Refer At

52
BAB I PENDAHULUAN Sklerosis sistemik adalah penyakit kronik jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai dengan disfungsi endotel, fibrosis, dan pembentukan autoantibodi. Akumulasi kolagen yang berlebih mengakibatkan fibrosis pada kulit dan organ viseral yang meliputi paru, pembuluh darah, saluran gastrointestinal, dan ginjal. Kerusakan pada endotel mengakibatkan disfungsi pada pembuluh darah dengan manifestasi fenomena Raynaud, ulserasi dan gangren digiti, hipertensi pulmonal dan kerusakan pembuluh darah ginjal. 1,2,3,4 Sistemik sklerosis lebih banyak ditemukan pada usia dekade ketiga dan keempat. Penyakit ini lebih banyak mengenai perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 4:1. Insiden tahunan adalah 14,1 kasus per satu juta orang. Prevalensi berkisar 19 hingga 75 kasus per satu juta orang. 1,5,6 Sklerosis sistemik dibagi menjadi sklerosis sistemik terbatas dan difus tergantung pada keterlibatan fibrosis kulit. Sklerosis sistemik terbatas biasanya melibatkan fibrosis kulit pada persendian metatarsoparingeal dan metakarpoparingeal bagian distal serta memiliki onset yang bertahap. 1

Transcript of Refer At

Page 1: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Sklerosis sistemik adalah penyakit kronik jaringan ikat yang tidak

diketahui penyebabnya yang ditandai dengan disfungsi endotel, fibrosis, dan

pembentukan autoantibodi. Akumulasi kolagen yang berlebih mengakibatkan

fibrosis pada kulit dan organ viseral yang meliputi paru, pembuluh darah, saluran

gastrointestinal, dan ginjal. Kerusakan pada endotel mengakibatkan disfungsi

pada pembuluh darah dengan manifestasi fenomena Raynaud, ulserasi dan

gangren digiti, hipertensi pulmonal dan kerusakan pembuluh darah ginjal.1,2,3,4

Sistemik sklerosis lebih banyak ditemukan pada usia dekade ketiga dan

keempat. Penyakit ini lebih banyak mengenai perempuan dibanding laki-laki

dengan rasio 4:1. Insiden tahunan adalah 14,1 kasus per satu juta orang.

Prevalensi berkisar 19 hingga 75 kasus per satu juta orang.1,5,6

Sklerosis sistemik dibagi menjadi sklerosis sistemik terbatas dan difus

tergantung pada keterlibatan fibrosis kulit. Sklerosis sistemik terbatas biasanya

melibatkan fibrosis kulit pada persendian metatarsoparingeal dan

metakarpoparingeal bagian distal serta memiliki onset yang bertahap. Sedangkan

sklerosis sistemik difus biasanya melibatkan fibrosis kulit pada trunkus dan akral

serta memiliki onset akut.1,4

Patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui secara pasti. Namun diduga

terdapat faktor pencetus yang dapat mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan

kerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel akan mengaktifkan trombosit,

sehingga trombosit mengeluarkan mediator PDGF, TGF-B, dan CTAP-III yang

akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sistesis matriks.4

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan

pemeriksaan penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis

sistemik sebelum timbul kelainan kulit yang khas. Kemungkinan sklerosis

sistemik harus dipikirkan jika ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada

wanita usia 20 sampai 50 tahun. Pemeriksaan autoantibodi antitopo-1 dan

antisentromer harus dilakukan karena memiliki spesifisitas yang baik. Menurut

1

Page 2: Refer At

American Rheumatism Association (ARA), diagnosis ditegakkan jika didapatkan

1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor.1,4

Tujuan terapi sklerosis sistemik untuk mencegah kerusakan organ viseral,

memperlambat atau menghentikan perburukan serta meningkatkan fungsi organ

yang terlibat dengan cara pemberian obat yang mencegah kerusakan vaskular,

obat yang mensupresi autoimune dan infeksi, dan obat yang mensupresi proses

fibrosis.1,6

2

Page 3: Refer At

BAB II

ISI

A. Pengertian

Sklerosis sistemik (SS) adalah penyakit jaringan ikat yang jarang

dijumpai dan belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan disfungsi

endotel, fibrosis, dan produksi autoantibodi (AA). Deposisi kolagen yang

berlebihan menyebabkan penebalan kulit dan perubahan pada organ internal

yang meliputi paru, pembuluh darah, traktus gastrointestinal, dan ginjal.

Kerusakan endotel memacu disfungsi vaskular yang bermanifestasi sebagi

fenomena Raynaud, ulserasi dan gangren digiti, hipertensi ateri pulmonal, dan

kerusakan vaskular ginjal.1,5,6

Sklerosis sistemik merupakan kelompok penyakit inflamasi difus

jaringan ikat atau penyakit vaskular kolagen yang terdiri dari berbagai variasi

keparahan, terkadang sampai membahayakan nyawa. Sklerosis sistemik

ditandai dengan keterlibatan kulit dan berbagai organ interna (contohnya

ginjal, paru, dan jantung). Proses inflamasi dan fibrosis menghancurkan

arsitektur normal organ yang terkena dan menyebabkan disfungsi serta gagal

organ. Aktivitas penyakit ini sangat bervariasi dan sering tidak tidak terduga.

Tingkat keparahan proses penyakit sklerosis sistemik mengarah pada

penurunan angka harapan hidup, gangguan mobilitas dan kehilangan otonomi.

Sklerosis sistemik berkembang terutama pada perubahan patologis sistem

vaskular, sistem kekebalan tubuh dan matriks ekstraselular termasuk jenis sel

mayor, sel fibroblast. Tahap awal dari penyakit ini, terkait dengan gambaran

inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan yang luas dari fungsi dan

struktur pada vaskuler bed multipel dan disfungsi organ viseral progresif

akibat fibrosis. Adanya penebalan kulit (skleroderma) membedakan SS dari

penyakit jaringan ikat lainnya. Terjadinya fibrosis yang menyebabkan atrofi

dan kegagalan organ yang terkena sangat menentukan outcome dari proses

penyakit ini. Namun bagaimanapun juga, walau upaya penelitian intensif

untuk mencari hubungan antara patofisiologi yang mempengaruhi sistem

3

Page 4: Refer At

vaskular, sistem kekebalan tubuh dan matriks ekstraselular, belum dapat

dipahami secara sempurna.2,5,6

Sklerosis sistemik biasanya diklasifikasikan menjadi terbatas dan difus

tergantung dari keterlibatan kulit. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas

dan difus sangat bervariasi, tetapi pasien dengan keterlibatan kulit pada

trunkus dan akral cenderung mengarah sklerosis sistemik difus, sedangkan

pasien yang mengalami kelainan pada bagian distal hingga sendi

metakarpopalangeal dan metatarsopalangeal lebih konsisten pada pasien

sklerosis sistemik terbatas. Ada perdebatan mengenai derajat keterlibatan akral

yang menunjukkan sklerosis sistemik terbatas dibanding difus. Biasanya

pasien dengan sklerosis sistemik terbatas memiliki onset penyakit yang lebih

bertahap, dan dideskripsikan sebagai fenomena Raynaud untuk beberapa tahun

sebelum onset sklerodaktil. Sebaliknya, pasien sklerosis sistemik difus,

penebalan kulit cenderung lebih bertepatan dengan onset fenomena Raynaud

dan perjalanan penyakit ini bersifat lebih akut, dengan keterlibatan sebagian

besar organ interna dalam 5 tahun. Tabel 6.1 dan 6.2 meringkas gambaran

klinis penyakit sklerosis sistemik terbatas dan difus.1,5

B. Epidemiologi

Sklerosis sistemik merupakan penyakit sporadik yang terjadi di seluruh

belahan dunia pada semua suku bangsa, dan insiden serta prevalensi

menunjukkan variasi yang luas tergantung dari lokasi geografik, definisi

penyakit, kriteria klasifikasi dan metode seleksi kasus. Ada bukti bahwa

insiden dan prevalensi meningkat dari 2,7 kasus baru per juta orang menjadi

18,7 kasus dan dari 138 total kasus per juta orang menjadi 660 kasus berturut-

turut dalam interval 25 tahun. Prevalensi yang lebih tinggi sekitar 230 kasus

per juta telah di laporkan di Amerika Serikat dan Australia Selatan. Penyakit

ini lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 4:1,

meskipun rasio ini lebih jelas pada usia muda dan kurang tegas pada usia lebih

dari 50 tahun.1,2,5,6

4

Page 5: Refer At

Diagnosis penyakit ini lebih sering ditegakkan pada orang pada usia

dekade ketiga sampai kelima tetapi dapat terjadi pada anak-anak atau orang

yang berumur lebih dari 70 tahun. Onset penyakit ini lebih awal pada wanita

Afrika-Amerika dan lebih cenderung terjadi sklerosis sistemik difus. Proporsi

sklerosis sistemik terbatas dibanding difus juga bervariasi menurut wilayah

geografis dan kelompok ras. Hal ini juga berlaku untuk marker autoantibodi

(AA) (dibicarakan nanti), semuanya memberikan indikasi yang kuat bahwa

faktor host dan lingkungan memainkan peran dalam patogenesis dan ekspresi

penyakit ini. Faktor lingkungan yang terkait dengan peningkatan risiko

perkembangan penyakit ini antara lain paparan partikulat silika,

trichloroethylene dan pelarut organik lainnya, serta logam berat seperti

merkuri. Penyakit ini timbul dalam frekuensi besar pada pertambangan

batubara, sehingga menimbulkan asumsi bahwa silikosis adalah salah satu

faktor predisposisi.1,5

C. Genetik

Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis

kelamin. Didapatkan rasio jenis kelamin wanita dengan laki-laki berkisar 2:1

sampai 20:1. Walaupun demikian peran hormon seks pada patogensis penyakit

ini tidak diketahui.3,4

SS menunjukkan pola warisan non-Mendel. Tingkat kesesuaian untuk

SS antara saudara kembar nilainya rendah (4,7%), meskipun kesesuaian untuk

kehadiran antibodi antinuklear secara signifikan lebih besar. Peran genetik

untuk terkena penyakit ini ditunjukkan oleh data bahwa 1,6% pasien SS

memiliki saudara tingkat pertama yang menderita SS juga. Risiko penyakit

autoimun lainnya, termasuk sistemik lupus eritematosus dan reumatoid artritis

juga meningkat. Diantara penduduk asli Amerika Choctaw, prevalensi SS

tinggi, yaitu 4.690 kasus per juta penduduk. Investigasi genetik SS saat ini

difokuskan pada kandidat gen polimorfisme, terutama yang terlibat dalam

imunitas dan inflamasi, fungsi pembuluh darah, dan homeostasis jaringan ikat.

Hubungan polimorfisme nukleotida tunggal (Single Nucleotide Polymorphism,

5

Page 6: Refer At

SNP) dengan SS telah dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-

converting enzyme (ACE); endotelin-1 dan nitric oxide synthase; B cell

markers (CD19); kemokin (monocyte chemoattractant protein-1) dan reseptor

kemokin; sitokin [interleukin 1-α, IL-4, dan tumor necrosis factor α (TNF-

α)]; growth factors dan reseptornya [connective tissue growth factor (CTGF)

dan transforming growth factor β (TGF- β)], dan protein matriks ekstraseluler

[fibronektin , fibrillin, dan secreted protein acidic-rich in cysteine (SPARC)].3

Risiko relatif sebesar 13% terkena sklerosis sistemik, jika saudara

tingkat pertama menderita penyakit itu, meskipun risiko absolut pada anggota

keluarga individu jauh lebih rendah yaitu kurang dari 1%. Ada bukti bahwa

serologis sklerosis sistemik, tapi tidak secara klinis, sangat terkait dengan gen

HLA kelas II. Sejumlah lokus genetik lainnya juga telah diidentifikasi dan

dianggap berhubungan dengan fenotip sklerosis sistemik yang berbeda

berdasarkan profil AA daripada sklerosis sistemik sebagai satu penyakit

tunggal. Jika observasi ini terbukti, akan memiliki implikasi untuk desain dan

pendekatan dalam intervensi terapeutik.1

Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik

adalah alel C4 null (C4 AQ6 dan C4 BQ6), C4 AQ0, dikatakan banyak terdapat

pada sklerosis sistemik yang mengidap gen HLA-DR. Faktor genetik lain

yang tampak pada pasien skleoris sistemik adalah instabilitas kromosom, yaitu

terjadi peningkatan pemecahan kromosom.4

Di masa lalu, ada minat yang besar terhadap SPARC (secreted protein,

acidic and rich in cysteine), PTPN22 yang mengkode lymphoidspecific

tyrosine phosphatase nonreseptor tipe 2, dan alograf faktor inflamasi 1

(AIF1). Penelitian terbaru terfokus pada integrasi friend leukemia 1 (Fli1),

disregulasi faktor transkripsi di kulit dan pembuluh darah kulit pada sklerosis

sistemik, tampak memainkan peran patologis dalam fibrosis dan degenerasi

kulit pada sklerosis sistemik. Masih dibutuhkan klarifikasi apakah kelainan ini

benar-benar berkaitan dengan polimorfisme genetik pada jalur Fli1 atau

mekanisme epigenetik.1

6

Page 7: Refer At

Faktor pencetus

Aktivasi sel imun Kerusakan endotel dan aktivasi

Fenomena Raynaud

IL-2 Sel LAK

Autoantibodi IL-3 IL-4

I

Sel mast Heparin

Makrofag

TGF-B

IL-1PDGF

Fibronektin Fibrolas

Produksi matriks, proliferasi

Aktivasi trombosit dan pelepasan PDGF,

TGF-B dan CTAP-III

Sel B Sel T

Gambar 1. Skema hipotesis patogenesis sklerosis sistemik 4

D. Patogenesis

Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga

sesuatu, faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan

sistem imun dan menimbulkan reaksi imunologik dan kerusakan sel endotel.

Kerusakan endotel akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit

mengeluarkan berbagai mediator, seperti PDGF, TGF-B, dan CTAP-III, yang

akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sistesis matriks oleh fibroblas.

Aktivitas sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sistesis

matriks.3,4,5

7

Page 8: Refer At

E. Fenomena Raynaud dan Kelainan Vaskular

Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (palor,

sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respon terhadap lingkungan yang

dingin atau stres emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umumnya

terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun telinga,

hidung dan lidah. Pada fase palor dan sianosis, pasien akan mengalami nyeri

dan kaku, sedang pada fase hiperemis akan merasa seperti terbakar.3,4

Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada berbagai penyakit kolagen,

yaitu 95% pada sklerosis sistemik, 91% pada mixed connective tissue disease

(MCTD) dan 40% pada lupus eritematosus sistemik. Selain itu fenomena

Raynaud dapat pula dijumpai pada berbagai trauma akibat pekerjaan (vibrasi,

mikrotrauma, vinil klrorida), efek samping obat (penghambat reseptor beta),

kelainan onkologik dan hematologik (disglobulinemia), kelainanan

mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik, dan hipotiroidisme. Prevalensi

fenomena Raynaud pada populasi umum tidak diketahui secara pasti,

diperkirakan sekitar 10-20%. Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen,

terutama pada sklerosis sistemik umumnya berlangsung lama sebelum seluruh

gejala kolagen tersebut timbul, sehingga kadang-kadang sulit membedakannya

dengan fenomena Raynaud primer yang tidak diketahui penyebabnya.4,5

Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud

pada sklerosis sistemik. Sel endotel yang rusak akan mengaktifkan trombosit.

Trombosit yang diaktifkan akan menghasilkan berbagai vasokonstriktor,

seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-A2 (Tx-A2) dan ADP. Untuk

mengatasi hal ini, sel endotel yang masih utuh akan menghasilkan vasodilator

seperti prostasiklin, monoamine-oxidase (MAO) dan endothelium-dependent

relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endotel yang yang rusak tak dapat

bereaksi terhadap vasodilator tersebut. Selain itu sel endotel yang rusak juga

menghasilkan vasokonstriktor endotolin-1. Akibatnya akan terjadi

vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan semakin diperberat oleh adanya

hiperplasi intimal. Selain itu pada sklerosis sitemik juga terjadi deformabilitas

eritrosit, sehingga viskositas darah akan makin berat.3,4

8

Page 9: Refer At

Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai oleh

timbulnya iskemia jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. Gambaran

fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriola pada

organ viseral, sehingga timbul berbagai kelainan pada organ terserbut.4

Kerusakan vaskular pada sklerosis sistemik akan menyebabkan

peningkatan kadar berbagai marker seperti faktor von willebrand,

trombomodulin, ICAM-1 (intercellularadhesion molecule-1) serum dan

ELAM-1 (endhotelial leucocyte adhesion molecule-1) serum. Peningkatan

kadar von willebrand berhubungan dengan progresivitas fenomena Raynaud,

keterlibatan banyak organ dan tingginya angka mortalitas.4

Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena

kerusakan sel endotel menyebabkan penurunan sintesis aktivator plasminogen

dan berbagai faktor pro dan antikoagulan. Secara non-invasif, mokroangiopati

pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan kapilaroskopi lipat kuku.4

Tabel 1. Perbedaan Fenomena Raynaud Primer dengan Fenomena Raynaud pada Sklerosis Sistemik.4

Fenomena Raynaud Primer

Sklerosis Sistemik

Perempuan:Laki-lakiUmur mulai timbulFrekuensi serangan perhariFaktor pencetusProliferasi intimalAntibodi antinuklearAntibodi antisentromerAntibodi anti-Sel-70Kapilaroskopi abnormalAktivasi trombosit in vivo

20:1Pubertas>10 kaliDingin, emosiNegatif NegatifNegatifNegatifNegatifNegatif

4:1>24 tahun5 kaliDinginPositif90-95%50-60%20-30%>95%>75%

F. Gambaran Klinis

Fenomena Raynaud adalah manifestasi yang paling sering terlihat pada

orang dengan sklerosis sistemik.5 Kelainan-kelainan yang lain yang terjadi

pada sklerosis sistemik adalah sebagai berikut:

9

Page 10: Refer At

1. Kelainan kulit

Pada tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan

yang tidak disertai rasa nyeri. Kadang-kadang dapat disertai timbulnya

sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) akibat kompresi

nervus medianus. Edema ini berhubungan dengan disposisi

glikosaminoglikan di dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan

vaskular.3,4

Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan

diikuti dengan indurasi, sehingga kulit tampak tebal dan keras. Penebalan

kulit akan mengenai jari tangan dan bagian yang lebih proksimal, yaitu

dorsum manus , lengan atas, muka, dan akhirnya ke seluruh tubuh.

Kelainan ini patognomonik untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak

pernah ditemukan pada penyakit lain. Umumnya kelainan pada bagian

distal tubuh lebih berat dari bagian proksimal. Bersamaan dengan kelainan

tersebut, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan

hiperpigmentasi.3,4

Pada sklerosis sistemik difus, penebalan kulit akan menyebar ke

seluruh tubuh, terutama pada dinding dada dan abdomen, sedangkan pada

kelainan yang terbatas, penebalan kulit hanya akan didapatkan pada jari

atau jari dan muka. Pada sebagian kecil pasien (2%), dapat ditemukan

tanpa kelainan kulit (sklerosis sistemik sine skleroderma).3,4

Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan

serat kolagen pada dermis, hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriola,

dan infiltrasi limfosit, terutama sel T. Kulit yang menebal makin lama

makin menebal. Tapi kadang-kadang dapat terjadi pelunakan yang

biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras

terakhir akan membaik lebih dulu.3,4

Beberapa tahun kemudian akan tampak bintik-bintik telangiektasis,

terutama pada muka, jari, lidah dan bibir. Telangiektasis, terutama terjadi

pada subtipe yang terbatas (CREST syndrome), tetapi dapat juga terjadi

pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas dapat pula timbul

10

Page 11: Refer At

kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa bintik kecil,

tetapi dapat juga berupa masa yang besar. Pada stadium akhir, akan terjadi

atrofi penipisan kulit, terutama pada bagian ekstensor sendi yang

kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada

bagian itu.3,4

Tabel 2. Gambaran klinis klasifikasi sklerosis sistemik.1,2

Sklerosis sistemik terbatas Sklerosis sistemik difusHanya fenomena Raynaud selama

beberapa tahunGejala konstitusional jarangAtralgia minimal Bengkak jari tanganTelangiektasis dan kalsinosis (lanjut)Penebalan kulit terbatas pada tangan

dan wajahFibrosis gastrointestinal dan paru

ringanKeterlibatan jantung dan ginjal jarangAntibodi Anti-sentromer

Fenomena Raynaud tertunda atau sama sebagai kulit

Gejala konstitusional yang parahAtralgia, sindrom terowongan karpalBengkak pada tangan dan kakiTeraba Tendon friction rubsPenebalan kulit dari jari-jari ke

trunkus berkembang cepatUmum terjadi fibrosis gastrointestinal

dan paruKeterlibatan parah jantung dan ginjalAnti-topoisomerase I (Scl-70)Anti-RNA polymerase IIIAnti-fibrillarin

2. Kelainan sistemik

Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik

yang pada umumnya terjadi akibat kelainan vaskular pada organ yang

bersangkutan.

a. Kelainan Paru

Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskular

paru. Fibrosis paru, umumnya terjadi pada kedua basal paru yang dapat

dilihat dengan jelas pada gambaran radiologi dada. Keadaan ini akan

menurunkan kapasitas difusi karbonmonoksida dan pada akhirnya

akan terjadi penurunan kapasitas difusi vital (penyakit paru restriktif).

Pada bilasan limfosit dan makrofag. Kelainan paru pada umumnya

lebih berat pada pasien dengan antibodi antitopoisonmerase-1 dan anti

11

Page 12: Refer At

U3-RNP yang positif dan lebih ringan pada pasien dengan antibodi

antisentromer yang positif.3,4

Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil pasien,

terutama pada subtipe terbatas dengan antibodi antisentromer yang

positif. Untuk mencegah perburukan fungsi, deteksi dini kelainan pada

sklerosis sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak

memberikan kelainan yang spesifik, kecuali setelah ada kelainan

hemodinamik atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu

dianjurkan pemeriksaan faal paru secara berkala (3-6 bulan sekali) dan

bila dicurigai terdapat penurunan fungsi paru, dilakukan tomografi

dengan komputer (CT-scan) dan bilasan bronkoalveolar.3,4

b. Kelainan Gastrointestinal

Kelainan pada sistem gastrointestinal dapat mengenai mulut,

esofagus bagian distal dan saluran cerna yang lebih bawah. Xerostomia

ditemukan pada 20-30% sklerosis sistemik dan hal ini berhubungan

dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari

pasien xerostomia memiliki antibodi terhadap presipitin Sjorgen, yaitu

anti SS-A (Ro) dan anti SS-B (La).3,4

Pada esofagus distal akan terjadi dismotilitas motorik sehingga

timbul disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik akan menurun

dan pada pemeriksaan flouroskopi akan tampak hipomotilitas. Pada

esfagus distal akan terjadi metaplasia mukosa (metaplasia Barret) yang

merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi

keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis sistemik.3,4

Pada usus kecil akan terjadi hipomotilitas dan berkurangnya

lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan

menyebabkan udara masuk ke dinding usus sehingga akan

menyebabkan pneumatosis intestinalis yang akan tampak pada

gambaran radiologis. Pada kolon dapat juga terjadi atropi lapisan otot

sehingga mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar

yang khas untuk sklerosis sistemik. Hipomotilitas kolon akan

12

Page 13: Refer At

menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi

atropi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan

prolaps rekti.3,4

c. Kelainan Jantung

Kelainan miokardial jarang didapatkan pada sklerosis sistemik,

tetapi jika didapatkan dapat meningkatkan angka mortalitas. Umumnya

akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi jantung, sehingga

menyebabkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak.

Berbeda dengan organ lain, kelainan pada pembuluh darah koroner

jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadang-kadang dapat

timbul perikarditis yang ditandai oleh penebalan perikardium parietal

dan viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu

dapat terjadi gangguan fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi

pulmonal.3,4

d. Kelainan Ginjal

Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal

skleroderma akibat hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan

tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal yang progresif dan

hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe

yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab kematian pertama

pada sklerosis sistemik. Penyebab utama kelainan ginjal adalah

kelainan vaskular, terutama pada arteri arkuata dan interlobularis. Pada

dinding pembuluh darah tersebut terjadi hiperplasia mukoid subintimal

yang akan berkembang menjadi nekrosis fibrinoid.3,4

e. Kelainan Muskuloskletal

Pada persendian dapat timbul poliatralgia, terutama pada subtipe

yang difus. Secara radiologis akan tampak gambaran artropati erosif.

Pada falang distal, distal radius dan ulna, ramus mandibula, dan

permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat

hipovaskularisasi, sehingga terjadi resorbsi tulang pada tempat

tersebut.3,4

13

Page 14: Refer At

Pada otot, dapat terjadi atrofi akibat keterbatas penggunaan sendi.

Miopati yang lain juga dapat terjadi yang ditandai dengan kelemahan

otot, terutama otot proksimal dan peningkatan kadar enzim otot serum

(kreatin-kinase dan aldolase). Secara histologis, akan tampak serat

miofibril yang mengalami fibrosis.3,4

Table 3. Perbandingan gambaran sklerosis sistemik terbatas dan difus.1,2

Gambaran Sklerosis sistemik terbatas

Sklerosis sistemik difus

DemografiUsia <40 tahun saat onset (%)Jenis kelamin: perempuan (%)

Durasi gejala sebelum diagnosis (tahun)

Angka kumulatif bertahan hidup 10 tahun setelah diagnosis (%)

50858,5

75

35752,0

65

Keterlibatan sistem organ Penebalan kulitTelangiektasisKalsinosisFenomena RaynaudAtralgia atau arthritisTendon friction rubsKontrakrtur sendiMiopatiHipomotilitas esofagusHipomotilitas usus halusFibrosis paruHipertensi pulmonalGagal jantung kongestifKrisis ginjal

9580509660345107525351051

10030108580658520752545<11520

Data laboratorisAntinuclear antibody Anti-centromere antibody Anti-topo I Anti-RNAP III Anti-fibrillarin Anti-PM/Scl

9550182

<15

95<530251215

14

Page 15: Refer At

G. Penemuan Laboratoris dan Radiologik

Temuan laboratoris bervariasi sesuai dengan keterlibatan organ interna,

namun ketiadaan fase akut yang progresif, laboratoris mungkin berada dalam

kisaran normal. Peningkatan laju endap darah dan penurunan jumlah

kompelen telah diamati pada pasien dengan penyakit yang lebih aktif.

Perubahan laboratorium khusus lainnya sesuai dengan keterlibatan organ.

Misalnya, krisis ginjal akut dapat ditandai dengan peningkatan kreatinin

serum, adanya hemolisis, dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pada

sejumlah kecil pasien dapat ditemukan faktor reumatoid dalam serumnya.

Reaksi positif terhadap antibodi antinuklear dan hipergamaglobulinemia dapat

ditemukan. Biopsi kulit adalah cara paling spesifik untuk menegakkan

diagnosis, tetapi biasanya tidak perlu karena gambaran klinis penderita sudah

cukup jelas. 1,5

Pemeriksaaan radiologi akan menunjukkan kalsifikasi subkutan pada

jari-jari tangan. Dapat juga dideteksi adanya kelainan pada esofagus dan usus.5

H. Marker Serologis

Autoantibodi (AA) terjadi pada lebih dari 95% pasien dengan sklerosis

sistemik (SS), dan sampai saat ini, ada lebih dari 30 AA yang terkait dengan

SS. Sebagian pasien yang memiliki AA mengarah pada antigen nuklir, dan ini

memiliki hubungan klinis yang spesifik. Antibodi anti-sentromer (CENP)

terjadi pada 20-40% pasien dan merupakan yang paling sering dikaitkan

dengan SS terbatas, iskemik digiti, kalsinosis, dan hipertensi pulmonal.

Antibodi anti-topoisomerase I terjadi pada 9-20% dari pasien dan

berhubungan dengan SS difus, manifestasi lebih parah, fibrosis paru, dan

peningkatan mortalitas. Antibodi anti-fibrillarin (U3 ribonucleoprotein)

dilaporkan sangat spesifik untuk SS, tetapi dalam sebagian besar penelitian

kohort, prevalensi SS kurang dari 12%. Meskipun semua antibodi ini memiliki

spesifisitas yang tinggi, sensitivitas yang rendah menunjukkan bahwa antibodi

tersebut tidak berguna untuk skrining SS.1,3

15

Page 16: Refer At

AA yang lain dilaporkan relatif lebih spesifik untuk SS dan saat ini

tersedia di laboratorium klinik khusus, yang meliputi RNA polimerase III

(RNAP III), yang teridentifikasi dalam 5-25% dari SS sera dan telah dikaitkan

dengan variabilitas geografis yang signifikan dan dengan krisis ginjal dan paru

hipertensi. Antibodi terhadap antigen polimiositis / skleroderma (PM / Scl)

terlihat pada 14-20% pasien SS, dan sering memiliki gambaran yang tumpang

tindih antara SS and PM.1,3

Ada AA yang lain, AA yang kurang terkait dengan SS yang juga

dilaporkan memiliki asosiasi klinis yang spesifik, namun saat ini, AA tersebut

juga memiliki kegunaan diagnosis yang terbatas. Baru-baru ini, ada AA

spesifik baru yang teridentifikasi secara menjanjikan yang melawan reseptor

faktor pertumbuhan derivat platelet, dan studi awal menunjukkan relatif

spesifik pada SS. Namun, penelitian ini didasarkan pada uji fungsional, yang

saat ini tidak mudah diadaptasi dengan setting klinis.1,3

I. Kriteria Klasifikasi

Tidak ada kriteria klasifikasi yang diterima secara universal untuk SS.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: (a) jarangnya penyakit, (b) tidak

adanya tes diagnostik spesifik, (c) masih adanya predebatan mengenai

subklasifikasi berdasarkan tingkat keterlibatan kulit, dan (d) perdebatan

mengenai apakah bentuk terbatas dan difus dari SS merupakan kontinum dari

satu penyakit atau manifestasi dari proses patologis yang berbeda. Meskipun

banyak kesamaan klinis, perbedaan dalam keluaran, serologi, dan genetika

mendukung konsep bahwa terdapat dua proses penyakit yang terpisah. Dua

bentuk utama kriteria klasifikasi yang digunakan sekarang adalah yang

membedakan SS dari bentuk penyakit lain dan yang juga tergabung dalam

beberapa derajat subklasifikasi.1,2

Diskusi pada bab ini akan terbatas pada kriteria American College of

Rheumatology (ACR) dan kriteria klasifikasi yang lebih baru, pemilihan

sebaik mungkin kriteria yang paling berpengaruh yang telah dipublikasikan.

Kriteria klasifikasi ACR dirancang untuk membedakan SSC dari bentuk-

16

Page 17: Refer At

bentuk penyakit lainnya, dan validasi eksternal awal mencatat tingginya

tingkat sensitivitas dan spesifisitas (Tabel 4). Sayangnya, pengujian

berikutnya pada daftar penyakit lainnya menunjukkan kriteria ini kurang

sensitif, terutama dalam mengidentifikasi pasien dengan SS terbatas. Selain

itu, teknik diagnostik semakin maju sejak awal perkembangannya, dan ada

dukungan untuk menyertakan tes khusus antinuclear antibodies (ANAs) dan

nailfold capillaroscopy. Lonzetti dkk. menunjukkan bahwa dalam kohort

mereka pada pasien Prancis-Kanada, nilai diagnostik dari kriteria ACR dapat

ditingkatkan secara substansial dengan penambahan ANA dan evaluasi

kapilaroskopi lipat kuku. Hal ini diterima secara luas bahwa kriteria klasifikasi

ACR membutuhkan pembaruan, tetapi hal itu tetap menunjukkan bahwa

kriteria tersebut merupakan kriteria yang paling banyak dikutip untuk

menerima validasi eksternal.1,2

Baru-baru ini, Nadashkevich dkk. mengusulkan sebuah rangkaian

klasifikasi terbaru yang mencakup adanya AA tetapi tidak mencakup

kapilaroskopi lipat kuku. Kriteria ini pertama kali diperoleh dari studi kohort

pasien SS Ukraina, dan penyakit jaringan ikat lainnya (connective tissue

disease, CTD) digunakan sebagai kelompok pembanding. Delapan kriteria

yang berasal dari fase pertama studi tersebut kemudian diuji dalam populasi

99 pasien SS Kanada dan 138 CTD kontrol. Temuan tersebut sangat

menjanjikan, menghasilkan sensitivitas 99% dan spesifisitas 100%. Namun,

kriteria ini belum diadopsi secara luas, mungkin karena mereka tidak

memasukkan subklasifikasi SS.1,2

Table 4. Kriteria awal ACR tahun 1980 untuk sklerosis sistemik.1,2

1. Skleroderma proksimal, keterlibatan kulit yang meluas dari proksimal ke sendi metakarpofalangealis (kriteria mayor)

2. Sklerodaktili, pitting bekas luka digiti dari ujung jari atau hilangnya substansi dari ujung jari distal, dan fibrosis paru bibasilar (kriteria minor)

3. Dibutuhkan satu kriteria mayor atau dua atau lebih kriteria minor

17

Page 18: Refer At

Kriteria Subklasifikasi

Di lain pihak, kebutuhan untuk membedakan SS dari bentuk-bentuk

penyakit lainnya adalah penting, pemahaman yang lebih baik tentang

patogenesis penyakit dan keluaran yang berbeda terkait dengan presentasi

penyakit yang berbeda telah mengarahkan pada pengenalan subklasifikasi SS

yang dapat memberikan informasi penting tambahan dalam hal (a) prognosis

dalam seting klinis rutin, (b) perbandingan antar penyakit, dan (c) panduan

untuk terapi yang mendesak. Untuk saat ini, ada 14 publisikasi kriteria

subklasifikasi SS yang masing-masing set mengusulkan dua hingga enam

kategori yang terpisah, yang umumnya didasarkan pada tingkat keterlibatan

kulit. Mayoritas studi untuk anka ketahanan hidup berdasarkan tingkat

keterlibatan kulit, menunjukkan tidak ada perbedaan secara statistik yang

signifikan mengenai angka ketahanan hidup dalam kategori tiga subkelompok,

sedangkan perbedaan dalam keluaran dengan menggunakan set dua kelompok

subklasifikasi diakui dengan baik.1

Dua kriteria pertama kali diusulkan oleh Le Roy pada tahun 1988 dan

kemudian diterbitkan dengan bentuk yang telah dimodifikasi pada tahun 2001

(Tabel 5) telah menjadi kelompok kriteria subklasifikasi yang paling

berpengaruh. Kategori dipisahkan berdasarkan tingkat keterlibatan kulit,

dengan kriteria kemudian menggabungkan AA dan perubahan kapilaroskopi

lipat kuku. Tahun 1988 kriteria ini telah diadopsi secara luas, tetapi kriteria

yang diperbaharui belum dimanfaatkan secara luas dan memerlukan validasi

lebih lanjut. Selain itu, dalam kriteria diagnosis ini membutuhkan adanya

fenomena Raynaud, sesuatu yang tidak universal hadir, terutama pada awal SS

difus.1

Maricq dan Valter mengusulkan sebuah subklasifikasi yang lebih

kompleks yang mencakup enam kategori berbeda. Sekali lagi, pemisahan

utama adalah berdasarkan tingkat keterlibatan kulit menjadi tiga kategori

utama. Tiga kategori tambahan yang dimasukkan meliputi: (a) Sklerosis

sistemik sine skleroderma, (b) bentuk campuran CTD, dan (c) kelompok akhir

18

Page 19: Refer At

yang sesuai dengan fenomena CREST tetapi tanpa perubahan yang cukup

untuk dimasukkan ke dalam tiga kelompok perubahan kulit mayor.

Kapilaroskopi lipat kuku dan AA telah dimasukkan dalam kriteria ini,

tetapi AA terbatas pada ada atau tidaknya CENP yang dideteksi oleh

imunofluoresensi indirek. Seperti dibahas di atas, antibodi CENP sekarang

dikenal sebagai salah satu dari empat atau lima AA yang memiliki spesifisitas

relatif tinggi untuk SS. Selain itu, munculnya deteksi multipleksi AA telah

menyediakan cara yang cepat dan akurat untuk mendeteksi berbagai AA

dalam sampel serum tunggal, sebuah gambaran yang bisa mengubah

paradigma AA saat ini. Ketika diterapkan ke database dari 165 pasien, mampu

menunjukkan hasil klinis yang berbeda. Tapi dalam bentuk saat ini sulit untuk

digunakan di luar pengaturan penelitian tersier khusus.1

Table 5. Kriteria klasifikasi sklerosis sistemik (SS) menurut LeRoy and Medsger.1

SS terbatas Fenomena Raynud (dokumentasi objektif)Ditambah salah satu bentuk tipe SS kapilaroskopi

lipat kuku atau autoantibodi selektif SSSubjektif fenomena Raynaud

SS kutaneus terbatas Kriteria untuk SS terbatas ditambah perubahan kutaneus distal

SS kutaneus difus Kriteria untuk SS terbatas ditambah perubahan kutaneus proksimal

Fasciitis difus dengan eosinofilia

Perubahan kutaneus proksimal tanpa kriteria SS terbatas atau SS kutaneus terbatas

J. Penatalaksanaan

Sampai saai ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengubah

keadaan fibrosis pada SS. Pilihan pengobatan untuk SS masih terbatas pada

pengobatan aspek spesifik dari keterlibatan organ karena kompleksitas proses

penyakit. Kesulitan timbul ini karena jarangnya penyakit dan kebutuhan

penanganan spesialisasi oleh praktek dokter umum. Sehingga, diagnosis dan

penatalaksanaan penyakit ini minimal harus dalam penanganan spesialisasi

yang sering menangani penyakit ini dan mempunyai akses untuk pemeriksaan

serologi autoimun, dermatohistopatologi, dan radiologis diagnostik modern

19

Page 20: Refer At

(seperti CT scan, MRI, angiografi). Kerjasama dengan spesialisasi lain sering

dibutuhkan guna penanganan yang optimal terhadap keterlibatan sistem organ

lain (seperti rematologi, pulmonologi, nefrologi, dan neurologi).1,2,5

Terapi dirancang untuk menonaktifkan proses penyakit, seperti

transplantasi sumsum tulang. Hasil klinis dengan terapi ditujukan untuk

melawan mediator profibrotik, seperti faktor pertumbuhan jaringan ikat dan

mengubah growth factor-β, sedang dalam tahap penelitian. Interferon-γ adalah

sitokin yang dikenal paling kuat untuk menghambat sintesis kolagen.

Beberapa uncontrolled study menerapkan sitokin selama sampai satu tahun

telah dilakukan untuk menyelidiki peran potensial interferon-γ dalam

pengobatan SS dan hasilnya tidak menunjukkan pengaruh besar pada

perjalanan penyakit. Hasil yang menjanjikan telah dilaporkan dengan

penggunaan bosentan, antagonis reseptor endotelial ganda, yang telah terbukti

untuk menurunkan hipertensi arteri pulmonal dan ulserasi digiti. Pendekatan

proteomika dan metabolomik mengidentifikasi mediator umum lainnya yang

berpotensi menjadi target terapi, tetapi tidak diketahui apakah ini akan

menghasilkan perbaikan.1,2

Sebagian besar obat dengan sifat imunosupresif, yang telah digunakan

dalam pengobatan SSC, kurang teruji dalam uji klinis prospektif terkendali

yang besar. Saat ini pada sklerosis sistemik (SS) ada sedikit bukti mengenai

efektivitas terapi kortikosteroid dan imunosupresif dengan pengecualian

siklofosfamid, menunjukkan efek sedang pada paru-paru dan kulit. Namun

demikian, obat yang berpotensi berbahaya ini sering diresepkan untuk pasien

dengan segala bentuk SSC. Misalnya, D-penicillamine tampaknya

mempengaruhi kolagen dan sistem kekebalan tubuh sehingga merupakan

calon yang obat ideal untuk pengobatan SS. Menariknya, obat ini digunakan

sampai pertengahan 90an untuk memulai double blind randomized trial untuk

mengetahui pengaruh D-penisilamin pada SS. Sayangnya, tidak ada perbedaan

yang ditemukan antara dosis D-penisilamin 62,5 mg dan 750 mg perhari, hal

ini menunjukkan kurangnya kemanjuran. Demikian juga fotoferesis

(fotokemoterapi ekstrakorporeal) yang menunjukkan hal yang menjanjikan

20

Page 21: Refer At

dalam beberapa uncontrolled study, dalam crossover study baru-baru ini gagal

menunjukkan efek yang menguntungkan. Beberapa percobaan kecil

menyelidiki penggunaan siklosporin A, yang sayangnya dikaitkan dengan

toksisitas yang cukup besar, terutama nefropati. Metotreksat, meskipun profil

toksisitas pada pasien dengan SSC lebih baik dari yang diharapkan,

menghasilkan hasil yang tidak konsisten dalam dua studi terkontrol. Data

terbaik yang ada adalah siklofosfamid, menunjukkan manfaat dan signifikan

secara statistik dalam uji coba secara acak buta ganda terkontrol pada kedua

paru, dan fibrosis kulit.2

Penatalaksanaan spesifik organ yang terlibat pada sklerosis sistemik

adalah sebagai berikut:

1. Penyuluhan dan Dukungan Psikososial

Penyuluhan dan dukungan psikologis memegang peranan yang

sangat penting dalam penatalaksanaan sklerosis sistemik, karena

perjalanan penyakit ini lama dan progresif.4

2. Penanganan Fenomena Raynaud dan Kelainan Kulit

Fenomena Raynaud merupakan gejala yang domiman pada

sklerosis sistemik. Menghindari merokok dan udara dingin, serta menjaga

tubuh tetap dalam keadaan hangat, biasanya cukup efektif mengatasi

fenomena Raynaud yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat,

misalnya bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas

sehari-hari, dapat dicoba penggunaan vasodilator, misalnya nifedipin,

prazosin atau nitrogliserin topikal. Obat lain yang dapat dicoba untuk

mengatasi fenomena Raynaud adalah iloprost, suatu analog prostasiklin.

Obat ini diberikan perdrip dengan dosis 3ng/kgBB/menit, 5-8 jam/hari

selama 3 hari berturut-turut.4,5

Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, apalagi jika sudah

timbul ulkus. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan jika terjadi

infeksi sekunder. Bila luka cukup dalam, mungkin dibutuhkan perawatan

secara bedah, nekrotomi dan pemerian antibiotik parenteral.4,5

21

Page 22: Refer At

3. Pemberian Obat Remitif

Berbagai golongan remitif yang dapat diberikan pada pasien

sklerosis sistemik adalah D-penisilamin, kolkisin, obat-obatan

imunosupresif dan sebagainya, tetapi hasilnya masih belum

menggembirakan. D-penisilamin menunjukkan hasil yang cukup baik

untuk mengatasi kelainan kulit, walaupun dibutuhkan pengobatan dalam

jangka waktu yang cukup lama.4,5

Secara in vitro, interferon gama dapat menghambat proliferasi

fibroblast dan produksi kolagen. Pada beberapa kasus obat ini dapat

mengurangi kekakuan kulit, tetapi tidak efektif untuk fenomena Raynaud.

Obat lain yang dapat mempengaruhi transport prokolagen dan sekresi

prokolagen oleh fibroblast adalah kolkisin. Tetapi masih harus diteliti

efektivitasnya pada penggunaan jangka panjang. Demikian juga dengan

penggunaan ketotifen, suatu stabilisator sel mast; N-Asetil-sistein, suatu

perangsang pemecahan kolagen, fotoferesis dan globulin antitimosit masih

perlu diteliti efektivitasnya.4

4. Penanganan Kelainan Muskuloskeletal

Atralgia / atrtiris dan tenosinovitis, biasanya dapat diatasi dengan

pemberian anti inflamasi nonsteroid. Bila nyeri tetap timbul, dapat

dipertimbangkan pemberian injeksi steroid lokal atau steroid sistemik

dosis kecil dalam jangkan waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi yang

agresif harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.4

5. Penanganan Kelainan Gastrointestinal

Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heart-burn dan

disfagia. Pasien dianjurkan untuk meninggikan kepalanya pada waktu

berbaring, makan dengan posisi tegak dengan porsi yang kecil dan sering.

Biasanya pemberian antasid, antagonis-H2 dan obat sitoprotektif, cukup

efektif untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang. Pada

keluhan yang berat, dapat dianjurkan pemberian omeprazol. Obat

prokinetik, dapat diberikan pada keadaan disfagia. Bila terdapat striktur

esofagus, harus dilakukan dilatasi secara berkala.4,5

22

Page 23: Refer At

Keterlibatan usus halus, akan menyebabkan gangguan pasase

makanan dan meningkatkan pertumbuhan bakteri. Pada keadaan yang

terakhir, dianjurkan untuk memberikan antibiotik berspektrum luas selama

3 minggu. Untuk keadaan hipokinetik usus dapat dicoba pemberian

prokinetik. Bila terdapat konstipasi, harus diberikan pelunak tinja dan diet

tinggi serat. Bila hipomotilitas usus sangat berat sehingga timbul distensi

abdomen, pasien harus dipuasakan untuk mengistirahatkan usus dan

dilakukan dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan bedah harus

dihindari karena akan mencetuskan ileus dan memperlama penyembuhan.4

6. Penanganan Kelainan Paru

Pnemonitis interstitial merupakan keadaan yang harus diatasi.

Pemberian kortikosteroid atau siklofosfamid memberikan hasil yang

cukup memuaskan. Hipertensi pulmonal tanpa kelainan interstitial paru

mempunyai prognosis yang buruk, karena tidak ada satupun obat yang

dapat mengatasi keadaan ini.4

7. Penanganan Kelainan Ginjal

Krisis renal dengan hipertensi berat merupakan komplikasi yang

serius dengan angka kematian yang cukup tinggi. Dengan adanya obat

inhibitor enzim pengkoversi angiotensin, angka kematian dapat diturunkan

secara drastis. Obat ini tetap dapat diberikan walaupun fungsi ginjal

menurun dengan drastis. Jika diperlukan dapat diperlukan dialisis. Pada

kelainan ginjal pemberian steroid dan plasmafaresis tidak ada gunanya.4

8. Fisioterapi

Fisioterapi adalah komponen penting dari pengobatan. Silitnya membuka

mulut dapat menggangu kemampuan pasien untuk makan. Fungsi mulut

dapat diperbaiki melalui latihan peregangan dan latihan untuk menguatkan

otot-otot.5

23

Page 24: Refer At

K. Prognosis

Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar

68%. Harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit

dan keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian

biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada

sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan

malabsorpsi.4

Pasien sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk

mendapatkan keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan linfoma

nonHodgkin. Hal ini turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis

sistemik. Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma

esofagus sangat rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esofagus distal.

Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk

prognosis sklerosis sistemik adalah:

Usia lanjut (>64 tahun)

Penurunan fungsi ginjal (BUN <16 mg/dl)

Anemia (Hb <11 g/dl)

Penurunan kapasitas difusi CO2 pada paru (<50% prediksi)

Penurunan kadar protein serum total (6 mg/dl)

Penurunan cadangan paru (kapasitas vital paksa <80% pada Hb >14 mg/dl

atau kapasitas vital paksa < 65% pada Hb < 14 g/dl).4

Pertimbangan dan Arah Masa Depan

Penggunaan secara luas dan penerapan kriteria klasifikasi, khususnya

dimasukkannya AA ke dalam kriteria saat ini dan masa depan, dipenuhi oleh

tantangan dan berbagai isu yang harus dipertimbangkan dengan cermat (Tabel

6).1

Pertama, meskipun kriteria klasifikasi jelas dirancang untuk

membakukan klasifikasi berbagai penyakit ke dalam kelompok yang sama

untuk tujuan penelitian, tampaknya ada suatu perbedaan yang muncul dari

nomenklatur diagnostik klinis dari kriteria klasifikasi saat ini. Salah satu

24

Page 25: Refer At

alasan untuk ini adalah bahwa teknologi diagnostik dalam pencitraan dan

serologi bekembang cepat dan banyak dokter yang menggunakan teknologi

baru sementara kriteria klasifikasi tertinggal. Hal ini jelas bahwa kriteria

klasifikasi adalah untuk mempertahankan peran yang penting, dan akan

membutuhkan revisi dan lebih sering diperbarui.1

Kedua, hal ini juga jelas bahwa kriteria klasifikasi harus

mempertimbangkan usia onset penyakit karena timbulnya SARD pada anak

atau pada orang tua sering tidak mengikuti gambaran klinis yang terlihat pada

orang dewasa.1

Ketiga, kriteria klasifikasi perlu memperhitungkan faktor genetik, ras,

dan geografis. Hal ini menjadi jelas bahwa faktor geografis dan etnis memiliki

dampak yang signifikan pada spektrum gambaran terlihat pada salah satu

SARD. Kriteria klasifikasi harus mengambil variabel-variabel itu menjadi

pertimbangan untuk menghindari bias ke bentuk skleroderma tertentu dalam

seting geografis tertentu.1

Keempat, serologi diagnostik cepat bergerak menuju teknologi array

yang menyediakan spektrum yang luas tentang AA, proteomika, genomik, dan

data metabolomik. Dalam mempertimbangkan AA yang mungkin dimasukkan

dalam kriteria klasifikasi, hal ini penting untuk mengenali bahwa mayoritas

pasien SS memiliki lebih dari satu AA. Sementara antibodi terhadap CENP,

Topo I, dan fibrillarin cenderung merupakan variabel independen, masuknya

AA lain seperti AM / Scl atau RNAP III akan mengarah pada situasi di mana

pasien akan memiliki lebih dari satu AA. Untuk menghindari penambahan

bobot klasifikasi untuk marker serologis, kemungkinan akan berguna untuk

menggabungkan AA ke dalam kriteria tunggal, pendekatan yang diambil oleh

Nadashkevich dkk. Bidang yang muncul dengan cepat menganai genomik,

proteomik, dan metabolomik juga akan membawa informasi yang memiliki

potensi untuk meningkatkan kriteria klasifikasi, terutama jika subklasifikasi ke

himpunan penyakit dianggap sebagai parameter klinis yang diinginkan.

Kekayaan informasi yang disediakan oleh teknologi ini dan aplikasinya untuk

terapi dalam bidang kedokteran yang luas disebut sebagai “obat pribadi” dan

25

Page 26: Refer At

“theranostic” meningkatkan kemungkinan bahwa klasifikasi kriteria mungkin

tidak bertahan jika pasien dibagi menjadi kelompok klinis kecil berdasarkan

polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dan penanda genetik lainnya, sitokin,

limfokin, AA, dan profil metabolit.1

Terakhir, meskipun antusiasme untuk memasukkan AA atau salah satu

biomarker lain ke dalam kriteria klasifikasi masa depan, tantangan untuk

standarisasi sangatlah berat. Saat ini, klasifikasi kriteria SARD yang

memasukkan AA terancam oleh kurangnya standarisasi reagen dan alat tes

yang digunakan untuk mendeteksi. Sebagai contoh, sensitivitas dan

spesifisitas hasil beberapa AA sangat tergantung pada tes yang dipakai dan

reagen yang digunakan untuk standarisasi alat tes. Oleh karena itu, jika AA

dan biomarker lain akan dijadikan biomarker yang valid dalam kriteria

klasifikasi, perlu ada upaya lebih kuat dan terkoordinasi untuk standarisasi

reagen dan kit yang digunakan untuk alat deteksi.1

Kesimpulannya, diterbitkannya klasifikasi dan kriteria subklasifikasi

mencerminkan usaha kita tentang pemahaman patogenesis SS. Dengan bukti

yang tersedia, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai persyaratan

kriteria yang baru:

1. Perbedaan keluaran klinis dalam spektrum SS menekankan kebutuhan

beberapa bentuk subklasifikasi untuk memandu hasil dan pilihan

pengobatan di masa mendatang serta memungkinkan diferensiasi dari

penyakit lain.

2. Sangat mungkin bahwa tingkat keterlibatan kulit akan tetap menjadi faktor

pembeda utama dan sebagian besar bukti ketahanan hidup mendukung dua

sistem yang berbeda.

3. AA telah terbukti memberikan informasi penting tambahan mengenai

prognosis dan juga panduan dalam identifikasi awal penyakit.

4. Lapilaroskopi lipatkuku memiliki beberapa kegunaan dalam diagnosis dan

klasifikasi, tetapi penerapannya masih sangat khusus. Hal ini akan

membutuhkan pertimbangan hati-hati jika ingin dimasukkan ke dalam

kriteria klasifikasi masa depan.

26

Page 27: Refer At

5. Untuk penerimaan yang luas, akan ada perlu konsensus internasional

untuk pengujian kriteria dan juga untuk standarisasi tes diagnostik.1

Table 6. Tantangan yang harus diperhatikan dalam pencantuman autoantibodi ke dalam kriteria klasifikasi sklerosis sistemik.

Perbedaaan kriteria klasifikasi dari praktek diagnostik Umur: Mungkin satu ukuran (autoantibodi) tidak cocok untuk semua Faktor genetika / ras / geografis Antibody segera dan lambat dan respon terhadap terapi Dampak teknologi array

Kebanyakan pasien SARD memiliki > 1 autoantibodi Dampak dari “omics''':

genomik, ribonomik, proteomik, metabolomik yang mengarah ke theranostics atau perancang terapi

Apakah klasifikasi penyakit bertahan seperti yang telah kita ketahui? Bagaimana dengan: pencegahan, patogenik, dan prognostik dari

autoantibodi Standarisasi

27

Page 28: Refer At

BAB III

KESIMPULAN

Sklerosis sistemik (SS) adalah penyakit jaringan ikat yang jarang dijumpai

dan belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan disfungsi endotel, fibrosis,

dan produksi autoantibodi (AA). Deposisi kolagen yang berlebihan menyebabkan

penebalan kulit dan perubahan pada organ internal yang meliputi paru, pembuluh

darah, traktus gastrointestinal, dan ginjal. Kerusakan endotel memacu disfungsi

vaskular yang bermanifestasi sebagi fenomena Raynaud, ulserasi dan gangren

digiti, hipertensi ateri pulmonal, dan kerusakan vaskular ginjal.

Sklerosis sistemik terjadi di seluruh dunia pada semua suku bangsa, dan

insiden serta prevalensi menunjukkan variasi yang luas tergantung dari lokasi

geografik, definisi penyakit, dan kriteria klasifikasi dan metode seleksi kasus. Ada

bukti bahwa insiden dan prevalensi meningkat dari 2,7 kasus baru per juta orang

menjadi 18,7 kasus dan dari 138 total kasus per juta orang menjadi 660 kasus

berturut-turut dalam interval 25 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada

perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 4:1, meskipun rasio ini lebih jelas

pada usia muda dan kurang tegas pada usia lebih dari 50 tahun. Diagnosis

penyakit ini lebih sering ditegakkan pada orang pada usia dekade ketiga sampai

kelima tetapi dapat terjadi pada anak-anak atau orang yang berumur lebih dari 70

tahun.

SS menunjukkan pola warisan non-Mendel. Risiko penyakit autoimun

lainnya, termasuk sistemik lupus eritematosus dan reumatoid artritis, juga

meningkat. Risiko relatif sebesar 13% terkena sklerosis sistemik, jika saudara

tingkat pertama menderita penyakit itu, meskipun risiko absolut pada anggota

keluarga individu jauh lebih rendah yaitu kurang dari 1%.

Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga

sesuatu, faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan

sistem imun dan menimbulkan reaksi imunologik dan kerusakan sel endotel.

Kerusakan endotel akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit

mengeluarkan berbagai mediator, seperti PDGF, TGF-B, dan CTAP-III, yang

28

Page 29: Refer At

akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sistesis matriks oleh fibroblas.

Aktivitas sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sistesis

matriks.

Fenomena Raynaud adalah manifestasi yang paling sering terlihat pada

orang dengan sklerosis sistemik. Fenomena Raynaud adalah perubahan warna

yang episodik (palor, sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respon terhadap

lingkungan yang dingin atau stres emosional. Walaupun perubahan yang spesifik

umumnya terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun

telinga, hidung dan lidah. Pada fase palor dan sianosis, pasien akan mengalami

nyeri dan kaku, sedang pada fase hiperemis akan merasa seperti terbakar.

Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan difus sangat bervariasi,

tetapi pasien dengan keterlibaran kulit pada trunkus dan akral merupakan sklerosis

sistemik difus, sedangkan pasien yang mengalami kelainan pada bagian distal

hingga sendi metakarpopalangeal dan metatarsopalangeal lebih konsisten pada

paien sklerosis sistemik terbatas. Ada perdebatan mengenai derajat keterlibatan

akral yang menunjukkan sklerosis sistemik terbatas dibanding difus. Biasanya

pasien dengan sklerosis sistemik terbatas memiliki onset penyakit yang lebih

bertahap, dan dideskripsikan sebagai fenomena Raynaud untuk beberapa tahun

sebelum onset sklerodaktil. Sebaliknya, pasien sklerosis sistemik difus, penebalan

kulit cenderung lebih bertepatan dengan onset fenomena Raynaud dan perjalanan

penyakit ini bersifat lebih akut, dengan keterlibatan sebagian besar organ interna

dalam 5 tahun.

Temuan laboratoris bervariasi sesuai dengan keterlibatan organ interna,

namun ketiadaan fase akut yang progresif, laboratoris mungkin berada dalam

kisaran normal. Peningkatan laju endap darah dan penurunan jumlah kompelen

telah diamati pada pasien dengan penyakit yang lebih aktif. Perubahan

laboratorium khusus lainnya sesuai dengan keterlibatan organ.

Autoantibodi (AA) terjadi pada lebih dari 95% pasien dengan sklerosis

sistemik (SS), dan sampai saat ini, ada lebih dari 30 AA yang terkait dengan SS.

Sebagian pasien yang memiliki AA mengarah pada antigen nuklir, dan ini

memiliki hubungan klinis yang spesifik. Antibodi Anti-sentromer (CENP) terjadi

29

Page 30: Refer At

pada 20-40% pasien dan merupakan yang paling sering dikaitkan dengan SS

terbatas, iskemik digiti, kalsinosis, dan hipertensi pulmonal. Antibodi anti-

topoisomerase I terjadi pada 9-20% dari pasien dan berhubungan dengan SS difus,

manifestasi lebih parah, fibrosis paru, dan peningkatan mortalitas. Antibodi anti-

fibrillarin (U3 ribonukleoprotein) dilaporkan sangat spesifik untuk SS, tetapi

dalam sebagian besar penelitian kohort, prevalensi SS kurang dari 12%. Meskipun

semua antibodi ini memiliki spesifisitas yang tinggi, sensitivitas yang rendah

menunjukkan bahwa antibodi tersebut tidak berguna untuk skrining SS.

Kriteria klasifikasi ACR (American College of Rheumatology) dirancang

untuk membedakan SSC dari bentuk-bentuk penyakit lainnya, dan validasi

eksternal awal mencatat tingginya tingkat sensitivitas dan spesifisitas. Kriteria

awal ACR tahun 1980 untuk sklerosis sistemik menetapkan bahwa dibutuhkan

satu kriteria mayor atau dua atau lebih kriteria minor. Dimana kriteria mayor

adalah adanya skleroderma proksimal, keterlibatan kulit yang meluas dari

proksimal ke sendi metakarpofalangealis. Sedangkan kriteria minor adalah

sklerodaktili, pitting bekas luka digiti dari ujung jari atau hilangnya substansi dari

ujung jari distal, dan fibrosis paru bibasilar.

Sampai saai ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengubah

keadaan fibrosis pada SS. Pilihan pengobatan untuk SS masih terbatas pada

pengobatan aspek spesifik dari keterlibatan organ karena kompleksitas proses

penyakit.

Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar

68%. Harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan

keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi

karena kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik

terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan malabsorpsi.

30

Page 31: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

1. Walker JG dan . Fritzler MJ. Systemic Sclerosis. Dalam: Yehuda Shoenfeld et

al (ed). Diagnostic Criteria in Autoimmune Diseases. Humana Press, 2008:31-

36

2. Hunzelmann N dan Krieg T. Progressive Systemic Scleroderm. Dalam:

Michael Hertl (ed). Autoimmune Diseases of the Skin Pathogenesis,

Diagnosis, Management, Third, Revised and Enlarged Edition. Springer Wien

New York, 2001:173-191.

3. Fauci, AS et al. Systemic Sclerosis (Sleroderma) and Related Disorder.

Dalam: Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Edition. The Mcgraw-

Hill Companies. 2008

4. Setiyohadi B. Sklerosis Sistemik. Dalam: Sudoyo, AW et al (Editor). Buku

Ajar: Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 edisi 4. FK UI, Jakarta, 2006:1239-44.

5. Carter MA. Skleroderma. Dalam Price SA dan Wilson LM. Patofisiologi :

Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC, Jakarta, 2006:

1397-1400.

6. Payaniotis G. Systemic Sclerosis. Medical School, Departement of

Pathophysiology, National University of Athens. 2001.

31