Refer At
-
Upload
robin-iskandar -
Category
Documents
-
view
17 -
download
0
Transcript of Refer At
BAB I
PENDAHULUAN
Sklerosis sistemik adalah penyakit kronik jaringan ikat yang tidak
diketahui penyebabnya yang ditandai dengan disfungsi endotel, fibrosis, dan
pembentukan autoantibodi. Akumulasi kolagen yang berlebih mengakibatkan
fibrosis pada kulit dan organ viseral yang meliputi paru, pembuluh darah, saluran
gastrointestinal, dan ginjal. Kerusakan pada endotel mengakibatkan disfungsi
pada pembuluh darah dengan manifestasi fenomena Raynaud, ulserasi dan
gangren digiti, hipertensi pulmonal dan kerusakan pembuluh darah ginjal.1,2,3,4
Sistemik sklerosis lebih banyak ditemukan pada usia dekade ketiga dan
keempat. Penyakit ini lebih banyak mengenai perempuan dibanding laki-laki
dengan rasio 4:1. Insiden tahunan adalah 14,1 kasus per satu juta orang.
Prevalensi berkisar 19 hingga 75 kasus per satu juta orang.1,5,6
Sklerosis sistemik dibagi menjadi sklerosis sistemik terbatas dan difus
tergantung pada keterlibatan fibrosis kulit. Sklerosis sistemik terbatas biasanya
melibatkan fibrosis kulit pada persendian metatarsoparingeal dan
metakarpoparingeal bagian distal serta memiliki onset yang bertahap. Sedangkan
sklerosis sistemik difus biasanya melibatkan fibrosis kulit pada trunkus dan akral
serta memiliki onset akut.1,4
Patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui secara pasti. Namun diduga
terdapat faktor pencetus yang dapat mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan
kerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel akan mengaktifkan trombosit,
sehingga trombosit mengeluarkan mediator PDGF, TGF-B, dan CTAP-III yang
akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sistesis matriks.4
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis
sistemik sebelum timbul kelainan kulit yang khas. Kemungkinan sklerosis
sistemik harus dipikirkan jika ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada
wanita usia 20 sampai 50 tahun. Pemeriksaan autoantibodi antitopo-1 dan
antisentromer harus dilakukan karena memiliki spesifisitas yang baik. Menurut
1
American Rheumatism Association (ARA), diagnosis ditegakkan jika didapatkan
1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor.1,4
Tujuan terapi sklerosis sistemik untuk mencegah kerusakan organ viseral,
memperlambat atau menghentikan perburukan serta meningkatkan fungsi organ
yang terlibat dengan cara pemberian obat yang mencegah kerusakan vaskular,
obat yang mensupresi autoimune dan infeksi, dan obat yang mensupresi proses
fibrosis.1,6
2
BAB II
ISI
A. Pengertian
Sklerosis sistemik (SS) adalah penyakit jaringan ikat yang jarang
dijumpai dan belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan disfungsi
endotel, fibrosis, dan produksi autoantibodi (AA). Deposisi kolagen yang
berlebihan menyebabkan penebalan kulit dan perubahan pada organ internal
yang meliputi paru, pembuluh darah, traktus gastrointestinal, dan ginjal.
Kerusakan endotel memacu disfungsi vaskular yang bermanifestasi sebagi
fenomena Raynaud, ulserasi dan gangren digiti, hipertensi ateri pulmonal, dan
kerusakan vaskular ginjal.1,5,6
Sklerosis sistemik merupakan kelompok penyakit inflamasi difus
jaringan ikat atau penyakit vaskular kolagen yang terdiri dari berbagai variasi
keparahan, terkadang sampai membahayakan nyawa. Sklerosis sistemik
ditandai dengan keterlibatan kulit dan berbagai organ interna (contohnya
ginjal, paru, dan jantung). Proses inflamasi dan fibrosis menghancurkan
arsitektur normal organ yang terkena dan menyebabkan disfungsi serta gagal
organ. Aktivitas penyakit ini sangat bervariasi dan sering tidak tidak terduga.
Tingkat keparahan proses penyakit sklerosis sistemik mengarah pada
penurunan angka harapan hidup, gangguan mobilitas dan kehilangan otonomi.
Sklerosis sistemik berkembang terutama pada perubahan patologis sistem
vaskular, sistem kekebalan tubuh dan matriks ekstraselular termasuk jenis sel
mayor, sel fibroblast. Tahap awal dari penyakit ini, terkait dengan gambaran
inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan yang luas dari fungsi dan
struktur pada vaskuler bed multipel dan disfungsi organ viseral progresif
akibat fibrosis. Adanya penebalan kulit (skleroderma) membedakan SS dari
penyakit jaringan ikat lainnya. Terjadinya fibrosis yang menyebabkan atrofi
dan kegagalan organ yang terkena sangat menentukan outcome dari proses
penyakit ini. Namun bagaimanapun juga, walau upaya penelitian intensif
untuk mencari hubungan antara patofisiologi yang mempengaruhi sistem
3
vaskular, sistem kekebalan tubuh dan matriks ekstraselular, belum dapat
dipahami secara sempurna.2,5,6
Sklerosis sistemik biasanya diklasifikasikan menjadi terbatas dan difus
tergantung dari keterlibatan kulit. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas
dan difus sangat bervariasi, tetapi pasien dengan keterlibatan kulit pada
trunkus dan akral cenderung mengarah sklerosis sistemik difus, sedangkan
pasien yang mengalami kelainan pada bagian distal hingga sendi
metakarpopalangeal dan metatarsopalangeal lebih konsisten pada pasien
sklerosis sistemik terbatas. Ada perdebatan mengenai derajat keterlibatan akral
yang menunjukkan sklerosis sistemik terbatas dibanding difus. Biasanya
pasien dengan sklerosis sistemik terbatas memiliki onset penyakit yang lebih
bertahap, dan dideskripsikan sebagai fenomena Raynaud untuk beberapa tahun
sebelum onset sklerodaktil. Sebaliknya, pasien sklerosis sistemik difus,
penebalan kulit cenderung lebih bertepatan dengan onset fenomena Raynaud
dan perjalanan penyakit ini bersifat lebih akut, dengan keterlibatan sebagian
besar organ interna dalam 5 tahun. Tabel 6.1 dan 6.2 meringkas gambaran
klinis penyakit sklerosis sistemik terbatas dan difus.1,5
B. Epidemiologi
Sklerosis sistemik merupakan penyakit sporadik yang terjadi di seluruh
belahan dunia pada semua suku bangsa, dan insiden serta prevalensi
menunjukkan variasi yang luas tergantung dari lokasi geografik, definisi
penyakit, kriteria klasifikasi dan metode seleksi kasus. Ada bukti bahwa
insiden dan prevalensi meningkat dari 2,7 kasus baru per juta orang menjadi
18,7 kasus dan dari 138 total kasus per juta orang menjadi 660 kasus berturut-
turut dalam interval 25 tahun. Prevalensi yang lebih tinggi sekitar 230 kasus
per juta telah di laporkan di Amerika Serikat dan Australia Selatan. Penyakit
ini lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 4:1,
meskipun rasio ini lebih jelas pada usia muda dan kurang tegas pada usia lebih
dari 50 tahun.1,2,5,6
4
Diagnosis penyakit ini lebih sering ditegakkan pada orang pada usia
dekade ketiga sampai kelima tetapi dapat terjadi pada anak-anak atau orang
yang berumur lebih dari 70 tahun. Onset penyakit ini lebih awal pada wanita
Afrika-Amerika dan lebih cenderung terjadi sklerosis sistemik difus. Proporsi
sklerosis sistemik terbatas dibanding difus juga bervariasi menurut wilayah
geografis dan kelompok ras. Hal ini juga berlaku untuk marker autoantibodi
(AA) (dibicarakan nanti), semuanya memberikan indikasi yang kuat bahwa
faktor host dan lingkungan memainkan peran dalam patogenesis dan ekspresi
penyakit ini. Faktor lingkungan yang terkait dengan peningkatan risiko
perkembangan penyakit ini antara lain paparan partikulat silika,
trichloroethylene dan pelarut organik lainnya, serta logam berat seperti
merkuri. Penyakit ini timbul dalam frekuensi besar pada pertambangan
batubara, sehingga menimbulkan asumsi bahwa silikosis adalah salah satu
faktor predisposisi.1,5
C. Genetik
Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis
kelamin. Didapatkan rasio jenis kelamin wanita dengan laki-laki berkisar 2:1
sampai 20:1. Walaupun demikian peran hormon seks pada patogensis penyakit
ini tidak diketahui.3,4
SS menunjukkan pola warisan non-Mendel. Tingkat kesesuaian untuk
SS antara saudara kembar nilainya rendah (4,7%), meskipun kesesuaian untuk
kehadiran antibodi antinuklear secara signifikan lebih besar. Peran genetik
untuk terkena penyakit ini ditunjukkan oleh data bahwa 1,6% pasien SS
memiliki saudara tingkat pertama yang menderita SS juga. Risiko penyakit
autoimun lainnya, termasuk sistemik lupus eritematosus dan reumatoid artritis
juga meningkat. Diantara penduduk asli Amerika Choctaw, prevalensi SS
tinggi, yaitu 4.690 kasus per juta penduduk. Investigasi genetik SS saat ini
difokuskan pada kandidat gen polimorfisme, terutama yang terlibat dalam
imunitas dan inflamasi, fungsi pembuluh darah, dan homeostasis jaringan ikat.
Hubungan polimorfisme nukleotida tunggal (Single Nucleotide Polymorphism,
5
SNP) dengan SS telah dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-
converting enzyme (ACE); endotelin-1 dan nitric oxide synthase; B cell
markers (CD19); kemokin (monocyte chemoattractant protein-1) dan reseptor
kemokin; sitokin [interleukin 1-α, IL-4, dan tumor necrosis factor α (TNF-
α)]; growth factors dan reseptornya [connective tissue growth factor (CTGF)
dan transforming growth factor β (TGF- β)], dan protein matriks ekstraseluler
[fibronektin , fibrillin, dan secreted protein acidic-rich in cysteine (SPARC)].3
Risiko relatif sebesar 13% terkena sklerosis sistemik, jika saudara
tingkat pertama menderita penyakit itu, meskipun risiko absolut pada anggota
keluarga individu jauh lebih rendah yaitu kurang dari 1%. Ada bukti bahwa
serologis sklerosis sistemik, tapi tidak secara klinis, sangat terkait dengan gen
HLA kelas II. Sejumlah lokus genetik lainnya juga telah diidentifikasi dan
dianggap berhubungan dengan fenotip sklerosis sistemik yang berbeda
berdasarkan profil AA daripada sklerosis sistemik sebagai satu penyakit
tunggal. Jika observasi ini terbukti, akan memiliki implikasi untuk desain dan
pendekatan dalam intervensi terapeutik.1
Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik
adalah alel C4 null (C4 AQ6 dan C4 BQ6), C4 AQ0, dikatakan banyak terdapat
pada sklerosis sistemik yang mengidap gen HLA-DR. Faktor genetik lain
yang tampak pada pasien skleoris sistemik adalah instabilitas kromosom, yaitu
terjadi peningkatan pemecahan kromosom.4
Di masa lalu, ada minat yang besar terhadap SPARC (secreted protein,
acidic and rich in cysteine), PTPN22 yang mengkode lymphoidspecific
tyrosine phosphatase nonreseptor tipe 2, dan alograf faktor inflamasi 1
(AIF1). Penelitian terbaru terfokus pada integrasi friend leukemia 1 (Fli1),
disregulasi faktor transkripsi di kulit dan pembuluh darah kulit pada sklerosis
sistemik, tampak memainkan peran patologis dalam fibrosis dan degenerasi
kulit pada sklerosis sistemik. Masih dibutuhkan klarifikasi apakah kelainan ini
benar-benar berkaitan dengan polimorfisme genetik pada jalur Fli1 atau
mekanisme epigenetik.1
6
Faktor pencetus
Aktivasi sel imun Kerusakan endotel dan aktivasi
Fenomena Raynaud
IL-2 Sel LAK
Autoantibodi IL-3 IL-4
I
Sel mast Heparin
Makrofag
TGF-B
IL-1PDGF
Fibronektin Fibrolas
Produksi matriks, proliferasi
Aktivasi trombosit dan pelepasan PDGF,
TGF-B dan CTAP-III
Sel B Sel T
Gambar 1. Skema hipotesis patogenesis sklerosis sistemik 4
D. Patogenesis
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga
sesuatu, faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan
sistem imun dan menimbulkan reaksi imunologik dan kerusakan sel endotel.
Kerusakan endotel akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit
mengeluarkan berbagai mediator, seperti PDGF, TGF-B, dan CTAP-III, yang
akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sistesis matriks oleh fibroblas.
Aktivitas sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sistesis
matriks.3,4,5
7
E. Fenomena Raynaud dan Kelainan Vaskular
Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (palor,
sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respon terhadap lingkungan yang
dingin atau stres emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umumnya
terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun telinga,
hidung dan lidah. Pada fase palor dan sianosis, pasien akan mengalami nyeri
dan kaku, sedang pada fase hiperemis akan merasa seperti terbakar.3,4
Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada berbagai penyakit kolagen,
yaitu 95% pada sklerosis sistemik, 91% pada mixed connective tissue disease
(MCTD) dan 40% pada lupus eritematosus sistemik. Selain itu fenomena
Raynaud dapat pula dijumpai pada berbagai trauma akibat pekerjaan (vibrasi,
mikrotrauma, vinil klrorida), efek samping obat (penghambat reseptor beta),
kelainan onkologik dan hematologik (disglobulinemia), kelainanan
mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik, dan hipotiroidisme. Prevalensi
fenomena Raynaud pada populasi umum tidak diketahui secara pasti,
diperkirakan sekitar 10-20%. Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen,
terutama pada sklerosis sistemik umumnya berlangsung lama sebelum seluruh
gejala kolagen tersebut timbul, sehingga kadang-kadang sulit membedakannya
dengan fenomena Raynaud primer yang tidak diketahui penyebabnya.4,5
Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud
pada sklerosis sistemik. Sel endotel yang rusak akan mengaktifkan trombosit.
Trombosit yang diaktifkan akan menghasilkan berbagai vasokonstriktor,
seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-A2 (Tx-A2) dan ADP. Untuk
mengatasi hal ini, sel endotel yang masih utuh akan menghasilkan vasodilator
seperti prostasiklin, monoamine-oxidase (MAO) dan endothelium-dependent
relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endotel yang yang rusak tak dapat
bereaksi terhadap vasodilator tersebut. Selain itu sel endotel yang rusak juga
menghasilkan vasokonstriktor endotolin-1. Akibatnya akan terjadi
vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan semakin diperberat oleh adanya
hiperplasi intimal. Selain itu pada sklerosis sitemik juga terjadi deformabilitas
eritrosit, sehingga viskositas darah akan makin berat.3,4
8
Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai oleh
timbulnya iskemia jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. Gambaran
fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriola pada
organ viseral, sehingga timbul berbagai kelainan pada organ terserbut.4
Kerusakan vaskular pada sklerosis sistemik akan menyebabkan
peningkatan kadar berbagai marker seperti faktor von willebrand,
trombomodulin, ICAM-1 (intercellularadhesion molecule-1) serum dan
ELAM-1 (endhotelial leucocyte adhesion molecule-1) serum. Peningkatan
kadar von willebrand berhubungan dengan progresivitas fenomena Raynaud,
keterlibatan banyak organ dan tingginya angka mortalitas.4
Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena
kerusakan sel endotel menyebabkan penurunan sintesis aktivator plasminogen
dan berbagai faktor pro dan antikoagulan. Secara non-invasif, mokroangiopati
pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan kapilaroskopi lipat kuku.4
Tabel 1. Perbedaan Fenomena Raynaud Primer dengan Fenomena Raynaud pada Sklerosis Sistemik.4
Fenomena Raynaud Primer
Sklerosis Sistemik
Perempuan:Laki-lakiUmur mulai timbulFrekuensi serangan perhariFaktor pencetusProliferasi intimalAntibodi antinuklearAntibodi antisentromerAntibodi anti-Sel-70Kapilaroskopi abnormalAktivasi trombosit in vivo
20:1Pubertas>10 kaliDingin, emosiNegatif NegatifNegatifNegatifNegatifNegatif
4:1>24 tahun5 kaliDinginPositif90-95%50-60%20-30%>95%>75%
F. Gambaran Klinis
Fenomena Raynaud adalah manifestasi yang paling sering terlihat pada
orang dengan sklerosis sistemik.5 Kelainan-kelainan yang lain yang terjadi
pada sklerosis sistemik adalah sebagai berikut:
9
1. Kelainan kulit
Pada tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan
yang tidak disertai rasa nyeri. Kadang-kadang dapat disertai timbulnya
sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) akibat kompresi
nervus medianus. Edema ini berhubungan dengan disposisi
glikosaminoglikan di dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan
vaskular.3,4
Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan
diikuti dengan indurasi, sehingga kulit tampak tebal dan keras. Penebalan
kulit akan mengenai jari tangan dan bagian yang lebih proksimal, yaitu
dorsum manus , lengan atas, muka, dan akhirnya ke seluruh tubuh.
Kelainan ini patognomonik untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak
pernah ditemukan pada penyakit lain. Umumnya kelainan pada bagian
distal tubuh lebih berat dari bagian proksimal. Bersamaan dengan kelainan
tersebut, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan
hiperpigmentasi.3,4
Pada sklerosis sistemik difus, penebalan kulit akan menyebar ke
seluruh tubuh, terutama pada dinding dada dan abdomen, sedangkan pada
kelainan yang terbatas, penebalan kulit hanya akan didapatkan pada jari
atau jari dan muka. Pada sebagian kecil pasien (2%), dapat ditemukan
tanpa kelainan kulit (sklerosis sistemik sine skleroderma).3,4
Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan
serat kolagen pada dermis, hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriola,
dan infiltrasi limfosit, terutama sel T. Kulit yang menebal makin lama
makin menebal. Tapi kadang-kadang dapat terjadi pelunakan yang
biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras
terakhir akan membaik lebih dulu.3,4
Beberapa tahun kemudian akan tampak bintik-bintik telangiektasis,
terutama pada muka, jari, lidah dan bibir. Telangiektasis, terutama terjadi
pada subtipe yang terbatas (CREST syndrome), tetapi dapat juga terjadi
pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas dapat pula timbul
10
kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa bintik kecil,
tetapi dapat juga berupa masa yang besar. Pada stadium akhir, akan terjadi
atrofi penipisan kulit, terutama pada bagian ekstensor sendi yang
kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada
bagian itu.3,4
Tabel 2. Gambaran klinis klasifikasi sklerosis sistemik.1,2
Sklerosis sistemik terbatas Sklerosis sistemik difusHanya fenomena Raynaud selama
beberapa tahunGejala konstitusional jarangAtralgia minimal Bengkak jari tanganTelangiektasis dan kalsinosis (lanjut)Penebalan kulit terbatas pada tangan
dan wajahFibrosis gastrointestinal dan paru
ringanKeterlibatan jantung dan ginjal jarangAntibodi Anti-sentromer
Fenomena Raynaud tertunda atau sama sebagai kulit
Gejala konstitusional yang parahAtralgia, sindrom terowongan karpalBengkak pada tangan dan kakiTeraba Tendon friction rubsPenebalan kulit dari jari-jari ke
trunkus berkembang cepatUmum terjadi fibrosis gastrointestinal
dan paruKeterlibatan parah jantung dan ginjalAnti-topoisomerase I (Scl-70)Anti-RNA polymerase IIIAnti-fibrillarin
2. Kelainan sistemik
Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik
yang pada umumnya terjadi akibat kelainan vaskular pada organ yang
bersangkutan.
a. Kelainan Paru
Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskular
paru. Fibrosis paru, umumnya terjadi pada kedua basal paru yang dapat
dilihat dengan jelas pada gambaran radiologi dada. Keadaan ini akan
menurunkan kapasitas difusi karbonmonoksida dan pada akhirnya
akan terjadi penurunan kapasitas difusi vital (penyakit paru restriktif).
Pada bilasan limfosit dan makrofag. Kelainan paru pada umumnya
lebih berat pada pasien dengan antibodi antitopoisonmerase-1 dan anti
11
U3-RNP yang positif dan lebih ringan pada pasien dengan antibodi
antisentromer yang positif.3,4
Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil pasien,
terutama pada subtipe terbatas dengan antibodi antisentromer yang
positif. Untuk mencegah perburukan fungsi, deteksi dini kelainan pada
sklerosis sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak
memberikan kelainan yang spesifik, kecuali setelah ada kelainan
hemodinamik atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu
dianjurkan pemeriksaan faal paru secara berkala (3-6 bulan sekali) dan
bila dicurigai terdapat penurunan fungsi paru, dilakukan tomografi
dengan komputer (CT-scan) dan bilasan bronkoalveolar.3,4
b. Kelainan Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal dapat mengenai mulut,
esofagus bagian distal dan saluran cerna yang lebih bawah. Xerostomia
ditemukan pada 20-30% sklerosis sistemik dan hal ini berhubungan
dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari
pasien xerostomia memiliki antibodi terhadap presipitin Sjorgen, yaitu
anti SS-A (Ro) dan anti SS-B (La).3,4
Pada esofagus distal akan terjadi dismotilitas motorik sehingga
timbul disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik akan menurun
dan pada pemeriksaan flouroskopi akan tampak hipomotilitas. Pada
esfagus distal akan terjadi metaplasia mukosa (metaplasia Barret) yang
merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi
keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis sistemik.3,4
Pada usus kecil akan terjadi hipomotilitas dan berkurangnya
lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan
menyebabkan udara masuk ke dinding usus sehingga akan
menyebabkan pneumatosis intestinalis yang akan tampak pada
gambaran radiologis. Pada kolon dapat juga terjadi atropi lapisan otot
sehingga mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar
yang khas untuk sklerosis sistemik. Hipomotilitas kolon akan
12
menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi
atropi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan
prolaps rekti.3,4
c. Kelainan Jantung
Kelainan miokardial jarang didapatkan pada sklerosis sistemik,
tetapi jika didapatkan dapat meningkatkan angka mortalitas. Umumnya
akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi jantung, sehingga
menyebabkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak.
Berbeda dengan organ lain, kelainan pada pembuluh darah koroner
jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadang-kadang dapat
timbul perikarditis yang ditandai oleh penebalan perikardium parietal
dan viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu
dapat terjadi gangguan fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi
pulmonal.3,4
d. Kelainan Ginjal
Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal
skleroderma akibat hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan
tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal yang progresif dan
hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe
yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab kematian pertama
pada sklerosis sistemik. Penyebab utama kelainan ginjal adalah
kelainan vaskular, terutama pada arteri arkuata dan interlobularis. Pada
dinding pembuluh darah tersebut terjadi hiperplasia mukoid subintimal
yang akan berkembang menjadi nekrosis fibrinoid.3,4
e. Kelainan Muskuloskletal
Pada persendian dapat timbul poliatralgia, terutama pada subtipe
yang difus. Secara radiologis akan tampak gambaran artropati erosif.
Pada falang distal, distal radius dan ulna, ramus mandibula, dan
permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat
hipovaskularisasi, sehingga terjadi resorbsi tulang pada tempat
tersebut.3,4
13
Pada otot, dapat terjadi atrofi akibat keterbatas penggunaan sendi.
Miopati yang lain juga dapat terjadi yang ditandai dengan kelemahan
otot, terutama otot proksimal dan peningkatan kadar enzim otot serum
(kreatin-kinase dan aldolase). Secara histologis, akan tampak serat
miofibril yang mengalami fibrosis.3,4
Table 3. Perbandingan gambaran sklerosis sistemik terbatas dan difus.1,2
Gambaran Sklerosis sistemik terbatas
Sklerosis sistemik difus
DemografiUsia <40 tahun saat onset (%)Jenis kelamin: perempuan (%)
Durasi gejala sebelum diagnosis (tahun)
Angka kumulatif bertahan hidup 10 tahun setelah diagnosis (%)
50858,5
75
35752,0
65
Keterlibatan sistem organ Penebalan kulitTelangiektasisKalsinosisFenomena RaynaudAtralgia atau arthritisTendon friction rubsKontrakrtur sendiMiopatiHipomotilitas esofagusHipomotilitas usus halusFibrosis paruHipertensi pulmonalGagal jantung kongestifKrisis ginjal
9580509660345107525351051
10030108580658520752545<11520
Data laboratorisAntinuclear antibody Anti-centromere antibody Anti-topo I Anti-RNAP III Anti-fibrillarin Anti-PM/Scl
9550182
<15
95<530251215
14
G. Penemuan Laboratoris dan Radiologik
Temuan laboratoris bervariasi sesuai dengan keterlibatan organ interna,
namun ketiadaan fase akut yang progresif, laboratoris mungkin berada dalam
kisaran normal. Peningkatan laju endap darah dan penurunan jumlah
kompelen telah diamati pada pasien dengan penyakit yang lebih aktif.
Perubahan laboratorium khusus lainnya sesuai dengan keterlibatan organ.
Misalnya, krisis ginjal akut dapat ditandai dengan peningkatan kreatinin
serum, adanya hemolisis, dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pada
sejumlah kecil pasien dapat ditemukan faktor reumatoid dalam serumnya.
Reaksi positif terhadap antibodi antinuklear dan hipergamaglobulinemia dapat
ditemukan. Biopsi kulit adalah cara paling spesifik untuk menegakkan
diagnosis, tetapi biasanya tidak perlu karena gambaran klinis penderita sudah
cukup jelas. 1,5
Pemeriksaaan radiologi akan menunjukkan kalsifikasi subkutan pada
jari-jari tangan. Dapat juga dideteksi adanya kelainan pada esofagus dan usus.5
H. Marker Serologis
Autoantibodi (AA) terjadi pada lebih dari 95% pasien dengan sklerosis
sistemik (SS), dan sampai saat ini, ada lebih dari 30 AA yang terkait dengan
SS. Sebagian pasien yang memiliki AA mengarah pada antigen nuklir, dan ini
memiliki hubungan klinis yang spesifik. Antibodi anti-sentromer (CENP)
terjadi pada 20-40% pasien dan merupakan yang paling sering dikaitkan
dengan SS terbatas, iskemik digiti, kalsinosis, dan hipertensi pulmonal.
Antibodi anti-topoisomerase I terjadi pada 9-20% dari pasien dan
berhubungan dengan SS difus, manifestasi lebih parah, fibrosis paru, dan
peningkatan mortalitas. Antibodi anti-fibrillarin (U3 ribonucleoprotein)
dilaporkan sangat spesifik untuk SS, tetapi dalam sebagian besar penelitian
kohort, prevalensi SS kurang dari 12%. Meskipun semua antibodi ini memiliki
spesifisitas yang tinggi, sensitivitas yang rendah menunjukkan bahwa antibodi
tersebut tidak berguna untuk skrining SS.1,3
15
AA yang lain dilaporkan relatif lebih spesifik untuk SS dan saat ini
tersedia di laboratorium klinik khusus, yang meliputi RNA polimerase III
(RNAP III), yang teridentifikasi dalam 5-25% dari SS sera dan telah dikaitkan
dengan variabilitas geografis yang signifikan dan dengan krisis ginjal dan paru
hipertensi. Antibodi terhadap antigen polimiositis / skleroderma (PM / Scl)
terlihat pada 14-20% pasien SS, dan sering memiliki gambaran yang tumpang
tindih antara SS and PM.1,3
Ada AA yang lain, AA yang kurang terkait dengan SS yang juga
dilaporkan memiliki asosiasi klinis yang spesifik, namun saat ini, AA tersebut
juga memiliki kegunaan diagnosis yang terbatas. Baru-baru ini, ada AA
spesifik baru yang teridentifikasi secara menjanjikan yang melawan reseptor
faktor pertumbuhan derivat platelet, dan studi awal menunjukkan relatif
spesifik pada SS. Namun, penelitian ini didasarkan pada uji fungsional, yang
saat ini tidak mudah diadaptasi dengan setting klinis.1,3
I. Kriteria Klasifikasi
Tidak ada kriteria klasifikasi yang diterima secara universal untuk SS.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: (a) jarangnya penyakit, (b) tidak
adanya tes diagnostik spesifik, (c) masih adanya predebatan mengenai
subklasifikasi berdasarkan tingkat keterlibatan kulit, dan (d) perdebatan
mengenai apakah bentuk terbatas dan difus dari SS merupakan kontinum dari
satu penyakit atau manifestasi dari proses patologis yang berbeda. Meskipun
banyak kesamaan klinis, perbedaan dalam keluaran, serologi, dan genetika
mendukung konsep bahwa terdapat dua proses penyakit yang terpisah. Dua
bentuk utama kriteria klasifikasi yang digunakan sekarang adalah yang
membedakan SS dari bentuk penyakit lain dan yang juga tergabung dalam
beberapa derajat subklasifikasi.1,2
Diskusi pada bab ini akan terbatas pada kriteria American College of
Rheumatology (ACR) dan kriteria klasifikasi yang lebih baru, pemilihan
sebaik mungkin kriteria yang paling berpengaruh yang telah dipublikasikan.
Kriteria klasifikasi ACR dirancang untuk membedakan SSC dari bentuk-
16
bentuk penyakit lainnya, dan validasi eksternal awal mencatat tingginya
tingkat sensitivitas dan spesifisitas (Tabel 4). Sayangnya, pengujian
berikutnya pada daftar penyakit lainnya menunjukkan kriteria ini kurang
sensitif, terutama dalam mengidentifikasi pasien dengan SS terbatas. Selain
itu, teknik diagnostik semakin maju sejak awal perkembangannya, dan ada
dukungan untuk menyertakan tes khusus antinuclear antibodies (ANAs) dan
nailfold capillaroscopy. Lonzetti dkk. menunjukkan bahwa dalam kohort
mereka pada pasien Prancis-Kanada, nilai diagnostik dari kriteria ACR dapat
ditingkatkan secara substansial dengan penambahan ANA dan evaluasi
kapilaroskopi lipat kuku. Hal ini diterima secara luas bahwa kriteria klasifikasi
ACR membutuhkan pembaruan, tetapi hal itu tetap menunjukkan bahwa
kriteria tersebut merupakan kriteria yang paling banyak dikutip untuk
menerima validasi eksternal.1,2
Baru-baru ini, Nadashkevich dkk. mengusulkan sebuah rangkaian
klasifikasi terbaru yang mencakup adanya AA tetapi tidak mencakup
kapilaroskopi lipat kuku. Kriteria ini pertama kali diperoleh dari studi kohort
pasien SS Ukraina, dan penyakit jaringan ikat lainnya (connective tissue
disease, CTD) digunakan sebagai kelompok pembanding. Delapan kriteria
yang berasal dari fase pertama studi tersebut kemudian diuji dalam populasi
99 pasien SS Kanada dan 138 CTD kontrol. Temuan tersebut sangat
menjanjikan, menghasilkan sensitivitas 99% dan spesifisitas 100%. Namun,
kriteria ini belum diadopsi secara luas, mungkin karena mereka tidak
memasukkan subklasifikasi SS.1,2
Table 4. Kriteria awal ACR tahun 1980 untuk sklerosis sistemik.1,2
1. Skleroderma proksimal, keterlibatan kulit yang meluas dari proksimal ke sendi metakarpofalangealis (kriteria mayor)
2. Sklerodaktili, pitting bekas luka digiti dari ujung jari atau hilangnya substansi dari ujung jari distal, dan fibrosis paru bibasilar (kriteria minor)
3. Dibutuhkan satu kriteria mayor atau dua atau lebih kriteria minor
17
Kriteria Subklasifikasi
Di lain pihak, kebutuhan untuk membedakan SS dari bentuk-bentuk
penyakit lainnya adalah penting, pemahaman yang lebih baik tentang
patogenesis penyakit dan keluaran yang berbeda terkait dengan presentasi
penyakit yang berbeda telah mengarahkan pada pengenalan subklasifikasi SS
yang dapat memberikan informasi penting tambahan dalam hal (a) prognosis
dalam seting klinis rutin, (b) perbandingan antar penyakit, dan (c) panduan
untuk terapi yang mendesak. Untuk saat ini, ada 14 publisikasi kriteria
subklasifikasi SS yang masing-masing set mengusulkan dua hingga enam
kategori yang terpisah, yang umumnya didasarkan pada tingkat keterlibatan
kulit. Mayoritas studi untuk anka ketahanan hidup berdasarkan tingkat
keterlibatan kulit, menunjukkan tidak ada perbedaan secara statistik yang
signifikan mengenai angka ketahanan hidup dalam kategori tiga subkelompok,
sedangkan perbedaan dalam keluaran dengan menggunakan set dua kelompok
subklasifikasi diakui dengan baik.1
Dua kriteria pertama kali diusulkan oleh Le Roy pada tahun 1988 dan
kemudian diterbitkan dengan bentuk yang telah dimodifikasi pada tahun 2001
(Tabel 5) telah menjadi kelompok kriteria subklasifikasi yang paling
berpengaruh. Kategori dipisahkan berdasarkan tingkat keterlibatan kulit,
dengan kriteria kemudian menggabungkan AA dan perubahan kapilaroskopi
lipat kuku. Tahun 1988 kriteria ini telah diadopsi secara luas, tetapi kriteria
yang diperbaharui belum dimanfaatkan secara luas dan memerlukan validasi
lebih lanjut. Selain itu, dalam kriteria diagnosis ini membutuhkan adanya
fenomena Raynaud, sesuatu yang tidak universal hadir, terutama pada awal SS
difus.1
Maricq dan Valter mengusulkan sebuah subklasifikasi yang lebih
kompleks yang mencakup enam kategori berbeda. Sekali lagi, pemisahan
utama adalah berdasarkan tingkat keterlibatan kulit menjadi tiga kategori
utama. Tiga kategori tambahan yang dimasukkan meliputi: (a) Sklerosis
sistemik sine skleroderma, (b) bentuk campuran CTD, dan (c) kelompok akhir
18
yang sesuai dengan fenomena CREST tetapi tanpa perubahan yang cukup
untuk dimasukkan ke dalam tiga kelompok perubahan kulit mayor.
Kapilaroskopi lipat kuku dan AA telah dimasukkan dalam kriteria ini,
tetapi AA terbatas pada ada atau tidaknya CENP yang dideteksi oleh
imunofluoresensi indirek. Seperti dibahas di atas, antibodi CENP sekarang
dikenal sebagai salah satu dari empat atau lima AA yang memiliki spesifisitas
relatif tinggi untuk SS. Selain itu, munculnya deteksi multipleksi AA telah
menyediakan cara yang cepat dan akurat untuk mendeteksi berbagai AA
dalam sampel serum tunggal, sebuah gambaran yang bisa mengubah
paradigma AA saat ini. Ketika diterapkan ke database dari 165 pasien, mampu
menunjukkan hasil klinis yang berbeda. Tapi dalam bentuk saat ini sulit untuk
digunakan di luar pengaturan penelitian tersier khusus.1
Table 5. Kriteria klasifikasi sklerosis sistemik (SS) menurut LeRoy and Medsger.1
SS terbatas Fenomena Raynud (dokumentasi objektif)Ditambah salah satu bentuk tipe SS kapilaroskopi
lipat kuku atau autoantibodi selektif SSSubjektif fenomena Raynaud
SS kutaneus terbatas Kriteria untuk SS terbatas ditambah perubahan kutaneus distal
SS kutaneus difus Kriteria untuk SS terbatas ditambah perubahan kutaneus proksimal
Fasciitis difus dengan eosinofilia
Perubahan kutaneus proksimal tanpa kriteria SS terbatas atau SS kutaneus terbatas
J. Penatalaksanaan
Sampai saai ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengubah
keadaan fibrosis pada SS. Pilihan pengobatan untuk SS masih terbatas pada
pengobatan aspek spesifik dari keterlibatan organ karena kompleksitas proses
penyakit. Kesulitan timbul ini karena jarangnya penyakit dan kebutuhan
penanganan spesialisasi oleh praktek dokter umum. Sehingga, diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit ini minimal harus dalam penanganan spesialisasi
yang sering menangani penyakit ini dan mempunyai akses untuk pemeriksaan
serologi autoimun, dermatohistopatologi, dan radiologis diagnostik modern
19
(seperti CT scan, MRI, angiografi). Kerjasama dengan spesialisasi lain sering
dibutuhkan guna penanganan yang optimal terhadap keterlibatan sistem organ
lain (seperti rematologi, pulmonologi, nefrologi, dan neurologi).1,2,5
Terapi dirancang untuk menonaktifkan proses penyakit, seperti
transplantasi sumsum tulang. Hasil klinis dengan terapi ditujukan untuk
melawan mediator profibrotik, seperti faktor pertumbuhan jaringan ikat dan
mengubah growth factor-β, sedang dalam tahap penelitian. Interferon-γ adalah
sitokin yang dikenal paling kuat untuk menghambat sintesis kolagen.
Beberapa uncontrolled study menerapkan sitokin selama sampai satu tahun
telah dilakukan untuk menyelidiki peran potensial interferon-γ dalam
pengobatan SS dan hasilnya tidak menunjukkan pengaruh besar pada
perjalanan penyakit. Hasil yang menjanjikan telah dilaporkan dengan
penggunaan bosentan, antagonis reseptor endotelial ganda, yang telah terbukti
untuk menurunkan hipertensi arteri pulmonal dan ulserasi digiti. Pendekatan
proteomika dan metabolomik mengidentifikasi mediator umum lainnya yang
berpotensi menjadi target terapi, tetapi tidak diketahui apakah ini akan
menghasilkan perbaikan.1,2
Sebagian besar obat dengan sifat imunosupresif, yang telah digunakan
dalam pengobatan SSC, kurang teruji dalam uji klinis prospektif terkendali
yang besar. Saat ini pada sklerosis sistemik (SS) ada sedikit bukti mengenai
efektivitas terapi kortikosteroid dan imunosupresif dengan pengecualian
siklofosfamid, menunjukkan efek sedang pada paru-paru dan kulit. Namun
demikian, obat yang berpotensi berbahaya ini sering diresepkan untuk pasien
dengan segala bentuk SSC. Misalnya, D-penicillamine tampaknya
mempengaruhi kolagen dan sistem kekebalan tubuh sehingga merupakan
calon yang obat ideal untuk pengobatan SS. Menariknya, obat ini digunakan
sampai pertengahan 90an untuk memulai double blind randomized trial untuk
mengetahui pengaruh D-penisilamin pada SS. Sayangnya, tidak ada perbedaan
yang ditemukan antara dosis D-penisilamin 62,5 mg dan 750 mg perhari, hal
ini menunjukkan kurangnya kemanjuran. Demikian juga fotoferesis
(fotokemoterapi ekstrakorporeal) yang menunjukkan hal yang menjanjikan
20
dalam beberapa uncontrolled study, dalam crossover study baru-baru ini gagal
menunjukkan efek yang menguntungkan. Beberapa percobaan kecil
menyelidiki penggunaan siklosporin A, yang sayangnya dikaitkan dengan
toksisitas yang cukup besar, terutama nefropati. Metotreksat, meskipun profil
toksisitas pada pasien dengan SSC lebih baik dari yang diharapkan,
menghasilkan hasil yang tidak konsisten dalam dua studi terkontrol. Data
terbaik yang ada adalah siklofosfamid, menunjukkan manfaat dan signifikan
secara statistik dalam uji coba secara acak buta ganda terkontrol pada kedua
paru, dan fibrosis kulit.2
Penatalaksanaan spesifik organ yang terlibat pada sklerosis sistemik
adalah sebagai berikut:
1. Penyuluhan dan Dukungan Psikososial
Penyuluhan dan dukungan psikologis memegang peranan yang
sangat penting dalam penatalaksanaan sklerosis sistemik, karena
perjalanan penyakit ini lama dan progresif.4
2. Penanganan Fenomena Raynaud dan Kelainan Kulit
Fenomena Raynaud merupakan gejala yang domiman pada
sklerosis sistemik. Menghindari merokok dan udara dingin, serta menjaga
tubuh tetap dalam keadaan hangat, biasanya cukup efektif mengatasi
fenomena Raynaud yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat,
misalnya bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas
sehari-hari, dapat dicoba penggunaan vasodilator, misalnya nifedipin,
prazosin atau nitrogliserin topikal. Obat lain yang dapat dicoba untuk
mengatasi fenomena Raynaud adalah iloprost, suatu analog prostasiklin.
Obat ini diberikan perdrip dengan dosis 3ng/kgBB/menit, 5-8 jam/hari
selama 3 hari berturut-turut.4,5
Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, apalagi jika sudah
timbul ulkus. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan jika terjadi
infeksi sekunder. Bila luka cukup dalam, mungkin dibutuhkan perawatan
secara bedah, nekrotomi dan pemerian antibiotik parenteral.4,5
21
3. Pemberian Obat Remitif
Berbagai golongan remitif yang dapat diberikan pada pasien
sklerosis sistemik adalah D-penisilamin, kolkisin, obat-obatan
imunosupresif dan sebagainya, tetapi hasilnya masih belum
menggembirakan. D-penisilamin menunjukkan hasil yang cukup baik
untuk mengatasi kelainan kulit, walaupun dibutuhkan pengobatan dalam
jangka waktu yang cukup lama.4,5
Secara in vitro, interferon gama dapat menghambat proliferasi
fibroblast dan produksi kolagen. Pada beberapa kasus obat ini dapat
mengurangi kekakuan kulit, tetapi tidak efektif untuk fenomena Raynaud.
Obat lain yang dapat mempengaruhi transport prokolagen dan sekresi
prokolagen oleh fibroblast adalah kolkisin. Tetapi masih harus diteliti
efektivitasnya pada penggunaan jangka panjang. Demikian juga dengan
penggunaan ketotifen, suatu stabilisator sel mast; N-Asetil-sistein, suatu
perangsang pemecahan kolagen, fotoferesis dan globulin antitimosit masih
perlu diteliti efektivitasnya.4
4. Penanganan Kelainan Muskuloskeletal
Atralgia / atrtiris dan tenosinovitis, biasanya dapat diatasi dengan
pemberian anti inflamasi nonsteroid. Bila nyeri tetap timbul, dapat
dipertimbangkan pemberian injeksi steroid lokal atau steroid sistemik
dosis kecil dalam jangkan waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi yang
agresif harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.4
5. Penanganan Kelainan Gastrointestinal
Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heart-burn dan
disfagia. Pasien dianjurkan untuk meninggikan kepalanya pada waktu
berbaring, makan dengan posisi tegak dengan porsi yang kecil dan sering.
Biasanya pemberian antasid, antagonis-H2 dan obat sitoprotektif, cukup
efektif untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang. Pada
keluhan yang berat, dapat dianjurkan pemberian omeprazol. Obat
prokinetik, dapat diberikan pada keadaan disfagia. Bila terdapat striktur
esofagus, harus dilakukan dilatasi secara berkala.4,5
22
Keterlibatan usus halus, akan menyebabkan gangguan pasase
makanan dan meningkatkan pertumbuhan bakteri. Pada keadaan yang
terakhir, dianjurkan untuk memberikan antibiotik berspektrum luas selama
3 minggu. Untuk keadaan hipokinetik usus dapat dicoba pemberian
prokinetik. Bila terdapat konstipasi, harus diberikan pelunak tinja dan diet
tinggi serat. Bila hipomotilitas usus sangat berat sehingga timbul distensi
abdomen, pasien harus dipuasakan untuk mengistirahatkan usus dan
dilakukan dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan bedah harus
dihindari karena akan mencetuskan ileus dan memperlama penyembuhan.4
6. Penanganan Kelainan Paru
Pnemonitis interstitial merupakan keadaan yang harus diatasi.
Pemberian kortikosteroid atau siklofosfamid memberikan hasil yang
cukup memuaskan. Hipertensi pulmonal tanpa kelainan interstitial paru
mempunyai prognosis yang buruk, karena tidak ada satupun obat yang
dapat mengatasi keadaan ini.4
7. Penanganan Kelainan Ginjal
Krisis renal dengan hipertensi berat merupakan komplikasi yang
serius dengan angka kematian yang cukup tinggi. Dengan adanya obat
inhibitor enzim pengkoversi angiotensin, angka kematian dapat diturunkan
secara drastis. Obat ini tetap dapat diberikan walaupun fungsi ginjal
menurun dengan drastis. Jika diperlukan dapat diperlukan dialisis. Pada
kelainan ginjal pemberian steroid dan plasmafaresis tidak ada gunanya.4
8. Fisioterapi
Fisioterapi adalah komponen penting dari pengobatan. Silitnya membuka
mulut dapat menggangu kemampuan pasien untuk makan. Fungsi mulut
dapat diperbaiki melalui latihan peregangan dan latihan untuk menguatkan
otot-otot.5
23
K. Prognosis
Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar
68%. Harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit
dan keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian
biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada
sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan
malabsorpsi.4
Pasien sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk
mendapatkan keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan linfoma
nonHodgkin. Hal ini turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis
sistemik. Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma
esofagus sangat rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esofagus distal.
Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk
prognosis sklerosis sistemik adalah:
Usia lanjut (>64 tahun)
Penurunan fungsi ginjal (BUN <16 mg/dl)
Anemia (Hb <11 g/dl)
Penurunan kapasitas difusi CO2 pada paru (<50% prediksi)
Penurunan kadar protein serum total (6 mg/dl)
Penurunan cadangan paru (kapasitas vital paksa <80% pada Hb >14 mg/dl
atau kapasitas vital paksa < 65% pada Hb < 14 g/dl).4
Pertimbangan dan Arah Masa Depan
Penggunaan secara luas dan penerapan kriteria klasifikasi, khususnya
dimasukkannya AA ke dalam kriteria saat ini dan masa depan, dipenuhi oleh
tantangan dan berbagai isu yang harus dipertimbangkan dengan cermat (Tabel
6).1
Pertama, meskipun kriteria klasifikasi jelas dirancang untuk
membakukan klasifikasi berbagai penyakit ke dalam kelompok yang sama
untuk tujuan penelitian, tampaknya ada suatu perbedaan yang muncul dari
nomenklatur diagnostik klinis dari kriteria klasifikasi saat ini. Salah satu
24
alasan untuk ini adalah bahwa teknologi diagnostik dalam pencitraan dan
serologi bekembang cepat dan banyak dokter yang menggunakan teknologi
baru sementara kriteria klasifikasi tertinggal. Hal ini jelas bahwa kriteria
klasifikasi adalah untuk mempertahankan peran yang penting, dan akan
membutuhkan revisi dan lebih sering diperbarui.1
Kedua, hal ini juga jelas bahwa kriteria klasifikasi harus
mempertimbangkan usia onset penyakit karena timbulnya SARD pada anak
atau pada orang tua sering tidak mengikuti gambaran klinis yang terlihat pada
orang dewasa.1
Ketiga, kriteria klasifikasi perlu memperhitungkan faktor genetik, ras,
dan geografis. Hal ini menjadi jelas bahwa faktor geografis dan etnis memiliki
dampak yang signifikan pada spektrum gambaran terlihat pada salah satu
SARD. Kriteria klasifikasi harus mengambil variabel-variabel itu menjadi
pertimbangan untuk menghindari bias ke bentuk skleroderma tertentu dalam
seting geografis tertentu.1
Keempat, serologi diagnostik cepat bergerak menuju teknologi array
yang menyediakan spektrum yang luas tentang AA, proteomika, genomik, dan
data metabolomik. Dalam mempertimbangkan AA yang mungkin dimasukkan
dalam kriteria klasifikasi, hal ini penting untuk mengenali bahwa mayoritas
pasien SS memiliki lebih dari satu AA. Sementara antibodi terhadap CENP,
Topo I, dan fibrillarin cenderung merupakan variabel independen, masuknya
AA lain seperti AM / Scl atau RNAP III akan mengarah pada situasi di mana
pasien akan memiliki lebih dari satu AA. Untuk menghindari penambahan
bobot klasifikasi untuk marker serologis, kemungkinan akan berguna untuk
menggabungkan AA ke dalam kriteria tunggal, pendekatan yang diambil oleh
Nadashkevich dkk. Bidang yang muncul dengan cepat menganai genomik,
proteomik, dan metabolomik juga akan membawa informasi yang memiliki
potensi untuk meningkatkan kriteria klasifikasi, terutama jika subklasifikasi ke
himpunan penyakit dianggap sebagai parameter klinis yang diinginkan.
Kekayaan informasi yang disediakan oleh teknologi ini dan aplikasinya untuk
terapi dalam bidang kedokteran yang luas disebut sebagai “obat pribadi” dan
25
“theranostic” meningkatkan kemungkinan bahwa klasifikasi kriteria mungkin
tidak bertahan jika pasien dibagi menjadi kelompok klinis kecil berdasarkan
polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dan penanda genetik lainnya, sitokin,
limfokin, AA, dan profil metabolit.1
Terakhir, meskipun antusiasme untuk memasukkan AA atau salah satu
biomarker lain ke dalam kriteria klasifikasi masa depan, tantangan untuk
standarisasi sangatlah berat. Saat ini, klasifikasi kriteria SARD yang
memasukkan AA terancam oleh kurangnya standarisasi reagen dan alat tes
yang digunakan untuk mendeteksi. Sebagai contoh, sensitivitas dan
spesifisitas hasil beberapa AA sangat tergantung pada tes yang dipakai dan
reagen yang digunakan untuk standarisasi alat tes. Oleh karena itu, jika AA
dan biomarker lain akan dijadikan biomarker yang valid dalam kriteria
klasifikasi, perlu ada upaya lebih kuat dan terkoordinasi untuk standarisasi
reagen dan kit yang digunakan untuk alat deteksi.1
Kesimpulannya, diterbitkannya klasifikasi dan kriteria subklasifikasi
mencerminkan usaha kita tentang pemahaman patogenesis SS. Dengan bukti
yang tersedia, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai persyaratan
kriteria yang baru:
1. Perbedaan keluaran klinis dalam spektrum SS menekankan kebutuhan
beberapa bentuk subklasifikasi untuk memandu hasil dan pilihan
pengobatan di masa mendatang serta memungkinkan diferensiasi dari
penyakit lain.
2. Sangat mungkin bahwa tingkat keterlibatan kulit akan tetap menjadi faktor
pembeda utama dan sebagian besar bukti ketahanan hidup mendukung dua
sistem yang berbeda.
3. AA telah terbukti memberikan informasi penting tambahan mengenai
prognosis dan juga panduan dalam identifikasi awal penyakit.
4. Lapilaroskopi lipatkuku memiliki beberapa kegunaan dalam diagnosis dan
klasifikasi, tetapi penerapannya masih sangat khusus. Hal ini akan
membutuhkan pertimbangan hati-hati jika ingin dimasukkan ke dalam
kriteria klasifikasi masa depan.
26
5. Untuk penerimaan yang luas, akan ada perlu konsensus internasional
untuk pengujian kriteria dan juga untuk standarisasi tes diagnostik.1
Table 6. Tantangan yang harus diperhatikan dalam pencantuman autoantibodi ke dalam kriteria klasifikasi sklerosis sistemik.
Perbedaaan kriteria klasifikasi dari praktek diagnostik Umur: Mungkin satu ukuran (autoantibodi) tidak cocok untuk semua Faktor genetika / ras / geografis Antibody segera dan lambat dan respon terhadap terapi Dampak teknologi array
Kebanyakan pasien SARD memiliki > 1 autoantibodi Dampak dari “omics''':
genomik, ribonomik, proteomik, metabolomik yang mengarah ke theranostics atau perancang terapi
Apakah klasifikasi penyakit bertahan seperti yang telah kita ketahui? Bagaimana dengan: pencegahan, patogenik, dan prognostik dari
autoantibodi Standarisasi
27
BAB III
KESIMPULAN
Sklerosis sistemik (SS) adalah penyakit jaringan ikat yang jarang dijumpai
dan belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan disfungsi endotel, fibrosis,
dan produksi autoantibodi (AA). Deposisi kolagen yang berlebihan menyebabkan
penebalan kulit dan perubahan pada organ internal yang meliputi paru, pembuluh
darah, traktus gastrointestinal, dan ginjal. Kerusakan endotel memacu disfungsi
vaskular yang bermanifestasi sebagi fenomena Raynaud, ulserasi dan gangren
digiti, hipertensi ateri pulmonal, dan kerusakan vaskular ginjal.
Sklerosis sistemik terjadi di seluruh dunia pada semua suku bangsa, dan
insiden serta prevalensi menunjukkan variasi yang luas tergantung dari lokasi
geografik, definisi penyakit, dan kriteria klasifikasi dan metode seleksi kasus. Ada
bukti bahwa insiden dan prevalensi meningkat dari 2,7 kasus baru per juta orang
menjadi 18,7 kasus dan dari 138 total kasus per juta orang menjadi 660 kasus
berturut-turut dalam interval 25 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 4:1, meskipun rasio ini lebih jelas
pada usia muda dan kurang tegas pada usia lebih dari 50 tahun. Diagnosis
penyakit ini lebih sering ditegakkan pada orang pada usia dekade ketiga sampai
kelima tetapi dapat terjadi pada anak-anak atau orang yang berumur lebih dari 70
tahun.
SS menunjukkan pola warisan non-Mendel. Risiko penyakit autoimun
lainnya, termasuk sistemik lupus eritematosus dan reumatoid artritis, juga
meningkat. Risiko relatif sebesar 13% terkena sklerosis sistemik, jika saudara
tingkat pertama menderita penyakit itu, meskipun risiko absolut pada anggota
keluarga individu jauh lebih rendah yaitu kurang dari 1%.
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga
sesuatu, faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan
sistem imun dan menimbulkan reaksi imunologik dan kerusakan sel endotel.
Kerusakan endotel akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit
mengeluarkan berbagai mediator, seperti PDGF, TGF-B, dan CTAP-III, yang
28
akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sistesis matriks oleh fibroblas.
Aktivitas sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sistesis
matriks.
Fenomena Raynaud adalah manifestasi yang paling sering terlihat pada
orang dengan sklerosis sistemik. Fenomena Raynaud adalah perubahan warna
yang episodik (palor, sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respon terhadap
lingkungan yang dingin atau stres emosional. Walaupun perubahan yang spesifik
umumnya terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun
telinga, hidung dan lidah. Pada fase palor dan sianosis, pasien akan mengalami
nyeri dan kaku, sedang pada fase hiperemis akan merasa seperti terbakar.
Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan difus sangat bervariasi,
tetapi pasien dengan keterlibaran kulit pada trunkus dan akral merupakan sklerosis
sistemik difus, sedangkan pasien yang mengalami kelainan pada bagian distal
hingga sendi metakarpopalangeal dan metatarsopalangeal lebih konsisten pada
paien sklerosis sistemik terbatas. Ada perdebatan mengenai derajat keterlibatan
akral yang menunjukkan sklerosis sistemik terbatas dibanding difus. Biasanya
pasien dengan sklerosis sistemik terbatas memiliki onset penyakit yang lebih
bertahap, dan dideskripsikan sebagai fenomena Raynaud untuk beberapa tahun
sebelum onset sklerodaktil. Sebaliknya, pasien sklerosis sistemik difus, penebalan
kulit cenderung lebih bertepatan dengan onset fenomena Raynaud dan perjalanan
penyakit ini bersifat lebih akut, dengan keterlibatan sebagian besar organ interna
dalam 5 tahun.
Temuan laboratoris bervariasi sesuai dengan keterlibatan organ interna,
namun ketiadaan fase akut yang progresif, laboratoris mungkin berada dalam
kisaran normal. Peningkatan laju endap darah dan penurunan jumlah kompelen
telah diamati pada pasien dengan penyakit yang lebih aktif. Perubahan
laboratorium khusus lainnya sesuai dengan keterlibatan organ.
Autoantibodi (AA) terjadi pada lebih dari 95% pasien dengan sklerosis
sistemik (SS), dan sampai saat ini, ada lebih dari 30 AA yang terkait dengan SS.
Sebagian pasien yang memiliki AA mengarah pada antigen nuklir, dan ini
memiliki hubungan klinis yang spesifik. Antibodi Anti-sentromer (CENP) terjadi
29
pada 20-40% pasien dan merupakan yang paling sering dikaitkan dengan SS
terbatas, iskemik digiti, kalsinosis, dan hipertensi pulmonal. Antibodi anti-
topoisomerase I terjadi pada 9-20% dari pasien dan berhubungan dengan SS difus,
manifestasi lebih parah, fibrosis paru, dan peningkatan mortalitas. Antibodi anti-
fibrillarin (U3 ribonukleoprotein) dilaporkan sangat spesifik untuk SS, tetapi
dalam sebagian besar penelitian kohort, prevalensi SS kurang dari 12%. Meskipun
semua antibodi ini memiliki spesifisitas yang tinggi, sensitivitas yang rendah
menunjukkan bahwa antibodi tersebut tidak berguna untuk skrining SS.
Kriteria klasifikasi ACR (American College of Rheumatology) dirancang
untuk membedakan SSC dari bentuk-bentuk penyakit lainnya, dan validasi
eksternal awal mencatat tingginya tingkat sensitivitas dan spesifisitas. Kriteria
awal ACR tahun 1980 untuk sklerosis sistemik menetapkan bahwa dibutuhkan
satu kriteria mayor atau dua atau lebih kriteria minor. Dimana kriteria mayor
adalah adanya skleroderma proksimal, keterlibatan kulit yang meluas dari
proksimal ke sendi metakarpofalangealis. Sedangkan kriteria minor adalah
sklerodaktili, pitting bekas luka digiti dari ujung jari atau hilangnya substansi dari
ujung jari distal, dan fibrosis paru bibasilar.
Sampai saai ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengubah
keadaan fibrosis pada SS. Pilihan pengobatan untuk SS masih terbatas pada
pengobatan aspek spesifik dari keterlibatan organ karena kompleksitas proses
penyakit.
Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar
68%. Harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan
keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi
karena kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik
terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan malabsorpsi.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Walker JG dan . Fritzler MJ. Systemic Sclerosis. Dalam: Yehuda Shoenfeld et
al (ed). Diagnostic Criteria in Autoimmune Diseases. Humana Press, 2008:31-
36
2. Hunzelmann N dan Krieg T. Progressive Systemic Scleroderm. Dalam:
Michael Hertl (ed). Autoimmune Diseases of the Skin Pathogenesis,
Diagnosis, Management, Third, Revised and Enlarged Edition. Springer Wien
New York, 2001:173-191.
3. Fauci, AS et al. Systemic Sclerosis (Sleroderma) and Related Disorder.
Dalam: Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Edition. The Mcgraw-
Hill Companies. 2008
4. Setiyohadi B. Sklerosis Sistemik. Dalam: Sudoyo, AW et al (Editor). Buku
Ajar: Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 edisi 4. FK UI, Jakarta, 2006:1239-44.
5. Carter MA. Skleroderma. Dalam Price SA dan Wilson LM. Patofisiologi :
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC, Jakarta, 2006:
1397-1400.
6. Payaniotis G. Systemic Sclerosis. Medical School, Departement of
Pathophysiology, National University of Athens. 2001.
31