sindrom ini mempunyai gambaran khas berupa paralisis dan hilangnya
sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi, tetapi sensibilitas protopatik tetap
utuh.2
12
8. Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior
Ciri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan motorik yang lebih berat
pada lengan dari pada tungkai dan disertai kelemahan sensorik. Defisit motorik
yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya
sel motorik di kornu anterior medula spinalis segmen servikal atau akibat
terlibatnya serabut traktus kortikospinalis yang terletak lebih medial di kolumna
lateralis medula spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilitis
servikal.2
9. Transeksi Medula Spinalis
Bila medula spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal
maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu2:
a. Semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan hilang
fungsinya secara mendadak dan menetap.
b. Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang.
c. Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek
terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik
otot tendon maupun otot otonom. Fase renjatan spinal ini berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa bulan (3-6 mingu).
10. Syok spinal atau arefleksia
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia.
Juga di bawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan
piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat
timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria
dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat
saraf pusat yang lebi tinggi), tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan
atonik. Urin akan terkumpul, setelah tekanan intravesikuler lebih tinggi dari
sfingter uretra maka urin akan mengalir keluar (overflow incontinence)
Demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus parlitik.
Refleks genitalia (ereksi penis, otot bulbokavernosus, kontraksi otot dartos)
menghilang.11
13
Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada
orang dewasa yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi
traktus urinarius atau keadaan otot yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase
syok ini akan berlangsung lebh lama.4
McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam
mekanisme syok spinal9:
a. Hilangnya fasilitas traktus desendens
b. Inhibisi dari bawah yang menetap yang bekerja pada otot ekstensor
c. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya
sebagai dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal
atau arefleksia dan aktivitas otot yang meningkat.9
11. Aktifitas otot yang meningkat
Setelah beberapa minggu respon otot terhadap rangsang mulai timbul,
mula-mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul fleksi yang
khas, yaitu tanda babinski dan kemudian fleksi tripel muncul. Beberapa bulan
kemudian refleks menghindar tadi akan bertambah meningkat, sehingga
rangsang pada kulit tungkai akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel,
hiperhidrosis, pilo-ereksi dan pengosongan kandung kemih secara otomatis.3
2.7 Manifestasi Klinik
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul pada pasien
dengan trauma medulla spinalis adalah9:
1. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
2. Paraplegia
3. Paralisis sensorik motorik total
4. Kehilangan Kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)
5. Penurunan keringat dan tonus vasomotor
6. Penurunan fungsi pernapasan
7. Gagal nafas
14
Gambar 2.4 Manifestasi Klinis Trauma Medula Spinalis
Gambar 2.5 Manifestasi Plegia pada Trauma Medula Spinalis
15
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan
laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis.
1. Radiologik
Dianjurkan melakukan pemeriksaan foto polos 3 posisi standar
(anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan
lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak
menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan
MRI sangat dianjurkan. MRI merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk
mendeteksi lesi di medula spinalis akibat trauma. Posisi antero-posterior dan
lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan
adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah
servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa
adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.10
2. Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan
tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt
menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat
tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi
tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi
pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada
daerah vertebra servikalis tersebut.11
3. Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada
daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.10
2.9 Penatalaksanaan
Terapi pada trauma medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan lesi medula spinalis
komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis
komplit yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung
menetap dan prognosisnya buruk. Lesi medula spinalis inkomplit cenderung
16
memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada,
maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.5
Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma medula spinal adalah:
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian sampai
ke unit gawat darurat. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher
dalam posisi normal dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher
tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine)
pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat dengan cara 4 men lift atau
menggunakan Robinson’s orthopaedic stretcher.12
2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/tetraplegia. Hal yang harus
dilakukan adalah memeriksa vital signs, pasang nasogastric tube, dan pasang
kateter urin. Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang
normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin,
bila perlu monitor AGDA (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic
shock.12
Pemberian megadose Metilprednisolon dalam kurun waktu 6 jam setaleh
kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis. Metilprednisolon
merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk trauma medula spinalis
dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat.13
Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama trauma medula spinalis
masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. Kajian
oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon
dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif
pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi
trauma medula spinalis.14
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
GardnerWells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi, traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit
sampai terjadi reduksi.12
17
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi realignment, artinya terjadi dekompresi. Bila realignment
dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan open reduction dan stabilisasi
dengan approach anterior atau posterior.12
5. Rehabilitasi
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien trauma medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training
pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah
untuk mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas,
dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord
Syndrome (CSS) biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas
bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi
okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari
(Activities of Daily Living/ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah
seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan
harapan pasien.15
Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program
rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan
gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan
nilai status fungsional pada penderita trauma medula spinalis.11
Indikasi untuk dilakukan operasi pada trauma medula spinalis5:
1. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bila traksi dan manipulasi gagal.
2. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen
tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah
dilakukan traksi yang adekuat.
3. Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh
herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan
mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya.
4. Fragmen yang menekan lengkung saraf.
18
5. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada
mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus
dicurigai hematoma.
2.10 Komplikasi
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medula spinalis. Kondisi mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung. Keadaan ini
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ektremitas bawah,
terjadi penumpukan darah dan sebagai konsekuensinya terjadi hipotensi. Sebagai
akibat kehilangan cardiac sympatik tone. Penderita akan mengalami bradikardia
sebagai respon dari hipovolemia. Pada keadaan ini tekanan darah tidak akan
membaik hanya dengan pemberian cairan saja. Tekanan darah biasanya dapat
diperbaiki dengan penggunaan vasopresor, tetapi perfusi yang adekuat akan
dapat dipertahankan walaupun tekanan darah belum normal.3
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya repleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit, walaupun tidak seluruh bagian rusak.3
3. Hipoksia
Hipoventilasi yang disebabkan karena paralisis otot interkostal dapat
merupakan hasil dari trauma yang mengenai medula spinalis didaerah servikal
bawah atau thorakal atas. Bila bagian atas atau tengah medula spinalis didaerah
servikal mengalami cedera, diagframa akan mengalami paralisis yang
disebabkan segmen C3-C5 terkena, yang mempersarafi diagfragma melalui
Nervus frenikus.9
4. Trombosis
Trombosis vena profunda adalah komplikasi umum pada cedera medula
spinalis. Pasien trombosis vena profunda berisiko mengalami embolisme
pulmonal.9
19
Komplikasi lain dapat berupa instabilitas spinal, ileus paralitik, infeksi saluran
kemih, kontraktur, dekubitus, dan konstipasi.2
2.11 Prognosis
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata
harapan hidup pasien trauma medula spinalis lebih rendah dibanding populasi
normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya trauma.
Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik, yaitu
pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal.10
Penelitian terhadap 55 pasien trauma medula spinalis (37 pasien dengan lesi
inkomplit) selama 12 bulan menunjukkan bahwa pasien dengan lesi medula spinalis
inkomplit akan mendapatkan perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional yang
bermakna dalam 12 bulan pertama.9
20
BAB III
KESIMPULAN
Trauma medula spinalis merupakan salah satu penyebab disabilitas neurologis.
Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medula spinalis adalah karena
kecelakaan lalu lintas. Trauma medula spinalis sendiri diklasifikasikan menjadi
trauma medula spinalis komplit dan inkomplit. Gejala yang paling sering dikeluhkan
pada trauma medula spinalis adalah, nyeri akut pada belakang leher, paraplegia,
paralisis sensorik motorik total, kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine,
distensi kandung kemih), penurunan keringat dan tonus vasomotor, penurunan fungsi
pernapasan, dan gagal nafas.
Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Terapi operatif kurang dianjurkan
kecuali jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi. Cedera medula
spinalis inkomplit cenderung memiliki prognosis yang lebih baik daripada trauma
medula spinalis komplit.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Schreiber D. Spinal Cord Injuries. eMedicine Journal. April, 2002.
2. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSSI. Jakarta. 2006: 19-22.
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta. 2003.
4. Evans R. Neurology and Trauma. W.B. Saunders Company. Philadelphia. 1996; 276-277.
5. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat. Jakarta. 2005.
6. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2006.
7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta. EGC. 2006.
8. Felten DL, Jozefowicz RF. Netter’s Atlas of Human Neuroscience. MediMedia USA. 2003; 138-149.
9. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of Neurology, 7th ed. McGraw-Hill. New York. 2001.
10. Alpert MJ. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal. 2001;2.
11. York JE. Approach to The Patient with Acute Nervous System Trauma: Best Practice of Medicine. September, 2000.
12. Hanafiah H. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Majalah Kedokteran Nusantara. 2007; 40:143-146.
13. Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An Inappropriate Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000; 9: 1-7.
14. Braken MB. Steroid For Acute Spinal Cord Injury (Cochrane Review). Cochrane Library. 2002; 3.
15. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. 2006; 31: 403-479.
22