refarat karsinoma nasofaring

download refarat karsinoma nasofaring

of 19

Transcript of refarat karsinoma nasofaring

BAB I PENDAHULUAN

I.1 INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI Insiden dari karsinoma nasofaring masih cukup rendah di sebagian besar dunia (insiden berdasarkan umur biasanya lebih sedikit dari 1/100.000 orang). Namun relatif sering ditemukan di berbagai negara Asia Tenggara dan Cina.Kejadian ini lebih tinggi dua kali pada laki-laki daripada perempuan. Penduduk Cina Selatan memiliki resiko tinggi dimana insiden per 100.000 populasi, 10-20 pada laki-laki dan 5-10 pada perempuan. Propinsi Guangdong dan daerah Guangxi, Cina, mencapai insiden 50 atau lebih dari 100.000 orang per tahun [1,2] Hampir 60% tumor ganas daerah kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.[3]

I.2 ETIOLOGI Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang unik/khas, yang bisa timbul dari hasil interaksi faktor genetik, faktor lingkungan, dan virus Epstein-Barr.[4] Kebiasaan diet juga dilaporkan dapat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring. Ikan asin kanton yang menjadi suspek penyebab perkembangan karsinoma nasofaring. Hal ini disebabkan oleh nitrosamin yang terdapat dalam ikan asin kanton.[1]

I.3 ASPEK ANATOMI NASOFARING Nasofaring terletak di antara basis kranial dan palatum mole, menghubungkan rongga hidung dan orofaring. Terdapat dua struktur penting dalam bagian nasofaring ini. Pertama, tonsil nasofaring (adenoid) terdiri dari kumpulan jaringan limfoid terletak di bawah atap epitelium dan dinding posterior nasofaring. Inilah yang membentuk cincin limfoid kontinu dengan tonsil palatina dan nodul limfoid pada dorsum lidah (Waldeyers ring). Dan kedua, Orificium pharyngeal tuba eustachi yang berada pada dinding lateral nasofaring dengan dasar hidung. Kartilago yang mendasari tuba Eustachi adalah recessus pharyngeus. [5,6]

1

Dikutip dari kepustakaan 7

Gambar .1 Anatomi normal nasofaring sagittal contrast-enhanced MR menunjukkan nasofaring (asterisk/tanda bintang), sinus sphenoid (panah putih besar), clivus (panah putih kecil) dan palatum molle(panah hitam). (Dikutip dari kepustakaan 4)

Drainase limfatik: area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebra servikal (disebut juga kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase kanker nasofaring), kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servikal, terutama meliputi: (1) rantai kelenjar limfe jugularis interna; (2) rantai kelenjar limfe nervi asesorius; (3) rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koliac fosa supraklavikular. Pembuluh darah pada nasofaring berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna, masing-masing adalah arteri faringeal ascendes, arteri palatina ascenden, arteri faringea, dan arteri pterigoideus. Mukosa nasofaring mendapat persarafan dari percabangan nervus trigeminus , nervus pharyngeal yang terletak pada fossa pteryopalatine. Saraf sensorik berasal dari nervi glossofaringeal dan vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum mole. [2,6,7]

I.4 PATOFISIOLOGI Karsinoma nasofaring mungkin disebabkan adanya interaksi kompleks genetik dan faktor lingkungan. Dalam etnik Cina, karsinoma nasofaring berhubungan dengan adanya HLA tipe A2 dan Bw46.[6] DNA virus pada karsinoma nasofaring telah mengungkapkan bahwa EBV (EpsteinBarr Virus) dapat menginfeksi sel epitel dan terkait dengan transformasi dari sel-sel tersebut menjadi kanker. Faktor lingkungan harus dipertimbangkan karena distribusi geografis dari penyakit dan pada pasien yang mengkonsumsi makanan yang diawetkan dalam jumlah besar dan atau ikan asin.[8]2

Umumnya, infeksi virus Epstein-Barr ini sudah terjadi sewaktu masa anak-anak. Karena kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.[7] Infeksi virus EB terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. Infeksi virus EB di limfosit dimulai dengan penyerangan virus dengan komplemen reseptor (molekul CD21) pada membran sel yang mengakibatkan terbentuknya genom virus yang baru (uncoating). Kemudian genom virus tersebut akan menuju nucleus. Kemudian genom virus menghasilkan berbagai protein yang akan meninggalkan nucleus dan akan bersirkulasi. Sel yang terinfeksi oleh virus EB dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu: sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus EB dan virus mengadakan replikasi, atau virus EB yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.[8] Faktor lingkungan juga berperan penting, penelitian akhir-akhir ini menemukan beberapa zat yang berkaitan dengan timbulnya kanker nasofaring. Salah satunya adalah golongan nitrosamin. Kandungannya agak tinggi pada ikan asin Guangzhou. He Hongchao dll.(1972) berpendapat insiden kanker nasofaring orang Guangzhou mungkin terkait dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.[2]

3

BAB II DIAGNOSIS

II.1 Klinis Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena.[9,10] Berdasarkan daerah yang terkena, pasien dengan karsinoma nasofaring dapat mengalami gejala yang asimptomatik dengan massa di leher akibat metastasis lymphadenopathy; dengan serous otitis media akibat obstruksi tuba eustachi; dan dengan gejala neurologi akibat saraf kranial posterior yang terganggu (IX,X,XI,XII) dalam kasus penyebaran tumor postolateral.[10,11] Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: Gejala nasofaring sendiri Epistaksis ringan atau sumbatan hidung Gejala telinga Gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (Fossa Rossenmuller). Gejala dapat berupa tinnitus, otalgia, kehilangan pendengaran konduktif unilateral. Gejala mata dan saraf Gejala lanjut karsinoma nasofaring. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V sehingga tidak jarag gejala diplopia membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata.Neural trigemina merupakan gejala yang sering ditemukan jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Jika penjalaran melalui foramen jugulare akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII yang akan menimbulkan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak. Metastasis atau gejala di leher[3,11]4

Untuk menegakkan diagnosis berdasarkan klinis, hal yang perlu kita lakukan adalah: Anamnesis keluhan pasien Pemeriksaan klinik/fisis terhadap ukuran dan lokasi kelenjar limfe servikal Pemeriksaan neurologi saraf kranial[2,9]

II.2 Patologi/Histopatologi Dinding nasofaring dilapisi mukosa yang terdiri dari squamous pseudostratified epithelium yang berkaitan dengan stroma submucosal limfoid dan kelenjar seromukous. Hal inilah yang menjadi sebab keganasan dapat berasal dari nasofaring.[10] Klasifikasi gambaran histopatolog yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu: 1. Tipe 1: Karsinoma sel skuamosa berkreatinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). 2. Tipe 2: Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma) Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa. 3. Tipe 3: Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma) Pada tipe ini, sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya, batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.[6,7,10] Karsinoma tidak berdiferensiasi ini adalah yang tersering dan paling erat kaitannya dengan EBV. Neoplasma tidak berdiferensiasi ini juga ditandai dengan sel epitel besar dengan batas tak jelas dan nukleolus eosinofilik yang mencolok. Pada mononukleosis infeksiosa, EBV secara langsung menginfeksi limfosit B, yang kemudian diikuti oleh proliferasi mencolok limfosit T reaktif dan menyebabkan limfositosis reaktif, yang ditemukan di darah perifer, dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada karsinoma nasofaring juga terjadi influks mencolok limfosit matur. Oleh karena itu, neoplasma ini disebut limfoepitelioma, suatu kesalahan nama karena limfosit bukan merupakan bagian proses neoplastik, dan tumornya juga tidak jinak.[12]

5

II.3 Pemeriksaan Serologi virus EB Parameter untuk memeriksa penderita kanker nasofaring adalah VCA-IgA, EAIgA, EBV-DNA. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan salah satu kondisi berikut ini, maka dapat dianggap beresiko tinggi kanker nasofaring: (1)Titer antibodi VCA IgA 1:80; (2)Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indicator tersebut positif; (3)Dari tiga indikator pemeriksaan di atas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinu atau terus meningkat Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus EB dapat menunjukkan reaksi positif 4-6 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.[2]

II.4 Pemeriksaan histologi Diagnosis karsinoma nasofaring didasarkan pada pemeriksaan histopatologi dengan biopsi saat melakukan rinoskopi. Biopsi dilakukan pada lymph node atau tumor primer.[9,10]

II.5 Pemeriksaan Radiologi A. Plain film Pada foto basis kranii terlihat erosi tulang pada dasar fossa kranial media.[13]

Gambar 2.1 Plain base view of the skull, menunjukkan erosi basis kranii pada regio basissphenoid dan foramen lacerum (panah) oleh karsinoma postnasal. (Dikutip dari kepustakaan 13)

6

B. CT Erosi tulang dapat dinilai dengan pemeriksaan CT resolusi tinggi, yang akan memperlihatkan obliterasi recessus pharyngeal lateral (fossa Rossenmuelleri) oleh tumor pada daerah tersebut. Obliterasi soft tissue yang ditunjukkan oleh CT merupakan penyebaran karsinoma postnasal space.[13]

Dikutip dari kepustakaan 13

Pada pemeriksaan CT-scan kepala dan leher ditemukan adanya infiltrasi soft tissue yang papiler atau polypoid berasal dari pharyngeal mucosal space nasofaring atau orofaring dengan invasi awal dari lemak pada parapharyngeal dan/atau retropharyngeal space.[14]

Dikutip dari kepustakaan 14

7

Pada CT-scan tulang kepala dan leher terlihat destruksi dari kortex clival, pterygoid atau basis kranii posterior. Selain itu, pada CT-scan juga tampak peningkatan massa yang sedikit pada nasopharynx, umumnya di lateral recessus pharyngeal. Metastase adenopati servikal[11]

Dikutip dari kepustakaan 11

C. MRI Pada MRI, gambaran tumor isointens untuk otot pada nonenhanced-T1-weighted gambaran dan dari moderat sampai lebih tampak(kuat) hiperintens pada T2-weighted images. Pada kontras-enhanced imaging, tumor menunjukkan serapan homogen ringan yang memperlihatkan derajat vaskularisasi serta nekrosis intratumoral.[10]

8

Neoplasms, Nasopharynx. Figure 2.4 (a) On coronal T1-weighted magnetic resonance image, a soft-tissue mass (m) abutting right superior-lateral wall of the nasopharynx is well demonstrated. The lesion effaces the upper part of the parapharyngeal space. (b) Coronal contrast-enhanced T1-weighted image shows mild enhancement of pathological tissue.

Neoplasms, Nasopharynx. Figure 2.5 (a) Axial T1-weighted magnetic resonance image shows a mass (m) involving the left wall of the nasopharynx with infiltration of the elevator and tensor veli palatine muscles and partial obliteration of the fat in the anterior parapharyngeal space. (b) T2-weighted image shows fluid into the mastoid cells (arrow) due to a serous otomastoiditis.

(Dikutip dari kepustakaan 10)

D. PET Kombinasi PET dan CT membantu dalam melihat staging/tahapan dan perencanaan pengobatan pada beberapa laporan terbaru. Penggunaan PET sendiri dalam

mengevaluasi kanker kepala dan leher masih dipertanyakan karena informasi anatomi yang diperoleh masih kurang dalam pemeriksaan ini[15]

9

BAB III DIAGNOSIS BANDING

Neoplasma ganas yang paling umum pada mucosal space adalah squamous cell carcinoma (nasopharyngeal carcinoma), non-Hodgkin lymphoma, dan keganasan kelenjar saliva minor. Gambaran keganasan tersebut terlihat sama pada CT dan MRI. Awalnya, pada gambaran terlihat massa, dikaitkan dengan adanya kompresi lateral atau obliterasi parapharyngeal space, yang diikuti oleh invasi basis kranii. Terdapat triad awal temuan gambaran radiologi (pada karsinoma nasofaring) yang terdiri dari: (1) mukosa superfisial nasopharynx asimetris; (2) adenopati retropharyngeal ipsilateral; (3) opasifikasi mastoid. Opafikasi mastoid merupakan tanda awal yang penting. [16]

Gambar 3.1 Nasopharyngeal Malignancy. Axial postgadolinium T1WI. Triad keganasan nasofaring terdiri dari (1)massa mukosa (2 panah putih) pada lateral nasofaring (fossa Rosenmuelleri), (2)lateral retropharyngeal nodes (tanda panah hitam), dan (3) opasifikasi mastoid (panah putih). Opasifikasi mastoid merupakan akibat dari disfungsi tuba Eustachi dan biasanya mendesak massa nasofaring (dikutip dari kepustakaan 16)

Beberapa diagnosis banding dari karsinoma nasofaring, adalah: 1. Benign Mixed Tumor, NP PMS (Nasopharynx Pharyngeal Mucosal Space) CT NFCT: otot isodens. CFCT: peningkatan yang minimal, baik dibatasi palatum atau massa PMS (pharyngeal mucosa space), tumor berbatas tegas dengan tulang. Inhomogen dengan kalsifikasi atau komponen kistik. MRI T1WI massa isointens dibandingkan dengan otot10

T2W1 : T2 variabel signal tapi biasanya hiperintens dengan otot Jika terdapat kalsifikasi, regio tersebut sinyalnya rendah Tidak ada bukti invasi jaringan dalam T1C+ peningkatan variabel struktur tapi umumnya homogen

2. Non-Hodgkin Lymphoma, NP PMS CFCT: peningkatan minimal dengan massa hulky mengisi PMS airway sering tanpa ekstensi dalam space Tampak nodes >2cm dan non nekrotik MRI T1WI : massa pada PMS besar isointens dengan otot

T2WI : intensitas sinyal berubah-ubah, tergantung pada celularity tapi biasanya hiperintens homogen; lesi sel tinggi secara umum kurang hiperintens pada T2WI T1C+ : peningkatan tonsil atau massa adenoid

11

3. Minor salivary gland malignancy, NP PMS CECT : peningkatan, massa infiltrasi ke pusat pharyngeal surface (PMS) MRI T1WI : isointens lesi PMS T1WI membantu mendeteksi invasi mandibula atau maksila T2WI : massa pada pharyngeal surface dengan variabel 12 sinyal Massa sinyal rendah (lebih selular, prognosis buruk) sampai massa sinyal tinggi (selular kurang, prognosis baik) T1C+ : peningkatan massa pada T1 C+ MRI dengan batas infiltrasi Saturasi lemak membantu penyebaran perineural

12

STADIUM CNF (KARSINOMA NASOFARING) Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC(2002). T= Tumor primer T0- Tidak tampak tumor T1- Tumor terbatas di nasofaring T2- Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/rongga hidung T2a: Tanpa perluasan ke parafaring T2b: Disertai perluasan ke parafaring T3- Tumor menginvaginasi struktur tulang dan/aatau sinus paranasal T4- Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa intratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.

N= Pembesaran kelenjar getah bening regional NX- Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0- Tidak ada pembesaran N1- Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula N2- Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6cm, di atas fossa supraklavikula N3- Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula N3a: Ukuran lebih dari 6cm N3b: Di dalam fossa supraklavikula M= Metastasis jauh Mx- Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0- Tidak ada metastasis jauh M1- Terdapat metastasis jauh

13

Tabel 1 Carcinoma Nasofaring: stadium Stadium 0 Stadium I Stadium IIA Stadium IIB T1s T1 T2a T1 T2a T2b Stadium III T1 T2a, T2b T3 Stadium IVA Stadium IVB Stadium IVC T4 Semua T Semua T N0 N0 N0 N1 N1 N0, N1 N2 N2 N0, N1, N2 N0, N1, N2 N3 Semua N M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

Dikutip dari kepustakaan 2,3

14

BAB IV PENATALAKSANAAN

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher (dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran/residu atau timbul kembali setelah penyinaran selesai dengan syarat tumor induknya sudah hilang dan tidak ditemukan metastasis jauh), kemoterapi, vaksin, dan antivirus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi tambahan. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cisplatinum sebagai inti. Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer[3]

15

BAB V PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Adanya limfadenomegalia menandakan bahwa penyakit karsinoma nasofaring telah menyebar ke luar tempat primer. Namun pada masa anak-anak, penyakit metastasis pada kelenjar limfe servikal tidak mempengaruhi prognosis pada saat diagnosis. Faktor yang berhubungan dengan prognosis buruk dari penyakit ini adalah keterlibatan basis kranii, penyebaran tumor primer, dan keterlibatan saraf kranial.[9] Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, karsinoma nasofaring mempunyai resiko terjadinya rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien karsinoma nasofaring perlu difollow up setidaknya 10 tahun setelah terapi.[3] Komplikasi yang dapat muncul adalah setelah melakukan radoterapi. Komplikasi dari terapi radiasi terbagi menjadi dua, yaitu neurologi dan non-neurologi sekuele. Komplikasi neurologi termasuk nekrosis lobus temporal, encephalomyelopathy, dan nervus kranial palsi. Sedangkan komplikasi non-neurologi adalah atrofi kelenjar saliva, otot-otot mastikasi dan radiasi yang berhubungan dengan tumor.[4]

16

BAB VI PENCEGAHAN Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat Melakukan tes serologi IgA-anti VCA dan IgA anti EA[3]

17

DAFTAR PUSTAKA

1.

Kumar,

Sunil.

Epidemiological

And

Etiological

Factors

Associated

With

Nasopharyngeal Carcinoma. Satyanarayana, K. In: ICMR Bulletin. ICMR. New Delhi. 2003; vol.33. Available from http://icmr.nic.in/BUSEPT03.pdf. Accessed October 17, 2011. 2. Japaries, Willie. Karsinoma Nasofaring. Desen, Wan. Dalam: Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008; hal 263-73 3. Roezin, Averdi. Adham, Marlinda. Karsinoma Nasofaring. Soepardi, Efiaty Arsyad. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal 182-7 4. Castaigne, C. Castelijns, J.A. Neoplasms Of The Nasopharynx. Hermans, Robert. In: Head and Neck Cancer Imaging. New York. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2006; hal 143-55 5. Ellis, Harold. The Pharynx. Sugden, Martin. In: Clinical Anatomy Eleventh Edition. London. Blackwell Publishing. 2006; hal 277-8 6. Cottrill, Christopher P. Nuttingm Christopher M. Tumours of the nasopharynx. Evans, Peter H.R. Montgomery, Paul Q. Gullane, Patrick J. In: Principles and Practice of Head and Neck Oncology. London and New York. Martin Dunitz Taylor & Francis Group. 2003; p330-42 7. Asroel, Harry A. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Sumatera Utara. USU digital library. 2002. Available from

http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf. Accessed October 17,2011 8. Rusdiana. Munir, Delfitri.dkk. Hubungan Antibodi Anti Epstein Barr Virus dengan Karsinoma Nasofaring Universitas pada Pasien Etnis Batak di Medan. Fakultas Kedokteran Utara. Available from

Sumatera

http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/rusdiana.pdf. Accessed October 17,2011. 9. Brennan, Bernadette. Nasopharyngeal Carcinoma. Manchester. BioMed Central Ltd. 2006. Available from http://www.ojrd.com/content/1/1/23. Accessed October 17, 2011. 10. Blandino, Alfredo. Pandolfo, Ignazio. Neoplasms, Nasopharynx. Baert, Albert L. In: Encyclopedia of Diagnostic Imaging. New York. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2008;p1261-418

11. Harnsberger, H.Ric. et al. Benign Mixed Tumor (PMS). Squamous Cell Carcinoma, Nasopharynx. Minor Salivary Gland Malignancy (PMS). Non-Hodgkin Lymphoma (PMS). In: Diagnostic Imaging Head and Neck. First Edition. Canada. AMIRSYS.2004;p12-9;28-33 12. Kumar, Vinay. Maitra, Anirban. Karsinoma Nasofaring. Hartanto, Huriawati. In: Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Volume 2. New York. EGC. 2003; hal 568-9 13. Phelps, Peter D. The Pharynx and larynx :The Neck. Sutton, David. In: Textbook Of Radiology And Imaging. Seventh edition. Volume II. London. Churchill Livingstone. 2003;p1489-94 14. Burgener, Francis A. Kormano, Martti. Upper Neck. Baert, Albert L. In: Differential Diagnosis in Computed Tomography. New York. Georg Thieme Verlag. 1996;p94-5 15. Steinert, Hans C. Goerres, Gerhard. Schulthess, Gustav K.von. PET/CT in Head and Neck Cancer. Baert, Albert L. In Diagnostic Nuclear Medicine. 2nd revised edition. New York. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.2006;p210-1 16. Barakos, Jerome A. Head and Neck Imaging. Brant, William E. Helms, Clyde A. In: Fundamentals of Diagnostic Radiology. Third Edition. Volume 1. California. Lippicott Williams and Wilkins. 2007;p247-51

19